BAB 4. HASIL PENELITITIAN
4.3 Determinan Kinerja Dokter Puskesmas yang Dibayar
4.3.3 Determinan Faktor Persepsi Dokter terhadap
Persepsi dokter tentang sistem kapitasi merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan sikap dokter terhadap pekerjaannya yang terkait dengan sistem kapitasi. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa informan menunjukkan bahwa adanya perbedaan persepsi dokter di Puskesmas tentang peggunaan sistem kapitasi. Persepsi dinilai berdasarkan tanggapan mereka tentang implementasi dari sistem kapitasi dan respon terhadap dampak dari sistem kapitasi terhadap diri mereka.
Hasil wawancara mendalam dengan informan tentang persepsi terhadap sistem kapitasi yang berlaku dalam sistem pelayanan kesehatan di Puskesmasseperti pada pernyataan berikut ini :
“Menurut saya sistem kapitasi ini sih cukup bagus, jadi memacu untuk bagaimana petugas2 atau pelayan2 kesehatan di puskesmas itu bisa lebih bergerak aktif untuk membuat semua masyarakat disekitarnya itu menjadi sehat, otomatis kan dengan sistem kapitasi ini membuat mereka berpikir bagaimana upaya menekan kunjungan”(informan 1) Hal serupa juga disampaikan oleh informan dalam pernyataan berikut ini
“Sistem kapitasi tepat ya tinggalPuskesmas nya benar-benar harus tahu mempertanggungjawabkannya dan melaksanakannya dalam arti sebagai penerima dana kapitasi tentu saja kapitasi ini harus disalurkan sesuai dengan peruntukkannya tidak hanya asal terima aja juga sesuai dengan adanya dana kapitasi bahwasanya tindakan-tindakan promotive preventife dan pengobatan tadi itu semua dilengkapi”(informan 2)
Informan ketiga juga menunjukkan persepsi yang baik terhadap sistem kapitasi seperti pernyataan berikut ini :
“sistem kapitasi sebenar saja sih sudah tepat tergantung kita melihat dari sisi mana misalnya kita melihat dari sisi masyarakat yang lapisan menengah kebawah nah orang-orang seperti ini memang tepat untuk mendapatkan seperti ini, kenapa bisa saya bilang kaya gitu karena suatu saat mereka akan sakit dan membutuhkan biaya yang lebih besar tanpa adanya kapitasi seperti ini mungkin mereka akan repot, sementara bagi orang orang yang lapisan menengah keatas sistem kapitasi ini sangat istilahnya tidak cocok buat mereka, kenapa karena orang-orang yang menengah keatas mereka lebih menginginkan pelayanan yang lebih sementara dalam sistem kapitasi cntoh yang paling dekat saja pada puskesmas ini, kta conthnya harus memeriksakan gula atau apa, itu paling minim banget...pemeriksaan gula aja kita ga bisa melakuan di puskesmas.(informan 3)
Berdasarkan informasi yang dikemukan oleh informan menunjukkan bahwa mayoritas informan secara umum memiliki persepsi yang baik terhadap pelaksanaan sistem kapitasidi puskesmas. Sistem kapitasi dianggap merupakan sistem yang tepat untuk diaplikasikan dalam pelayanan kesehatan di puskesmas saat ini. Puskesmas
tentunya dituntut lebih aktif dalam melakukan kegiatan di luar gedung yang berorientasi pada pelayanan-pelayanan yang bersifat promotive dan preventife.
