TESIS
Oleh
AZWARDIN LAIA 147032201/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYRAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2016
THESIS
By
AZWARDIN LAIA 147032201/IKM
MASTER IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
2016
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
AZWARDIN LAIA 147032201/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2016
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes Anggota : 1. Dra. Jumirah, Apt. M.Kes
2. Drs. Amir Purba, M.A, Ph.D 3. Dr. Juanita, S.E, M.Kes
TAHUN 2016
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain. Kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juni 2016 Penulis
Azwardin Laia 147032201/IKM
masih tinggi dimana tahun 2015 sebesar 27,3 % dan tingkat utilisasi puskesmas yang masih rendah <10 % per bulan. Keadaan tersebut ditunjang dengan kinerja dokter yang belum optimal diindikasikan berkaitan dengan pengetahuan, kepuasan dan persepsi dokter terhadap sistem kapitasi, etika dokter, ketersediaan sarana dan prasarana, faktor keinginan pasien untuk langsung rujuk dan pengawasan yang belum optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi determinan kinerja dokter puskesmas yang dibayar kapitasi di Kota Gunungsitoli.
Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Informan penelitian ini adalah stakeholder yang berhubungan dengan kinerja dokter di puskesmas.
Analisis data dilakukan dengan tiga proses yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yang menjadi determinan kinerja dokter puskesmas yang dibayar kapitasi di Kota Gunungsitoli adalah pengetahuan, kepuasan dan persepsi dokter puskesmas terhadap sistem kapitasi, ketersediaan sarana dan prasarana, keinginan pasien untuk langsung rujuk serta pengawasan yang masih kurang.
Penelitian ini menyarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Gunungsitoli dan BPJS cabang Kota Gunungsitoli untuk melaksanakan sosialisasi yang lebih optimal tentang sistem pelayanan kapitasi kepada dokter di puskesmas dan masyarakat, melakukan revisi terhadap sistem pembagian jasa pelayanan medis dari sistem dana kapitasi di puskesmas, membuat regulasi tentang teknis pemanfaatan dana kapitasi di puskesmas, dan melakukan upaya pengawasan yang lebih optimal terhadap sistem pelayanan kesehatan di era JKN. selain itu dokter juga diharapkan melakasanakan upaya yang komprehensif dalam memberikan pelayanan kepada pasien peserta BPJS.
Kata kunci : Determinan, Kinerja, Dokter Puskesmas, Kapitasi
referring to the percentage of the reference rate which is still high (27.3%) and the level of its utility is low (< 10% per month).This Condition is supported by doctors’
performance which is not optimal enough in knowledge, satisfaction, and perception on the systems of capitation, doctors’ code ethics, the availability of facility and infrastructure, patients’ willingness to get references, and supervision which was not optimal. The objective of the research was to identify the determinants of doctors’
performance at puskesmas paid with capitation in Gunungsitoli.
The research used qualitative approach. The informants were stakeholders that were related to doctors’ performance at Puskesmas. The data were gathered by using triangulation method and analyzed in three processes: data reduction, data presentation, and conclusion.
The result of the research showed that the determinants of doctors’
performance at Puskesmas paid by capitation in Gunungsitoli were their knowledge and perception on capitation system, the availability of facility and infrastructure, patients’ willingness to directly get reference, nd supervision which was not optimal.
It is recommended that the Health Agency of Gunungsitoli and BPJS branch in Gunungsitoli do optimal socialization in capitation service system to doctors at puskesmas and the people, revise the system of medical service contribution of capitation fund system at puskesmas, make regulation on the use of capitation fund at Puskesmas, and perform optimal supervision in health service system in the JKN era.
Besides that, doctors are expected to make comprehensive efforts in providing services for BPJS patients.
Keywords: Determinant, Performance, Puskesmas Doctor, Capitation
karunianya-Nya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan judul : “ Determinan Kinerja Dokter Puskesmas yang Dibayar Kapitasi di Kota Gunungsitoli Tahun 2016 ”. Tesis ini dibuat sebagai persyaratan melakukan penelitian di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara 2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Dekan dan Ketua Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
3. Prof. Dr. Ir. Evawani Y.Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
4. Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes Selaku Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan moril serta pengetahuan sekaligus memotivasi penulis untuk menyelesaikan tesis ini
6. Drs. Amir Purba, M.A, Ph.D selaku Penguji I yang telah banyak memberikan saran dan masukan demi penyempurnaan tesis ini.
7. Dr. Juanita, S.E, M.Kes selaku penguji II yang juga telah memberikan berbagai masukan saran dan kritikan yang konstruktif untuk kesempurnaan tesis ini.
8. Bapak / Ibu Dosen pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada penulis
9. Bapak Walikota Gunungsitoli yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masayarakat – Fakultas Kesehatan Mayarakat USU
10. Ibu dr. Bulan Simanungkalit, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Gunungsitoli yang telah banyak membantu dan memberi arahan kepada saya selama menjalankan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masayarakat – Fakultas Kesehatan Mayarakat USU
11. Ayahanda H. Asaludin Laia, S.H, M.Hum dan Ibunda Hj. Siti Hasanah Arab, S.Pd.I yang selalu memberi motivasi dan do’a kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini
12. Abang (Brigadir Asfil Saputra Laia), Kakak (Maserlian Tanjung, S.Pd.I), Adik - adik (Ahmad Arfansyam Laia, S.E dan Hastri Rizka Rahmi Laia, S.K.M), para
Gunungsitoli : (Kasih Trisnawati Zebua, Apt, M.P.H, Yurniwati Harefa S.K.M, Sudarta Y. Harefa S.K.M, M.P.H, M.Fraser napitupulu, S.K.M,, Yusmar Ziliwu, S.K.M, Veritas Gulo, Eva Valentine Siregar, S.K.M, Mukhlas Gulo, S.K.M, Saferius Ndruru, Ferywan Boysman Harefa S.E, Andre Nestor, A.M.K, Rahmat Kristian Nazara, S.K.M, Muhammad Amri, S.K.M) serta yang lainnya yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu per satu, telah banyak memberi bantuan dan dukungan kepada saya dalam melanjutkan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masayarakat – Fakultas Kesehatan Mayarakat USU
14. Teman-teman Angkatan Tahun 2014 Program S2 Ilmu Kesehatan Kesehatan Masyarakat – FKM USU yang saling memberi semangat dan motivasi untuk selalu berjuang bersama dalam menyelesaikan pendidikan.
Penulis juga menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini.
Untuk itu penulis berharap masukan dan saran dari para pembaca untuk kesempunaan penelitian ini nantinya.
Medan, Juni 2016 Penulis’
Azwardin Laia 147032201/IKM
tepat pada tanggal 30 September 1988, bertempat tinggal di Desa Olora Kecamatan Gunungsitoli Utara Kota Gunungsitoli, merupakan anak kedua dari 4 bersaudara pasangan Asaludin Laia dan Siti Hasanah Arab
Riwayat pendidikan, Sekolah Dasar ditamatkan di SD.N 074044 Dahana Bawodesolo Nias tahun 2000, kemudian Sekolah Menengah Pertama di SMP.N 3 Gunungsitoli tahun 2003, Sekolah Menengah Atas ditamatkan di SPK (Sekolah Perawat Kesehatan) Pemda Nias tahun 2006, Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat ditamatkan di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKes Mutiara Indonesia Medan tahun 2010.
Riwayat pekerjaan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Kesehatan Kota Gunungsitoli sejak tahun 2011-sekarang.
