• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lahirnya Organisasi-organisasi Islam

Dalam dokumen ANATOMI GERAKAN DAKWAH PERSATUAN ISLAM (Halaman 30-39)

Perkembangan gerakan pembaruan Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi Islam. Organisasi gerakan pembaruan yang pertama muncul dan paling menentukan pada waktu itu adalah organisasi pendidikan yang dikelola oleh masyarakat Arab-Indonesia yang prihatin terhadap situasi pendidikan kaum muslimin yang dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda. Kendatipun lembaga pendidikan yang didirikan itu pada mulanya lebih diperuntukkan bagi kalangan masyarakat Arab sendiri, namun tidak bisa tidak, kehadirannya memberikan dampak positif bagi perkembangan pendidikan Islam selanjutnya. Pada tanggal 17 Juli 1905 didirikan Al-Jam’iyah Al-Khairiyah, yang kemudian dikenal dengan sebutan Jamiat Khaer, di Jakarta. Sebagaimana sekolah modern lainnya, Jamiat Khaer mengajarkan pula mata pelajaran umum, di samping mata pelajaran agama Islam.

Pada bulan Oktober 1911, tiga orang guru utama dari negeri Arab, yakni Syekh Ahmad Soorkati As-sudani (dari Sudan), Syekh Muhammad Thaib (dari Maroko), dan Syekh Muhammad Abdul Hamid (dari Mekkah), atas undangan Jamiat Khaertiba di Jakarta dan bergabung dengan kelompok itu. Di antara ketiga tokoh itu, Syekh Ahmad Soorkati-lah yang paling banyak memberikan andil bagi penyebaran gerakan pembaruan Islam di lingkungan masyarakat

Indonesia. Namun, karena konfliknya dengan sebagian golongan

dan menganggap keturunan Nabi Muhammad, maka pecahlah Jamiat Khaer. Mereka yang sependapat dengan Ahmad Soorkati mendirikan lembaga pendidikan lain yang diberi nama Al-Irsyad (Al-Jam’iyyatul Islah Wal Irsyadil Arabi) yang didirikan pada tanggal 16 September 1914. Pada perkembangannya, Al-Irsyad tidak hanya memperhatikan persoalan-persoalan Islam-Arab di Indonesia, tetapi juga memperhatikan persoalan umat Islam Indonesia secara umum.34

Pentingnya kehadiran Jamiat Khaer dan kemudian Al-Irsyad bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia terletak pada kenyataan bahwa keduanya adalah organisasi yang memulai membentuk sebuah organisasi modern35 dalam masyarakat Islam Indonesia

sebagai suatu bentuk manifestasi dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia.

Di tengah berlangsungnya gerakan pembaruan Islam, khususnya di Sumatera dan Jawa, pemerintah kolonial Belanda berusaha sekuat tenaga untuk membendung arus gerakan pembaruan ini karena gerakan ini dianggap akan mengancam terhadap kedudukan pemerintah kolonial Belanda. Salah satu tindakan yang tidak akan dilupakan rakyat terjajah akan kebobrokan politik penjajahan Belanda, adalah menggunakan agama bagi kepentingan kolonialismenya. Misalnya, apa yang telah dilakukan oleh Gubernur Jenderal Idenburg, dengan Krestenings Politiek (politik pengkristenan) terhadap seluruh penduduk Nusantara. Politik untuk mengkristenkan penduduk Nusantara itu bukan hanya untuk memperkuat barisan umat Kristen dunia, tetapi juga untuk lebih memperkuat penjajahannya di Indonesia.36

Kondisi yang demikian hampir sama dengan situasi dunia Islam Internasional yang kurang menggembirakan sejak abad ke-11 Masehi. Hal ini tampaknya yang menjadi perhatian paling pokok di kalangan pembaharu Islam di Mesir, Arab Saudi, dan India tentang persoalan bagaimana membangkitkan kesadaran umat Islam secara murni. Dengan demikian bidang-bidang keagamaanlah yang digarap

secara berarti, dan dianggap mampu mendobrak kejumudan umat Islam, dengan memberikan potret positif kemanusiaan Islam yang sadar akan eksistensi dirinya sebagai khalifah di muka bumi.