Persepsi yang berbeda ditunjukkan pada informan pada puskesmas dengan kriteria kinerja yang kurang baik dalam sistem kapitasi. Pertanyaan yang sama diberikan mengenai bagaimana pendapat para informan tentang tepat tidaknya sistem kapitasi yang dilaksanakan seperti saat ini diimplementasikan di puskesmas. Berikut pernyataan informan :
“Kalau menurut saya, pelaksanaan sistem kapitasi masih belum tepat ya karena pada praktek dilapangannya yang masih belum tepat sasaran karena kondisi setiap puskesmas tidak sama ada memang puskesmas yang sudah siap untuk melakukan pelayanan primer baik dari segi diagnosticnya ataupun pemeriksaan maupun dari segi pengobatan dan rehabilitasinya sementara di satu pihak ada beberapa puskesmas yang masih memulai. Selain itu juga metode pembagian jasa pelayanan pada sistem kapitasi masih belum tepat sehingga imbalan yang kita dapatkantidak sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab yang diemban”(informan 4)
Hal yang senada juga diungkkapkan oleh informan berikutnya berikut ini
“Sebenrnya sistem kapitasi sih tepat asalkan operasionalnya pun tepat gitu..maksudnya pelaksanaannya di puskesmas masih kurang tepat di puskesmas tentang sistem kapitasi selama ini terutama dalam pembagian jasa pelayanan yang menggunakan variabel daerah”(informan 5)
Informan menganggap bahwa pelaksanaan sistem kapitasi masih belum tepat karena pelaksanaanya di lapangan masih kurang sesuai. Informan berikut nya juga menyatakan bahwa sistem kapitasi masih belum tepat untuk dilaksanakan sesuai dengan pernyataan berikut ini :
“Saat ini kalau menrut saya masih belum tepat ya, karena kan dia akan seperti sistem gotong royong karena kan yang 15 % itu sebetulnya kan tidak sampai 15 % yang datang berobat otomatis kan dia akan menutupi kepunyaan temannya nah baru juga efektif kalau sarana dan prasarana di puskesmas juga ditingkatkan karena selama ini dokter – dokter terbatas pada saran dan prasarana sehingga tidak bisa melakukan apa – apa lebih – lebih obat yang sangat minim ya banyakan kita akan merujuk ya, karena kan kita ngga mau menahan – nahan pasien karena kan dia kalau memang indikasinya perlu untuk dirujuk ya kita akan rujuk Dan juga pengetahuan masyarakat yang belum tepat mereka merasa kalau ke puskesmas itu hanya untuk mengambil rujukan,”(informan 6)
hal tersebut juga didukung dengan pernyataan informan berikut ini :
“Sistem kapitasi seperti saat ini kurang sedikit banyaknya agak masih belum lah buktinya dengan sistem sekarang kita masih belum siap misalnya masalah obat dan lain-lain, selain itu metode pembagian jasa pleyanan pun harus nya tidak seperti sekarang”(informan 7)
Pernyataan informan yang menyatakan bahwa sistem kapitasi di era JKN seperti sekarang masih belum tepat untuk dilaksanakan dengan alasan-alasan kekurangannya menunjukkan bahwa informan memiliki persepsi negative tentang sistem kapitasi. Persepsi informan dipengaruhi oleh keterbatasan – keterbatasan yang dirasakan yang dapat menghambat pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam sistem kapitasi di puskesmas. Selain itu metode pembagian jasa pelayanan yang menurut informan belum tepat juga mempunyai andil dalam membentuk persepsi yang kurang baik terhadap sistem kapitasi. Informan menganggap regulasi yang mengatur tentang pembagian jasa pelayanan dari dana kapitasi dirasa tidak sesuai dengan yang diharapkan.
4.3.4 Determinan Faktor Ketersediaan Sarana-Prasarana di Puskesmas
Salah satu aspek yang sangat menentukan keberhasilan kinerja dari sistem pelayanan kesehatan di era kapitasi adalah keteresediaan sumberdaya berupa sarana dan prasarana. Beberapa hal yang harus dilengkapi di puskesmas berupa obat-obatan, alat kesehatan serta ketersediaan sarana kesehatan penunjang berupa laboratorium akan memastikan fungsi pelayanan kesehatan primer yang harus melayani 155 jenis diagnosa penyakit secara tuntas bisa telaksana.
Ketersedian sarana dan prasarana kesehatan di puskesmas di wilayah Kokta Gunungsitoli secara umum memang masih belum memadasi. Hal tersebut terlihat dari mayoritas informan menyatakan bahwa ketersediaan obat-obatan, alat kesehatan serta sarana pemeriksaan penunjang di puskesmas masih sangat kurang. Berikut hasil wawancara dengan informan tentang ketersediaan saran-prasaranana di puskesmas :
“Masih kurang mendukung, terutama obat alkes, paling ga sih sebetulnya kan kita kasusnya disini banyak DM kita disini untuk memeriksa DM aja harus dirujuk”(informan 1)
Hal yang sama juga di sampaikan oleh informan berikut ini
“Masih kurang misalnya dalam alat pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan urine obat – obatan yang sepantasnya masih layak kita gunakan sebagai dasar pengobatan masih belum lengkap”
(informan 2)
Demikian juga informan berikut ini
“Tidak ada yang mendukung, tidak mendukung lah pokoknya itu...harus lebih ditingkatkan lagi, yang sudah ada aja misalnya alat tensi itu setengah mati memakainya karena sudah mulai rusak wajib seharusnya disediain yang baru”(informan 3)
Dari pernyataan-pernyataan tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan di puskesmas sangatlah kurang untuk mendukung pelasanaan pelayanan kesehatan dalam sistem kapitasi di era JKN.
informan menganggap bahwa kekurangan fasilitas - fasilitas tersebut akan berdampak pada keterbatasan kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien.
