BAB 4. HASIL PENELITITIAN
4.3 Determinan Kinerja Dokter Puskesmas yang Dibayar
4.3.6 Determinan Faktor Lainnya
Dari hasil wawancara dengan informan juga ditemukan hal lain yang menjadi determinan kinerja dokter puskesmas yang dibayar kapitasi di Kota Gunungsitoli. Hal tersebut berupa faktor eksternal berupa tekanan dari pasien. Tekanan dari pasien menyebabkan dokter di puskesmas “terpaksa” memberikan rujukan langsung ke Rumah Sakit tanpa terlebih dahulu ditangani di puskesmas.
Terdapatnya perbedaan informan dalam menyikapi hal tersebut terlihat dari hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa informan tentang pernah tidaknya dan alasan dokter di puskesmas memberikan tanpa indikasi harus dirujuk ke Rumah Sakit dapat dilihat pernyataan berikut ini :
“Kalau saya sendiri tidak akan memberikan jika pasien tersebut masih bisa saya tangani, baru bisa saya berikan kalau misalnya saya sudah memberikan pengobatan 1-2 kali kemudian kondisi pasien tidak menunjukkan adanya perbaikan baru saya akan rujuk. Ada juga terkadang pasien meminta rujukan berdasarkan rekomendasi dari dokter spesialis dari Rumah Sakit”(informan 1)
Hal yang senada juga disampaikan informan berikutnya dalam pernyataan berikut ini
“Tidak pernahkita hanya sesuai dengan prosedur, kita di sini peraturannya keras tidak boleh memberi rujukan hany untuk berobat ke rumah sakit tanpa melalui puskesmas, semua pasien harus datang ke puskesmas kalau emang berdasarkan indikasi harus dirujuk, kita akan rujuk”(informan 2)
Demikian juga pada informan berikut ini :
“kalau yang seperti itu saya juga tidak mengizinkan kita kan punya kode etik juga untuk merujuk-rujuk pasien nggak asal kita rujuk, yang untuk kayak-kayak gitu bagi saya nggak, kecuali saya ngasi rujukan kalau keluarganya kesini pasiennya tidak bisa bergerak sama sekali misalnya kena “stroke”, jadi pasien-pasien kayak gitu saya kasi dispensasi saya kasi rujukan dengan indikasi bukan tanpa indikasi”(informan 3)
Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap informan tersebut menunjukkaan bahwa informan telah melaksanakan tindakan sesuai dengan yang diamanatkan pada sistem kapitasi di era JKN. Pelayanan kesehatan yang berjenjang mengharuskan dokter puskesmas untuk melaksanakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kompetensinya. Tindakan memberikan rujukan tanpa indikasi harus dirujuk atau tanpa diberikan pelayanan terlebih dahulu di puskesmas tidak dibenarkan dalam prinsip kendali mutu dan kendali biaya pada sistem kapitasi di era JKN.
Hal yang berbeda di sampaikan oleh informan pada puskesmas dengan kriteria kinerja yang kurang baik dalam sistem kapitasi. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan pertanyaan yang sama dengan informan sebelumnya menunjukkan bahwa perbedaan dalam menyikapi kasus rujukan tanpa indikasi masih dilakukan di puskesmas. Hal tersebut terlihat dalam pernyataan informan berikut ini :
“Pernah, Yang pertama pasien sendiri yang meminta rujuk walaupun tidak ada indikasi rujuk, yang kedua kami membutuhkan pemeriksaan laboratorium lanjut seperti contoh demam typhoid terutama untuk kasus pasien pediatric kan sangat rancu dalam menegakkan hanya dalam gejala klinis jadi kami membutuhkan pemerikasaan minimal pemeriksaan – walaupun obatnya sebenarnya bisa diberikan di puskesmas”(informan 4)
Hal yang sama juga disampaikan informan lain dalm pernyataan berikut ini
“Pernah, alasannya yang tadi tuh masalah keterbatasan obat dan juga sekarang atas permintaan pasien Kalau dijelaskan diawal – awal dulu sering bertekak kita dengan pasien lama – lama bosen sendiri, dijelaskan gini..gini tetap ngotot yaudah...kita ga ini..Untuk merujuk pasien dengan diagnosa yang seharusnya bisa ditangani di puskesmas bisa dalam kurung kami kasi APS (Atas Permintaan sendiri)”(informan 5)
