• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengedepankan Ideologi Islam: Persis Menentang Komunis

Dalam dokumen ANATOMI GERAKAN DAKWAH PERSATUAN ISLAM (Halaman 129-147)

di Era Orde Lama

D. Mengedepankan Ideologi Islam: Persis Menentang Komunis

Periode kepemimpinan Persis pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan periode kepemimpinan Persis yang kedua setelah kepemimpinan Haji Zamzam, Haji Muhammad Yunus, A. Hassan, dan Mohammad Natsir yang mencetuskan gagasan “kembali kepada Al-Qur’an dan As-sunnah”. Periode kepemimpinan Persis kedua ini dipegang oleh Mohammad Isa Anshary, Fakhruddin Al-Khahiri, Ustadz O. Qomaruddin Saleh, dan Ustadz E. Abdurrahman yang menghadapi persoalan politik pemerintah Republik Indonesia yang belum stabil antara lain dicanangkannya demokrasi liberal yang memungkinkan partai- partai politik dan organisasi-organisasi kemasyarakatan tumbuh dengan subur, dicanangkannya demokrasi terpimpin di bawah kekuasaan Bung Karno dengan tujuan pokok membentuk negara dan masyarakat yang didukung oleh ideologi nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom), dan polemik yang berkepanjangan tentang konsepsi dasar negara. Untuk menghadapi persoalan-persoalan yang muncul di kalangan umat, Persis membuat suatu garis perjuangan dalam manifes perjuangan Persatuan Islam yang dikemukakan Isa Anshary82 sebagai Ketua umum Pusat Pimpinan Persatuan Islam.

Terhadap aktivitas organisasi Persis Isa Anshary memandang bahwa perjuangan Persis sangat vital dan kompleks yang menyangkut berbagai bidang kehidupan umat. Dalam Manifes perjuangan Persis ia nyatakan :

Paham dan aliran Qur’an dan Sunnah yang dirintis oleh perjuangan Persatuan Islam selama ini, yang pada permulaan mendapat tantangan dan perlawanan dari segala kaum kita, akhirnya dengan diam-diam diterima dengan segala kerelaan. Hasil dan buah itu dirasakan sebagai kemenangan ”haq” dan ”kebenaran” atas kebatilan dan kemunkaran yang tidak kuat mempertahankan dirinya. Sejarah kehidupan Islam di Indonesia, diakui atau tidak, mencatat dengan bahasanya sendiri, bahwa usaha, dan paham yang diperjuangkan oleh Persatuan Islam adalah menjadi sumber kebangkitan dan kesadaran baru, menjadi daya dinamik yang menggerakkan kebangunan umat Islam Indonesia.83

Selanjutnya dalam majalah resmi jam’iyah Persis Hudjatul

Islam yang ia pimpin, ia menulis :

… di balik itu, kami tahu, sikap tegas dan pendirian yang jelas dari Persatuan Islam pada umumnya dijadikan pedoman bagi umat Islam di Indonesia dalam setiap persoalan-persoalan keagamaan. Bukan saja sikap pendiriannya, suara, dan aksinya, tetapi juga diamnya Persatuan Islam dalam persoalan tertentu, juga dijadikan pedoman dan pendirian.

Karena itu, tidak heran apabila organisasi Islam dipandang oleh Isa Anshary sebagai sesuatu hal yang penting agar perjuangan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini ia tekankan pada muktamar ketujuh Persis tahun 1960 dalam prasarannya yang berjudul Ke depan dengan wajah baru, ia mengemukakan:

Keluasan cita Islam sebagai agama, aturan, dan hukum, serta program hidup sebagai mukmin, tidak mungkin diperjuangkan

dengan mempersempit ruang bergerak dengan mengkualifikasikan

diri sebagai partai politik… Kita dapat bergerak dengan lancar bila Islam diperjuangkan di atas landasan jiwa yang murni, kesamaan pandangan, dan keyakinan serta kesatuan aliran paham, hanya dipegang pada hablullah.

