• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reaksi Persis Terhadap Pemerintah Pendudukan Jepang

Dalam dokumen ANATOMI GERAKAN DAKWAH PERSATUAN ISLAM (Halaman 99-108)

di Era Orde Lama

B. Reaksi Persis Terhadap Pemerintah Pendudukan Jepang

Mengamati prilaku politik Jepang terhadap umat Islam, umat Islam Indonesia segera sadar, bahwa Jepang tidaklah lebih baik daripada Belanda dalam sifatnya sebagai penjajah. Kalaupun tidak hendak dikatakan buruk. Jepang merampas harta milik rakyat dengan alasan demi kepentingan perang, sehingga rakyat Indonesia terpaksa menutup auratnya dengan karung goni, karet, dan tikar. Kelaparan merata, hidup pun dicekam ketakutan, bukan terhadap

perang, melainkan kepada Jepang sendiri. Perasaan takut di kalangan umat Islam, bukan saja karena suasana gawat akan bayang-bayang

perang Pasifik yang semakin menghebat, tetapi juga takut oleh

Kempetai, polisi rahasia Jepang yang terkenal kejam.

Kalau pada masa penjajahan kolonial Belanda umat Islam Indonesia mengenal adanya Rodi, maka pada zaman pendudukan Jepang pun terdapat satu sistem kerja paksa yang lebih keras dan kejam pelaksanaannya, yaitu Romusha. Jika rodi hanya berupa kerja paksa di kampung-kampung dan daerahnya sendiri, maka pada pelaksanaan romusha banyak umat Islam Indonesia yang dikirim jauh sampai ke pedalaman Birma dan Muangthai.28 Kondisi

kesehatan para romusha sangat memprihatinkan, mereka bekerja siang malam secara paksa, sehingga banyak di antara mereka yang tidak tahan bekerja dan akhirnya meninggal dunia. Menurut perkiraan Wertheim,29 di antara sekitar 300.000 pekerja romusha

yang dikirim ke luar negeri hanya sekitar 70.000 orang saja yang dapat

kembali pulang setelah perang Pasifik selesai. Hall30 mengatakan;

“Lembaga (romusha) ini barangkali bentuk yang terburuk dari Tirani”. Sementara itu Woodman31 mengungkapkannya dengan

kata-kata; “Tidak ada satu pun yang telah dikerjakan oleh Jepang dalam masa pendudukannya yang sebentar itu di Indonesia, kecuali menciptakan satu posisi yang sangat pahit seperti perlakuannya terhadap Romusha. Orang Indonesia membicarakan tentang mereka, seperti orang Eropa mendiskusikan kebrutalan Nazi di wilayah-wilayah pendudukan mereka.

Oleh karena itu, sejak tahun-tahun pertama pendudukan Jepang di Indonesia, umat Islam Indonesia mulai kehilangan kepercayaan terhadap Jepang, bahkan telah menunjukkan sikap permusuhan. Demikian pula yang dialami oleh organisasi Persis, yang semula beranggapan eksistensinya akan diakui oleh pemerintah pendudukan Jepang yang bersifat lebih kompromistis tehadap Islam, namun pada kenyataannya lain.

kepada Jepang, pemerintah pendudukan Jepang “mengharamkan” semua organisasi dan rapat-rapat. Pada tanggal 20 Nopember 1942 semua kegiatan politik, termasuk rapat-rapat untuk membicarakan organisasi dan struktur pemerintahan, dilarang.32 Dengan demikian,

praktis sejak itu, kegiatan Persis secara organisasi terhenti. Para pimpinan Persis akhirnya memilih jalan sendiri-sendiri dalam menghadapi dan menentang kebijakan politik pemerintah pendudukan Jepang.33

Walaupun tindakan-tindakan politik Jepang terhadap umat Islam di Indonesia di permukaan seperti banyak mencapai sasarannya dan tawaran kerjasama dengan para ulama juga mendapat “sambutan” yang baik, tetapi haruslah dilihat perlawanan secara diam-diam dilakukan oleh para ulama. Perlawanan itu sebenarnya harus diperhatikan pemerintah pendudukan Jepang, karena terkait pada tiga masalah utama yaitu; perbenturan antara usaha Nipponisasi dan Islam, masalah Pan-Islam, dan masalah pendidikan Islam.34

