• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persis dan Masyumi: Membangun Wacana Ideologi Islam

Dalam dokumen ANATOMI GERAKAN DAKWAH PERSATUAN ISLAM (Halaman 108-129)

di Era Orde Lama

C. Persis dan Masyumi: Membangun Wacana Ideologi Islam

Untuk mencapai tujuan perangnya, pasukan pendudukan Jepang berusaha menjadikan agama Islam sebagai alat politiknya, karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam. Orang-orang Jepang memandang Islam sebagai salah satu sarana terpenting yang menyusupi lubuk rohaniah terdalam bagi kehidupan rakyat Indonesia dan untuk meresapkan pengaruh pikiran serta cita- cita mereka ke bagian masyarakat yang paling bawah. Dengan pertimbangan yang sama, agama Kristen terpilih di Filipina sebagai wahana penyusunan ideologis. Akan tetapi, skenario ini pada kenyataannya menjadi terbalik, sebab ternyata masa pemerintahan pendudukan Jepang telah memberikan manfaat-manfaat kepada Islam dan umat Islam Indonesia pada umumnya untuk membangun sebuah kesadaran baru; menggalang kekuatan, guna menyongsong kemerdekaan.43 Dalam hubungan ini dapat disebutkan bahwa

manfaat yang diperoleh adalah dibentuknya Kantor Urusan Agama Indonesia, didirikannya Masyumi, dan pembentukan Hizbullah.

Kantor Urusan Agama (dalam bahasa Jepang disebut

Shumubu) telah mengganti peran kantor Voor Het Inlandsche

Zaken yang sudah ada di zaman kolonial Belanda. Jabatan tinggi

pemerintahan pendudukannya adalah jabatan Kepala Kantor Urusan Agama ini. Sebelumnya kantor ini dipimpin oleh Kolonel Horie dari tentara Jepang mulai bulan Maret 1942, tetapi tanggal 1 Oktober 1943 jabatan itu diserahkan kepada Hoesein Djajadiningrat. Sejak tanggal 1 April 1944, dimulai pembentukan Kantor Urusan Agama daerah di setiap keresidenan (bagian dari suatu provinsi).44

Manfaat kedua dari zaman Jepang adalah pembentukan Masyumi, yang merupakan singkatan dari Majelis Syuro Muslimin

Indonesia, yang secara tepat diterjemahkan Benda45 sebagai “Majelis

Permusyawaratan Kaum Muslimin Indonesia”. Masyumi ini bisa dipandang sebagai pengganti Madjlisul Islami A’la Indonesia (MIAI); Dewan Islam tertinggi, yang kadang-kadang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris secara tidak tepat sebagai Great Islamic

Council of Indonesia.46

Dengan pembentukan kedua organisasi ini, yaitu Kantor Urusan Agama dan Masyumi, berarti bahwa dalam kenyataannya umat Islam telah dibseri suatu aparatur yang akan menjadi sangat penting bagi masa depan (apapun yang mulanya diniatkan Jepang sewaktu membentuk kedua organisasi tersebut). Sebagai suatu sistem keagamaan, Islam telah menerima suatu kementrian agama47

dengan jaringan kantor-kantor daerah di seluruh Indonesia. Sebagai kekuatan politik, yang sayapnya dipatahkan selama zaman kolonial, Islam segera akan mampu memainkan peranannya melalui Masyumi, yang pada tanggal 7 Nopember 1945 direorganisasikan sebagai suatu partai politik.48

Manfaat ketiga yang diperoleh selama zaman Jepang pada akhir tahun 1944 adalah disusunnya Hizbullah (tentara Allah atau golongan Allah) yang merupakan sejenis organisasi militer bagi para pemuda muslim. Pembentukan Hizbullah sangat penting artinya, karena banyak anggotanya yang kemudian menjadi anggota tentara nasional. Hal ini berarti bahwa dalam ketentaraan Indonesia terdapat kehadiran kaum santri muslim.49

mengharapkan suatu perkembangan baru, intinya adalah terwujudnya Indonesia merdeka. Bagi mereka, pendudukan Jepang telah sedikit banyak mengakhiri abad-abad gelap penindasan kolonial, yang tidak mungkin dapat diterima atau dibiarkan, karena kolonialisme itu adalah eksploitasi pemerintahan orang