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR GAMBAR ... x
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar belakang ... 1
1.2 Fokus Penelitian ... 10
1.3 Tujuan Penelitian... 10
1.4 Manfaat Penelitian... 11
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1 Primary Health Care (PHC)... 12
2.1.1 Implementasi Primary Heath Care (PHC) di Puskesmas... 14
2.2 Kinerja ... 16
2.3 Tugas & Peran dokter di Puskesmas ... 18
2.4 Managed Care ... 19
2.5 Gatekeeper Concept... 23
2.6 Indikator Kinerja Dokter Puskesmas Dalam Sistem Kapitasi... 26
2.6.1 Utilisasi ... 28
2.6.2 Rujukan ... 30
2.6.3 Kepuasan Pasien ... 33
2.7 Determinan Faktor kinerja dokter puskesmas dalam dalam sistem kapitasi... 36
2.7.1 Determinan Faktor Pengetahuan ... 38
2.7.2 Determinan Faktor Kepuasan ... 39
2.7.3 Determinan Faktor Persepsi ... 42
2.7.4 Determinan Faktor Sarana dan Prasarana... 44
2.7.5 Determinan Etika Dokter ... 45
2.8 Jaminan Kesehatan Nasional ... 48
2.8.1 Sistem Kapitasi... 51
2.8.2 Jasa Pelayanan ... 55
2.8.3 Pembagian Jasa Pelayanan Dana Kapitasi JKN ... 56
2.9 Landasan teori ... 58
2.10 Kerangka Pikir Penelitian ... 59
3.5 Variabel dan Definisi Istilah ... 64
3.6 Metode Analisis Data ... 65
BAB 4. HASIL PENELITITIAN ... 67
4.1 Gambaran Umum Lokasi Pnelitian... 67
4.1.1 Gambaran Geografis Kota Gunungsitoli ... 67
4.1.2 Gambaran Kepesertaan JKN di Kota Gunungsitoli... 68
4.1.3 Gambaran Ketersediaan Fasilitas Kesehatan pada Era JKN di Wilayah Kota Gunungsitoli... 70
4.1.4 Gambaran Ketersediaan Tenaga Kesehatan di Puskesmas Wilayah Kota Gunungsitoli... 71
4.2 Analisis Kinerja Dokter Puskesmas yang di Bayar Kapitasi pada Era JKN Di Wilayah Kota Gunungsitoli... 72
4.2.1 Tingkat Utilisasi... 72
4.2.2 Angka Rujukan... 73
4.2.3 Kepuasan Pasien... 74
4.3 Determinan Kinerja Dokter Puskesmas yang Dibayar Kapitasi... 76
4.3.1 Determinan Faktor Pengetahuan Dokter Puskesmas Tentang Sistem Kapitasi... 76
4.3.2 Determinan Faktor Kepuasan Dokter Puskesmas Tentang Sistem Kapitasi... 84
4.3.3 Determinan Faktor Persepsi Dokter terhadap Sistem Kapitasi... 89
4.3.4 Determinan Faktor Sarana-Prasarana di Puskesmas.... 93
4.3.5 Determinan Faktor Etika Dokter ... 98
4.3.6 Determinan Faktor Lainnya ... 100
BAB 5. PEMBAHASAN ... 106
5.1 Kinerja Dokter Puskesmas yang Dibayar Kapitasi pada Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Wilayah Kota Gunungsitoli ... 106
5.2 Determinan Faktor Pengetahuan Dokter ... 111
5.3 Determinan Faktor Kepuasan Dokter ... 115
5.4 Determinan Faktor Persepsi Dokter ... 118
5.5 Determinan Faktor sarana dan Prasarana Puskesma... 121
5.6 Determinan Faktor Etika Dokter... 126
5.7 Determinan Faktor Lainnya... 128
LAMPIRAN
2.1 Tugas dan Peran BPJS (Managed Care ... 21 2.2 Tujuan Berpikir Dokter terhadap Pasiennya (Formulasi Modern) ... 46 2.3 Kerangka Pikir Penelitian ... 59 5.1 Rata-rata angka kunjungan pasien peserta BPJS ke Puskesmas
Wilayah Kota Gunungsitoli Periode Januari s.d Maret 2016 ... 107 5.2 Angka Rujukan Puskesmas ke Rumah Sakit Januari s.d Maret 2016
di Kota Gunungsitoli ... 108 5.3 Cakupan Kepesertaan JKN berdasarkan sumber dana di Kota
Gunungsitoli ... 111
1.1 Latar Belakang
Dalam pelaksanaan sistem Managed care pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seperti sekarang ini, dokter di puskesmas sebagai dokter pelayanan primer dituntut untuk bisa menunjukkan kinerja yang optimal dalam memberikan pelayanan medis kepada pasien peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Hal tersebut,untuk mewujudkan kendali mutu dan kendali biaya terhadap pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan. Sistem pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang dimana puskesmas sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) bertanggung jawab terhadap penanganan 155 jenis penyakit sesuai denganPeraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Oleh karena itu puskesmas harus bisa untuk mempersiapkan seluruh sumber daya yang dibutuhkan agar mampu untuk melaksanakan program JKN.
Peran dokterdi Puskesmassangat strategis selain sebagai pemberi pelayanan medis, dokter juga merepresentasikan kualitas dari jaminan kesehatan yang dimiliki oleh pasien sehingga dapat mempengaruhi kepercayaan peserta terhadap badan penyelenggara jaminan kesehatan tersebut. Dokter primer sebagai gatekeeper merupakan salah satu representative agentbadan penyelenggara asuransi kesehatan yang mempengaruhi pilihan peserta dalam memilih lembaga asuransi yang akan
diikuti. Peserta umumnya lebih mempercayai dokter-dokter yang ada dalam jaringan kesehatan dari pada institusi penyelenggara asuransi kesehatan (Hendartini, 2010).
Kinerja dokter di puskesmas akan sangat bergantung dengan situasi individu, lingkungan kerja dan motivasi kerja yang dia miliki. Menurut Gibsondalam Pane (2015), bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Ketiga kelompok variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja personel. Perilaku yang berpengaruh terhadap kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan.
Peningkatan beban kerja di era JKN tentu diharapkan sebanding dengan besaran kompensasi atas jasa yang diberikan dari sistem pembayaran kapitasi yang dilakukan oleh BPJS kepada tenaga kesehatan di puskesmas termasuk dokter sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 19 Tahun 2014 yang telah disempurnakan menjadi Permenkes 28 Tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.Jenis variabel yang dipertimbangkan dalam pembagian jasa pelayanan kesehatan kepada tenaga kesehatan yaitu variabel jenis ketenagaan dan/atau jabatan serta kehadiran.
Besaran tarif kapitasi ditentukan berdasarkan seleksi dan kredensial yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan
mempertimbangkan sumber daya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan (Kemenkes, 2014)
Arti penting kompensasi bagi seorang dokter bukanlah sekedar nilai uang, tetapi lebih sebagai alat strategis yang dapat digunakan untuk menghasilkan perilaku tertentu. Salah satu tujuan dari implementasi pembayaran kapitasi adalah pengendalian biaya dengan menempatkan dokter primer sebagai gatekeeper. Kinerja gatekeeper merupakan kunci penyelenggaraan sistempelayanan kesehatan yang efektif dan efisien yang merupakan tujuan dari penyelenggaraan asuransi kesehatan dengan sistem managed care.
Penerapan sistem kompensasi pada dokter harus dipertimbangkan dengan baik, karena merupakan salah satu penentu yang mempengaruhi kinerja dokter yang bersangkutan. Secara teori pembayaran kapitasi pada dokter akan menurunkan biaya kesehatan dengan mengurangi volume pelayanan (angka utilisasi dan kunjungan) melalui pemberian pelayanan kesehatan yang efektif. Pembayaran kapitasi akan memaksa dokter untuk mengubah pola pikir, dari yang semula berorientasi pada orang sakit, akan berubah menjadi berorientasi ke orang sehat dengan jalan meningkatkan pelayanan promotif preventif, yang pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan efisiensi biaya pelayanan kesehatan.
