• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetrasi Politik Pemerintah Jepang Terhadap Umat Islam

Dalam dokumen ANATOMI GERAKAN DAKWAH PERSATUAN ISLAM (Halaman 87-99)

di Era Orde Lama

A. Penetrasi Politik Pemerintah Jepang Terhadap Umat Islam

Di dalam usaha untuk membangun imperium di Asia, Jepang

telah mengobarkan perang di Pasifik. Pada tanggal 8 Desember 1941

secara tiba-tiba Jepang menyerbu ke Asia Tenggara dan mengebom Pearl Harbour, sebuah Pangkalan Terbang Angkatan Laut Amerika

di Pasifik. Dalam gerakannya ke Selatan, Jepang telah pula menyerbu

ke Indonesia (Hindia Belanda). Pada tanggal 11 Januari 1942 tentara Jepang telah mendarat di Tarakan Kalimantan Timur, kemudian mendarat pula di Balikpapan, Pontianak, serta di Samarinda pada tanggal 3 Pebruari 1942. Dalam waktu singkat, pada tanggal 1 Maret 1942 Jepang berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus, yakni di Teluk Banten, Eretan Wetan Jawa Barat dan di Kragan Jawa Tengah. Setelah pendaratan itu, ibu kota Batavia (Jakarta) pada tanggal 5 Maret 1942 diumumkan sebagai “Kota Terbuka” yang berarti bahwa kota ini tidak akan dipertahankan oleh pihak Belanda. Pada akhirnya Letnan Jendral H. Ter Poorten, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda atas nama Angkatan Perang Serikat di Indonesia menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang di bawah pimpinan Letnan Jendral Hitoshi Imamura pada tanggal 8 Maret 1942. Dengan

demikian berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia dan secara resmi ditegakkan kekuasaan kemaharajaan Jepang. Indonesia memasuki suatu periode baru, yaitu periode pendudukan militer Jepang.1

Kemudahan Jepang memasuki wilayah Hindia Belanda diduga jauh sebelum itu pemerintah Jepang telah melakukan persiapan dan propaganda dengan dalih untuk membebaskan saudara-saudaranya di Asia dari penjajah Barat. Hal ini telah menimbulkan simpati dari bangsa-bangsa di Asia, termasuk juga Indonesia, sebagaimana dinyatakan Nasution2 sebagai berikut:

Kepercayaan kepada Jepang sebagai pengusir kolonialisme Barat besar sekali, juga di Indonesia dengan begitu mudah, Dinas Rahasia Jepang dapat mengadakan semacam gerakaan front dalam negeri untuk menikam Belanda di Indonesia dari belakang, jika bala tentaranya mendarat di Indonesia. Rakyat yang memusuhi Belanda menjadi obyek yang baik untuk perang psikologi Jepang, yang dengan demikian akan sangat membantu dan menghemat tenaga tempurnya. Agen-agen rahasianya telah tersebar di seluruh Indonesia.

Rakyat Indonesia yang sebagian besar menganut agama Islam, memang telah tertawan hatinya oleh Jepang, karena pihak kolonial Belanda telah memusuhi dan memerangi Islam secara berlebihan. Selain itu sebagai akibat kekecewaan yang meluas pada rakyat Indonesia terhadap penolakan pihak Belanda mengenai berbagai

tuntutan mereka dalam bidang politik sebelum perang Pasifik

pecah, di samping itu juga karena kurangnya kesadaran mereka mengenai sifat fasisme dan imperialisme Jepang, rakyat Indonesia umumnya mengharapkan sifat yang lebih kompromistis dari pihak Jepang dalam hal politik. Banyak di antara orang Indonesia yang mendengarkan siaran radio Tokyo walaupun ini diancam hukuman penjara oleh Belanda.3 Rakyat Indonesia menanti-nantikan

kedatangan tentara Jepang secepatnya sebagai ‘pembebas’, seperti diceritakan oleh Hamka berdasarkan pengalamannya berikut ini:

rintangan, kami senantiasa secara sembunyi-sembunyi mendengarkan radio dari Jepang sehingga kami bisa tahu bilamana mereka (orang- orang Jepang) akan datang ke sini. Dan ketika mereka benar-benar datang, ribuan orang kami yang berkumpul di depan mesjid Agung Medan menerima mereka dengan pekikan yang keras… “Banzai!” (hidup!).4