Pernyataan informan dari puskesmas dengan kriteria kinerja kurang baik juga hampir sama, dimana mayoritas informan menyatakan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan di puskesmas masih kurang mendukung dokter dalam melaksanakan pelayanan kesehatan kepada pasien. Hal tersebut terlihat pada pernyataan – pernyataan berikut ini :
“Masih kurang, seperti tadikan obat, bahan habis pakai, alat-alat kesehatan untuk diagnostic tidak memadai”(informan 4)
Hal yang hampir sama disampaiakn informan dalam pernyataan berikut ini :
“Masih kurang mendukung, terutama obat alkes, paling ga sih sebetulnya kan kita kasusnya disini banyak DM kita disini untuk memeriksa DM aja harus dirujuk”(informan 5)
Informan berikut juga menyatakan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan seharusnya sangat penting di puskesmas
“Itu merupakan hal yang sangat penting karena baru bisa ditangani 155 jenis diagnosa di puskesmas kalau memang sarana prasarana telah tersedia, gimana kita mau mempertahankan 155 diagnosa itu kita aja masih belum bisa menegakkan dengan pasti, memang sih dalam pendidikan penegakkan diagnosa itu dengan anamnese, palpasi, inspeksi tetapikan ada juga yang harus memerlukan pemeriksaan penunjang, seperti itu”(informan 6)
Demikian juga pernyataan dari informan berikut :
“Sangat minim ketersediaan sarana dan prasarana pendukung di puskesmas, jadinya tidak terlaksanalah secara keseluruhan pelayanan kita, sebagian pasti ada yang dirujuk”(informan 7)
Dari hasil wawancara kepada para informan dapat ditarik kesimpulan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan untuk mendukung pelayanan kesehatan di era JKN di seluruh Puskesmas masih belum memadai sehingga prinsip pelayanan 155 jenis diagnosa penyakit secara tuntans di FKTP sesuai dengan yang diamanatkan dalam sistem pelayanan JKN masih belum terlaksana.
Hasil observasi dilapangan juga menunjukkan bahwa ketersediaan obat-obatan di puskesmas masih jauh dari standard yang ditetapkan dimana seharusnya ketersediaan obat-obatan yang wajib tersedia di FKTP di era JKN adalah sesuai dengan Formularium Nasional (FORNAS). Demikian juga masalah ketersediaan alat-alat kesehatan seperti yang diamanatkan dalam Kopendium Alat Kesehatan serta ketersediaan sarana kesehatan penunjang dalam penegakan dignosa penyakit masih belum sesuai dengan yang diamanatkan.
Beberapa hal yang menyebabkan kekurangan obat-obatan di puskesmas selain dengan tidak sesuainya obat yang ada dengan kebutuhan di puskesmas, pemanfaatan dana 40% dari dana kapitasi untuk pembelian obat-obatan dan alat kesehatan di puskesmas masih belum seluruhnya dilaksanakan. Berikut pernyataan informan di puskesmas
“Kami selalu mengusulkan untuk penggunaan dana obat itu, tapi masalahnya tetap pada regulasi regulasi sampai tahun lalu itu Ibu
Kepala Dinas memberikan nota telaah jadi ibratnya ibu pasang badan supaya mereka berani tapi itu pun Cuma terealisasi satu bulan dengan ketentuan kan Ibu memberikan 10 juta setiap puskesmas sekali belinya jangan lebih karena kalau lebih harus ke Dinas beda pengadaannya, yang tahun lalu sudah jadi SILPA”(informan 6)
Pemanfaatan dana Kapitasi untuk puskesmas sendiri telah diatur melalui Peraturan Walikota Gunungsitoli yang menyatakan bahwa 40% dari total dana operasional dari sumber dana kapitasi diperuntukkan untuk obat. Namun menurut informan dalam pernyataannya menerangkan bahwa dana tersebut masih belum dimanfaatkan oleh pihak puskesmas untuk mendukung ketersediaan sarana prasarana pelayanan kesehatan di puskesmas khususnya untuk masalah pembelian obat.