Dasar-dasar inilah yang dijadikan pegangan Isa Anshary ketika ia tampil memimpin Persis di tengah ketegangan politik yang tidak menentu. Sebab, setelah tahun 1955, keadaan kehidupan politik di Indonesia berkembang menjadi sangat ruwet dan kabur. Dalam pemilihan umum 1955, tidak satu pun di antara aliran- aliran politik terpenting dalam masyarakat Indonesia yang tampil sebagai pemenang. Yang ada adalah suatu perimbangan kekuatan antarpartai yang paling berpengaruh.

Adanya perimbangan kekuatan partai-partai politik ini memberi peluang timbulnya campur tangan Soekarno sebagai presiden yang otoriter untuk memanfaatkan perimbangan kekuatan politik dalam misi politiknya. Dari segi pandangan politik, dasawarsa kedua usia Republik ini dapat disifatkan sebagai zaman Soekarno, yakni suatu zaman ketika Soekarno semakin lama semakin banyak

menghimpun kekuasaan negara di dalam tangannya sendiri, atas nama Demokrasi Terpimpin. Selama sepuluh tahun tersebut peran politik kelompok-kelompok Islam semakin lama semakin menciut, terutama karena dibubarkannya Masyumi pada tahun 1960. Di pihak lain Partai Komunis berkembang menjadi partai yang terbaik organisasinya, dan menumbuhkan pengaruhnya sedemikian rupa sehingga menjadi semacam “negara dalam negara”. Dalam sebuah pidato tanggal 21 Pebruari 1957, Soekarno menjelaskan konsepsinya untuk “menyelamatkan” Republik Indonesia, dengan langkah yang akan ditempuhnya menuju Demokrasi Terpimpin. Ia menganjurkan tersusunnya suatu kabinet gotong royong dan di dalamnya setiap partai politik akan diwakili, termasuk kaum komunis. Sebuah Dewan Nasional akan dibentuk sebagai badan penasehat kabinet. Dewan ini akan dipimpin langsung oleh Soekarno sendiri dan dibangun atas dasar kesepakatan dan bukannya berdasarkan pungutan suara. Dalam dewan ini secara khusus akan diangkat wakil-wakil dari golongan fungsional, seperti petani, buruh, cendekiawan, tentara, polisi, dan golongan agama. Dari partai-partai besar terutama kaum nasionalis (PNI) dan kaum komunis (PKI) menyatakan setuju, sedangkan Masyumi dan Partai Katolik menyatakan menentang. Partai-partai lainnya memberikan jawaban yang ragu-ragu atau memberikan suatu syarat, misalnya NU menyatakan menentang ikut sertanya PKI.84

Pada awal tahun 1960 sebagian besar anggota Dewan Perwakilan Rakyat masih mempunyai keberanian untuk menyampaikan kritiknya terhadap kebijaksanaan keuangan kabinet. Pada bulan Maret 1960 perdebatan mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara berakhir dengan dibubarkannya Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai gantinya dibentuk suatu badan yang para anggotanya diangkat oleh pemerintah dan komposisinya sesuai dengan “konsepsi” Soekarno tanggal 21 Pebruari 1957, di dalamnya termasuk golongan fungsional. Sebelumnya, bersama dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan beberapa golongan kecil lainnya (seperti