Benda5 memberikan penilaian senada mengenai penyambutan

umat Islam Indonesia terhadap kedatangan bala tentara Jepang itu. Menurutnya, ofensif Jepang ini kelihatannya lebih berhasil mendatangkan dukungan militer dari orang-orang Islam selama pendaratannya di Sumatera, daripada di Jawa. Memang benar, bahwa rakyat di Jawa dengan penuh semangat menyambut kedatangan pasukan pendudukan itu dengan mengibarkan bendera Indonesia dan Jepang. Akan tetapi, penerimaan itu tidak bersifat keseluruhan dan tidak pula diwarnai oleh fanatisme Islam. Sedangkan di Sumatera, kedatangan Jepang dipermudah oleh kelompok-kelompok Islam penentang Belanda yang diorganisasikan secara rapi, bahkan beberapa diantaranya telah mendirikan organisasi dan mendapat bantuan yang cukup besar dari Jepang. Di Aceh misalnya, daerah yang secara tradisional fanatik terhadap agama, terdapat organisasi “F” singkatan dari Fujiwara, seorang perwira Jepang yang akan memberikan perintah kepada organisasi gerakan bawah tanah yang telah termakan oleh propaganda Jepang dan menggunakan motivasi agama untuk menggerakkan semangat perlawanan terhadap pihak Belanda. Organisasi ini memainkan peranan yang penting pada awal pendudukan Jepang dengan membuat PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan melakukan pemberontakan terhadap Belanda. Keyakinan orang-orang Aceh yang tergabung dalam PUSA bahwa Jepang akan melindungi dan menghormati Islam, telah tertanam begitu dalam.

Pemerintah pendudukan Jepang menyadari bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam, karena itu mereka berusaha mendekati umat Islam, terutama para ulamanya dengan maksud agar mereka membantu Jepang dalam perang melawan

Sekutu. Sikap Jepang yang demikian itu dinamakan oleh Benda6

sebagai Nipon’s Islamic Grassroots Policy atau kebijaksanaan politik Jepang yang ditujukan kepada para pemimpin Islam sebagai lapisan yang paling bawah. Sebagai akibat dari politik Kolonial Belanda, Pemerintah Jepang melihat adanya tiga golongan elit dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu; pertama, golongan priyayi yang dijadikan “batu sendi utama” dalam mengurus sistem pemerintahan dan tidak disenangi rakyat karena dianggap sebagai “perpanjangan tangan si Tuan Kolonial Belanda”; kedua, golongan pemimpin nasionalis sekuler, yang berjuang demi terwujudnya Nasionalisme Indonesia dan mendapat simpati dari masyarakat kota; dan ketiga, golongan ulama yang berjuang demi tegaknya kehidupan sosial-politik dan keagamaan yang Islami dan mendapat dukungan luas dari masyarakat perdesaan di Indonesia.7

Berbeda halnya dengan politik pemerintah Kolonial Belanda yang memusuhi ulama, Jepang berusaha mendekati para ulama untuk dijadikan sebagai alat penetrasi ke dalam kehidupan rohani bangsa Indonesia untuk membangkitkan semangat perang jihad melawan Sekutu. Pemerintah pendudukan Jepang menyadari, jika hendak merebut hati sebagian besar bangsa Indonesia haruslah mendekati ulama.