Penilaian keberhasilan kapitasi tidak hanya dilihat dari indikator biaya namun hendaknya juga mengukur kualitas pelayanan. Dengan semakin kompleksnya proses dalam memproduksi layanan keehatan, maka diperlukan indikator kinerja yang lebih
komprehensif. Kepuasan pasien merupakan prioritas utama dalam evaluasi kinerja dokter dalam pengendalian biaya (Hendrartini, 2010).
Persepsi tentang kapitasi juga dapat mempengaruhi kinerja dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. penelitian lversen dan luras dalam Hendrartini (2010), menunjukkan bahwa perubahan pembayaran ke kapitasi menyebabkan peningkatan angka kunjungan ke dokter spesialis dan Rumah Sakit sebesar 42% dari angka kunjungan sebelumnya. Hal ini bertolak belakang dengan harapan pemerintah yang menduga bahwa pembayaran kapitasi akan menurunkan rujukan yang tidak perlu ke tingkat lanjutan. Alasan yang melandasi hasil penelitian tersebut diantaranya adalah pengetahuan pemberi pelayanan kesehatan terhadap kapitasi masih kurang dan kuraang efektifnya sistem gatekeeper dalam pelayanan kesehatan.
Pembayaran kepada tenaga kesehatan dengan konsep kapitasi dapat menimbulkan ketidakpuasan dari tenaga kesehatan dikarenakan besaran jasa pelayanan yang diterima oleh tenaga kesehatan berdasarkan pada besaran dana kapitasi yang diterima oleh puskesmas. Apabila besaran kapitasi yang diterima oleh puskesmas kecil maka akan berdampak pada besaran jasa pelayanan yang diterima oleh tenaga kesehatan dikarenakan tenaga kesehatan akan mendapatkan jumlah jasa pelayanan yang rendah. Hasil penelitian Wintera (2005) menunjukkan bahwa 57,7%
dokter puskesmas mempunyai tingkat kepuasan yang rendah terhadap sistem pembayaran kapitasi. Hasil penelitian tersebut dipertegas dengan keluhan dari beberapa dokter puskesmas yang menyatakan tidak puas dengan sistem pembayaran
kapitasi, dimana selain karena jumlahnya kecil, pembayarannya terlambat dan juga tidak tahu jumlah riil peserta di lapangan.
Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Pendekatan yang secara luas dipergunakan untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja dengan mengidentifikasi elemen kunci; upah/gaji, promosi, suasana kerja, rekan sekerja dan supervisi (Cahyani dkk, 2013).Dalam penelitian Hendrartini (2010) menyatakan bahwa Sikap merupakan variabel perantara yang sangat dominan mempengaruhi kinerja dokter secara langsung dan positif. Sikap berperan sebagai variabel perantara yang menjembatani pengaruh tak langsung dari kepuasan dokter, pendapatan kapitasi dan pengetahuan dokter.
Pada tahun 2014 rasio dokter umum per puskesmas di Indonesia sebesar 1,83.
Secara umum jumlah dokter yang bekerja di puskesmas telah tercapai, tetapi persebarannya yang belum merata. Rasio dokter umum terhadap puskesmas tertinggi terdapat di Provinsi Kepulauan Riau sebesar 4,21 dokter umum per puskesmas.
Sedangkan untuk Provinsi Sumatera Utara rasio dokter umum terhadap Puskesmas adalah sebesar 2,56 (Profil Kesehatan Indonesia, 2014) .
Indonesia memiliki beberapa karakteristik yang menyebabkan terjadinya maldistribusi tenaga dokter. Secara geografis, Indonesia memiliki berbagai daerah yang sulit untuk dijangkau, dimana daerah-daerah tersebut sama sekali tidak menarik minat dokter untuk bekerja dalam jangka waktu yang lama. Dari sisi kemampuan
ekonomi, Indonesia memiliki variasi kemampuan yang sangat lebar. Ada daerah dengan kekuatan ekonomi yang sangat kuat, namun ada juga daerah yang sangat terbelakang. Situasi ini menyebabkan terjadinya penumpukan dokter pada daerah tertentu dan kekurangan tenaga dokter pada daerah yang lainnya (Meliala, 2009).
Dengan jumlah dokter yang tercukupi, serta kinerja yang baik, maka pelayanan kesehatan di puskesmas terutama dalam bidang Upaya Kesehatan Perorangan semestinya dapat terselenggara dengan optimal sehingga akan berdampak terhadap terpenuhinya hak masayarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkuaitas
Pada tahun 2015 terdapat sejumlah 12 orang dokter umum dan 1 orang dokter gigiyang bertugas di puskesmas di wilayah Kota Gunungsitoli, yang terdiri dari 4 orang dokter dengan status PNS, sedangkan 9 orang dokter lainnya berstatus pegawai tidak tetap. Dokter-dokter tersebut melayani di 6 (enam) puskesmasyang terdapat di Kota Gunungsitoli. Dilihat dari standar rasio jumlah dokter terhadap puskesmas, maka Kota Gunungsitoli memiliki ratio jumlah dokter umum sebesar 8,94dokterper 100.000 pndududuk dan ratio jumlah dokter gigi sebesar 0,74 per 100.000 penduduk.
Keadaan tersebut masih belum sesuai dengan Target Indikator Pembangunan Kesehatan Kota Gunungsitoli dimana pada tahun 2015 ratio jumlah dokter umum yang tersedia adalah 24,34 per 100.000 penduduk, sedangkan target ratio jumlah dokter gigi yang tersedia adalah sebesar 7,85 per 100.000 penduduk. Target rasio ketersediaan dokter umum berdasarkan Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan adalah 40 dokter per 100.000 penduduk, sedangkan untuk dokter gigi adalah 11 per
100.000 penduduk (Pusdatin, Kemenkes RI 2013).Rekomendasi WHO (Worl Health Organization) untuk ketersediaan dokter sesuai dengan yang tercantum dalam rencana Strategis Kementerian Kesehatan RI 2014 - 2019 adalah 10 per 10.000 penduduk.
Pemanfaatan puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan masih belum sesuai dengan yang diharapkan. puskesmas sebagai FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama)yang berfungsi sebagai gatekeeper seharusnya menjadi tujuan awal bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar. Namunberdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Gunungsitoli menunjukkan bahwa pada tahun 2015 kunjungan peserta BPJS kepuskesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan adalah <10% per bulan dimana hingga dengan akhir tahun 2015 tercatat sebesar 49 % peserta BPJS yang berkunjung ke puskesmas. Persepsi negatif dokter tentang sistem pembayaran kapitasi di era JKN menyebabkan kinerja pelayanan medis tidak sesuai dengan harapan. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa sebagian besar dokter yang menyatakan tidak puas dengan besaran jasa yang diterima dari kapitasi JKN. Menurut mereka besaran jasa sebagai hasil pembagian kapitasi di puskesmas masih belum representatif dengan tingkat kinerja yang mereka berikan.
Selain itu dokter merasa pembayaran kapitasi tidak adil karena dokter tidak dilibatkan dalam penetapan besaran jasa medis.
Standartarif kapitasi untuk perawatan rawat jalan di FKTP diatur berdasarkan Permenkes 69 tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dimana besaran tarif kapitasi untuk puskesmas yaitu
antara Rp.3000 – Rp. 6000 per orang tanggungan tergantung hasil assesment norma kapitasi untuk FKTP. Sebesar 60 % dari total kapitasi yang merupakan jasa pelayanan tersebut kemudiandibagi berdasarkan vaiabel jenis tenaga kesehatan, jabatan, variabel kehadiran serta ditambahkan dengan variabel daerah dan memperhitungkan jumlah tenaga kesehatan di puskesmas. Hal ini menyebabkan jumlah jasa medis yang diterima menurut dokter “terlalu kecil” dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu perbedaan pendapatan dokter dari jasa pelayanan kapitasi di tiap puskesmas di Kota Gunungsitoli berbeda-beda antara Rp 600.000 s/d Rp. 3.500.000 per bulan. Hal ini disebabkan karena perbedaan jumlah peserta yang terdaftar di FKTP dan jumlah tenaga kesehatan di puskesmas. Hal tersebut menimbulkan persepsi yang tidak baik tentang kapitasi dikalangan dokter puskesmas karena menurut mereka jumlah peserta BPJS yang terdaftar di puskesmas tidak serta merta merepresentasikan beban kerja masing – masing dokter di puskesmas karena tidak semua peserta yang terdaftar tersebut dilayani di puskesmas.