Partai Katolik, dan beberapa orang pimpinan Partai Protestan), Masyumi telah berusaha mendirikan suatu kubu pertahanan demokrasi dengan membentuk Liga Demokrasi. Namun liga itu menjadi ikut bubar sewaktu Soekarno menyatakan Masyumi dan PSI dinyatakan bubar pada tanggal 17 Agustus 1960. Oleh karenanya, tidak seorang pun anggota Masyumi dan PSI terdapat dalam Dewan Perwakilan Rakyat yang baru itu. Sedangkan NU terus terwakili dengan memuaskan, baik dalam Dewan Perwakilan Rakyat maupun dalam kabinet. Karenanya, pembubaran Masyumi ini menjadi suatu masalah pertentangan yang getir pada masa sesudah kepemimpinan Soekarno. Menurut sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Prawoto Mangkusasmito, yang menggantikan Natsir sebagai Ketua Umum Masyumi pada tahun 1958, Partai Masyumi dibubarkan karena partai tersebut tidak cukup mengambil jarak dengan para pemimpin yang terlibat dalam pemberontakan PRRI bulan Pebruari 1958.85

Tentang situasi setelah tahun 1960, Feith86 mengutarakan

bahwa pengaruh Masyumi masih tetap besar di kalangan umat Islam. Pada bulan Januari 1962 banyak mantan pemimpin Masyumi dan PSI ditahan atas tuduhan keterlibatan mereka dalam pemberontakan PRRI, seperti Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Assaat, Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, Isa Anshary, E.Z. Muttaqien, Junnan Nasution, Kasman Singodimedjo, dan Hamka. Bagi banyak pemimpin Islam, tahun 1960-an sampai dengan akhir tahun 1965 adalah tahun-tahun yang penuh dengan

fitnah, teror malam hari serta suasana tanpa hukum. Feith

menyatakan, “orang-orang Islam Masyumi pada tahun 1963 telah dibuat tidak berdaya secara politik, atau hampir tidak berdaya lagi, tetapi mereka secara aktif masih menentang keadaan politik dewasa ini, dan mempunyai dasar ideologis untuk melakukan penentangan tersebut, sehingga ketidakberdayaan mereka ini karenanya dapat berusia singkat saja”.

bermain mata dengan Soekarno dan melenggang dalam pentas politik nasional; bergandengan tangan dengan kelompok nasionalis. Kekuatan politik Islam sebagai musuh utama komunis semakin tidak berdaya. Hal ini telah menunjukkan “kemenangan” komunis dalam politik. Sebab, sebagaimana disinyalir oleh surat kabar harian Partai Komunis “Kiyziil Awaz Bakhastan” nomor 22 tahun 1952 dinyatakan bahwa; mustahil menanamkan akar komunisme,

sebelum bisa mencabut akar Islam.87 Berita ini tidak mengejutkan,

karena moral komunis merupakan ajaran dengan gerakan yang berpedoman kepada “apa salahnya kita berserikat dengan setan jika kemenangan akan tercapai karenanya”. Oleh karena itu tentu tidak dapat diharapkan adanya penghormatan dan penghargaan darinya terhadap nilai-nilai susila dan moral dalam setiap tindakannya. Sejarah telah membuktikan bahwa komunis dalam gerakannya sama sekali tidak mengindahkan nilai-nilai susila dan moral dalam mencapai tujuannya. Berbagai peristiwa dari gerakan komunis, seperti peristiwa Madiun tahun 1948 dan gerakan 30 September PKI tahun 1965 membuktikan betapa orang-orang komunis itu menginjak nilai-nilai susila dan moral, padahal mereka belum berkuasa. Apa jadinya jika komunis berkuasa di pentas politik nasional?

Dalam falsafahnya, Komunisme tidak mengenal arti moral sebagaimana umumnya orang mengenal dan mengartikannya. Lenin, dalam pidatonya yang ditujukan kepada Kongres dari Liga Pemuda Komunis Rusia pada bulan Oktober 1920 mengatakan:

“Apakah etika Komunis itu ada atau tidak? Apakah moral komunis itu ada apa tidak? Jawabannya sudah tentu ada. Sering orang seolah- olah akan memperlihatkan pada kita tidak mempunyai etika sendiri dan kaum borjuis senantiasa menuduh kita sebagai mengabaikan segala macam nilai etika. Ini adalah suatu cara untuk mengelabui pada buruh dan tani.