Posisi ulama di kalangan umat Islam memang unik, menurut Leonard Binder8 tanggung jawab dan kesempatan ulama Indonesia

jauh lebih besar daripada di Timur Tengah sebab ulama Indonesia selain menduduki posisi keagamaan sebagai spiritual helper, juga berperan dalam bidang sosial-politik. Oleh karena itulah pemerintah pendudukan Jepang berusaha meraih para ulama dengan memperlihatkan ketidaksetujuannya terhadap kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda. Di depan rapat umum yang dihadiri oleh para ulama pada bulan Desember 1942 di Jakarta, Gunseikan sebagai kepala pemerintahan militer Jepang menyatakan:

Pemerintah militer Jepang tidak pernah ragu untuk melindungi, menghormati, dan menjunjung tinggi Islam, sebab Islam telah berakar

dalam hati orang Indonesia dan telah mempengaruhi kehidupan spiritual mereka. Pemerintah terdahulu (Belanda) telah banyak memberikan perhatian kepada Kristen, sedangkan untuk umat Islam, mereka tidak memberikan perhatian. Pemerintah Jepang sama sekali tidak setuju dengan kebijaksanaan yang tidak adil seperti itu.9

Selanjutnya pemerintah pendudukan Jepang hendak menumbuhkan kepercayaan di hati umat Islam, dengan cara mengambil tindakan keras terhadap gereja dan zending. Para pendeta dan pastornya banyak dikirim ke kamp tawanan perang atas tuduhan menjadi mata-mata serta simpatisan musuh. Sekolah misionari banyak ditutup, demikian pula dengan sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit yang dikelola oleh zending. Dengan demikian menjadi jelaslah, sikap dan pandangan politik jepang terhadap umat Islam di Indonesia yang ingin dianggap sebagai “Pahlawan dan Pelindung Islam”.

Dalam perkembangan selanjutnya menjadi lain, sebagai pemerintah yang berstatus “pendudukan” adalah menjadi keharusan bagi Jepang untuk mengamankan posisi kekuasaannya di Indonesia. Oleh karena itu, Jepang tidak pernah mempunyai niat untuk memerdekakan bangsa-bangsa di wilayah pendudukannya, Jepang mengeluarkan peraturan dan larangan terhadap orang- orang Indonesia agar tidak membicarakan persoalan politik, apalagi tentang kemerdekaan atau pemerintahan sendiri yang dicita-citakan sejak sebelum kedatangan Jepang. Semua organisasi pergerakan di Indonesia supaya menghentikan kegiatan politiknya, dan harus tunduk kepada kemauan politik Jepang dengan dalih ”keadaan perang” menuntutnya demikian. Hal itu telah menimbulkan kekecewaan para pemimpin pergerakan termasuk para pemimpin Islam sebagaimana yang dialami oleh H.M. Yunan Nasution yang menceritakan pengalamannya sebagai berikut:

Masih diingat, masa-masa terakhir kehidupan pergerakan di Sumatera. Semua perhimpunan di Sumatera dikumpulkan di tengah lapang, masing-masing membawa panjinya sendiri di

bawah pengawasaan tentara Jepang, semua pimpinan perhimpunan di Sumatera (partai, ormas maupun lembaga biasa) bersama- sama menurunkan panji-panjinya masing-masing sebagai tanda beraakhirnya dunia pergerakan. Sungguh sangat menyayat hati. Mereka diyakinkan oleh kenyataan bahwa Jepang mematikan semua kegiatan. Tirani!10

Pada tanggal 20 Mei 1942 Jepang mengeluarkan pengumuman agar Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII), dua partai yang bergerak dalam bidang politik, menghentikan kegiatannya. Bahkan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang merupakan federasi tiga belas organisasi muslim yang pernah mengirimkan utusan ke kongres Islam sedunia yang diselenggarakan oleh Jepang di Tokyo pada tahun 1938, juga terkena larangan.11