kafir terhadap kaum muslimin. Namun demikian, pemerintahan

pendudukan Jepang pun diyakini dengan harapan segera lenyap,

kaum kafir tidak berada di bumi Indonesia. Apa yang diinginkan

oleh para pemimpin Islam, jembatannya sebagai jalan keluar telah disiapkan, yaitu suatu bentuk persiapan mengetengahkan umat Islam dalam sebuah Kantor Urusan Agama, Masyumi dan Hizbullah yang merupakan wadah tempat bergerak dan menyatakan kehadirannya di dalam masyarakat Indonesia. Menurut Boland50

hal ini telah menyentuh titik persoalan tentang peranan dan kiprah kaum muslimin dalam Indonesia modern, terutama dalam mengukur seberapa jauh berfungsinya hukum Islam dalam negara dan masyarakat yang kemudian menjadi persoalan yang hangat setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.51

Dalam pada itu, proklamasi kemerdekaan menuntut pengorbanan dari setiap rakyat Indonesia, apalagi yang beragama Islam. Masalah utama yang dihadapi ialah bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang telah diperoleh. Oleh karena itu rakyat Indonesia khususnya umat Islam, menghadapi era baru yang menuntut strategi yang berbeda dalam perjuangan; revolusi yang meminta ribuan korban, dan diplomasi yang menuntut kepiawaian berunding. Dalam kedua bidang itu umat Islam memberikan sahamnya yang sangat besar.

Demikianlah atas berkat rahmat Allah SWT. Republik Indonesia telah menjadi suatu kenyataan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun beberapa bulan kemudian pemerintah kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah bangsa Indonesia, tiba di Jakarta dengan nama

sipil Hindia Belanda. Pada tanggal 1 Nopember 1945, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan sebuah maklumat politik yang menyatakan bahwa pemerintah menginginkan pengakuan terhadap negara dan pemerintah Republik Indonesia dari tentara Sekutu maupun dari Belanda yang dibuat sebelum Perang Dunia ke-2. Maklumat tersebut dikeluarkan karena sejak pendaratan tentara Sekutu yang mengemban misi untuk melucuti tentara Jepang, dibelakangnya turut serta orang-orang NICA yang dengan terang- terangan hendak menegakkan kembali kekuasaan pemerintah Belanda di Indonesia. Orang-orang NICA sering memancing kerusuhan dan mengadakan provokasi bersenjata secara terbuka. Maka bangkitlah perlawanan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Inilah yang kemudian disebut perjuangan revolusi

fisik (1945-1950).

Kurun waktu revolusi fisik dapat disifatkan dalam suatu

periode yang secara relatif terdapat persatuan dalam perjuangan, yaitu persatuan antara para pemimpin muslim dan kelompok- kelompoknya sendiri. Tujuan utama setiap orang, terutama bagi kalangan Islam adalah membela kemerdekaan dan kebebasan menghadapi musuh bersama dari luar. Dalam perasaan kaum muslimin, perjuangan untuk kemerdekaan politik itu sekaligus merupakan perjuangan untuk kemerdekaan Islam. Sebagaimana halnya pada bulan Oktober 1945 pimpinan Masyumi mendorong para anggotanya “untuk mempersiapkan kaum muslimin bagi kemerdekaan negerinya dan agamanya”. Demikian pula makna perjuangan kemerdekaan antara tahun 1945-1950 dirasakan oleh kaum muslimin sebagai perjuangan untuk negara dan agama.

Tentang perjuangan umat Islam dalam kancah perang revolusi fisik,

Mohammad Natsir menguraikannya secara panjang lebar pada rapat akbar Persis di Tegallega tanggal 20 September 1953, sebagai berikut:

…Tahukah saudara-saudara, tatkala kita berenang dalam lautan revolusi nasional kita pada tahun 1945. Siapakah yang memanggil dan untuk apa panggilan itu? Sehingga umat Islam menutup mata

dan telinga, dan hanya hatinya saja yang terbuka. Pada waktu itu orang menamakan panggilan itu aneka warna, ada yang mengatakan panggilan ibu pertiwi, dsb. Bagi umat Islam panggilan itu sudah

13 abad, yaitu “wa jahidu fi sabilillah”, dengan taat dan tunduk

menyerahkan diri terhadap Allah SWT.

