• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemilihan Umum Orde Baru dan Pemaksaan Asas Tunggal

Dalam dokumen ANATOMI GERAKAN DAKWAH PERSATUAN ISLAM (Halaman 177-186)

Strategi Persatuan Islam dalam Membangun Jama’ah dan Menghindar

D. Pemilihan Umum Orde Baru dan Pemaksaan Asas Tunggal

Dalam masa Demokrasi Pancasila, Pemerintah Soeharto sangat aktif dan intensif menata berbagai komponen masyarakat melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkannya. Persis sebagai bagian dari organisasi kemasyarakatan yang telah menempati posisi sebagai organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, tabligh, dan sosial kemasyarakatan menurut tuntunan Al-Qur’an dan As-sunnah mengalami kebimbangan menentukan sikap; antara perjuangan yang harus dilakukan melawan kekuatan penguasa yang memaksakan kehendak.

Secara umum pada jaman Orde Baru dapat dikatakan bahwa Persis sama sekali tidak melibatkan diri dalam salah satu partai politik yang ada di Indonesia. Walaupun demikian, pada masa

awal periode ini ia memberikan perhatian pada usaha-usaha untuk merehabilitasi Masyumi. Langkah pertama yang dilakukannya adalah memberikan surat kepada pemerintah untuk memberikan pembebasan terhadap semua tahanan politik yang sebagian besar adalah aktivis muslim yang sebelumnya menentang arah politik Soekarno. Diantara suratnya berbunyi sebagai berikut:

“…tidak akan berlebihan kiranya apabila di sini kami mengusulkan dan mendesak dengan hormat agar semua orang tahanan korban

fitnahan yang telah lama sangat menderita itu, apabila mereka

ternyata terbukti kesalahannya, segera diadili sebagaimana mestinya, dan apabila tidak ada dasar-dasarnya untuk diajukan ke pengadilan mohon dengan hormat juga agar segera dibebaskan dan direhabilitir kembali kedudukannya dalam masyarakat”.52

Surat ini juga ditembuskan kepada semua wakil Perdana Menteri RI, Menteri-menteri RI, organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan, dan media massa untuk disiarkan. Tuntutan tersebut selain dibuat secara resmi kepada pemerintah dan organisasi yang ada, juga disampaikan kepada segenap lapisan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan tablighnya di berbagai daerah. Tuntutan ini juga dilakukan bersama-sama dengan ormas lainnya dalam Badan Koordinasi Amal Muslimin Indonesia (BKAMI).

Dalam BKAMI sudah mulai dibicarakan mengenai rehabilitasi Masyumi dan pembentukan partai Islam yang baru. Dalam BKAMI ini Persis secara teknis diwakili oleh perwakilan khususnya di Jakarta. Salah satu suratnya kepada Perwakilan Khusus Jakarta Raya ini antara lain:

1. Rehabilitasi Partai Masyumi wajib diperjuangkan, sebab yang didzalim mesti membela diri dan supaya yang haq dan keadilan tegak berjalan serta tak ada sebutan ex partai terlarang…

2. Hidup kembali dengan nama Masyumi atau nama lain, taktik dan cara lain, itu semua adalah sama, yang perlu dihajatkan adanya satu wadah untuk umat Islam, untuk amar ma’ruf

nahi munkar di bidang siasat, atau negara kita dengan dasar Qur’an dan Hadits shahih, sebab Qur’an dan Hadits shahih adalah pemersatu umat Islam yang selalu wajib kita amalkan. 3. Selama dibenarkan oleh Qur’an dan Hadits shahih, kita

dapat bekerja sama dengan organisasi politik mana pun juga, tetapi walaupun untuk menuju ke arah yang baik, bila bekerja sama dengan syetan, kami tak akan ikut serta, sebab mereka akan meninggalkan kita di tengah-tengah bahaya, atau akan menikam dari belakang…53

Pada surat lainnya kepada Perwakilan Khusus Persatuan Islam Jakarta Raya dituliskan:

“… mengenai rehabilitasi Masyumi, hasil atau tidak hasil, ditolak atau diterima, akan tetapi tujuan seperti Masyumi tidak boleh dipadamkan dalam hati umat, sekalipun diharamkan oleh manusia…, dirikan daulah Islamiyah dalam hati kita dengan kukuh, barulah kita tegakkan negara dalam wilayah negara kita”54