Pembelengguan aktivitas bangsa Indonesia dimulai secara perlahan tapi pasti. Untuk mengamankan posisi pendudukannya di Indonesia, pihak Jepang melakukan usaha yang disebut Nipponisasi yaitu menjadikan segala sesuatunya “serba Jepang” baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan bahkan hendak menggantikan kebudayaan bangsa Indonesia dengan kebudayaan Jepang. Dugaan ini cukup beralasan, bahkan diperkuat oleh instruksi pemerintah pendudukan Jepang pada tanggal 7 Agustus 1942 yang berbunyi:

“Rakyat-rakyat yang menjadi kawula Jepang akan diberikan kesempatan untuk berkembang di mana saja; dan setelah mendapat tempat berpijak yang kukuh, mereka akan meninggikan temperamen mereka sebagai satu ras yang terkemuka dengan satu basis doktrin

perencanaan ekspansi jangka panjang dari ras Yamato.”12

Tujuan Jepang hendak me-Nippon-kan Indonesia jelas sekali. Setelah Jepang mendarat di Indonesia, propaganda yang terpenting adalah berintikan hal-hal yang mempererat proses Nipponisasi. Kaum muslimin, termasuk para ulama, dipaksa untuk ber-seikeire; membungkukkan diri ke arah matahari terbit, setiap pagi. Dalam setiap pertemuan umum harus dibuka dengan seikeire. Setiap kali nama Tenno Heika disebut, hadirin harus berdiri sigap. Setiap

penutupan sesuatu pertemuan harus mengucapkan Banzai Dai Nippon dan Allahu Akbar tiga kali.13

Menurut pandangan pemerintah pendudukan Jepang, untuk dapat me-Nippon-kan bangsa Indonesia, seluruh pengaruh kebudayaan Barat dan Arab (baca Islam) harus dibersihkan dan diganti dengan kebudayaan Jepang. Langkah pertamanya ialah menjadikan bahasa Jepang sebagai bahasa pengantar bagi bangsa- bangsa di Asia, sebab melalui bahasa-lah kebudayaan lebih cepat dapat disusupkan. Untuk keperluan itu dalam setiap penerbitan harian Asia Raya disediakan kolom khusus untuk memuat pelajaran bahasa Jepang. Demikian pula dengan istilah-istilah resmi dan buku-buku teks harus menggunakan bahasa Jepang. Untuk dapat menghapuskan pengaruh Arab (Islam), pemerintah pendudukan Jepang tidak mengizinkan pembukaan kembali sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Bahkan bahasa Arab tidak boleh diajarkan walaupun di lingkungan pesantren. Aksara Arab yang sudah menjadi huruf Melayu pun dilarang diajarkan di sekolah-sekolah.14

Peraturan lain yang bersifat me-Nippon-kan bangsa Indonesia adalah Undang-undang No. 4 yang menetapkan bahwa hanya bendera Kokki Jepang yang boleh dipasang dan hanya lagu Kimigayo sebagai lagu kebangsaan yang boleh diperdengarkan pada hari-hari besar. Selanjutnya, mulai tanggal 1 April 1942 waktu Jepanglah yang harus dipakai yang berbeda 90 menit dengan waktu di Jawa. Mulai 29 April 1942, tarikh yang harus dipakai adalah tarikh Sumera yang sudah berangka tahun 2602. Demikian pula sejak saat itu umat Islam Indonesia harus merayakan hari raya Tenchosetsu, yaitu hari lahirnya kaisar Hirohito. Dalam masalah keuangan, pada tanggal 8 Maret 1942 ditetapkan bahwa untuk kepentingan jual beli dan pembayaran, maka mata uang rupiah diberlakukan, selain itu dilarang.15

Untuk mempercepat proses Nipponisasi, Jepang mempergunakan semua saluran. Saluran yang paling penting dan strategis yaitu sektor pendidikan. Oleh karena itu pihak Jepang

segera menyusun kurikulum yang berlaku baik bagi sekolah umum maupun bagi madrasah. Dalam kurikulum itu bahasa Jepang menjadi mata pelajaran pokok. Bila menggunakan buku teks yang berbahasa Arab harus dengan seizin Shumubu, semacam Departemen Urusan Agama buatan Jepang.16