Para ulama Persis pada periode pertama kepemimpinan organisasi Persis (1923-1945) seperti ustadz A. Hassan, Mohammad Natsir, Isa Anshary, Rusyad Nurdin, dan Eman Sar’an segera sadar, bahwa Jepang bukan hendak menghormati dan menjunjung tinggi Islam, tetapi hendak menghapus Islam untuk digantikan dengan Shintoisme, atau paling kurang hendak menshintoismekan Islam. Pelarangan diajarkannya bahasa Arab dan aksara Arab, yang walaupun kemudian Jepang terpaksa mencabutnya, serta pelarangan membuka kembali sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar sudah cukup mengundang kecurigaan. Di samping itu, perintah bersai-keirei dilihat oleh para ulama Persis sebagai satu paksaan untuk berbuat syirik. Ber-sai-

keirei dalam prakteknya sama dengan ruku dalam shalat. Muslim

Indonesia dipaksa untuk ruku bukan ke arah kiblat yang di Indonesia terletak di sebelah Barat, tetapi ke arah matahari terbit yang terletak di sebelah Timur. Tunduk bukan kepada Allah SWT, tetapi kepada

Tenno Heika, yang dianggap sebagai keturunan dewa matahari, Amaterasu Omikami yang dianggap sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa, pemilik bumi dan jagat raya yang telah memberi karunia kehidupan bagi ras Yamato. Para ulama Persis berkeyakinan bahwa mengakui kebenaran shintoisme sama dengan mengkufurkan Allah. Para ulama Persis berusaha menghadang proses Nipponisasi itu dengan strategi dakwah dan menanamkan kesadaran terhadap

umat Islam Indonesia bahwa Jepang, bagaimanapun lebih kafir daripada Belanda, sekalipun Belanda masih bisa digolongkan kafir

kitabi. Penolakan para ulama Persis beserta para anggotanya yang memahami akan bahaya shintoisme mengandung resiko penyiksaan oleh para tentara Jepang dan kempetai seperti yang dialami oleh A. Hassan, Mohammad Isa Anshary, dan Eman Sar’an.35

Di awal pendudukan Jepang, tradisi sai-keirei telah diperkenalkan pada kantor-kantor dan sekolah-sekolah pemerintah sebagai upacara patriotik yang menandai pembukaan tugas. Pada tahun 1942, Haji Abdulkarim Amrullah, pembela modernisme Islam yang menonjol di Sumatera telah mengirim surat kepada redaktur urusan agama Jepang di Jawa yang mengutuk bahwa praktek itu bertentangan dengan praktek Islam yang sudah mapan dan pada konferensi ulama ia menolak melakukan ketaatan ritual

ini. Hamka, yang menulis biografi ayahnya, menjelaskan dilema

yang menghadang Amrullah sebelum konferensi ulama ini, dan menyebutkan bahwa salah seorang yang paling menentang sai- keirei; Ahmad Hassan tidak hadir dan berada di Bandung karena sakit. Namun demikian, jika Ahmad Hassan menentang sai-keirei maka ia tidak pernah menyulut jihad untuk memeranginya, juga tidak ada laporan tentang sikap oposisinya itu di dalam karya- karya anggota Persatuan Islam yang diterbitkan setelah perang. Jika Ahmad Hassan tidak menyetujui sai-keirei, maka ia melakukannya secara pribadi dan menolak mengambil sikap umum dalam masalah ini.36

Islam Indonesia untuk tidak melakukan seikeire hanya dikemukakan oleh Haji Abdul Hamid Ono seorang penasehat pada pemerintah pendudukan Jepang sebagai berikut:

Saya pikir bahwa banyak orang Islam sangat enggan mengikuti upacara pemberian hormat (saikeire) … mereka yakin, bahwa hal itu identik dengan ruku dalam shalat yang tentu saja merupakan sesuatu hal yang paling prinsip bagi umat Islam. Pemikiran dan keraguan semacam ini, sama sekali keliru. Sebab penghormatan kepada Kaisar sama sekali berbeda dengan ruku, dan dalam kenyataannya hampir tidak ada satu pun yang sama. Melakukan penghormatan dengan seikeire, sekali lagi bukanlah sembahyang.37

Walaupun begitu, umat Islam Indonesia tidak senang dengan perbuatan seikeire, dan melakukan perlawanan dengan terus menerus, sehingga membuat Profesor Ozaki, juru bicara pemerintah pendudukan Jepang menyalahkan umat Islam dengan tuduhan mau melawan pemerintah Dai Nippon.