Dalam pernyataan informan berikut juga mengungkapkan hal yang sama
“Pernah dan sering, kalau di puskesmas lama sih tidak terlalu sering karenakan lokasinya agak jauh dari Kota, tapi puskesmas yang sekarang yang dekat dengan kota malah terkadang pasien tidak datang hanya dititipkan sama Bapaknya sama suami/istrinya pokoknya pasiennya tidak datang hanya minta rujukan yaitu tadi terkadang kita tidak mengasi kita suruh dulu pasiennya kesini ya cuma itu tadi terkadang ada pro dan kontra nya dengan pasien lebih lebih pasien yang ASKES ang ngerasa gaji dipotong setiap saat masa tidak bisa memanfaatkannya lain halnya mungkin dengan pasien PBI yang tidak begitu ini ya agak aman , tapi yang ASKES ini agak kita berargumen sedikit untuk mereka membawa pasiennya kadang – kadang kita juga gini ya daripada kita diserang mereka dimarahin mereka kita kasi dengan persyaratan sekali saja dan nanti sekali lagi harus bawa pasiennya tersebut”(informan 6)
Demikian juga informasi yang diperoleh dari informan berikut ini
“Kalau permintaan dari pasien terkadang saya berikan seperti misalnya gastritis, saya udah bilangin kalau itu gastritis atau dispepsia tapi pasien kurang percaya pengen di USG Untuk diagnosa pada saat rujukan saya buat gastritis dan saya lampirkan situ OS ingin USG karena kita juga disini ga bisa, kalau kita tahan – tahan pasiennya bisa ngamuk”(informan 7)
Berdasarkan hasil wawancara tersebut dengan informan diketahui bahwa permintaan dari pasien ataupun keluarga pasien yang ingin mengambil rujukan tanpa terlebih dahulu dilayani di puskesmas turut andil dalam meningkatkan angka rujukan pasien ke Rumah Sakit. Sebagian informan mennganggap bahwa tekanan tersebut bisa sampai berupa “desakan” sehingga informan akan langsung memberikan rujukan walaupun tahu bahwa sebenarnya penyakit tersebut masih bisa ditangani di puskesmas.
Hal tersebut juga di dukung dengan kurangnya fungsi pengawasan dari pihak BPJS. Verifikator BPJS yang berada di Rumah Sakit masih “meloloskan” pasien-pasien seperti kasus tersebut sehingga pasien-pasien bisa langsung ditangani di Rumah Sakit tanpa melalui jenjang puskesmas sebagai FKTP terlebih dahulu.
Hasil wawancara dengan informan dari pihak BPJS menjelaskan tentang koordinasi dengan pihak puskesmas terkait dengan pemberian rujukan atas permintaan pasien yang dapat dilihat pada pertanyaan berikut ini :
“Jadi kalau kita jelas ya kalau yang pelayanan JKN tu harus terindikasi medis jadi kalau masih ada rujukan yang tanpa indikasi itu itu tidak akan kita jamin, harus tetap berobat di puskesmas, jadi apabila ada pasien dari puskesmas bawa rujukan atas permintaan sendiri tidak akan kita jamin dia akan kita edukasi si peserta”(informan 9)
Fungsi BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN seharusnya memastikan prinsip kendali mutu dan kendali biaya terhadap pelayanan kesehatan berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat terlaksana dengan memastikan pelayanan kesehatan berjenjang mulai dari FKTP ke FKTRL terselenggara sebagaimana
mestinya. Fungsi verifikator BPJS di Rumah Sakit sebagai Pemberi Pelayanan Kesehatan 2 (PPK2) adalah untuk memastikan bahwa pasien yang datang ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan telah terlebih dahulu dilayani di puskesmas dan masuk dalam kriteria indikasi bisa dirujuk.
Dalam rangka memperkuat fungsi pengawasan terkait dengan kendali mutu dan kendali biaya kesehatan di FKTP, BPJS Kesehatan telah mempersiapkan draft regulasi program pengawasan kinerja FKTP termasuk puskesmas dalam bentuk Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK). Berikut pernyataan informan tentang hal tersebut.