Setelah selesai menggarap kurikulum sekolah, langkah Jepang berikutnya adalah menjadikan orang-orang muda Indonesia terkondisikan dalam semangat, tradisi, dan budaya Samurai Jepang. Untuk tujuan itu, pemerintah Jepang mendirikan berbagai organisasi korps pemuda, seperti Seinendan, Heiho, Hizbullah, dan

PETA (Pembela Tanah Air), dimana dalam proses pendidikan dan

latihannya mereka dibiasakan serta diperkenalkan dengan tradisi dan semangat Jepang. Demikian pula halnya dengan para ulama tidak luput dari sasaran dan tindakan politik Jepang, seperti dikemukakan oleh Shiddiqi17 berikut ini:

Karena ulama dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk berkomunikasi dengan masyarakat pedesaan, maka pihak Jepang hendak memafaatkannya sebagai instrumen bagi mereka untuk menyebarkan adat istiadat dan budaya Jepang. Untuk keperluan itu, para ulama terlebih dahulu harus ditangani dengan menyelenggarakan penataran-penataran yang dikenal dengan nama Latihan Kyai. Latihan Kyai ini merupakan proses pendidikan dan latihan yang memakan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan penataran-penataran lainnya yang diselenggarakan oleh Jepang. Latihan Kyai memakan waktu selama 30 hari setiap angkatan. Di dalam angkatan ini para ulama diindoktrinasi dengan ide-ide dan propaganda Jepang, dan mereka harus mendapat dosis yang cukup untuk memperoleh “jiwa baru” dan semangat Jepang.

Antara bulan Juli 1943 sampai dengan Mei 1945, penataran ini telah berlangsung 17 kali di Jakarta. Suatu latihan yang lamanya tiga bulan diperuntukkan bagi 80 orang guru agama dalam triwulan kedua tahun 1944. Para peserta diajari pengetahuan umum, semangat dan kepercayaan Jepang, metode mengajar, dan juga olah raga serta baris-berbaris. Dalam proses penataran tersebut, para

kyai juga diwajibkan berseikeire. Selama 30 hari dalam penataran, para peserta diasramakan dan tidak boleh berhubungan dengan masyarakat. Mereka harus hidup dalam suasana yang diwarnai oleh

kebiasaan dan ideologi Jepang. Menurut Clifford Geertz beberapa

orang ulama yang berusia muda dikirim juga ke Jepang untuk diajarkan bagaimana supaya berani mati seperti pasukan Kamikaze yang berjibaku demi kejayaan Dai Nippon dan Tenno Heika.18

Upaya lainnya yang dilakukan oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk me-Nippon-kan kaum muslim Indonesia, yaitu menghapuskan ide Pan-Islam dan menggantinya dengan Pan-Asia di bawah pimpinan Jepang sebagai “Saudara Tua”. Dalam usaha hendak menghapuskan ide Pan-Islam, Jepang berusaha menjelaskan bahwa Hakkoichiu (Persaudaraan Dunia) mempunyai persamaan dengan cita-cita Islam. Haji Abdul Muniam Inada, kepala Biro I Shumubu menulis; “Semangat Dai Nippon dan Islam adalah sangat dekat antara satu sama lain, tidak ada satu zarrah identitas pun yang menunjukkan yang satu lebih unggul daripada yang lain.19

Untuk tujuan Nipponisasi, Jepang membutuhkan satu organisasi muslim Indonesia baik yang beraliran “modern” maupun yang beraliran “tradisional”. Organisasi yang direncanakan itu dimaksudkan untuk mengontrol dan menguasai kehidupan sosial politik Islam di Indonesia yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Jepang. Itulah sebabnya, maka seakan-akan terlihat bahwa Jepang begitu bersemangat mendorong dan memberi prioritas utama bagi terbentuknya satu organisasi muslim yang menyeluruh.