Sejalan dengan hal itu, manusia juga dibebani tanggung jawab untuk menciptakan dan mengembangkan diri serta lingkungannya. Situasi demikian, secara bersamaan terjadi pula di Indonesia. Oleh karena itu sejalan dengan semangat tajdid yang dilakukan Muhammad Abduh dan para pembaharu lainnya, dimulai oleh Jamiat Khaer dan Al-Irsyad yang mendirikan organisasi dan bergerak dalam bidang pendidikan, pada permulaan abad ke-20 banyak berdiri berbagai organisasi keagamaan dalam alam pembaruan Islam di Indonesia.

Pada umumnya, gerakan pembaruan Islam di Indonesia tidak memprioritaskan usahanya pada masalah-masalah politik umat Islam Indonesia, walaupun secara tidak langsung usaha- usaha mereka, baik gerakan reformis maupun modernis, dapat mempengaruhi tindakan-tindakan politik pemerintah kolonial Belanda. Terobosan baru yang dilakukan oleh sekelompok kalangan Islam kota yang terdiri atas kalangan terpelajar dan sekelompok pedagang progresif, dilakukan dengan mendirikan perkumpulan Sarekat Islam (SI) di Solo pada tanggal 11 Nopember 1911.

Latar belakang ekonomis perkumpulan Sarekat Islam ini adalah perlawanan terhadap praktik perdagangan yang dilakukan oleh para pedagang Cina. Akan tetapi para pendiri Sarekat Islam mendirikan organisasinya tidak semata-mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang-orang Cina, melainkan juga sebagai front perlawanan terhadap semua penghinaan kepada rakyat bumi putera. Sarekat Islam pun berdiri sebagai reaksi terhadap Gubernur Jenderal Idenburg yang merencanakan politik pengkristenan terhadap rakyat bumi putera di seluruh wilayah Nusantara.37

Tampilnya Sarekat Islam yang dapat dikatakan sebagai partai politik Islam pertama, turut memberikan warna baru bagi pertumbuhan gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Pada masa

kepemimpinan Tjokroaminoto, fungsi Sarekat Islam secara realistis adalah berusaha menghapus segala penderitaan rakyat bumi putera. Kontribusi organisasi Sarekat Islam terbesar dalam spektrum gerakan pembaruan Islam terletak dalam usahanya mengarahkan kesadaran umat Islam dalam berbangsa dan bernegara.

Berbeda halnya dengan Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 Nopember 1912 di Yogyakarta, organisasi ini berdiri tidak hanya terdorong oleh politik pengkristenan pemerintah kolonial yang reaksioner terhadap agama Islam, tetapi juga merupakan perlawanan terhadap tradisionalisme Islam. Berbeda halnya dengan yang dihadapi oleh kalangan modernis di Sumatera Barat, tantangan tradisionalisme Islam di Jawa relatif lebih berat. Hal ini disebabkan oleh dalamnya pengaruh nilai-nilai Hindu- Budha serta nilai-nilai paganistik lainnya yang ada pada masyarakat Islam Jawa pada waktu itu. Karenanya tidak aneh jika Harry J. Benda mengungkapkan bahwa Islam di Jawa untuk jangka waktu yang panjang masih tetap bersifat kurang murni dibandingkan dengan Islam di daerah lainnya. Kenyataan Islam kurang murni inilah yang dihadapi oleh Ahmad Dahlan dalam organisasi Muhammadiyah- nya.38

Untuk melawan tradisionalisme Islam, Muhammadiyah tidak menggunakan cara-cara otoriter, melainkan dengan menggunakan pendekatan yang lebih rasional. Dengan pendekatan seperti itulah Muhammadiyah melawan berbagai praktik keagamaan yang tidak ada aturannya baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, misalnya dalam melawan berbagai macam praktik bid’ah, khurafat, tata cara perkawinan, kematian, serta berbagai masalah agama lainnya. Contoh konkret adalah dalam cara penyampaian khutbah Jum’at yang semula hanya menggunakan bahasa Arab, Muhammadiyah mengubahnya dengan menggunakan bahasa yang lebih dipahami, yaitu bahasa sehari-hari, seperti Sunda, Jawa, dan Melayu. Inilah salah satu pendekatan rasionalistik yang dimaksud.