“Jadi kalau kita jelas ya kalau yang pelayanan JKN tu harus terindikasi medis jadi kalau masih ada rujukan yang tanpa indikasi itu itu tidak akan kita jamin, harus tetap berobat di puskesmas, jadi apabila ada pasien dari puskesmas bawa rujukan atas permintaan sendiri tidak akan kita jamin dia akan kita edukasi si peserta”(informan 9)
Berdasarkan informasi tersebut menunjukkan bahwa fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan juga masih belum berjalan degan baik. BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN seharusnya memastikan prinsip kendali mutu dan kendali biaya terhadap pelayanan kesehatan berjalan dengan baik.
Hal tersebut dapat terlaksana dengan memastikan pelayanan kesehatan berjenjang mulai dari FKTP ke FKTRL terselenggara sebagaimana mestinya. Petugas verifikator BPJS ditempatkan di Rumah Sakit sebagai PPK2 adalah untuk memastikan bahwa pasien yang datang ke Rumah Sakit mendapatkan pelayanan kesehatan telah terlebih dahulu dilayani di FKTP dan masuk dalam kriteria indikasi bisa dirujuk.
Dalam rangka memperkuat fungsi pengawasan terkait dengan kendali mutu dan kendali biaya kesehatan di FKTP, BPJS Kesehatan telah mempersiapkan draft regulasi program pengawasan kinerja FKTP termasuk puskesmas dalam bentuk Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK). Berikut pernyataan informan tentang hal tersebut
“untuk kendali mutu dan kendali biaya juga mulai tahun ini kita sudah mulai melaksanakan program yang namanya Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK) jadi kapitasi kita yang selama ini itu kan ditentukan nilainya dari norma kapitasi ya,,, nah ini kita gabungkan dengan kinerja nya juga jadi ada beberapa indikator yang akan kita nilai yang indikator ini nantinya akan mempengaruhi nilai kapitasinya dia bisa diniliai berprestasi atau kurang berprestasi, kalau kurang berprestasi nanti nilai kapitasinya akan berkurang dari nilai yang sesuai normanya, nah KBK ini yang pertama dia nilai dari : angka rasio non spesialistik, contact rate, dan kegiatan PROLANIS”(informan 9)
Berdasarkan pernyataan tersebut, draft regulasi yang akan disiapkan oleh BPJS kesehatan dalam bentuk pengawasan terkait dengan kendali mutu dan kendali biaya di FKTP berupa proses penentuan besaran kapitasi yang diterima oleh masing – masing puskesmas berdasarkan kinerja yang ditunjukkan. Komponen penilaian kinerja itu sendiri terdiri dari : angka rasio rujukan non spesialistik, contact rate, dan Program PROLANIS (Program pengelolaan Penyakit Kronis).
5.1 Kinerja DokterPuskesmas yang Dibayar Kapitasi pada Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Wilayah Kota Gunungsitoli
Harapan dari Implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) secara umum masih belum bisa terlaksana sebagaimana mestinya di puskesmas.
Sistem pelayanan berjenjang sebagai bagian prinsip kendali mutu dan kendali pembiayaan terhadap pelayanan kesehatan tidak terlaksana dengan baik disebabkan oleh kinerja dari fasilitas pelayanan kesehatan primer sebagai ujung tombak pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam sistem kapitasi di era JKN seperti sekarang ini juga belum optimal.
Dalam penelitian menunjukkan bahwa puskesmas di wilayah Kota Gunungsitoli belum bisa melaksanakan fungsi nya sesuai dengan konsep gatekeeper yang diamantkan dalam program JKN. Hal tersebut terlihat dari masih tingginya rendahnya angka utilisasi puskesmas oleh peserta BPJS dan tingginya angka rujukan puskesmas ke Rumah Sakit. Gambaran angka utilisasi pasien peserta BPJS dan rujukan puskesmas di Kota Gunungsitoli dapat dilihat pada grafik berikut ini :
Gambar 5.1 Rata-rata Angka Kunjungan Pasien Peserta BPJS ke Puskesmas Wilayah Kota Gunungsitoli Periode Januari s.d Maret 2016
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Gunungsitoli
Tingkat utilisasi puskesmas oleh pasien peserta BPJS dilihat dari jumlah kunjungan pasien peserta BPJS ke puskesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Pada grafik menunjukkan bahwa secara umum tingkat utilisasi puskesmas oleh pasien peserta BPJS masih belum bisa memenuhi target zona aman sesuai dengan yang diamanatkan dalam Peraturan Kepala BPJS nomor 02 tahun 2015.