Menanggapi tuduhan yang sifatnya menggertak tersebut, Kyai Haji Mas Mansyur dengan gamblang dan terus terang menjawab:

Orang-orang Islam Indonesia terutama mereka yang mempunyai pengertian yang jelas terhadap semua persoalan, berpendapat bahwa kita bisa bekerja sama dengan tentara Dai Nippon, akan tetapi dengan syarat dipakai suatu jalan yang tidak menghina agama. Namun karena sekiranya agama dihinakan, maka haruslah diketahui bahwa orang-orang Islam yakin untuk membela agamanya, walaupun apa yang terjadi.38

Dalam hal penyelenggaraan latihan-latihan para ulama oleh Jepang sejak pertengahan tahun 1943, memberikan hasil yang menguntungkan dan perlu dicatat. Pertama, para ulama memperoleh kesempatan untuk bertemu sesamanya, mereka menempuh perjalanan ke tempat latihan dengan mendapat fasilitas yang cukup sehingga memungkinkan mereka juga singgah-menyinggahi selama perjalanan itu. Hal ini penting mengingat sukarnya pengangkutan pada masa itu. Kedua, para ulama memperoleh kesempatan bertemu dan berkenalan dengan orang-orang yag tidak atau kurang mereka

kenal. Pada tahun 1930-an kecuali dalam rapat-rapat MIAI yang hanya terdiri dari para pemimpin, atau dalam perdebatan antarkalangan yang berbeda pendirian (seperti antara Persis dan NU), biasanya baik para ulama tradisional maupun pembaharu selalu mengadakan rapat-rapat mereka secara sendiri-sendiri. Latihan ini di masa Jepang memungkinkan adanya interaksi antarulama secara tetap tanpa harus mengadakan perdebatan antara mereka yang berlainan sikap terhadap madzhab itu; masalah bersama dapat dibicarakan secara bersama. Ketiga, mereka ditantang oleh pikiran dan pendapat yang selama ini kurang atau tidak mereka pedulikan, misalnya isi dan semangat serta kepercayaan Jepang. Walaupun mereka secara diam- diam atau terbuka menolak semua kepercayaan Jepang tadi. Paksaan pada diri mereka untuk mendengarkan ceramah dan mempelajari isinya tentang ini tentulah menyuruh mereka berpikir banyak. Hasilnya memang bisa terbalik, bertambahnya keyakinan mereka tentang Islam serta perlunya mereka loyal terhadap sesamanya.

Keempat, dan ini termasuk penting, ialah bertambah kuatnya

keyakinan mereka bahwa Islam lebih mulia dari keyakinan apapun, termasuk keyakinan yang dianut oleh pihak Jepang. Pandangan para

ulama terhadap kafir Jepang menjadi lebih rendah daripada terhadap kafir Belanda yang masih tergolong ahli kitab. Dari sudut ini latihan

tadi menjadi satu cara pada zaman Jepang untuk memperkuat iman dan tauhid, dan oleh sebab itu kesadaran yang lebih pada mereka adalah mengkristalnya penolakan terhadap doktrin Jepang tentang bangsa pilihan serta kesucian kaisar mereka. Para ulama tersebut

seakan mendapat harapan baru bahwa kafir Jepang itu akan gagal

dan pada akhirnya mereka yang mengikuti jalan Allah jugalah yang benar, yang akan menang. Kelima, para ulama dapat memperoleh kesempatan latihan kemiliteran sebagai bagian dari pelajaran olah raga. Walaupun di pesantren latihan pencak silat sebagai olah raga