Menurut hasil survey awal dilapangan menunjukkan bahwa masih terdapat persepsi masyarakat yang menyatakan tidak puas terhadap pelayanan dokter terutama pada pasien BPJS di puskesmas. Masyarakat lebih cenderung untuk memilih pelayanan pengobatan di klinik swasta yang belum bekerjasama dengan BPJSatau langsung berobat ke rumah sakit dengan meminta rujukan dari dokter puskesmas dimana seharusnya penyakit yang diderita tersebut masih bisa ditangani di puskesmas. Hal tersebut terlihat dari persentase jumlah rujukan pasien BPJS dari puskesmas ke RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Gunungsitoli pada tahun 2015
yang cukup besar yaitu 27,3 % dari total kunjungan pasien BPJS. Angka tersebut meningkat cukup tinggi dibandingkan dengan persentase jumlah rujukan pasien BPJS pada tahun 2014 yaitu sebesar 16,6 %. Berdasarkan keterangan dari pihakDinas Kesehatan Kota Gunungsitoli menyatakan bahwa angka rujukan yang tinggi mayoritas atas permintaan calon pasien. Hal tersebut tentu sangat kontradiktif dengan amanat regulasi JKN yang mengharuskan pelayanan terhadap 155 jenis diagnosa penyakit yang telah ditetapkan di layani di FKTP.
Fungsi kendali mutu dan kendali biaya yang diharapkan bisa terlaksana dengan metode pembayaran secara kapitasi faktanya masih belum bisaberjalan sebagaimana mestinya. Kecenderungan dokter untuk merujuk ke PPK-2 (Pemberi Pelayanan Kesehatan 2) tanpa indikasi yang memperbolehkan untuk dirujuk baik atas permintaan pasien maupun inisiatif dari dokter itu sendiri terlihat masih terdapat di puskesmas.
Hasil wawancara dengan beberapa dokter puskesmas juga menyatakan bahwa melayani pasien dengan 155 jenis penyakit di puskesmas masih belum bisa sepenuhnya dilakukan. Selain dikarenakan keterbatasan sarana & prasarana pelayanan kesehatan penunjang seperti laboratorium dan alat kesehatan serta jumlah tenaga dokter yang masih belum sesuai dengan perbandingan jumlah penduduk, letak geografis beberapa puskesmas yang jauh dari pusat kota juga menjadi hambatan puskesmas untuk menjalin kerjasama atau membangun jejaring dengan sarana kesehatan penunjang. Hal itu dikarenakan sarana kesehatan penunjang hanya terdapat di sekitar kota baik itu di puskesmas maupun laboratorium swasta. Dilain pihak juga
terdapat dokter yang memaksakan pelayanan pengobatan penyakit dengan sumber daya seadanya dikarenakan tuntutan dari regulasi yang ada sehingga mengesampingkan kualitas pelayanan yang diberikan.
Dari uraian tersebut di atas menunjukkan kinerja dokter di puskesmas pada era JKN belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengidentifikasi determinan kinerja dokter puskesmas yang dibayar kapitasi di Wilayah Kota Gunungsitoli.
1.2 Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah maka fokus dari penelitian ini adalah apakah determinankinerja dokter puskesmas yang dibayar dengan sistem kapitasi pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Wilayah Kota Gunungsitoli dilihat dari berbagai aspek yaitu pengetahuan dokter, kepuasan dokter terhadap sistem kapitasi, persepsi dokter terhadap sistem kapitasi, etika dokter, ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di puskesmas, faktor pengawasan serta faktor keinginan pasien untuk langsung dirujuk.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi berbagai determinan kinerja dokter puskesmas yang dibayar dengan sistem kapitasi pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Wilayah Kota Gunungsitoli.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Gunungsitoli dan puskesmas di wilayah Kota Gunungsitoli
Diharapkan dapat menjadi suatu masukan dalam merumuskan kebijakan yang konstruktif dalam hal meningkatkan kinerja Dokter di puskesmas sehingga mewujudkan pelayanan kesehatan yang optimal bagi masayarakat kota Gunungsitoli
2. Bagi Dokter puskesmas
Dapat menjadi masukan untuk meningkatkan kinerja di puskesmas sehingga dapat memberikan pelayanan yang optimal bagi masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan derjat kesehatan masyarakat di Kota Gunungsitoli
3. Bagi Peneliti
Memberikan wacana dan pengetahuan tambahan tentang apa yang menjadi Determinan kinerja Dokter di puskesmas terkait dengan sistem kapitasi di era JKN
4. Bagi Peneliti Lanjutan
Diharapkan dapat menjadi referensi dan perbandingan bagi peneliti lanjutan yang mengkaji topik yang relevan dengan penelitian ini.
2.1 Primary Health Care (PHC)
Primary Health Care (PHC) merupakan Pelayanan kesehatan pokok yang berdasarkan kepada metode dan teknologi praktis, ilmiah dan sosial yang dapat diterima secara umum baik oleh individu maupun keluarga dalam masyarakat melalui partisipasi mereka sepenuhnya, serta dengan biaya yang dapat terjangkau oleh masyarakat dan negara untuk memelihara setiap tingkat perkembangan mereka dalam semangat untuk hidup mandiri ( selfreliance ) dan menentukan nasib sendiri ( self determination)(Setyawan, 2008).
PHC diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO) sekitar tahun 70- an, dengan tujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas.Di Indonesia, penyelenggaraan PHC dilaksanakan di puskesmas dan jaringan yang berbasis komunitas dan partisipasi masyarakat, yaitu Poskesdes dan Posyandu yang ada di setiap wilayah kecamatan dan kelurahan.Pelaksanaan PHC memiliki 3 (tiga) strategi utama, yaitu kerjasama multisektoral, partisipasi masyarakat, dan penerapan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dengan pelaksanaan di masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, PHC berprinsip kepada upaya kesehatan menyeluruh dengan melibatkan berbagai pihak untuk mencapai pelayanan kesehatan yang merata dan berkeadilan. Prinsip pelaksanaan PHC meliputi :
1. Keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, aktivitas, dan evaluasi hasil layanan kesehatan
2. Keadilan (equity) dimana seluruh masyarakat dapat mengakses dan memanfaatkan layanan dasar yang sesuai dengan kebutuhan atau masalah kesehatannya. Artinya layanan ini harus terjangkau dan menggunakan teknologi tepat guna.
3. Integrasi, PHC haruslah terintegrasi dalam sistem kesehatan lokal maupun nasional dan bertanggung jawab memberikan layanan preventif dan kuratif tingkat pertama bagi masyarakat yang dilayaninya, artinya PHC harus berada di tengah - tengah masyarakat yang membutuhkannya dengan support yang luas dan kuat dari sistem kesehatan sebagai pendukungnya.
4. Intersektoral; karena terintegrasi dalam sistem kesehatan maka PHC dapat secara aktif terlibat dalam koordinasi lintas sektor yang bertujuan mengembangkan pembangunan berwawasan kesehatan atau healthy public policy. Perlu diingat bahwa ada determinan sosial ekonomi dan politik yang mempengaruhi kesehatan masyarakat sehingga kolaborasi intersektoral menjadi sangat penting dalam kesuksesan PHC.