Dalam bentuk pengertian macam manakah kita melemparkan etika dan moral? Kita melemparkannya adalah dalam bentuk sebagai dikhotbahkan kaum borjuis kepada kita, yang menyatakan bahwa etika itu adalah sesuatu yang datang dari Tuhan atau menarik

pengertian-pengertian itu dari istilah-istilah idealisme ataupun semi idealisme, yang juga senantiasa menunjukkan seolah-olah kesemuanya itu adalah berasal dari kehendak Tuhan. Kita menolak tiap bentuk moral yang tidak berasal dari konsepsi manusia dan konsepsi pengertian kelas. Kita mengatakan bahwa moral sebagai yang diartikan kaum borjuis itu adalah suatu penipuan guna menjaga kepentingan umum tuan tanah dan kapitalis. Kita mengatakan, bahwa pengertian moral kita adalah seluruhnya diabdikan kepada kepentingan perjuangan kelas dari kaum proletar. Moral kita berasal dari kepentingan perjuangan kelas kaum proletar. Kita meletakkan moral komunis kita guna kepentingan tugas tersebut. Kita mengatakan untuk membasmi ataupun menghapuskan masyarakat komunis yang baru. Kita tidak percaya dengan sesuatu moral yang abadi.”

Berkenaan dengan hal ini, Engels mengemukakan :

“Kita akan menolak setiap usaha yang akan memaksa kita untuk menerima pengertian tentang dogma hukum moral yang bagaimanapun bentuknya sebagai sesuatu yang abadi, terakhir dan hukum moral yang tidak goyang-goyang dengan prasangka, bahwa dunia moral juga mempunyai prinsip-prinsip moral yang abadi pula yang mempengaruhi jalannya sejarah serta pertentangan- pertentangan antar bangsa. Kita sebaliknya mempertahankan dalil bahwa semua teori moral yang ada sekarang ini jika dianalisa adalah hasil ataupun buah dari taraf ekonomi yang dicapai masyarakat pada masa khusus tersebut. Dan berhubung masyarakat sampai dewasa ini senantiasa bergerak di dalam pertentangan-pertentangan kelas, maka oleh sebab itu pulalah moral itu sebenarnya adalah moral kekelasan.88

Lebih jauh Karl Marx menulis sebuah pernyataan bahwa, agama adalah keluh-kesah dari makhluk yang tertekan hati dari dunia yang tidak berhenti, jiwa dari keadaan yang tidak berjiwa. Rumusannya yang terkenal adalah “Religion is opium of the people”

(agama adalah candu bagi masyarakat).89

Dari pernyataan para tokoh komunis di atas dapat ditangkap pengertian moral komunis, yakni sebuah ajaran moral yang menghalalkan segala macam cara; kekejaman, pembunuhan, teror, penganiayaan, serta segala bentuk cara untuk mencapai

kemenangan dan cita-cita mereka. Bagaimanapun tidak ada titik singgung antara Islam dengan Marxis atau Komunis. Kemungkinan adanya koalisi antara Islam dengan Komunis adalah benar-benar hal yang mustahil. Islam adalah suatu ajaran yang secara keseluruhan, tanpa kecuali, bertentangan dengan Komunisme, Komunis pun menganggap bahwa Islam merupakan satu-satunya tembok penghalang bagi penyebaran pahamnya. Sehingga dapat dimengerti jika komunis akan terlebih dahulu menghancurkan penghalangnya sebelum menyebarkan pahamnya.90