Informan menyatakan bahwa pihak puskesmas merasa tidak meiliki dasar hukum yang kuat dalam penggunaan dana tersebut. Dinas Kesehatan yang memiliki fungsi dalam mengoontrol pemanfaatan dana kapitasi di puskesmas masih belum bisa mengatasi masalah tersebut. Berikut pernyataan dari Informan Dinas Kesehatan mengenai hal tersebut.
“Jadi kan kita sudah perintahkan kita sudah buat surat tapi tetap puskesmas nya tidak berani ya saya ngga tahu lagi harus bagaimana, kalau sudah kepala puskesmas nya takut ga berani ya ngga tahu lagi lah. Sebagai kepala Dinas saya kan sudah memberikan suatu jaminan, belanjakan sesuai dengan kebutuhan saya rasa itu sudah cukup sebagai bahan mereka untuk pengadaan obat-obatan tersebut. Ini akan kami rapatkan kembali untuk menghilangkan rasa takut mereka itu, kami akan hadirkan dalam hal perencanaan itu PPKAD (Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah), terus akan kami hadirkan juga nanti inspektur dan kami akan buat nota kesepakatan apakah prosesnya itu akan kami adakan melalui LKPP, atau akan kita adakan sesuai dengan harga yang ada di Kota Gunungsitoli ini”(informan 8)
Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa kurangnya ketersediaan sarana dan prasaranan yang mendukung pelaksanaan pelayanan di puskesmas dalam sistem kapitasi ini juga dipengaruhi oleh faktor disposisi yang tidak berjalan dengan baik antara Kepala Dinas Kesehatan kepada puskesmas dalam hal penggunaan dana kapitasi untuk belanja obat di puskesmas. puskesmas masih belum mampu untuk membelanjakan dana tersebut karena masih ragu terhadap dasar hukum penggunaannya.
Proses pengadaan obat yang bersumber dan rutin dari dana APBD juga tidak berjalan lancar di puskesmas. Hal tersebut terlihat dari pernyataan dari informan berikut ini:
“Obat-obatan kita pake sistem pembelian di e-catlogue LKPP, kita tahu pengadaaan itu se indonesia kadang-kadang obat itu terlambat nyampe, nah sekarang yang jadi masalah adalah ketersediaan obat terbatas di puskesmas, bukan karena kita tidak melaksanakan tapi ini adalah karena proses dari pengadaan itu yang cukup panjang, distributor mengantar obat itu ke puskesmas cukup lama”
(informan 8)
Proses pengadaan obat melalui proses e-purchasing pada e-catalogue LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) juga menjadi masalah sendiri dalam pengadaan obat di puskesmas. Keterlambatan dalam proses distribusi obat dari distributor ke puskesmas menyebabkan seringnya terjadi kekosongan obat
di puskesmas. Hal tersebut juga berdampak langsung terhadap kinerja dokter dalam memberikan pelayanan terhadap pasien.
4.3.5 Determinan Faktor Etika Dokter
Dalam hubungannya dengan pasien dokter harus tetap berlandaskan kepada konsep berpikir yang bertujuan untuk memberikan kesembuhan dan kesehatan kepada pasien . Etika dokter dalam memberikan pelayanan kepada pasien dilihat berdasarkan hasil wawancara dengan dokter sebagai informan serta observasi yang dilakukan.
Hasil wawancara dengan informan terntang cara berkomunikasi dan bertindak dalam memberikan pelayanan kepada pasien BPJS dapat dilihat pada pernyataan informan berikut ini :
“Saya selaku dokter di sisni tetap memberikan edukasi-edukasi kepada pasien supaya pasien itu tidak ketergantungan terhadap obata-obatan terus, terutama dia harus tahu pencegahan penyakit nya itu bagaimana sehingga bisa meminimalisir penyakitnya, kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien”(informan 1) Dalam pernyataan informan berikutnya juga menjelasakan hal yang sama
“Kita sebagai dokter selalu memberikan konseling pribadi dan edukasi yang lebih banyak, lebih bermanfaat tentunya dibanding pengobatan saja karena itu dasar dari cara hidup sehat adalah pola hidup sehat terlebih dahulu itu yang paling penting”(informan 2)
Demikian juga hal yang senada diungkapkan oleh informan berikut :
“Kalau buat saya ngga ada perbedaan mau dia pasien umum, mau dia pasien BPJS itu sama-sama pasien yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya”(informan 3)
Dari pernyataan – pernyataan tersebut diperoleh informasi bahwa informan telah melakukan hal yang seharusnya dalam melakukan pelayanan kepada pasien.