bela diri merupakan kegiatan biasa, namun latihan fisik secara

modern masih asing bagi mereka.39

memberikan harapan seperti pada masa pendudukan Jepang itu, ayat-ayat Al-Qur’an merupakan obat pelipur lara bagi kaum muslimin untuk memperkuat keyakinan mereka tentang kebangkitan yang hak dan kehancuran yang batil. Hal ini lebih dirasakan oleh para ulama yang mengikuti latihan tadi, karena ingatan kepada ayat- ayat tersebut datang dari para pemimpin yang dipercaya untuk memberikan pelajaran pada para peserta. Latihan para ulama di daerah Priangan lebih menekankan soal keyakinan dan iman, terutama yang dipimpin oleh Mohammad Natsir dari Persis yang juga merangkap sebagai kepala kantor pendidikan dan pemerintahan Jepang di Jawa Barat yang berkedudukan di Bandung.40

Suatu kejadian lain yang penting ialah berdirinya Hizbullah pada tanggal 4 Desember 1943 yang merupakan mobilisasi muslim oleh tentara pendudukan Jepang untuk kepentingan mereka dengan mengadakan latihan-latihan bagi para pemuda Islam. Hizbullah merupakan organisasi pemuda Islam yang khas yang didukung oleh pihak Jepang, di samping organisasi pemuda lain yang juga memperoleh latihan militer seperti Keibodan (pertahanan sipil) dan Seinendan (Korps pemuda) yang bisa dimasuki kalangan Islam dan bukan Islam. Dengan Hizbullah ini para santri yang sebelumnya hanya belajar agama, dan sekali-kali ke sawah dan ladang membantu para kyai atau orang desa, kini memperoleh latihan militer yang kemudian sangat berguna dalam revolusi.41

Pada bulan Oktober 1943 didirikan tentara Pembela Tanah Air (PETA), yang disambut dengan sangat antusias oleh rakyat dan dengan penuh semangat mereka mendaftarkan diri menjadi anggota Peta. Banyak para santri dan guru ngaji pun yang ikut serta mendaftarkan diri. Pusat-pusat penerimaan calon tentara Peta di seluruh Jawa dipenuhi para sukarelawan, terutama di saat-saat awal, meskipun sangat sulit untuk memperkirakan apakah kebanyakan mereka digerakkan oleh patriotisme ataukah oleh prospek untuk memperoleh pekerjaan yang relatif aman. Akan tetapi yang paling penting untuk dicatat bahwa himbauan untuk masuk ke dalam

tentara Peta ini baru berhasil secara mencolok di kalangan Islam di Jawa, terutama melalui Korps Perwira Indonesia---yang latihannya dimulai pada akhir bulan Oktober 1943--- yang didalamya bergabung sejumlah ulama dengan jumlah yang sangat besar. Menurut perkiraan Benda,42 sejauh yang bisa dipastikan, elite militer Indonesia yang

baru tersebut dalam kenyataannya menarik kekuatannya terutama dari kalangan pimpinan Islam dan dari golongan aristokrat. Namun demikian tidak ada daftar lengkap perwira Peta yang diperolehnya, sehingga kesimpulannya berdasarkan kenyataan indikatif. Mula- mula tentang latihan perwira Peta disebutkan adanya empat orang yang dilatih, yaitu B.K.P. Purbonagoro, anak susuhunan Solo, dan tamatan akademi militer Breda di Belanda; R.M. Surachman, putera Bupati Cirebon dan seorang pejabat priyayi tingkat tinggi; dan dua orang ulama, yang satu adalah pimpinan Muhammadiyah yang terkenal, Iskandar Idris, dan yang satu lagi Junus Anis anggota muda dari Muhammadiyah.