Pada waktu itu pula banyak yang menceburkan diri dalam revolusi nasional kita itu dengan memilih kata-kata seperti, “untuk kemerdekaan bangsa kita”, “untuk menciptakan suatu negara yang adil”. Sedangkan para alim ulama kita memanggil setiap orang muda dan menyerukan bahwa terjun ke dalam kancah perjuangan itu adalah “kewajiban”. Dengan dasar yang saudara pernah kenal sungguh pada tiap hari lima kali. Saudara mengucapkan “Inna sholathi wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin”.

Saudara-saudara!

Salahkah kalau saya katakan di sini, bahwa saudara datang di sini karena seruan yang demikian itu. Kita umat Islam mempunyai kekuatan batiniah. Kekuatan ini tidaklah dapat dilihat di lahir, tidak nampak kalau dilihat sepintas lalu, dan apakah kekuatan itu? Ukhuwah saudara-saudara. Ukhuwah Islam dapatlah dirasakan bukanlah suatu paksaan, tetapi ruhama bainakum untuk menjadi ummat Nabi Muhammad SAW. Ruhama bainakum bukan saja di dalam suka, pun dalam duka, dan menjadikan suatu kekuatan umat di dalam assyida alal kuffar.

Saudara-saudara!

Orang lain mengatakan bahwa kita, bangsa kita sudah lepas dari cengkeraman penjajahan yang 350 tahun lamanya, dan kita pada tahun 1945 memulai melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan. Seluruh bangsa kita bangsa Indonesia dikatakan sudah tidur bertekuk lutut, akan tetapi riwayat mengajarkan kepada kita, apakah benar seluruh bangsa Indonesia yang terbagi dari kurang lebih 3000 kepulauan dalam 350 tahun itu dan tidak sama sekali melawan penjajahan Belanda. Sejarah mengajar kepada kita bahwa hal itu tidak demikian dan bangsa Indonesia hanya beberapa puluh tahun saja tertidur dininabobokan. Tidaklah Imam Bonjol mengangkat senjata yang akhirnya terpaksa menyerah, menghadapi musuh yang tidak setara. Di Sumatera Utara orang-orang Aceh mematahkan rencong dan pedang karena melihat kekuatan yang sebesar itu. Dalam hal ini saya hanya menunjukkan bangsa Indonesia hanya tertidur beberapa puluh tahun saja.

Dalam masa 350 tahun, cukup orang mengetahui dari bangsa kita dengan adanya peristiwa di beberapa tempat, dimana bangsa

kita terus menerus mempertahankan kemerdekaan. Mereka tetap memperjuangkan, untuk menolak setiap istiadat dari kaum penjajah.

Apakah sebab-sebabnya maka kekuatan itu begitu bagi bangsa kita di beberapa tempat itu. Mengapa di tempat itu keadaannya begitu hebat. Kalau kita mau jujur melihat sejarah, mau jujur mengambil pelajaran sejarah dari keadaan itu, sehingga dapat bertahan sampai ratusan tahun lamanya di dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa kita. Tidak lain saudara-saudara ini disebabkan oleh pelajaran Islam, dan berkat tauhid yang dapat menghilangkan sifat takutnya, keragu-raguannya, kekhawatirannya, karena menyerahkan dirinya kepada Allah Swt. setiap muslimin dengan tabah dapat menunaikan kewajibannya.

Saudara-saudara!

Ada kalanya beberapa umat Islam tidak mau berjuang di dalam

jalan Allah yang dinamakan mustad’afin, baik dari laki-laki maupun

perempuan. Baiklah kita berseru kepada Allah Swt. Keluarkanlah kami dari tempat ini. Kampung halaman yang dhalim.

Jangan pula dari penjajahan asing, pun dari bangsa kita sendiri haram hukumnya kalau pemerintahan dijalankan secara dhalim. Kita berkewajiban mengenyahkannya. Dan ini bukan politik, ya kalau dinamakan politik boleh. Pokoknya bagi umat Islam ini adalah “kewajiban” di dalam menunaikan agama yang kita pegang itu.

Saudara-saudara!

Di dalam kekuatan negara dan bangsa kita yang 80 juta banyaknya, sebagian besar mempunyai urat tunggal sebagai suatu dasar hidup yang ditaatinya.

Saudara-saudara, saya katakan tadi, selama urat tunggal masih melekat pada bangsa kita, selama itu pula terlihatlah tauhid dan ukhuwah yang berarti hubungan dengan Allah Swt. dan umatnya masih teguh.