Surat-surat senada terus berlanjut sampai pemerintah menyatakan bahwa Masyumi tidak dapat berdiri lagi. Ketua Perwakilan Khusus Jakarta Raya menyatakan bahwa penolakan rehabilitasi dan berdirinya kembali Masyumi oleh Soeharto tidak dapat diterima karena pimpinan-pimpinan militer di daerah menolak usulan itu. Alasan ini disampaikan oleh Soeharto kepada tim yang mengurus rehabilitasi itu termasuk perwakilan Persis di dalamnya yang diwakili oleh Ustadz Eman Sar’an.55

Setelah penolakan rehabilitasi Masyumi dinyatakan oleh Pemerintah, maka diusahakan pembentukan partai Islam baru dengan nama Partai Muslimin Indonesia (PMI/Parmusi). Sesuai permintaan Pemerintah disertakan pula daftar nama yang masuk dalam formatur pimpinan partai. Berkali-kali daftar formatur ini dikirimkan setelah dilakukan berbagai penggantian, tetap saja Pemerintah tidak menerimanya dengan alasan terdapat tokoh-tokoh Masyumi yang menurut pandangan pemerintah sangat berbahaya. Akhirnya daftar formatur disetujui ketika dimasukkan daftar nama-

nama yang secara real tidak memiliki kekuatan atau pengaruh yang besar di dalam partai. Selain itu pemerintah mensyaratkan agar partai tersebut benar-benar mencerminkan perwakilan dari ormas- ormas pendukungnya. Sementara itu sebagian besar dari tokoh Masyumi yang berpengaruh tidak berasal dari basis ormas. Dengan demikian, syarat tersebut merupakan upaya penyingkiran terhadap tokoh-tokoh Masyumi yang handal sekaligus menjadikan partai baru tersebut tidak memiliki kekuatan yang cukup berarti.56

Terhadap kebijakan Pemerintah ini Persis benar-benar merasa kecewa dan kemudian mengambil sikap untuk tidak terlibat dalam partai tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam surat dari Perwakilan Khusus Jakarta Raya kepada Pusat Pimpinan Persis yang isinya memberitahukan bahwa panitia yang membentuk pimpinan partai telah gagal karena ditolak Pemerintah. Persis menganggap formatur yang diajukan panitia sudah mewakili aspirasi umat dan dianggap mampu melaksanakan tugas yang akan diterimanya sebagai pimpinan partai. Kegagalan dalam upaya rehabilitasi Masyumi dan menghidupkannya kembali sebagai sebuah partai politik, bagi Persis sudah menunjukkan bahwa Pemerintah benar-benar tidak menghendaki terbentuknya kekuatan politik Islam secara sungguh- sungguh. Lahirnya Parmusi sebagai pengganti Masyumi dengan menempatkan orang-orang pilihan Pemerintah dalam jajaran pimpinannya merupakan bagian dari rekayasa pemerintah ke arah tersebut.

Tidak lama setelah dikeluarkannya Supersemar tahun 1966, Persis bersama-sama ormas Islam lainnya dalam BKAMI mengeluarkan pernyataan kepada MPRS dan pemerintah untuk segera melaksanakan Pemilu melalui satu ketetapan MPRS dengan menyertakan wakil-wakil masyarakat yang tidak termasuk dalam MPRS. Dalam hal ini Persis meyakini bahwa Pemilu adalah merupakan jalan keluar yang tepat dalam rangka memperbaiki situasi dan menciptakan pemerintahan yang representatif. Pernyataan ini tidak mendapatkan tanggapan yang cukup serius dari pemerintah.