Secara umum, PHC memiliki tujun untuk Mencoba menemukan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan yang diselenggarakan, sehingga akan dicapai tingkat kepuasan pada masyarakat yang menerima pelayanan. Dalam pelaksanaannya, PHC juga memiliki tujuan khusus sebagai berikut :
1. Pelayanan harus mencapai keseluruhan penduduk yang dilayanai 2. Pelayanan harus dapat diterima oleh penduduk yang dilayani
3. Pelayanan harus berdasarkan kebutuhan medis dari populasi yang dilayani
4. Pelayanan harus secara maksimum menggunkan tenaga dan sumber – sumber daya lain dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bentuk nyata program PHC di puskesmas. Pelayanan JKN harus diperkuat dengan dukungan primary health care agar upaya kesehatan didukung oleh upaya promotif-preventif dan upaya kuratif ringan dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat.
2.1.1 Implementasi Primary Heath Care (PHC) di Puskesmas
puskesmas sebagaimana tercantum dalam Permenkes 75 Tahun 2014 adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat(UKM) dan Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Dalam konsep penyelenggaraan PHC, puskesmas menjadi ujung tombak guna mewujudkan program tersebut. Sebagai sarana pelayanan kesehatan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, puskesmas harus dapat memberikan pelayanan yang bersifat komprehensif guna mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya di wilayah kerja masing-masing. Adapun prinsip penyelenggaraan puskesmas meliputi :
a. Paradigma sehat
Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
b. Pertanggungjawaban wilayah
Puskesmas menggerakkan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya
c. Kemandirian masyarakat
Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
d. Pemerataan
Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang dapat diakses dan terjangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya dan kepercayaan
e. Teknologi tepat guna
Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan
f. Keterpaduan dan kesinambungan
Puskesmas mengintegrasikan dan mengoordinasikan penyelenggaraan UKM dan UKP lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan Sistem Rujukan yang didukung dengan manajemen puskesmas
Dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di puskesmas juga tidak terlepas dari konsep dasar pelaksanaan PHC. Hal tersebut sebagaimana yang diatur dalam Peratran Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 tentang pedoman pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional dimana menyatakan bahwa penyelenggaraan JKN mengacu pada prinsip - prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diantaranya menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik yang cost effective dan rasional.
2.2 Kinerja
Kinerja adalah penampilan hasil karya individu baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja sebagi bentuk nyata dari hasil kerja yang dapat diukur berdasarkan jumlah dan kualitas pekerjaan yang dihasilkan. Kinerja sebagai output yang dihasilkan dari fungsi atau aktifitas dari suatu pekerjaan yang spesifik selamaperiode waktu tertentu. Fungsi dari pekerjaan atau kegiatan tersebut menjadi dasar evaluasi kinerja. Sebagai contoh pelayanan konsumen dapat menjadi dasar dalam mendeskripsikan kinerja suatu organisasi. Institusi pelayanan kesehatan harus mempunyai instrumen penilaian kinerja yang efektif bagi tenaga medis karena kinerja mereka menjadi salah satu variabel yang penting bagi efektivitas organisasi (Hendrartini, 2010).
Selanjutnya Mangkunegara (2006) menyatakan bahwa kinerja Sumber Daya Manusia merupakan istilah dari kata Job Performance atau Actual Performance (Prestasi Kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seseorang karyawan/pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Handoko (2001) menyatakan bahwa kinerja (perfomance appraisal) adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan dimana dalam kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada para karyawan tentang pelaksanaan kerja mereka.
Penampilan kerja (Job performance) sebagai bagian dari profisiensi kerja adalah menyangkut apa yang dihasilkan seorang dari perilaku kerja. Tingkat sejauh mana seseorang berhasil menyelesaikan tugasnya disebut profesi (level of performance). Individu di tingkat prestasi kerja disebut produktif, sedangkan prestasi kerjanya tidak mencapai standar disebut tidak produktif. Job Performance adalah hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku dalam pekerjaan yang bersangkutan. Menurut teori Atribusi atau Expectancy Theory, penampilan kerja dirumuskan sebagai berikut : P = M × A, dimana P (Performance), M (Motivasi), A (Ability), sehingga dapat dijelaskan bahwa Performance adalah hasil interaksi antara motivasi dengan ability (kemampuan dasar). Dengan demikian orang yang tinggi motivasinya tetapi memiliki kemampuan dasar yang rendah akan menghasilkan performance yang rendah, begitu juga halnya dengan orang yang sebenarnya mempunyai kemampuan dasar yang tinggi tetapi rendah motivasinya (Wijono dalam Pane, 2015).
2.3 Tugas dan Peran Dokterdi Puskesmas
Jika ditinjau dari sistim pelayanan kesehatan di Indonesia, maka peranan dan kedudukan puskesmas adalah sebagai ujung tombak sistim pelayanan kcsehatan.
Sebagai sarana pelayanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat, maka puskesmas bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan menyeluruh, termasuk pelayanan medis.
Dokter & dokter gigi sebagai mana disebutkan dalam Undang – undang nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di dalam Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, dokter merupakan bagian dari tenaga kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis.
Dalam perannya di puskesmas, dokter bertanggung jawab dalam pelaksanaan Upaya Kesehatan Perseorangan tingkat pertama. Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dimaksud dilaksanakan dalam bentuk : rawat jalan, pelayanan gawat darurat, pelayanan satu hari (one day care), home care, rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2014). Dengan tersedianya profesi dokter di puskesmas merupakan jalan bagi masyarakat dalam mendapatkan akses pelayanan medis yang berkualitas dan merata di seluruh wilayah.
2.4 Managed Care
Belajar dari sejarah perkembangan sistem asuransi kesehatan di Indonesia dan pengalaman negara lain, pemerintah Indonesia merekomendasikan pengelolaan asuransi kesehatan menggunakan konsep Managed Care (MC). Konsep ini merupakan alternatif terbaik untuk menyeimbangkan antara aspek pelayanan, aspek pembiayaannya dengan aspek kualitas pelayanan kesehatan sesuai dengan prosedur yang baku.
Menurut Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI), Managed Care sebagai suatu sistem yang mengintegrasikan pembiayaan dan penyediaan perawatan kesehatan dalam suatu sistem yang mengelola biaya dan kemudahan dalam mengakses pelayanan bagi pesertanya. Integrasi pembiayaan dan penyediaan pelayanan kesehatantersebut melalui beberapa cara berikut :
1. Kesepakatan dengan pemberi pelayanan kesehatan tertentu untuk melaksanakan serangkaian jasa pelayanan yang komprehensif bagi peserta program.
Kesepakatan dibentuk dalam satu kontrak dengan provider.
2. Patokan/standar yang dinyatakan secara eksplisit dalam seleksi pemberi pelayanan kesehatan
3. Program formal untuk memperbaiki kualitas yang sudah ada dan kajian pemanfaatannya
4. Penekanan pada hal menjaga agar peserta tetap sehat sehingga penggunaan jasa pelayanan berkurang. Dalam hal ini provider sebetulnya dituntut untuk lebih berorientasi dalam pelaksanaan upya promotif dan preventif.
5. Insentif pembiayaan bagi peserta dalam rangka memanfaatkan pemberi pelayanan kesehatan dan pelayanan yang berkaitan dengan asuransinya.
Ciri umum dari sistem managed care terdiri dari :
1. Kajian pemanfaatan yang menyeluruh / comprehensive 2. Memantau dan menganalisa pola-pola praktek dokter
3. Menggunakan tenaga dokter pelayanan primer dan provider lainnya untuk melayani pasien
4. Menggiring pasien kepada provider yang efisien dan bermutu tinggi 5. Program perbaikan mutu
6. Sistem pembayaran yang membuat para dokter, rumah sakit dan provider lainnya akuntabel baik biaya maupun kualitas pelayanan kesehatan.