Dua hal yang menyebabkan potensi dari bangsa kita dan dapat mengelakan serta dapat membawa kepada keadaan yang menyenangkan.

Kami akan gambarkan demikian. Pada waktu bangsa dan tanah air berada dalam bahaya dan berada dalam letusan revolusi, Alhamdulillah bangsa kita mempunyai ketabahan hati, karena tauhidnya sehingga tidak segan-segan menyerahkan apa-apa yang ada padanya. Bukan saja harta, tenaga, tetapi jiwanya sendiri. Di dalam revolusi itu yang lima tahun lamanya ada kalanya ia menang, tetapi kemudian dipukul mundur, ditikam dari belakang, tetapi kemudian maju lagi.

Potensi bangsa Indonesia ini terutama disebabkan ketabahan umat Muhammad Saw. Yang mempunyai tauhid.

Pada waktu Yogyakarta, ibu kota RI di tahun 1948-1949 diduduki oleh tentara Belanda, waktu mana pimpinan-pimpinan kita ditawan, banyak orang bingung. Siapa yang bingung dan siapa tidak bingung, dapatlah pada waktu itu diketahui dengan nyata yang tidak bingung yang tidak putus asa. Saudara Syafrudin Prawiranegara salah seorang yang tidak bingung. Beliau 24 jam setelah ibu kota diduduki, serentak mengumumkan bahwa Republik Indonesia darurat terus memperjuangkan haknya sehingga akhirnya tercapai. Beliau tidak menunggu instruksi dari Yogya, tetapi dari Ilahi, bahwa ia wajib menolong keadaan itu.

Saudara-saudara!

Keadaan yang demikian itu kadang-kadang dilupakan dalam riwayat. Bagi kita apa jasa dan jasa perlu dijelaskan. Menuntut jasa bagi kita adalah batal. Keselamatan negara kita yang menjadi pokok tujuan.

Sekarang negara sudah aman, damai, banyak yang menuntut balas jasa. Bagi umat Islam hendaklah jangan sampai demikian.

Saudara-saudara, kita sekarang sampai kepada taraf perjuangan kita. Kita sudah dapat melepaskan diri dari satu tabir besar, yaitu penjajahan bangsa asing, sehingga apa yang telah ada pada tangan kita dan republik kita ini telah diakui kedaulatannya oleh 62 negara luar negeri.

Artinya sudah duduk sama rendah berdiri sama tegak, yang mempunyai tata cara pemerintahan yang terdiri dari golongan sendiri, walaupun belum sempurna, Segala sesuatu itu harus diakui bahwa ini adalah karunia dari Ilahi.52

Demikianlah pada kenyataannya, bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan bangsa Asing

yang berarti pula kaum kafir yang ingin kembali menjajah bangsa

Indonesia. Dimana-mana umat Islam bangkit memanggul senjata tidak terkecuali. Menurut Sar’an53 para pimpinan Persis beserta para

anggotanya dari Pusat Pimpinan sampai ke daerah-daerah secara aktif menggabungkan diri ke dalam organisasi perjuangan secara

fisik dalam lasykar Hizbullah dan Sabilillah.54 Para anggota Persis

yang lebih muda menurut Federspiel55 aktif dan berpartisipasi dalam

oleh Masjumi pada masa akhir pendudukan Jepang. Isa Anshary menduduki posisi dalam organisasi Sabilillah di daerah Priangan.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 3 Nopember 1945 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden RI Mohammad Hatta tentang diperkenankannya mendirikan berbagai partai politik di negara Indonesia yang baru merdeka, maklumat itu berbunyi:

Partai Politik

Anjuran pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik berhubung dengan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat kepada pemerintah, supaya diberikan kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya untuk mendirikan partai-partai politik dengan restriksi bahwa partai-partai politik itu hendaknya memperkuat perjuangan yang kita pertahankan dan menjamin keamanan masyarakat. Pemerintah menegaskan pendirian yang telah diambil beberapa waktu yang lalu bahwa :

Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat. Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah disusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota-anggota Badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946.56

Menyambut seruan pemerintah ini, umat Islam sebagai golongan mayoritas merasa berkewajiban untuk mengorganisasikan kekuatan dan tenaganya dalam satu wadah partai politik, sehingga dapat memberikan kontribusi pemikiran dan partisipasi politik dalam membangun negerinya. Pada tanggal 7 dan 8 Nopember 1945 di Yogyakarta, umat Islam Indonesia menyelenggarakan muktamar. Muktamar ini dihadiri oleh semua tokoh organisasi Islam yang ada pada waktu itu.57 Muktamar ini memutuskan untuk mendirikan

Majelis Syura Pusat bagi umat Islam Indonesia yang disebut Masyumi.