Badai dan gelombang politik yang dilancarkan PKI, langsung ataupun tidak langsung, telah membawa petaka dan pengaruh besar dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat di Indonesia. Pengaruh tersebut, tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat besar saja, tetapi pada hal yang sekecil-kecilnya. Hal ini dapat diamati dari tata sapaan, misalnya orang-orang Indonesia pada umumnya akan memanggil sesamanya dengan sapaan Saudara, Bung atau Bapak. Kaum komunis menganggap hal itu sebagai warisan dari kaum borjuis. Orang-orang Komunis berpendirian bahwa hal-hal seperti itu harus diganti dengan sebutan “kawan” yang dalam bahasa asli Rusia disebut toarich. Secara sepintas nampaknya istilah sapaan itu tidak ada masalah. Tetapi Isa Anshary dengan ketajaman analisisnya, berpendapat lain. Menurutnya, dengan membandingkan pemakaian kedua istilah “kawan” dengan “saudara”, dengan tidak perlu berpikir lebih panjang, maka perasaan seorang Indonesia biasa akan lantas merasakan berjangkitnya semacam penyakit. Dasar kekeluargaan di Indonesia adalah dasar asli dari pergaulan hidup bangsa Indonesia yang mempunyai sifat-sifat serta aspek-aspek yang asli Indonesia, baik dalam tata sapaan maupun segi-segi pergaulan lainnya, dan oleh sebab itu pula dalam banyak hal berlainan dengan dasar kolektivitas

ala toarich. Berhubung Indonesia mempunyai dasar kekeluargaan

yang asli. Maka panggilan antara sesamanya dengan perkataan ”Saudara” dan ”Bapak” adalah sudah sewajarnya dan tidak janggal didengar telinga serta perasaan orang Indonesia. Dengan sebutan

panggilan atau sapaan ini saja telah terlihat, bahwa cara-cara dalam pergaulan masyarakat ala toarich itu tidak sesuai dengan dasar-dasar kekeluargaan asli bangsa Indonesia.91

Hal lain yang merupakan penyakit yang disebarkan komunis di Indonesia adalah mereka dengan tidak segan-segan mengemukakan dalil-dalil bahwa komunisme itu tidak bertentangan dengan Islam. Oleh sebab itu tidak ada salahnya jika para penganut agama Islam juga membantu penganut paham komunis dan membantu usaha PKI dalam mencapai cita-citanya. Tidak sedikit umat Islam yang tergelincir, masuk dan membantu pihak komunis serta tertipu oleh dalil-dalil mereka. Komunis pun sering mencatut nama Iqbal dengan mengemukakan bahwa Iqbal pun berpendapat bahwa Islam adalah komunisme yang ber-Tuhan; Islam is communism with God. Padahal sebenarnya Iqbal tidak pernah berpendapat seperti itu.92

Dalam pergolakan politik nasional di bawah kepemimpinan Soekarno, komunis seperti mendapat angin segar untuk menggulingkan lawan-lawan politiknya, terutama Islam. Sebab tidak dapat dipungkiri, bahwa munculnya komunis di Indonesia dimaksudkan agar umat Islam Indonesia jangan sampai mempunyai kekuatan. Kemunculan mereka dimaksudkan untuk mengimbangi kaum muslimin yang begitu pesat pertumbuhannya.

Di tengah-tengah ketegangan politik, pada tahun 1953 Persis menyelenggarakan muktamar kelima pada tanggal 17 sampai dengan 20 September 1953 yang merupakan muktamar periode kedua Persis dalam regenerasi kepemimpinannya. Pada periode ini kepemimpinan Persis dipegang antara lain oleh KHM. Isa Anshary,93 KHE. Abdurrahman, Fachruddin Al-Khahiri, dan KHO.

Qomaruddin Saleh. Bersamaan dengan periode kepemimpinan ini, Persis menghadapi pergolakan politik yang tidak menentu, pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah Demokrasi Terpimpin yang bertujuan pokok hendak membentuk negara dan masyarakat dengan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Azas ini secara tidak langsung membuat PKI

mempunyai kedudukan semakin kuat, sebagai partai yang paling dekat dengan Soekarno, serangkaian program yang dikemukakannya kepada rakyat berjalan dengan mulus.