Prinsip yang mendasari adalah adanya tanggung jawab atas pengendalian dan integrasi keseluruhan pelayanan yang dibutuhkan pasien. Sedangkan tujuan dasar dari sistem Mangaed Care adalah mengurangi biaya dengan cara meningkatkan kelayakan dan efisiensi pelayanan kesehatan.
Gambar 2.1. Tugas dan Peran BPJS (Managed Care)
Sumber : Hendrartini, 2010 (quality assurance dalam implementasi managed care) Menurut Wholey dkk (1997), pelayanan primer (Primary care) adalah kunci penting dalam pelaksanaan Managed Care dimana primary care merupakan penyediaan pelayanan kesehatan yang terpadu oleh dokter primer yang bertanggung jawab untuk sebagian besar kebutuhan akan pelayanan kesehatan diri, membangun hubungan yang berkelanjutan dengan pasien, dan berorientasi pada keluarga dan masyarakat.
Ada beberapa konsep Managed Care diantaranya : 1. Tripartite Model
Yang dimaksud dengan tripartite (tiga pihak) adalah pihak perusahaan asuransi (insurance company) sebagai pengelola dana, pihak pemberi jasa pelayanan
kesehatan (health provider) dan pihak peserta (consumer). Ketiga pihak harus saling bekerja sama terutama dalam hal pengawasan pelaksanaan pelayanan kesehatan kepada peserta sehingga dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
2. Prepaid Capitation
Adalah suatu sistem pembiayaan kesehatan yang dilakukan di muka berdasarkan kapita atau jiwa yand diikutsertakan. Hal ini berbeda dengan “fee for service”, pembiayaan kesehatan diberikan berdasarkan penggunaan fasilitas/jasa. Jika seseorang memperoleh pelayanan kesehatan melebihi nilai uang yang dibayarkan kepada pihak asuransi, kelebihan tersebut akan menjadi risiko pemberi pelayanan kesehatan (health provider). Sebaliknya jika biaya pelayanan yang diterima lebih kecil dari nilai uang yang telah dibayarkan, kelebihan tersebut akan menjadi insentif kepada pemberi pelayanan kesehatan.
3. Pelayanan Menyeluruh (Comprehensive)
Bentuk pelayanan asuransi ini meliputi semua jenis pelayanan kesehatan mulai dari yang bersifat preventif, promotif, kuratif sampai yang bersifat rehabilitatif. Di dalam pelaksanaannya, ada jaminan untuk pelayanan rawat
jalan tingkat pertama, pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan, dan pelayanan rawat inap serta pelayanan obat.
4. Konsep Wilayah (Dokter Keluarga/Puskesmas)
Peserta asuransi dikelompokkan dalam suatu wilayah tertentu. Pelayanan kesehatan dasar diberikan oleh dokter umum atau dokter keluarga dengan sistem pembiayaan prepaid capitation (prospective payment). Ada wilayah kerja
dikontrak dengan jaringan pelayanannya yang dinamakan purchasing healthyang dibayar dengan sistem kapitasi.
5. Sistem Paket (Budget System)
Adalah sistem pembiayaan yang dilakukan di fasilitas pelayanan rujukan dengan cara menggabungkan beberapa jenis pelayanan atau tindakan medis tertentu dengan tarif paket yang sudah diterapkan sebelumnya. Sistem seperti ini ditempuh untuk menghindari pemanfaatan pelayanan yang berlebihan (over utilization).
6. Konsep Rujukan
Konsep ini diterapkan dengan surat pernyataan rujukan dari institusi pemberi pelayanan kesehatan dasar (misalnya : puskesmas) ke pemberi pelayanan kesehatan rujukan.
Puskesmassebagai salah satu “Pintu masuk” dalam sistem Managed care harus mampu melaksanakan peran untuk menghasilkan pelayanan yang efektif dan efisien kepada pasien. Puskesmas dituntut untuk melaksakan pelayanan kesehatan yang komprehensif atas biaya kapitasi yang diterima dari BPJS. Salah satu faktor yang akan mendukung keberhasilan tersebut adalah pemahaman dokter di puskesmas tentang peran tugas nya sebagai Gatekeeper dalam sistem Managed Care.
2.5 Gatekepper Concept
Gatekeeper Concept adalah konsep sistem pelayanan kesehatan dimana fasilitas kesehatan tingkat pertama yang berperan sebagai pemberi pelayanan
kesehatan dasar berfungsi optimal sesuai standar kompetensinya dan memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan medik (BPJS,2014). Dalam era JKN kompetensi dokter pelayanan primer di standarisasi dengan 155 jenis diagnosa penyakit yang harus ditangani di FKTP.Tujuan dari implementasi Gatekeeper Concept adalah :
1. Mengoptimalkan peran fasilitas kesehatan tingkat pertama dalam sistem pelayanan kesehatan.
2. Mengoptimalkan fungsi fasilitas kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar kompetensinya.
3. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di fasiltias kesehatan tingkat lanjutan dengan melakukan penapisan pelayanan yang perlu dirujuk sehingga mengurangi beban kerja rumah sakit.
4. Menata sistem rujukan.
5. Meningkatkan kepuasan peserta dengan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Pelaksana Gatekeeper Concept pada era JKN merupakan fasilitas kesehatan tingkat pertama yang telah bekerjasama dengan BPJS yang terdiri dari :
1. Puskesmas atau yang setara.
2. Praktik dokter baik praktik perorangan maupun praktik bersama.
3. Praktik dokter gigi baik praktik perorangan maupun praktik bersama.
4. Klinik Pratama atau yang setara.
5. Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara
Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan di era JKN, FKTP mempunyai fungsi pokok. Fungsi pokok FKTP sebagai Gatekeeper dalam era JKN meliputi : 1. Kontak pertama pelayanan (First Contact) merupakan tempat pertama yang
dikunjungi peserta setiap kali mendapat masalah kesehatan.
2. Pelayanan berkelanjutan (Continuity). Hubungan fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan peserta dapat berlangsung secara berkelanjutan/kontinyu sehingga penanganan penyakit dapat berjalan optimal.
3. Pelayanan paripurna (Comprehensiveness). Fasilitas kesehatan tingkat pertama memberikan pelayanan yang komprehensif terutama untuk pelayanan promotif dan preventif
4. Koordinasi pelayanan (Coordination) Fasilitas kesehatan tingkat pertama melakukan koordinasi pelayanan dengan penyelenggara kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada peserta sesuai kebutuhannya.
Dokter merupakan pengatur pelayanan (care manager) dalam pelaksanaan pelayanan di FKTP sebagai gatekeeper.Untuk itu dokter diharapkan memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk melakasanakan pelayanan di FKTP. Menurut BPJS kesehatan, kompetensi fasilitas kesehatan sebagai Gatekeeper meliputi :
1. Kompetensi yang wajib dimiliki: Standar kompetensi dokter umum sesuai dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia yaitu pada kompetensi level 4A (kompetensi yang dicapai saat lulus dokter) dimana pada level tersebut dokter mampu mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas.
2. Kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh semua Gatekeeper adalah :
Standar Kompetensi Dokter Keluarga, Advance Trauma Life Support (ATLS), Advance Cardiac Life Support (ACLS), Sertifikat Keahlian Medis Endokrin, Pelatihan Kesehatan Kerja, Sertifikat Pelatihan Kesehatan Lainnya.