Dan Masyumi dianggap sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia.58

Tokoh-tokoh Persis ikut serta dalam konferensi umat Islam itu. Ketika Persis secara resmi berdiri kembali pada tahun 1948, Persis kemudian tercatat sebagai anggota istimewa Partai Masyumi, sebagaimana halnya Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Anggota- anggota Persis secara pribadi dianjurkan memasuki partai Masyumi, bahkan beberapa tokohnya, seperti Mohammad Natsir dan Isa Anshari terpilih sebagai pimpinan Masyumi di tingkat Pusat.59

Persis menegaskan bahwa semua orang Islam wajib aktif dalam kegiatan politik sebagai salah satu kewajiban agama. Hal ini tampak dalam tulisan-tulisan A. Hassan, tulisan dan pidato-pidato Isa Anshary serta Muhammad Natsir, tertuang pula dalam manifesto organisasi, dan secara panjang lebar dalam fatwa-fatwa ulama Persis. Dalam Manifes Perjuangan Persis tahun 1956 hasil Muktamar Ke-VI Persis (15-18 Desember 1956) dinyatakan bahwa:

Persatuan Islam (Persis) semenjak berdirinya bersemboyan hendak mengembalikan umat Islam kepada pimpinan Al-Qur’an dan As-sunnah, maka isi semboyan dan inti da’wah itu bukan saja terbatas dalam lapangan aqidah dan ibadah, tetapi lebih luas daripada itu, ialah berjuang menegakkan keyakinan, dengan Al-Qur’an dan Sunnah berjuang dalam politik memenangkan ideologi Islam.60

Demikian pula pidato Mohammad Natsir pada Muktamar Persis ini menegaskan bahwa:

Persatuan Islam sebagai satu perkumpulan yang hendak membawakan kepada umat yang banyak, ajaran-ajaran Islam yang syah diambil dari Al-Qur’an dan hadits yang mengerjakan ma’ruf min munkar, terlepas dari apa yang dinamakan politik. Persatuan Islam yang banyak melakukan pekerjaan da’wah mempunyai satu fungsi yang paling besar. Apa yang tidak tercapai oleh partai politik seperti Masyumi atau PSII harus dilakukan oleh Persatuan Islam, dimana orang sudah ngeri mendengarkan politik, kalau mendengar nama Masyumi. Tetapi kalau Persatuan Islam sebagai satu perkumpulan da’wah saja masih terbuka jalan yang luas untuk memperkokoh barisan umat Islam untuk memberikan perasaan tanggung jawab untuk menyusun kekuatan umat.Tetapi politik kita tergantung pada da’wahnya.61

Dalam berbagai tulisannya pun, Mohammad Natsir mewajibkan kegiatan politik bagi setiap umat Islam, dengan alasan

bahwa Islam adalah filsafat hidup untuk menuntun prilaku muslim

dalam setiap usaha dan tidak bisa dipisahkan dalam setiap tingkah laku manusia, termasuk politik. Umat Islam tidak bisa memisahkan diri dari politik, dan sebagai aktivis politik, umat Islam tidak bisa memisahkan diri dari ideologi politiknya yaitu Islam. Buat kaum muslimin, menegakkan agama Islam tidak bisa dipisahkan dari menegakkan masyarakat, bangsa, dan kemerdekaan.62

Dalam pandangan Federspiel,63 para pimpinan Persis

meskipun mendukung para pemimpin Republik Indonesia sekuler, misalnya Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, tetapi Isa Anshary dan A. Hassan tidak putus asa untuk memperjuangkan sebuah negara Indonesia yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Dalam Falsafah Perdjuangan Islam, yang ditulis pada tahun 1949, Isa Anshary mengemukakan bahwa umat Islam berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan semata- mata untuk “membangun negara dalam keridlaan Allah, memenuhi tanggung jawab mereka sebagai umat Islam”.