Rendahnya tingkat utilisasi tersebut menunjukkan bahwa masih belum meratanya masyarakat di Kota Gunungsitoli yang memiliki kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan sebagai manfaat dari implementasi program JKN itu sendiri.
Persebaran penduduk yang cukup luas yang tidak diimbangi dengan ketersediaan sumberdaya kesehatan baik berupa tenaga dan sarana pelayanan kesehatan di pelosok
4,53%
daerah pedalaman menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap program pemerataan pelayanan keehatan kepada seluruh penduduk di wilayah Kota Gunungsitoli.
Berdasarkan data angka rujukan pasien peserta BPJS dari puskesmas ke Rumah Sakit di wilayah penelitian juga belum menunjukkan tujuan dari implementasi program JKN juga telah terlaksana. Hal tersebut dilihat dari beberapa puskesmas yang menunjukkan angka rujukan yang cukup tinggi. Berikut gambaran angka rujukan pasien peserta BPJS dari puskesmas ke Rumah Sakit di Kota Gunungsitoli periode januari sampai dengan maret 2016.
Gambar 5.2 Angka Rujukan Puskesmas ke Rumah Sakit Januari s.d Maret 2016 di Kota Gunungsitoli Sumber : Dinas Kesehatan Kota Gunungsitoli
Dari data tersebut menunjukkan bahwa secara umum masih belum mampu
JKN. Hal ini terlihat dari angka rujukan puskesmas yang masih belum bisa memenuhi standar zona aman rujukan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala BPJS nomor 02 tahun 2015. Puskesmas seharusnya diharapakan mampu untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar sesuai dengan kompetensi yang dimiliki sehingga akan mampu menyaring pelayanan kesehatan ke Rumah Sakit. Hal ini tentunya untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien sebagaimana tujuan dari program JKN itu sendiri dalam melakasanakan kendali mutu dan kendali biaya terhadap pelayanan kesehatan.
Berbagai hal menjadi permasalahan di puskesmasyang dapat menghambat implementasi pelayanan sesuai dengan harapan dan tujuan dari program JKN.
Permasalahan dimaksud berupa keterbatasan dalam hal fasilitas dan sarana prasarana dalam mendukung pelayanan kesehatan di puskesmas serta ketidakmampuan para implementator kebijakan program JKN dalam memahami regulasi yang ada untuk dilaksanakan di puskesmas. Hal tersebut terkait dengan faktor perilaku para tenaga kesehatan di puskesmas, adanya sistem komunikasi dan disposisi yang kurang berjalan dengan baik antara Dinas Kesehatan dan puskesmas. Menurut Edward III dalam Purwanto dan Sulistyastuti (2012), terdapat empat critical factors yang mempengaruhi keberhasilan proses implementasi, keempat faktor itu adalah : komunikasi, sumberdaya, disposisi dan perilaku.
Dokter sebagi pemeran utama dalam gatekeeper conceptpada sistem kapitasi juga belum bisa menjalakan fungsinya dengan baik. Kelemahan kinerja dokter pelayanan primer di puskesmas dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
pasien peserta BPJS yang sesuai dengan amanat dari program JKN menyebabkan tujuan dari program JKN tersebut akan sulit untuk bisa tercapai. Berbagai hal yang mejadi indikasi determinan kinerja dokter puskesmas terkait dengan sistem kapitasi akan menyebabkan dokter di puskesmas tidak akan mampu untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang diharapkan kepada pasien peserta BPJS.
Dalam upaya pencapaian program kepesertaan semesta (Universal Helath Coverage/UHC), pemerintah daerah harus bisa mendorong seluruh masyarakat untuk bisa ikut terdaftar sebagai peserta BPJS dan memiliki asuransi kesehatan. Salah satu faktor yang penting untuk mencapai tujuan tersebut ialah kesamaan visi para pemangku kebijakan untuk menerapkan kerjasama lintas sektoral serta arah politik pemerintah dan legislatif yang sama untuk menjamin ketersediaan anggaran yang bagi peserta BPJS yang kurang mampu dimana sumber pembayaran preminya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Gunungsitoli.