Dalam pandangan Jay20 kebijaksanaan Jepang ini mempunyai

tujuan ganda; pada satu sisi, sebagai paku untuk memperkuat sentimen kebangsaan dan agama dalam masyarakat dengan tujuan untuk kepentingan Jepang, dan pada sisi lain, dalam waktu yang bersamaan, agar Jepang dapat meningkatkan pengawasan dan sentimen itu. Jadi, apa yang diharapkan oleh Jepang dengan mendirikan satu organisasi yang menghimpun seluruh muslim itu adalah sebagai satu media

untuk mencapai massa dalam mengintroduksikan ide dan cita-cita mereka dan bisa mempergunakannya sebagai satu alat yang dapat dipermainkan dengan mudah untuk kepentingan dan kehendak politik mereka.

Jepang melihat bahwa MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia, yang didirikan pada 1935) yang diizinkan kembali bergerak pada tanggal 4 September 1942 (setelah dilarang aktif sejak tanggal 20 Mei 1942) tidak memenuhi harapan Jepang. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya, pertama, dalam munculnya kembali MIAI pada tanggal 4 September 1942 setelah diberi kebebasan bergerak kembali oleh Jepang, ternyata Muhammadiyah, Persis, dan Nahdhatul Ulama (NU) dianggap tidak cukup ampuh mencapai dan mempengaruhi massa. Organisasi itu memiliki ciri yang berbeda, Muhammadiyah dan Persis mewakili golongan “modern”, sedangkan NU mewakili golongan “tradisional”; kedua, MIAI sendiri bukan lagi sebagai organisasi massa, karena hanya sekedar federasi dari beberapa organisasi Islam yang memiliki karakter dan kebijaksanaan masing- masing. Menurut pandangan Jepang, organisasi semacam itu bukan merupakan alat yang ampuh untuk menggerakkan masyarakat; dan ketiga, MIAI terbentuk atas inisiatif umat Islam sendiri, dan banyak menaruh perhatian kepada masalah-masalah politik. Pembentukan MIAI pada tahun 1935 atas inisiatif PSII merupakan salah satu reaksi umat Islam Indonesia dalam menyatukan langkah untuk menolak sebuah rancangan Undang-undang Perkawinan yang diajukaan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang dalam beberapa pasalnya bertentangan dengan hukum Islam, serta untuk menolak kolonialisme. Pemerintah pendudukan Jepang khawatir apabila semangat anti kolonialisme itu muncul kembali, pasti akan berhadapan dengan Jepang sendiri. Kekhawatiran Jepang itu memang beralasan, sebab lahirnya MIAI didorong dan diprakarsai oleh PSII, sebuah organisasi sosial politik Islam yang sangat gigih dalam menentang kolonialisme. Itulah sebabnya sebagaimana telah dikemukakan, pada awal pendudukannya di Indonesia,

pihak Jepang secara langsung mengeluarkan pengumuman yang menghentikan semua kegiatan politik untuk berbagai organisasi,

terutama melarang aktifitas PSII, PII juga MIAI.21

Pertimbangan-pertimbangan seperti itulah yang menyebab- kan pemerintah pendudukan Jepang terdorong untuk mempercepat lahirnya satu organisasi Islam yang baru yang sesuai dengan selera mereka. Tegasnya tidak lagi berbicara masalah politik. Untuk keperluan itu, Kolonel Horie dalam kapasitasnya sebagai Kepala

Shumubu dengan didampingi oleh Haji Abdul Hamid Ono,

Haji Abdul Muniam Inada, dan Haji Muhammad Saleh Suzuki melakukan perjalanan keliling Jawa sejak tanggal 11 Juni 1943, yang dinamakan sebagai suatu “kunjungan silaturahmi”. Melalui saluran ini, Kolonel Horie dengan didampingi oleh Haji Shimizu sebagai Kepala Sendenbu, menyelenggarakan berbagai tabligh akbar untuk mengkampanyekan ide persatuan dan semangat membantu pemerintah Jepang. Baik dalam kunjungan silaturahmi maupun dalam tabligh akbar, tema pokok yang dijelaskan adalah; tidak ada perbedaan yang pokok antara Islam dengan Shintoisme dalam hal sebagai pendorong kekuatan sosial, sebab keduanya tidak memisahkan antara kehidupan politik dengan kehidupan agama. Oleh karena itu, kehendak untuk bersatu di kalangan umat Islam adalah sejalan dengan tujuan politik pemerintah Jepang di Indonesia.22