Di bawah pimpinan Dipa Nusantara Aidit, Partai Komunis Indonesia (PKI) membentuk Front Persatuan Nasional yakni golongan progresif yang mulai aktif memainkan peranan politiknya sejak tahun 1952. Komunis telah menjalin kerjasama dengan unsur- unsur Partai Nasional Indonesia (PNI) karena adanya kesamaan kepentingan, di samping itu beberapa tokoh PNI ingin mendapatkan dukungan komunis untuk memperkuat kedudukan politiknya. Demikian pula Presiden Soekarno lebih condong kepada PKI karena dianggap setia kepada pemerintah dan secara terang-terangan berpartisipasi dalam sistem politik Indonesia.

Kelompok Islam pada umumnya menentang komunis, tapi tingkat oposisinya berbeda-beda karena pada suatu saat mereka juga mendukung program partai-partai Islam tertentu. Beberapa tokoh Perti, misalnya, menaruh simpati terhadap beberapa program yang diketengahkan oleh komunis pada tahun 1950-an, dan tokoh Perti, Haji Siradjuddin Abbas, aktif dalam Gerakan Perdamaian Internasional yang diprakarsai oleh komunis. Anggota-anggota Nahdhatul Ulama pada umumnya tetap anti komunis, tetapi beberapa pemimpinnya mendapat dukungan PKI dalam program- program parlementer dan seringkali mengesampingkan sikap anti komunismenya; misalnya pada tahun 1957, ketika pimpinan NU berusaha menghindari konfrontasi dengan Soekarno yang menghendaki partisipasi PKI dalam pemerintahan. Masyumi, bagaimana pun terus terang anti komunis dan baginya tidak ada kompromi atau kerjasama dengan PKI. Persis secara tegas menolak total komunisme, para anggotanya berusaha dengan berbagai cara untuk membendung arus komunisme itu, mereka menerbitkan berbagai buku, mengeluarkan manifesto dan fatwa yang isinya menjelaskan dasar-dasar penolakan terhadap komunisme.94

manifesto politik Persis yang ditandatangani oleh K.H.M.Isa Anshary sebagai Ketua Umum dan KHE. Abdurrahman sebagai Sekretaris Umum. Dalam manifesto itu dinyatakan bahwa teori dan praktek komunis bukan saja bertentangan dengan semua agama, tetapi mengandung permusuhan dan pertentangan dengan akidah yang diajarkan oleh semua agama, manifesto tersebut merupakan penolakan Persis terhadap konsepsi Bung Karno yang ingin memasukkan komunis untuk ikut memegang kendali pemerintahan di Indonesia. Selengkapnya manifesto itu berbunyi:

Setelah mempelajari konsepsi Bung Karno sedalam-dalamnya, meninjaunya dari segala segi, Pusat Pimpinan Persatuan Islam berpendapat, bahwa yang menjadi “persoalan pokok” dari konsepsi Bung Karno hanyalah hendak memasukkan kaum komunis untuk ikut memegang pemerintahan di Indonesia, dan keinginan Bung Karno itu dirumuskan melalui saluran teori “Demokrasi Indonesia Asli”, perdamaian nasional dan kekeluargaan nasional, musyawarah dan gotong royong, maka Pusat Pimpinan Persatuan Islam dengan ini menyatakan pendirian dan keyakinannya sebagai berikut :

1. Teori dan ideologi komunisme bukan saja bertentangan dengan segala ajaran agama (terutama Islam) akan tetapi mengandung permusuhan dan “peperangan” terhadap segala kepercayaan batin yang diajarkan oleh segala agama.