2.6 Indikator Kinerja Dokter Puskesmasdalam Sistem Kapitasi
Kinerja dokter puskesmas dalam sistem pembayaran kapitasi merupakan hasil kerja yang di tunjukkan oleh dokter di puskesmas dalam hal pemberian pelayanan terhadap pasien peserta BPJS. Tujuan sistem pembayaran kapitasi adalah dokter mampu mewujudkan kendali mutu dan kendali biaya terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan. Indikator tersebut dapat dilihat dari tingkat pemanfaatan pelayanan medis oleh peserta BPJS, jumlah rujukan ke Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) 2, serta tingkat kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan dokter di puskesmas.
Menurut Purwanto (2012), pentingnya menetapkankan indikator dalam melakukan penilaian kinerja implementasi sebuah kebijakan akan membantu kita mengenali kemajuan atau pencapaian tujuan dari kebijakan tersebut. Terdapat dua indikator yang digunakan untuk menilai kinerja dari sebuah kebijakan yaitu :
1. Indikator Policy Output
Indikator ini digunakan untuk mengetahui konsekuensi langsung yang dirasakan oleh kelompok sasaran akibat adanya realisasi kegiatan, aktivitas, pendistribusian hibah, subsidi dan lain – lain yang dilaksanakan dalam implementasi suatu
kebijakan dimana apabila kebijakan yang dimaksud untuk membantu masyarakat tidak mampu maka policy output nya terdiri dari :
a. aksesibilitas (keterjangkauan), b. Cakupan (coverage),
c. Frekuensi memperoleh layanan,
d. Bias / penyimpangan pelayanan kepada yang bukan menjadi sasaran e. Ketepatan layanan (service delivery)
f. Akuntabilitas Kebijakan
g. Kesesuaian program dengan kebutuhan 2. Indikator Policy Outcome
Indikator ini sisebut juga indikator dampak dari sebuah kebijakan yang berkaitan dengan perubahan kondisi masyarakat yang menjadi kelompok sasaran kebijakan atau program yaitu dari kondisi awal yang tidak dikehendaki (misalnya : kemiskinan dan keseakitan) menuju kekondisi baru yang lebih dikehendaki (misalnya : sehat dan sejahtera).
Pada era JKN, penilaian kinerja dokter di FKTP lebih kepada keberhasilan dari sistem pembayaran kapitasi, dimana fungsi dokter sebagai Gatekeepper harus bisa diimbangi dengan respon yang baik dari masayarakat taerhadap kualitas pelayanan yang mereka terima sebagai konsekwensi menjadi peserta BPJS. Menurut Hendrartini (2010), kinerja dokter adalah perilaku dokter primer dalam pengendalian biaya dan mutu layanan yang terkait dengan pembayaran kapitasi, yang merupakan
respon konatif dan diukur dengan tiga variabel yaitu : kepuasan pasien, angka utilisasi, angka rujukan.
Indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja dokter dalam pembayaran kapitasi harus mencakup lima komponen, yaitu: kepuasan pasien, kemampuan interpersonal (termasuk komunikasi), partisipasi dokter dalam organisasi profesi dan akademik, dan produktivitas yang dihasilkan berbasis kompensasi (baik dari kapitasi maupun fee for service). Dari kelima komponen di atas, kepuasan pasien merupakan prioritas tertinggi dalam mengukur kinerja tersebut (Hendrartini 2008).
Pada pelaksanaan program Jaminan Pemeliharaan Masyarakat Miskin (JPKMM), Departemen Kesehatan juga menggunakan indikator angka kunjungan ke pelayanan primer dan angka rujukan PPK I ke PPK 2 untuk menilai kinerja dokter.
Target angka kunjungan adalah sebesar 15 % per bulan, sedangkan target untuk angka rujukan yaitu 12% dari angka kunjungan (BAPPENAS, 2005)
2.6.1 Utilisasi
Utilisasi merupakan tingkat pemanfaatan puskesmas sebagai FKTPoleh peserta BPJS di era JKN. Gambaran pemanfaatan tersebut dapat dilihat dari jumlah kunjungan peserta BPJS ke puskesmas yang menunjukkan jumlah masyarakat peserta BPJS yang telah mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan sebagai manfaat dari program JKN. Salah satu faktor pendorongterhadap tingkat utilisasi puskesmas oleh peserta BPJS adalah persepsi terhadap kualitas pelayanan dokter di puskesmas.
Kinerja dokter yang baik akan menjadi faktor pendorong bagi calon pasien peserta BPJS agar mau memanfaatkan puskesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Utilisasi pelayanan adalah sebuah kegiatan pemanfaatan pelayanan oleh sekelompok orang maupun individu. Salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk menggunakan dan memanfaatkan tergantung dari pengetahuan masing-masing individu (Nugroho, 2009).
Menurut Dever (1984) Pemanfaatan pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan interaksi antara pengguna jasa pelayanan (konsumen) dan penyelenggara jasa pelayanan (Provider). Interaksi ini merupakan suatu hal yang sangat kompleks dan berhubungan dengan banyak faktor. Faktor – faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah :
1. Sosial budaya mencakup teknologi dan norma
2. Organisasi meliputi ada tidaknya fasilitas pelayanan kesehatan, kemudahan secara geografis, acceptability, affordability, struktur organisasi dan proses pelayanan.
3. Faktor yang berhubungan dengan konsumen antara lain derajat sakit, morbilitas penderita, cacat yang dialami, sosiodemografi ( umur, jenis kelamin, status perkawinan), sosiopsikologi (Persepsi tentang sakit, kepercayaan dan sebagainya), sosio ekonomi (pendidikan, pendapatan pekerjaan, jarak tempat tinggal dengan pusat pelayanan, kebutuhan).
4. Faktor yang berhubungan dengan provider meliputi kemampuan petugas dalam menciptakan kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, karakteristik Provider (perilaku dokter, jumlah dan jenis dokter, peralatan yang tersedia, serta penggunaan teknologi yang canggih).
Menurut Addani (2008) Pemanfaatan fasilitas kesehatan puskesmas oleh masyarakat dapat dilihat dari beberapa indikator diantaranya :
a. Rata – rata kunjungan per hari buka puskesmas b. Frekwensi kunjungan puskesmas
Rendahnya angka kunjungan rata – rata ke puskesmas tersebut dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, baik itu faktor masyarakat sebagai pengguna pelayanan kesehatan maupun faktor puskesmas itu sendiri sebagai penyedia pelayanan kesehatan.
Beberapa penelitian juga menunjukkan hubungan antara pembayaran kapitasi dengan tingkat kunjungan pasien. Menurut Zierler dkk dalam Hendrartini (2010) menyatakan bahwa hasil evaluasi menunjukkan model pembayaran dokter akan mempengaruhi tingkat kunjungan pasien.
2.6.2 Rujukan
Rujukan merupakan proses melimpahkan wewenang terhadap penanganan suatu kasus penyakit oleh FKTP kepada FKRTL karena keterbatasan kemampuan FKTP untuk menangani kasus tersebut. Proses ini ditujukan agar pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai dengan kebutuhannya.
Dalam Permenkes Nomor 001 Tahun 2012 tentang sistem rujukan pelayanan kesehatan perorangan menjelaskan bahwa sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal.Sistem rujukan diwajibkan bagi pasien peserta jaminan kesehatan atau
asuransi kesehatan sosial dan pemberi pelayanan kesehatan. Rujukan dilaksanakan dari suatu fasilitas kesehatan kepada fasilitas kesehatan lainnya. Rujukan terbagi menjadi dua jenis yaitu :
1. Rujukan vertikal : rujukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan.
Dalam era JKN, tingkatan fasilitas pelayanan kesehatan terbagi menjadi FKTP dan FKRTL.
2. rujukan horizontal yaitu rujukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan.
Rujukan horizontal dilakukan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.