Hasil kunjungan silaturahmi dan tabligh akbar itu adalah terbentuknya Komite Pimpinan Persatuan Umat Islam yang kemudian melahirkan Badan Persatuan Umat Islam (BPUI) yang diresmikan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 1942, BPUI kemudian melahirkan Persatuan Alim Ulama (PAU) pada tanggal 24 Juli 1942, sebelas hari setelah diresmikan BPUI. Namun dalam PAU, baik Muhammadiyah, Persis, maupun NU belum lagi ikut serta. Ketidaksertaan Muhammadiyah, Persis, dan NU inilah yang menyebabkan Jepang untuk sementara waktu mengizinkan berdiri kembali MIAI pada tanggal 24 September 1942. Jepang masih menunggu waktu sampai

Muhammadiyah, Persis, dan NU mau diajak duduk bersama dalam satu organisasi. Kepada MIAI dibebankan tugas untuk bertindak sebagai Pusat Koordinasi PAU.

Sementara izin kepada MIAI diberikan, usaha-usaha untuk mendekati Muhammadiyah, Persis, dan NU terus dilanjutkan. Bahkan pucuk pimpinan pemerintahan Jepang, Letjen Okazaki di hadapan para ulama seluruh Jawa yang diundang ke tempat kediamannya di Jakarta menghimbau, agar semua pihak yang mengesampingkan perbedaan pendapat supaya bisa bersatu dan bekerja sama dengan Jepang.23 Hampir setahun Jepang harus menunggu buah himbauan

Okazaki itu. Bahkan pemerintah Jepang lebih dahulu “terpaksa” diharuskan mengesahkan berdirinya Muhammadiyah, Persis, dan NU pada tanggal 10 September 1943 sebagai suatu pengakuan pemerintah Jepang atas ketiga organisasi itu yang telah berdiri sejak masa pemerintahan kolonial Belanda (lihat Noer, 1987:23). Baru pada tanggal 24 Oktober 1943 MIAI dinyatakan bubar dan lahirlah Majelis Syura Muslimin Indonesia. Dengan demikian kelahiran kembali MIAI hanya berusia 13 bulan.24

Dalam Majelis Syura Muslimin Indonesia semua organisasi muslim turut bergabung. Dalam pernyataan pertama yang dikeluarkan, dijelaskan, bahwa basis organisasi itu ialah semua organisasi yang tergabung dalam MIAI, Muhammadiyah, NU, dan Persis. Ketuanya yang pertama adalah K.H. Hasjim Asj’ari dari NU, sedangkan wakil-wakil ketuanya adalah K.H. Khasbullah dan K.H. Mas Mansur, masing-masing dari NU dan Muhammadiyah. Wondoamiseno dari PSII. Sementara mantan Ketua MIAI dan para pemimpin MIAI yang lain dari PSII tidak lagi muncul dalam arena politik sampai akhir masa penjajahan Jepang.25

Pertanyaan yang sangat menarik di sini adalah mengapa tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) adalah mereka yang sebelumnya lebih banyak menaruh perhatian dalam bidang sosial keagamaan, sedangkan mereka yang mempunyai reputasi di bidang politik tidak diajak

dalam kepengurusan? Berbagai spekulasi jawaban kiranya dapat diberikan terhadap fenomena menarik tersebut. Yang jelas hal itu

Dalam dokumen ANATOMI GERAKAN DAKWAH PERSATUAN ISLAM (Halaman 87-99)