2. Praktek pemerintah komunis di segala bangsa dan negara yang dikuasainya yang membasmi dengan secara kejam kehidupan keagamaan, meruntuhkan tempat-tempat beribadat serta membunuh, dan menteror para pemuka dan ulama dengan cara yang buas dan bengis, di luar peri keadaban dan kemanusiaan, seperti yang terjadi di Turkistan, Kaukasia, Honggaria, dan sebagainya. 3. Penyembelihan besar-besaran yang dilakukan oleh kaum komunis

di Madiun terhadap kaum muslimin pada bulan September 1948 sewaktu Partai Komunis Indonesia mengadakan pemberontakan dan perebutan kekuasaan terhadap pemerintah Republik Indonesia. 4. Partai Komunis Indonesia sebagaimana juga partai-partai komunis

di negara lain adalah serdadu upahan dan agen suruhan dari markas besarnya (Kremlin dan Peking).

5. Kemenangan partai komunis di Indonesia dalam pemilihan umum yang baru lalu mendapat suara pemilih enam juta banyaknya itu karena hanyalah semata-mata penipuan dan kecurangan, janji yang

muluk-muluk dari kaum komunis terhadap rakyat jelata Indonesia, bukan karena kesadaran dan pengertian dari rakyat kepada ideologi komunisme itu.

6. Untuk menyelamatkan negara dan rakyat Indonesia dari bahaya dan bencana kehancurannya, bukanlah dengan membawa kaum komunis dalam pemerintahan, tetapi haruslah dengan mengadakan perlawanan, tantangan dan perjuangan semata untuk membasmi ideologi komunisme itu, yang nyata-nyata bertentangan dengan ajaran segala agama, bertentangan dengan Pancasila, tidak sesuai dengan hidup kejiwaan bangsa Indonesia.

7. Sesuai dengan ajaran Al-Qur’anul Karim diantaranya surat Ali ’Imran

ayat 117 yang memperingatkan bahwa kaum kafir anti agama dan

anti Tuhan itu senantiasa menarik dan membawa kehancuran kepada seluruh umat yang percaya dan beragama; Surat al-Mujadalah ayat 22 yang berisi penegasan bahwa umat Islam tidak boleh mengadakan kerjasama dengan golongan yang memusuhi Allah dan Rasul- Nya; Surat an-Nisa ayat 140 yang terang-terangan melarang kaum

muslimin duduk bersama kaum kafir yang memperolok-olok ajaran

agama, ingkar, dan kufur terhadap ayat-ayat Allah; Surat al-Maidah ayat 2 yang memerintah kaum muslimin supaya bergotong-royong untuk menegakkan kebajikan dan kehidupan taqwa dan melarang bergotong-royong berbuat dosa dan aniaya.

8. Sesuai pula dengan fatwa Majelis Ulama Persatuan Islam yang diambil dalam konferensinya tanggal 9 Nopember 1954 tentang sikap dan pendirian terhadap ideologi dan golongan yang menentang dan memerangi ajaran Islam.

9. Sesuai pula dengan program jihad yang dirumuskan dalam Manifes perjuangan Persatuan Islam ayat 4 yang berbunyi; “menyusun dan mengadakan perlawanan dan tantangan terhadap gerakan anti Islam dengan cara yang sepadan, sesuai dengan ajaran Islam.

10. Memutuskan:

a. Menolak konsepsi Bung Karno yang hendak membawa ikut sertanya kaum komunis ke dalam pemerintahan Republik Indonesia.

b. Menasehatkan kepada Bung Karno sesuai dengan jiwa “Demokrasi Indonesia asli” yang beliau anut, agar beliau tidak memaksakan diri untuk melaksanakan konsepsinya itu, karena bertentangan dengan pendirian dan keyakinan sebagian besar rakyat Indonesia dan pasti akan membawa negara dan rakyat Indonesia kepada kehancuran.

c. Mengajak kepada segenap ulama, mujahidin Islam Indonesia agar lebih merapatkan barisan, melakukan jihad, tantangan dan perlawanan total dan frontal terhadap ideologi komunisme, dengan cara yang teratur dan tersusun.

d. Menyerukan terhadap segenap kaum nasionalis yang masih

Dalam dokumen ANATOMI GERAKAN DAKWAH PERSATUAN ISLAM (Halaman 129-147)