Ini dibuktikan dengan dilaksanakannya Pemilu lima tahun kemudian setelah pemerintah mengeluarkan berbagai macam peraturan yang dinilai banyak merugikan partai-partai politik.57

Sampai sejauh itu Persis tetap mengambil pilihan untuk tidak terjun langsung dalam Pemilu. Melalui surat-suratnya kepada seluruh cabang ditekankan untuk memfokuskan perhatian pada tubuh organisasi dan tidak terjebak dalam Pemilu.58 Akan tetapi

sebelum Pemilu 1971, Pusat Pimpinan Persis mengeluarkan suatu siaran khusus kepada seluruh cabangnya untuk tetap ikut dalam pemilu secara pribadi sebatas pada pemberian suara. Sebagian isi dari siaran khusus tersebut antara lain:

“Walaupun begitu kita tentu akan ikut dalam Pemilu, mempergunakan hak kita sebagai warga negara, ‘ma la yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu’. … Pemilu hak tiap warga negara Indonesia yang syah. Dan oleh karena itu, adanya Pemilu tidak bersangkut paut dengan masuk atau tidaknya menjadi suatu anggota partai politik, ... tidak ada satu pun alasan bagi siapa pun untuk ikut Pemilu dengan syarat masuk menjadi anggota suatu partai”59

Siaran ini selain menunjukkan sikapnya terhadap Pemilu 1971, juga sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari cabang- cabang mengenai boleh tidaknya masuk pada salah satu partai politik termasuk Golkar. Dua bulan setelah siaran khusus di atas, tepatnya pada bulan Juli 1970, dikeluarkan lagi sebuah siaran khusus yang lebih lengkap dan rinci mengenai Pemilu kepada seluruh cabangnya yang bersifat rahasia. Di dalamnya dijelaskan bahwa bila dilihat dari sudut pandang Islam, hukum mengikuti Pemilu termasuk hukum

aridli atau hukum yang tergantung pada ‘ilah-nya, yaitu apakah

hal tersebut baik, buruk, manfaat, atau madharat. Dijelaskan pula bahwa haram hukumnya memilih wakil dari non-Islam atau orang Islam yang sudah tidak tampak ghirah (semangat) ke-Islamannya.60

Selanjutnya Pusat Pimpinan Persis menfatwakan agar dalam menjalankan hak pilihnya itu, suara anggota Persis sebagai warga negara Indonesia yang mempergunakan hak pilihnya diberikan

kepada Partai Muslimin Indonesia.61

Kemudian pada Pemilu 1977 yang hanya diikuti oleh tiga partai politik, yaitu PPP, Golkar, dan PDI, Pusat Pimpinan Persis mengeluarkan tausyiahnya kepada seluruh cabang yang isinya menghimbau kepada seluruh pimpinan untuk mengikuti Pemilu secara baik dengan memilih partai yang sesuai dengan tujuan Islam atau mampu melaksanakan amanat yang baik, tetap berpegang pada asas-asas bebas dan rahasia dan jangan mau dipaksa atau memaksa, dan jangan mau terpancing oleh pihak luar.62

Tausyiah Pusat Pimpinan Persis mengenai Pemilu senantiasa dikeluarkan saat menjelang pemilu-pemilu pada masa Demokrasi Pancasila. Isi tausyiah tersebut adalah mengenai arahan tentang partai mana yang layak untuk dipilih. Walaupun demikian, Pusat Pimpinan Persis tidak mengontrol secara ketat terhadap pilihan para anggotanya. Pada praktiknya hanya ada dua pilihan yang kemudian dilakukan oleh anggota Persis yaitu memilih partai yang dekat dengan perjuangan Islam atau tidak memberikan suara sama sekali.63

Sikap politik Persis yang nampaknya perlu diungkap ke permukaan adalah sikap terhadap kewajiban penerapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Kewajiban ini merupakan upaya pemaksaan pemerintah Soeharto yang otoriter dan dapat dikatakan sebagai puncak keberhasilan masa Demokrasi Pancasila dalam membendung setiap kekuatan masyarakat yang mencoba berseberangan faham dengan pemerintah. Tentu saja bagi umat Islam hal ini menjadi masalah yang sangat besar sehubungan dengan keyakinan yang dipahaminya.64