Dengan dasar-dasar di atas, hampir seluruh anggota Persis nampaknya memasuki Masyumi, dan bahkan beberapa orang

diantaranya menjadi pimpinan. Setelah perjuangan revolusi fisik

berakhir, Mohammad Natsir menjadi tokoh Masyumi, dan tahun 1949 setelah beberapa kali duduk dalam kabinet pemerintahan Republik, ia menjadi ketua umum Masyumi. Pada tahun 1951 sebagai pimpinan partai, ia menyusun kabinet yang baru selesai setahun berikutnya. Ia terkenal karena kemampuannya memecahkan persoalan-persoalan administrasi dan ekonomi bangsa Indonesia.64 Demikian pula Isa Anshary menjadi anggota

Dewan Pimpinan Masyumi, pimpinan wilayah partai di Jawa Barat, dan tokoh kelompok kecil “fundamentalis” Masyumi. Sementara A. Hassan tidak memainkan peranan politiknya yang menonjol, mungkin karena alasan kesehatan atau mungkin sibuk membangun

kembali lembaga pendidikan pesantren Persatuan Islam. Meskipun demikian, ia menulis beberapa artikel dan fatwa tentang masalah politik yang sifatnya menunjang posisi Isa Anshary, dan kemudian ia sendiri duduk sebagai anggota Majelis Syura Masyumi.65

Pada awalnya hanya ada empat organisasi Islam yang masuk anggota Masyumi, yaitu Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Kemudian organisasi-organisasi lain seperti Persatuan Islam (Persis) tercatat sebagai anggota Masyumi pada tahun 1948, Al-Irsyad tahun 1950, Al-Jamiyatul Wasliyah dan Al-Ittihadiyah serta Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada tahun 1949. Partai Masyumi menyebar ke seluruh tanah air, hal ini dimungkinkan karena dukungan yang diberikan oleh anggota istimewa66 Masyumi, yang terdiri dari

Muhammadiyah, Al-Jamiyatul Wasliyah, Al-Ittihadiyah, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam, dan Al-Irsyad. Di samping

afiliasi organisasi-organisasi Islam, faktor lain yang menyebabkan

cepat berkembangnya Masyumi adalah peran ulama serta ukhuwah Islamiyah yang relatif tinggi sesudah revolusi. Tanpa mengetahui secara mendalam soal-soal dasar dan cita-cita perjuangan Masyumi dan hanya karena Masyumi itu merupakan partai Islam, telah banyak orang yang dalam politik mengidentikkan dirinya dengan Masyumi. Mayoritas umat Islam tentu turut juga membantu, sungguh pun jumlah yang masuk partai Islam dengan yang orang yang beragama Islam tidak otomatis seimbang.67

Oleh karena Masyumi adalah semacam organisasi kesatuan, maka anggota-anggotanya memiliki berbagai pandangan keagamaan, politik, ekonomi, dan sosial. Organisasi-organisasi Islam yang sering berbeda pendapat juga bergabung menjadi anggota, dan dengan demikian sering kali timbul perbedaan dan perselisihan dalam tubuh Masyumi. Muhammadiyah dengan segala perhatiannya terhadap kemajuan masyarakat dan pandangan-pandangan keagamaannya yang bercorak modern tentu berbeda dengan Nahdatul Ulama yang ingin mempertahankan sistem keagamaan tradisional sebagai

satu sistem yang dominan di Indonesia sebelum masuknya paham- paham pembaruan Islam. Dua kelompok ini mempunyai pendukung masing-masing di dalam partai Masyumi; Muhammadiyah mewakili kelompok yang terkenal moderat, sedangkan Nahdatul Ulama mewakili kelompok yang terkenal konservatif. Persis yang dikenal sebagai golongan yang keras dalam masalah-masalah agama, dalam beberapa hal sejalan dengan kelompok moderat. Namun kadang- kadang Persis tidak mengenal kompromi dalam masalah-masalah tertentu, sehingga sering dipandang pula sebagai golongan yang konservatif. Pada satu sisi Persis memiliki pandangan modern, namun di sisi lain memiliki konsep hakiki dalam meluruskan ajaran sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

Manifesto Persis tahun 1953, misalnya, menyatakan bahwa

Dalam dokumen ANATOMI GERAKAN DAKWAH PERSATUAN ISLAM (Halaman 108-129)