Cakupan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional diwilayah Kota Gunungsitoli merupakan gambaran kepesertaan masyarakat yang telah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan yang terdiri dari peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan peserta Non PBI. Pada grafik berikut ini dapat dilihat gambaran kepesertaan BPJS kesehatan berdasarkan sumber pembayaran premi di wilayah Kota Gunungsitoli.
Grafik 5.3 Cakupan Kepesertaan JKN Berdasarkan Sumber Dana di Kota Gunungsitoli
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Gunungsitoli
Berdasarkan tabel tersebut diperoleh informasi bahwa, masih belum semua penduduk Kota Gunungsitoli tercakup dalam JKN sebagai peserta BPJS dimana masih terdapat sebanyak 28.191 jiwa atau sebesar 21 % dari total sejumlah 134.196 jiwa penduduk belum memiliki jaminan kesehatan. Namun apabila dilihat dari cakupan kepesertaan BPJS kesehatan yang ada sampai saat ini, Kota Gunungsitoli masuk dalam kriteria optimis dalam upaya pencapaian Universal health Coverage (UHC) pada tahun 2019.
5.2 Determinan Faktor Pengetahuan Dokter
Pengetahuan tentang kebijakan akan menentukan suatu proses kebijakan tersebut berjalan sebagaimana mestinya dan mencapai tujuan yang diharapkan dari kebijakan tersebut. Dalam sistem kapitasi seluruh komponen yang terkait seharusnya memiliki pengetahuan yang utuh dan menyeluruh tentang sistem kapitasi itu sendiri
70%
1%
10%
19% APBN
APBD. Prov APBD Kota Gunungsitoli Non PBI (ASKES, ASABRI, Mandiri)
untuk dapat mewujudkan tujuan dari sistem kapitasi di era JKN yaitu terselenggranya prinsip kendali mutu dan kendali biaya terhadap pelayanan kesehatan.
Menurut Hendrartini (2010) yang mengutip Konsvedt, menyatakan bahwa tingkat pemahaman dokter tentang fungsi asuransi dan aspek ekonomi khususnya tentang kapitasi, akan berpengaruh terhadap perilaku praktek dokter dalam managed care. Hal lain yang ikut mempengaruhi kinerja dokter dalam pengendalian biaya adalah pengetahuan dan pemahaman dokter terhadap sistem managed careyang akan mempengaruhi keberhasilan sistem pembayaran kapitasi
Pemahaman tenaga kesehatan di puskesmas termasuk dokter yang memaknai sistem kapitasi hanya terbatas pada besaran jasa pelayanan menyebabkan pola berpikir yang salah tentang sistem tersebut. Masih banyaknya dokter yang berorientasi pada besaran jasa pelayanan terhadap sistem kapitasi menunjukkan bahwa keterbatasan ruang lingkup dokter dalam memaknai sistem kapitasi.
Keterbatasan tersebut tentunya berdampak terhadap cara bekerja yang ditunjukkan.
Menurut Subarsono (2005), keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementator mengetahui apa yang harus dilakukan, apa yang menjadi tujuan dan sasaran harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran. Dokter seharusnya memiliki pengetahuan yang cukup tentang sistem kapitasi untuk dapat
melaksanakan sistem pelayanan yang dimaksud dalam sistem kapitasi di era JKN kepada masayarakat.
Di lokasi penelitian terlihat bahwa dokter di puskesmas sebagai implementator kebijakan tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang implementasi kebijakan sistem kapitasi. Para dokter di puskesmas belum sepenuhnya mengetahui tentang tujuan dan manfaat dilaksanakannya program tersebut. Hal ini menyebakan perilaku dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien di puskesmas belum sesuai dengan yang diharapkan dari tujuan implementasi sistem kapitasi di era JKN .