Islam sebagai suatu keyakinan telah dikenal memiliki ajaran yang sangat menyeluruh meliputi berbagai sistem kehidupan. Oleh karena itu, bagi siapa pun atau organisasi apa pun yang memiliki tujuan penegakkan ajaran Islam senantiasa menjadikan Islam itu sendiri sebagai landasan utama dalam perjuangannya. Permasalahan

muncul ketika pemerintah mewajibkan Pancasila dijadikan asas bagi organisasi-organisasi Islam. Suatu hal yang sangat langsung menghantam prinsip dasar yang selama ini diyakini oleh umat Islam. Menjadikan sesuatu berada di atas ajaran Islam dipandang sebagai perbuatan dosa jika tanpa pertimbangan yang benar. Umat Islam tidak dapat menerima ajarannya disubordinasikan di bawah Pancasila yang hanya berupa buah pikiran manusia semata.65

Persis dan juga organisasi Islam lainnya pada dasarnya memiliki pandangan yang sama, perbedaan diantara mereka terlihat ketika menyikapi hal tersebut. Sebagian ormas mengambil sikap menolak dengan konsekuensi dibekukan oleh Pemerintah, sementara sebagian lagi menerima dengan berbagai alasan yang dikemukakannya. Sikap kedua inilah yang kemudian dipilih oleh sebagian besar ormas Islam termasuk Persis di dalamnya. Usaha maksimal yang dilakukan oleh Persis pada saat itu hanyalah sebatas mengirimkan pernyataan penolakan kepada pemerintah dan wakil rakyat di DPR. Sebab, pilihan antara menolak atau menerima Pancasila adalah dua pilihan yang kedua-duanya membawa madharat. Oleh karena itu Persis memutuskan untuk memilih salah satu yang madharat-nya lebih sedikit, yaitu dengan mamasukkan Pancasila ke dalam Qanun Asasi. Penerimaan tersebut lebih didasarkan pada siyasah perjuangan agar perjuangan dakwah dapat terus berjalan.66

Dalam hal ini nampaknya Persis mengacu pada kajian fikih

Islam yang dikenal adanya kebolehan untuk keluar dari suatu kaidah dasar sepanjang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu. Terhadap hal ini Yusuf al-Qaradhawi mengemukakan empat pertimbangan sehingga suatu kaidah dapat ditinggalkan, yaitu:

1. Mengurangi kekejian dan kezaliman suatu hal yang diharapkan sesuai dengan kemampuan. Artinya dalam perjuangan perlu melihat kemampuan yang dimiliki. Pertimbangan ini didasarkan pada Qur’an surat At- taghabun ayat 16, “maka bertaqwalah kepada Allah menurut

kemampuanmu” dan sebuah hadits Rasul; “bila kamu disuruh melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu”. 2. Memilih bahaya yang lebih ringan. Artinya jika perjuangan

dihadapkan pada dua bahaya yang merugikan, maka memilih yang lebih sedikit kerugiannya dari bahaya itu adalah lebih tepat.

3. Mundur dari yang ideal kepada kenyataan yang lebih rendah. Artinya ketika suatu hal yang ideal tidak mampu dicapai, maka orientasi terpaksa ditujukan pada yang lebih rendah dan puas dengan apa yang mungkin dicapai setelah gagal menggapai yang ideal tersebut. Berdasarkan ini terciptalah suatu kaedah yang sangat populer; “Dalam keadaan terpaksa boleh melakukan yang terlarang”.

4. Sunnah tadarruj. Artinya bahwa salah satu sunnah Allah adalah adanya suatu proses terhadap segala sesuatu yang terjadi, seperti segala sesuatu akan tumbuh mulai dari kecil, kemudian menjadi besar. Sunnah ini berlaku untuk seluruh makhluk yang ada pada alam semesta ini.67

Amanat umat terhadap Persis berupa aset jam’iyah yang sangat besar dalam berbagai bentuknya merupakan pertimbangan lain dimasukkannya Pancasila dalam Qanun Asasi. Satu pertanyaan yang sulit dijawab terhadap masalah ini adalah; “akan dikemanakan tanah-tanah wakaf yang telah diamanatkan umat, mesjid-mesjid yang selama ini telah dikelola secara rapi, dan lembaga-lembaga pendidikan yang telah tersebar sedemikian banyak?”. Tidak satu pun yang mampu memberikan jawaban yang tepat terhadap pertanyaan ini.