Informan bertindak sesuai dengan standard etik profesi yang berlaku.
Pertanyaan yang sama juga diberikan pada informan dengan kriteria kinerja yang kurang baik dalam sistem kapitasi. Berikut pernyataan informan tentang hal tersebut :
“Kita prinsipnya disini komunikasi dua arah jadi kita mendengarkan keluahan pasien kita juga mengarahkan jika ada yang ini mungkin jika ada pasien yang susah disampaikan kemudian juga kita tetap memberikan edukasi kepada pasien”(informan 4)
Hal yang sama juga di ungkapkan informan berikutnya pada pernyataan berikut
“Tetap paling utama kita menanyakan keluhan pasien, Kita juga selalu menjelaskan tentang penyakit yang diderita kepada pasien serta pengobatannya”(informan 5)
Pernyataan informan berikut ini juga searah dengan hal tersebut
“Kita akan memberikan pelayanan semaksimal mungkin berdasarkan itu tadi saran prasarana nya, itu memang hak mereka untuk mendapatkan pelayanan yang maksimal kita juga akan memberikan semaksimal yang kita punya, kita juga akan memaparkan apa yang seharusnya kita lakukan dengan apa yang harus mereka terima”(informan 6)
Demkian juga hal yang disampaikan oleh informan berikut ini
“Ya pastinya kita melakukan standar lah dalam hal anamnese, vital sign, diberikan konseling pribadi. Kita upayakan memberikan seluruh kebutuhan pasien sesuai dengan kemampuan yang kita punya”(informan 7)
Berdasarkan berbagai pernyatan informan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa informan selalu bertindak sesuai dengan etika profesi dalam memberikan
playanan dan berkomunikasi dengan pasien. Faktor etika tidak terlihat merupakan suatu indikasi determinan yang berkaitan dengan kinerja dokter puskesmas yang dibayar kapitasi di Kota Gunungsitoli. Informan telah melakukan tugasnya dalam memberikan pelayanan kepada pasien peserta BPJS sesuai dengan yang seharusnya dalam konsep etika melaksanakan tugas profesi. Hal tersebut juga dilihat dari hasil observasi yang dilakukan di puskesmas dimana dokter yang bertugas di puskesmas tempat penelitian cukup baik dalam melakukan komunikasi dan bersikap kepada pasien.
4.3.6 Determinan Faktor Lainnya
Dari hasil wawancara dengan informan juga ditemukan hal lain yang menjadi determinan kinerja dokter puskesmas yang dibayar kapitasi di Kota Gunungsitoli. Hal tersebut berupa faktor eksternal berupa tekanan dari pasien. Tekanan dari pasien menyebabkan dokter di puskesmas “terpaksa” memberikan rujukan langsung ke Rumah Sakit tanpa terlebih dahulu ditangani di puskesmas.
Terdapatnya perbedaan informan dalam menyikapi hal tersebut terlihat dari hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa informan tentang pernah tidaknya dan alasan dokter di puskesmas memberikan tanpa indikasi harus dirujuk ke Rumah Sakit dapat dilihat pernyataan berikut ini :
“Kalau saya sendiri tidak akan memberikan jika pasien tersebut masih bisa saya tangani, baru bisa saya berikan kalau misalnya saya sudah memberikan pengobatan 1-2 kali kemudian kondisi pasien tidak menunjukkan adanya perbaikan baru saya akan rujuk. Ada juga terkadang pasien meminta rujukan berdasarkan rekomendasi dari dokter spesialis dari Rumah Sakit”(informan 1)
Hal yang senada juga disampaikan informan berikutnya dalam pernyataan berikut ini
“Tidak pernahkita hanya sesuai dengan prosedur, kita di sini peraturannya keras tidak boleh memberi rujukan hany untuk berobat ke rumah sakit tanpa melalui puskesmas, semua pasien harus datang ke puskesmas kalau emang berdasarkan indikasi harus dirujuk, kita akan rujuk”(informan 2)
Demikian juga pada informan berikut ini :
“kalau yang seperti itu saya juga tidak mengizinkan kita kan punya kode etik juga untuk merujuk-rujuk pasien nggak asal kita rujuk, yang untuk kayak-kayak gitu bagi saya nggak, kecuali saya ngasi rujukan kalau keluarganya kesini pasiennya tidak bisa bergerak sama sekali misalnya kena “stroke”, jadi pasien-pasien kayak gitu saya kasi dispensasi saya kasi rujukan dengan indikasi bukan tanpa indikasi”(informan 3)
Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap informan tersebut menunjukkaan bahwa informan telah melaksanakan tindakan sesuai dengan yang diamanatkan pada sistem kapitasi di era JKN. Pelayanan kesehatan yang berjenjang mengharuskan dokter puskesmas untuk melaksanakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kompetensinya. Tindakan memberikan rujukan tanpa indikasi harus dirujuk atau tanpa diberikan pelayanan terlebih dahulu di puskesmas tidak dibenarkan dalam prinsip kendali mutu dan kendali biaya pada sistem kapitasi di era JKN.