Menurut Tangkilisan (2003) persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan adalah bahwa mereka harus mengimplementasikan suatu keputusan mesti tahu apa yang harus mereka kerjakan. Keputusan kebijakan dan peraturan implementasi mesti di transmisikan kepada personalia yang tepat sebelum diikuti. Faktor komunikasi tentunya sangat berpengaruh dalam hal ini. Komunikasi yang efektif dalam menyampaikan informasi tentang kebijakan akan memberikan dampak terhadap pegetahuan yang baik oleh implementator. Selain itu, penerimaan terhadap kebijakan dan kejelasan tentang informasi juga menjadi hal penting yang harus diperhatikan untuk memastikan implementator kebijakan memahami tentang informasi yang disampaikan. Aspek lain dari komunikasi implementasi adalah konsistensinya.
Petunjuk yang tidak konsisten akan menyebabkan distorsi informasi terhadap pelaksanaan kebijakan.Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak
terkait dalam suatu proses implementasi kebijakan, maka akan memperkecil terjadinya kesalahan begitu pula sebaliknya.
Sosialisasi tentang sistem kapitasi di era JKN kepada tenaga kesehatan di puskesmas tentunya terletak pada tugas BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara progam JKN dan Dinas Kesehatan Kota sebagai penanggungjawab utama penyelenggaraan program kesehatan di wilayah Kabupaten Kota. Dinas Kesehatan Kota Gunungsitoli sejak awal telah melakukan kegiatan sosialisasi tentang sistem kapitasi di era JKN khususnya kepada seluruh tenaga kesehatan di puskesmas sebagai ujung tombak penyelenggaraan sistem pelayanan kesehatan berjenjang. Dalam kegiatan FGD diperoleh informasi bahwa kegiatan sosialisasi rutin dilakukan di khususnya di saat pertemuan yang bertopik pembahasan JKN dan pertemuan-pertemuan lain misalnya Rapat Konsultasi Kesehatan (RAKONKES) dan Rapat Kerja Kesehatan daerah (RAKERKES) Kota Gunungsitoli.
Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dokter puskesmas yang tidak merata tentang sistem kapitasi lebih dominan disebabkan oleh rasa kepedulian / rasa keingintahuan dokter yang kurang tentang sistem kapitasi. Rasa keingintahuan tentunya didasari oleh ketertarikan seseorang terhadap kebijakan tersebut. Dokter merasa tidak terlalu penting untuk mengetahui sistem kapitasi secara utuh dan cukup untuk berpikir terhadap besaran jasa pelayanan saja. Hal tersebut juga mayoritas terjadi terhadap seluruh tenaga kesehatan di puskesmas. Sebagai dampak dari hal tersebut, maka sistem pelayanan
kesehatan sebagaimana yang diharapkan dalam sistem kapitasi tidak akan terlaksana secara optimal.
5.3 Determinan Faktor Kepuasan Dokter
Kepuasan kerja dokter dalam melakukan pelayanan merupakan hal penting untuk menciptakan situasi nyaman dokter puskesmas dalam bekerja. Kepuasan kerja yang tercipta merupakan situasi dimana keadaan yang terjadi sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut Cahyani dkk (2013) yang mengutip Gibson, kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima
Kepuasan dokter terhadap sistem kapitasi di puskesmas Kota Gunungsitoli terkait dengan kepuasan dokter terhadap besaran jasa pelayanan yang diterima yang bersumber dari dana kapitasi. Hal tersebut juga berhubungan dengan metode sistem pembagian jasa pelayanan kapitasi puskesmas di wilayah Kota Gunungsitoli yang berpedoman pada Permenkes 19 Tahun 2014 dan Permenkes 28 Tahun 2014 yang memungkinkan penambahan variabel daerah sebagai variabel yang digunakan dalam penghitungan jumlah point yang berdampak pada besaran jasa pelayanan dan kapitasi yang diterima oleh masing-masing tenaga kesehatan. Penggunaan variabel daerah tersebut ditetapkan sesuai dengan Surat keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kota Gunngsitoli Nomor : 027/113/K/2015 tentang Variabel Daerah Pembagian Jasa
Pelayanan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional UPTD puskesmas Kecamatan Lingkup Pemerintah Kota Gunungsitoli tahun Anggaran 2015. Dalam peraturan tersbut terdapat 5 (lima) item variabel tambahan yan digunakan dalam menentukan jumlah poin setiap tenaga kesehatan yang akan menerima jasa pelayanan dari dana kapitasi. Variabel tersebut yaitu :
1. Kinerja 2. Beban Kerja
1. Kinerja 2. Beban Kerja