Untuk meyelesaikan persoalan asas tunggal, Persis tidak melakukannya melalui muktamar sebagaimana ormas-ormas Islam lainnya. Pada saat itu Ustadz Eman Sar’an mengusulkan agar penyelesaian masalah ini tidak dilakukan melalui muktamar tapi cukup dengan rapat-rapat yang secara intensif dilaksanakan

oleh Pusat Pimpinan. Ustadz Eman Sar’an berpendapat bahwa jika masalah ini dibahas melalui muktamar akan membutuhkan biaya dan tenaga yang sangat besar, dan yang lebih penting dari itu

adalah adanya peluang untuk terciptanya konflik yang akan sulit

diatasi. Usul ini kemudian diterima dan tugas selanjutnya adalah meyakinkan satu persatu masing-masing cabang untuk dapat memahami dan mengerti terhadap keputusan yang diambil. Cara yang demikian akhirnya memperoleh hasil yang cukup efektif. Satu

gelombang konflik tampaknya telah dilewati dengan selamat.

Selanjutnya Qanun Asasi diubah pada tahun 1987 untuk memasukkan Pancasila ke dalamnya dan sejak saat itu para mubaligh Persis dihimbau untuk tidak membahas persoalan asas tunggal dalam ceramah-ceramahnya. Hal tersebut dilakukan dengan alasan agar tidak menimbulkan persoalan yang lebih besar dengan Pemerintah.68

Namun, perjalanan sejarah bangsa Indonesia bergulir bagaikan cakra manggiling; berputar pada roda sejarah; rezim penguasa orde baru dibawah kekuasan Soeharto yang selama 32 tahun berkuasa (1966-1997) dengan berbagai intrik politiknya dipaksa jatuh ke bawah lembah yang paling hina oleh kekuatan masa. Babak baru dalam sejarah Indonesia pun dimulai; zaman reformasi.

Satu hal yang paling mendasar bagi Persis pada era reformasi ini adalah keinginan mencabut asas Pancasila. Melalui surat tertanggal 10 Agustus 1998, Persis mengajukan usulan pencabutan Pancasila sebagai asas tunggal. Isi surat tersebut antara lain:

1. Penerapan asas tunggal bagi Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan melalui UU No. 3/1975 jo. UU No. 3/1985 dan UU No. 8/1985 merupakan rekayasa rezim Orde Baru untuk mengendalikan dan mengebiri berbagai aspirasi dan kepentingan kelompok masyarakat dalam rangka mempertahankan status quo. Secara historis pemaksaan asas tunggal telah membawa implikasi negatif, seperti tragedi berdarah di Aceh (1987-1997), Tanjung Priok (1984),

Lampung (1989), penyekapan dan pemenjaraan banyak

ulama, aktifis, dan tokoh masyarakat tanpa melalui proses

pengadilan.

2. Mempertahankan asas tunggal merupakan sikap yang bertentangan dengan semangat reformasi, demokratisasi, dan asas kebinekaan yang merupakan potensi kreatif dan positif, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar/ hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, seiring dengan arus reformasi yang bergulir setelah jatuhnya rezim arsitek pemaksaan asas, Soeharto, Persis menuntut agar asas tunggal Pancasila dicabut.

Enam bulan kemudian, tepatnya tanggal 8 Pebruari 1999, Persis mencabut asas Pancasila dalam Qanun Asasi produk Muktamar 1995. Melalui Surat Keputusan No. 2724/I.1-C.1/PP/1999 tentang perubahan asas jam’iyah, Pimpinan Pusat Persis menetapkan;

mencabut isi Pasal 3 Qanun Asasi Persatuan Islam dan menerapkan

kembali Islam sebagai asas Jam’iyah. Pencabutan asas Pancasila ini berarti mengembalikan asas Persis yang telah berpuluh-puluh tahun digunakan hingga terpaksa diganti pada tahun 1987 yang menyatakan bahwa; Jam’iyah ini berdasar Islam. Seiring dengan pemaksaan kehendak pemerintah Orde Baru, maka Qanun Asasi Persis Pasal 3 tahun 1987, 1991, dan 1995 dengan sangat terpaksa dan berat hati berbunyi Jam’iyah ini berasaskan Pancasila.

Dalam dokumen ANATOMI GERAKAN DAKWAH PERSATUAN ISLAM (Halaman 177-186)