Pada waktu diadakan mobilisasi muslim dalam barisan lasykar Hizbullah dan Peta, banyak ulama Persis dan anggota Pemuda Persis yang bergabung di dalamnya. Tidaklah dipungkiri bahwa Jepang mengijinkan didirikannya, baik Hizbullah maupun Peta, dimaksudkan agar kedua korps itu dapat digerakkan dengan motif jihad. Di sinilah Jepang salah perhitungan, karena muslim Indonesia bagaimanapun tetap berpandangan bahwa Jepang adalah kaum

kafir. Dengan demikian dibentuknya Hizbullah, Sabilillah, dan Peta

dimanfaatkan oleh muslim Indonesia sebagai tempat latihan-latihan kemiliteran yang merupakan modal dasar dalam upaya konsolidasi perjuangan bersenjata. Latihan-latihan kemiliteran pada masa pendudukan Jepang merupakan sarana dalam melatih kepercayaan pada diri sendiri, ketabahan, perjuangan tanpa kenal menyerah, serta memupuk semangat kebangsaan. Pada akhirnya kesemuanya itu dimanfaatkan bukan untuk kepentingan Jepang melainkan perjuangan mempertahankan negara, kelak setelah merdeka pada masa revolusi.

Perlu dikemukakan pula, bahwa pada masa pendudukan Jepang, Persis tampil sebagai organisasi yang berperan dalam

aktifitas Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang telah berdiri sejak

tahun 1935. Masuknya Persis ke dalam MIAI pada tahun 1941 sebagai anggota biasa, telah memberikan gerakan baru bagi perjuangan MIAI. Dengan diwakili oleh A. Hassan, Persis menunjukkan kekhasannya dalam perjuangan Islam, karena dengan terpilihnya A. Hassan sebagai Ketua Pembelaan Islam terhadap aliran-aliran yang akan menghancurkan Islam di Indoneisia, merupakan bukti adanya kepercayaan dan pengakuan dari tokoh-tokoh ulama Islam Indonesia terhadap potensi Persis dalam mengemban misi jihadnya. Demikian pula M. Natsir, dengan persetujuan Persis dan restu A. Hassan, atas permintaan gubernur militer Jepang di Jawa Barat serta Wali Kota Bandung, diangkat sebagai kepala pendidikan pada pemerintahan Jepang di Jawa Barat yang berkedudukan di Bandung. Pada kesempatan itu Mohammad Natsir telah membentuk Majelis Islam yang statusnya semi pemerintah dan berhasil menghimpun para mubaligh Persis yang dapat melaksanakan tugas da’wah dengan leluasa sampai ke pelosok-pelosok desa melalui berbagai macam fasilitas pemerintah Jepang, yang tentunya tanpa sepengetahuan pemerintah Jepang. Kesempatan itu dipergunakan oleh para mubaligh Persis secara sendiri-sendiri---tidak diorganisasikan secara langsung oleh Persis, karena organisasi Persis sendiri telah dibekukan oleh Pemerintah Jepang---di dalam menyusun kekuatan iman dan memantapkan aqidah dari berbagai upaya pemusyrikan yang dilakukan oleh Jepang. Perluasan pengaruh dan paham yang dikemukakan oleh para mubaligh Persis di masa pendudukan Jepang itu mulai nampak dan respon masyarakat begitu besar terhadap aktivitas para mubaligh Persis ini.

Dalam bidang pendidikan di lembaga pendidikan pesantren yang dikelola oleh Persis, sejak adanya larangan pemerintah Jepang terhadap sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikelola

oleh Persis sejak jaman kolonial Belanda, seperti Taman Kanak- Kanak, HIS, MULO, dan HIK terpaksa ditutup. Sebagai gantinya dibuka Pesantren Persis tingkat Ibtidaiyah di bawah asuhan Ustadz Rusjad Nurdin dan Ustadz E. Abdurrahman. Ternyata kemudian Pesantren ini mendapat kemajuan yang pesat, karenanya diperlukan tenaga guru lain. Dengan bantuan Ustadz Qomaruddin, Ustadz Sudibja dan Ustadz Abdullah, pesantren ini dapat berjalan dengan baik. Sementara itu, dalam bidang penerbitan, praktis tidak ada satu pun majalah atau publikasi lain yang diterbitkan oleh Persis pada saat itu karena kendala sarana dan prasarana serta pemikiran yang terpecah menghadapi pola pemusyrikan yang dilakukan Jepang.

Dalam dokumen ANATOMI GERAKAN DAKWAH PERSATUAN ISLAM (Halaman 99-108)