Hal yang berbeda di sampaikan oleh informan pada puskesmas dengan kriteria kinerja yang kurang baik dalam sistem kapitasi. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan pertanyaan yang sama dengan informan sebelumnya menunjukkan bahwa perbedaan dalam menyikapi kasus rujukan tanpa indikasi masih dilakukan di puskesmas. Hal tersebut terlihat dalam pernyataan informan berikut ini :
“Pernah, Yang pertama pasien sendiri yang meminta rujuk walaupun tidak ada indikasi rujuk, yang kedua kami membutuhkan pemeriksaan laboratorium lanjut seperti contoh demam typhoid terutama untuk kasus pasien pediatric kan sangat rancu dalam menegakkan hanya dalam gejala klinis jadi kami membutuhkan pemerikasaan minimal pemeriksaan – walaupun obatnya sebenarnya bisa diberikan di puskesmas”(informan 4)
Hal yang sama juga disampaikan informan lain dalm pernyataan berikut ini
“Pernah, alasannya yang tadi tuh masalah keterbatasan obat dan juga sekarang atas permintaan pasien Kalau dijelaskan diawal – awal dulu sering bertekak kita dengan pasien lama – lama bosen sendiri, dijelaskan gini..gini tetap ngotot yaudah...kita ga ini..Untuk merujuk pasien dengan diagnosa yang seharusnya bisa ditangani di puskesmas bisa dalam kurung kami kasi APS (Atas Permintaan sendiri)”(informan 5)
Dalam pernyataan informan berikut juga mengungkapkan hal yang sama
“Pernah dan sering, kalau di puskesmas lama sih tidak terlalu sering karenakan lokasinya agak jauh dari Kota, tapi puskesmas yang sekarang yang dekat dengan kota malah terkadang pasien tidak datang hanya dititipkan sama Bapaknya sama suami/istrinya pokoknya pasiennya tidak datang hanya minta rujukan yaitu tadi terkadang kita tidak mengasi kita suruh dulu pasiennya kesini ya cuma itu tadi terkadang ada pro dan kontra nya dengan pasien lebih lebih pasien yang ASKES ang ngerasa gaji dipotong setiap saat masa tidak bisa memanfaatkannya lain halnya mungkin dengan pasien PBI yang tidak begitu ini ya agak aman , tapi yang ASKES ini agak kita berargumen sedikit untuk mereka membawa pasiennya kadang – kadang kita juga gini ya daripada kita diserang mereka dimarahin mereka kita kasi
“Pernah dan sering, kalau di puskesmas lama sih tidak terlalu sering karenakan lokasinya agak jauh dari Kota, tapi puskesmas yang sekarang yang dekat dengan kota malah terkadang pasien tidak datang hanya dititipkan sama Bapaknya sama suami/istrinya pokoknya pasiennya tidak datang hanya minta rujukan yaitu tadi terkadang kita tidak mengasi kita suruh dulu pasiennya kesini ya cuma itu tadi terkadang ada pro dan kontra nya dengan pasien lebih lebih pasien yang ASKES ang ngerasa gaji dipotong setiap saat masa tidak bisa memanfaatkannya lain halnya mungkin dengan pasien PBI yang tidak begitu ini ya agak aman , tapi yang ASKES ini agak kita berargumen sedikit untuk mereka membawa pasiennya kadang – kadang kita juga gini ya daripada kita diserang mereka dimarahin mereka kita kasi