Muhammadiyah, namun mempunyai arah dan tujuan yang hampir sama berdasarkan pada ajaran salaf dan pembaruan Islam, antara lain Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir dan Siratal Mustaqim di Makasar, Al-Hidayah di Garut, Siddiq-Amanah-Tabligh-Fatonah di Solo yang kemudian atas kepercayaan kepada pribadi Ahmad Dahlan dan didorong oleh persatuan menghilangkan paham tradisional, semuanya itu meleburkan diri dalam organisasi Muhammadiyah. Perkumpulan-perkumpulan keagamaan lainnya, terutama yang berada di Yogyakarta, seperti Ichwanul Muslimin, Tjahaya Muda, Taqwimuddin, Hambudi Sutji, Dewan Islam, Ghajatul Qulub, Prija Utama, Thaharatul Aba, Taawanu’alal Birri, Wal Fadjri, Wal Ashri, dan lain-lain semuanya dalam waktu singkat menjelma menjadi cabang atau ranting Muhammadiyah.39

Selain itu, di Jawa Barat perkembangan gerakan pembaruan Islam mempunyai corak tersendiri. Pada tahun 1917 di Majalengka berdiri organisasi Persatun Umat Islam (PUI) yang didirikan oleh K.H. Abdul Halim. Sejak berdiri organisasi itu, berbagai macam kegiatan keagamaan sering dilakukan, seperti mendirikan sekolah- sekolah agama, dimulai dengan mendirikan Ibtidaiyah (setingkat Sekolah Dasar), kemudian sekolah guru madrasah Muallimin pada tahun 1923, bahkan berhasil pula mendirikan sebuah perguruan tinggi yang diberi nama Santi Asrama.40

Di Bandung, terdapat gerakan lain yang mempunyai dasar yang sama dengan organisasi Muhammadiyah dalam menegakkan ajaran- ajaran salaf serta berusaha mengembalikan umat Islam kepada Al- Qur’an dan Sunnah. Organisasi ini bernama Persatuan Islam (Persis) yang didirikan pada tanggal 12 September 1923 oleh K.H. Zamzam dan K.H. Muhammad Yunus yang keduanya berasal dari Palembang. Dalam aktivitasnya, Persis berusaha keras mengembalikan umat Islam kepada tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, menghidupkan ruh jihad dan ijtihad, serta membasmi bid’ah, takhayul, khurafat, syrik, musyrik, dan taqlid buta dengan cara tablig dan dakwah Islam kepada masyarakat serta mendirikan pesantren dan sekolah-sekolah

untuk mendidik para putera muslim.41

Pada mulanya gerakan pembaruan Islam ini mendapatkan

perhatian dari umat Islam di perkotaan, karena secara geografis

dan kultural masyarakat kelas kota lebih cepat berhadapan dengan pengaruh luar daripada masyarakat di pedesaan. Dengan mengikuti alam pembaruan yang sedang berkembang pada akhir abad ke- 19 dan semakin kuat pada awal abad ke-20, mereka, masyarakat Islam kota itu menempatkan dirinya sebagai kelompok pembaharu Islam. Dengan berdirinya berbagai organisasi Islam pada awal abad 20, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh pembaruan Islam di Indonesia.

Catatan Kaki:

1 Dalam catatan Ahmad Mansyur Suryanegara (1995:73-94) terdapat tiga teori yang dapat dijadikan dasar untuk mengetahui proses masuknya agama Islam ke Nusantara; teori lama menyatakan bahwa waktu penyebarannya terjadi pada abad ke-13 Masehi, tempat asalnya Gujarat, dan pelakunya adalah para pedagang India yang telah memeluk agama Islam. Sedangkan teori yang baru lebih cenderung menyatakan waktu penyebarannya terjadi pada abad ke-7. Pada teori baru ini pun terdapat dua perbedaan pendapat tentang asal negaranya, sekalipun mempunyai kesamaan waktunya; di satu pihak berpendapat tetap berasal dari Gujarat, dan di lain pihak menyatakan asalnya dari Timur Tengah, yakni Mesir dan Mekkah, serta pelakunya adalah pedagang Arab Islam. Adapun teori yang ketiga memandangnya dari sudut pengaruh kebudayaan Islam yang berasal dari Persia. Teori ini disebut Teori Persia yang berpendapat bahwa agama Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia melalui unsur budaya, singgah ke Gujarat, dan waktunya pada sekitar abad ke-13.

2 Marwati Djoened Poesponegoro, et.al., Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hlm.1.

3 Anas Ma’ruf, Sejarah Ringkas Islam, Jakarta: Djambatan, 1982, hlm. 17.

4 A. Hasjimy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Kumpulan

Prasaran pada Seminar di Aceh), Bandung: Almaarif, 1981, hlm. 179.

5 Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, jilid III, 1985, hlm. 42.

6 Marwati Djoened Poesponegoro, Op.Cit., hlm. 173.

7 Marwati Djoened Poesponegoro, Ibid., hlm. 179.

8 Karena di dalam agama Islam terdapat larangan melangsungkan perkawinan dengan pemeluk agama lain, maka sebelum perkawinan itu berlangsung, mempelai wanita / pria yang belum memeluk Islam, terlebih dahulu harus mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai kesaksian bahwa ia telah mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul (utusan ) Allah.

Kalimat Syahadat inilah yang menandai seseorang beragama Islam atau bukan. 9 Marwati Djoened Poesponegoro, Op.Cit., hlm. 187.

10 Marwati Djoened Poesponegoro, Ibid., hlm. 3. 11 Marwati Djoened Poesponegoro, Ibid., hlm. 427. 12 Soekmono, Op.Cit, hlm. 44.

13 Marwati Djoened Poesponegoro, Op.Cit., hlm. 29-31. 14 Soekmono, Op.Cit, hlm. 47.

15 Soekmono, Ibid., hlm.48.

16 Marwati Djoened Poesponegoro, Op.Cit., hlm. 41.

17 Marwati Djoened Poesponegoro, Ibid, hlm. 42; Lihat pula Soekmono, Op.Cit, hlm. 49.

18 Soekmono, Ibid, hlm.50.

19 Marwati Djoened Poesponegoro, Op.Cit., hlm. 47. 20 Marwati Djoened Poesponegoro, Ibid, 1984a, hlm,147-148.

21 Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, Jakarta: Panitia Penerbit, 1966, hlm. 297. 22 Ketika orang-orang Minangkabau mulai memeluk agama Islam pada sekitar abad ke-16, terdapat dua cara hidup yang berdampingan secara damai; adat lama dan syara Islam sama-sama dihormati. Namun pada masa-masa berikutnya, keadaan mulai berubah, perkembangan yang kemudian tampak adalah timbulnya kebiasaan buruk, seperti menyabung ayam, madat, berjudi, meminum minuman keras, dan aktivitas sosial lain yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

23 Marwati Djoened Poesponegoro, Op.Cit., 1984a, hlm.170.

24 BJO. Schrike, Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Jakarta: Bharata, 1973, hlm. 12-14.

25 Hamka, Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tinta Mas, 1961, hlm. 16-23.

26 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980, hlm. 38-69.

27 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi

Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986, hlm. 40-41. 28 Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1982,hlm. 26.

29Ibid.

30Ibid., hlm. 5-57. 31Ibid., hlm. 62-68.

32 Federspiel, Howard M.,Persatuan Islam, Islamic Reform in Twentieth Century

Indonesia, New York: Modern Indonesia Project Southeast Asia Program, Cornell

University, 1970, hlm. iii. 33Ibid., hlm. iii-iv.

34 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Op.Cit., hlm. 40-41.

para anggota, dan diselenggarakannya rapat-rapat secara periodik. Selain itu dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan (sekolah) dilakukan dengan cara-cara modern, hal ini terlihat pada adanya susunan kurikulum dan rencana pelajaran (jadwal pelajaran) yang tetap, adanya kelas-kelas berbangku, papan tulis, dan perlengkapan pendidikan lainnya.

36 L. Stoddard, Op.Cit, hlm. 306.

37 Marwati Djoened Poesponegoro, et.al., Op.Cit, Jakarta: Balai Pustaka, 1984b, jld 4, hlm.183.

38 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Op.Cit., hlm.71. 39 L. Stoddard, Op.Cit, hlm. 306.

40 L. Stoddard, Ibid, hlm. 308. 41 L. Stoddard, Ibid., hlm. 327.

Tampilnya Persatuan Islam

Dalam dokumen ANATOMI GERAKAN DAKWAH PERSATUAN ISLAM (Halaman 30-39)