Rujukan merupakan suatu rangkaian kegiatan sebagai respon terhadap ketidakmampuan suatu pusat layanan kesehatan atau fasilitas kesehatan dalam melaksanakan tindakan medis terhadap pasien. Sistem rujukan merupakan suatu mekanisme pengalihan atau pemindahan pasien yang terjadi dalam atau antar fasilitas kesehatan yang berada dalam suatu jejaring. Rujukan dalam arti yang lebih luas, dapat dimulai dari tingkat masyarakat sampai ketingkat layanan kesehatan tersier dan sebaliknya (two-way referral) maupun rujukan antar institusi dalam fasilitas kesehatan tersebut (Kemenkes, 2012).
Sistem rujukan diselenggarakan dengan tujuan memberikan pelayanan kesehatan secara bermutu dan efisien, sehingga fungsi kendali mutu dan kendali biaya dalam era managed care dapat tercapai. Sistem rujukan yang baik merupakan gambaran dari kinerja pelayanan kesehatan suatu fasilitas kesehatan primer .
Pelaksanaan pelayanan kesehatan sesuai dengan kompetensinya akan membentuk sistem ”penapisan” sehingga rujukan akan dilaksanakan kepada pasien yang benar – benar butuh untuk dirujuk. Menurut penelitian Ali, dkk (2014) saat ini kasus rujukan ke layanan sekunder untuk kasus-kasus yang seharusnya dapat dituntaskan di layanan primer masih cukup tinggi, berbagai faktor mempengaruhi diantaranya kompetensi dokter, pembiayaan, dan sarana prasarana yang belum mendukung.
Pelaksanaan rujukan di puskesmas diketahui berdasarkan angka rasio rujukan yang diperoleh dari jumlah pasien yang dirujuk oleh puskesmasdibandingkan jumlah kunjungan dalam gedung dikali 100% yang dibandingkan dengan standar rasio rujukan yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan yaitu 15% (Chabibah& calidyanto, 2014)
Menurut Zuhrawardi (2007) yang mengutip sweenwy, secara ringkas sistem rujukan memberikan kontribusi pada standar pelayanan medis yang tinggi dengan membatasi upaya medis yang berlebihan dan adanya pembagian tugas yang efisien antara dokter umum dan dokter spesialis.
Menurut Hendrartini (2010), Angka rujukan adalah rata – rata perbandingan antara jumlah pasien yang dirujuk ke dokter spesialis atau rumah sakit dengan kunjungan pasien dalam satu bulan di nyatakan dalam persentase dimana standar nasional rujukan dengan kriteria baik antara 7%-12%, <7% atau >12% termasuk kriteria buruk. Dalam peraturan Kepala BPJS No. 2 Tahun 2015 juga disebutkan bahwa zona aman rujukan kasus “non-spesialistik” dari FKTP ke FKRTL adalah 5 %.
2.6.3 Kepuasan Pasien
Kepuasan pasien merupakan kesesuaian harapan pasien peserta BPJS yang datang berobat ke puskesmas dengan pelayanan medis yang diterima. Kepuasan yang timbul merupakan konsekwensi dari mutu dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh dokter kepada si pasien. Kepuasan pasien tentang pelayanan kesehatan oleh dokter di puskesmasmerupakan interpretasi tentang tingkat kinerja dokter di puskesmas.Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam pengembangan JKN adalah kepuasan pasien, dimana dalam peta jalan (road map) JKN disebutkan bahwa pasien yang menyatakan puas akan pelayanan fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS pada tahun 2019 adalah sebesar 85 % (DJSN,2012).
Menurut Utama (2003), semakin besar kekurangan dan semakin banyak hal penting yang diinginkan semakin besar rasa ketidakpuasan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi selisih antara kebutuhan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai keinginan pasien dengan pelayanan yang telah diterimanya, maka akan terjadi rasa ketidakpuasan pasien. Dalam mewujudkan rasa puas pasien terhadap pelayanan kesehatan yang diterima ditentukan oleh kenyataan apakah pelayanan yang diberikan bisa memenuhi kebutuhan dan harapan dengan menggunakan sudut pandang pasien sebagai alat kur kualitas pelayanan yang diterima.
Menurut Azwar (1996), dimensi kepuasan pasien sangat bervariasi. Ada 2 macam dimensi kepuasan pasien yaitu :
1. Kepuasan yang mengacu pada penerapan dan standart kode etik profesi dimana dalam melakukan pengukuran terhadap kualitas pelayanan yang bermutu dilihat dari penerapan standar operasional pelaksanaan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan kode etik profesi. Dalam hal ini kepuasan pasien mencakup kepada : a. Hubungan dokter - pasien
Hubungan dokter dan pasien yang baik adalah salah satu kewajiban etik.
Dokter diharapkan dapat dan bersedia memberikan perhatian yang cukup kepada pasiennya secara pribadi, menampung dan mendengarkan semua keluhan, serta menjawab dan memerikan keterangan yang sejelas jelasnya tentang segala hal yang ingin diketahui pasiennya.
b. Kenyamanan pelayanan (Amenities)
Kenyamanan pasien merujuk kepada ketersediaan dan kualitas yang baik dari fasilitas yang berada sarana pelayanan kesehatan. Namun yang lebih utama adalah kenyamanan yang timbul dari sikap dan tindakan para petugas dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien..
c. Kebebasan melakukan pilihan (Choice)
Kebebasan yang dimaksud merupakan kebasan pasien bebas memilih pelayanan yang diinginkannya dan fasilitas kesehatan sebagai penyelenggara harus memberikan mutu yang diharapkan pasien.
d. Pengetahuan dan kompetensi teknis (Scientific Knowledge and Technical Skill)Rasa puas pasien terhadap kualitas pelayanan yang bermutu
merupakan hasil dari tingkat pengetahuan dan kompetensi dokter dalam menagani diagnosa penyakit pasien yang baik.
e. Efektivitas pelayanan (Effectivess)
Pelayanan yang efektif merupakan prinsip pokok penerapan standart profesi dimana pelayanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien.
f. Keamanan tindakan (Safety)
Pemberian kepastian jaminan kemanan tindakan kepada pasien juga merupakan bagian penting yang dapat memberikan kenyamanan dan kepuasan terhadap pelayanan kesehatan yang diterima
2. Kepuasan yang mengacu pada penerapan pelayanan kesehatan dimana ukuran ukuran yang mengacu pada penerapan pelayanan kesehatan meliputi :
a. Ketersediaan pelayanan kesehatan (Available)
yaitu apabila pelayanan kesehatan itu tersedia dimasyarakat b. Kewajaran pelayanan kesehatan (Appropriate)
artinya bahwa pelayanannya bersifat wajar dan dapat mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi.
c. Kesinambungan pelayanan kesehatan (Acceptable)
Dapat diterima atau tidaknya pelayanan kesehatan sangat menentukan puas dan tidaknya pasien terhadap pelayanan kesehatan.
d. Ketercapaian pelayanan kesehatan (Accesible)
Pelayanan kesehatan yang lokasinya terlalu jauh dari tempat tinggal tentu tidak mudah dicapai sehingga tidak memuaskan pasien.
e. Keterjangkauan pelayanan Kesehatan (Affordable)
Pelayanan kesehatan yang terlalu mahal tidak akan dapat dijangkau oleh masyarakat sebagai pengguna jasa maka akan membuat pasien enggan kembali sehingga pasien tidak akan meras puas.
f. Efisiensi Pelayanan Kesehatan (Efficient)
Efisiensi pelayanan kesehatan mengacu pada baiaya yang dikeluarkan oleh pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
g. Mutu Pelayanan Kesehatan (Quality)
Mutu pelayanan kesehatan yang dimaksud disini adalah yang menunjuk pada kesembuhan penyakit serta keamanan tindakan.
2.7 Determinanfaktor Kinerja Dokter Puskesmas dalam Sistem Kapitasi
Determinanfaktor kinerja dokter puskesmas dalam sistem kapitasi merupakan study analisis terhadap faktor-faktor yang berkaitan dan memberikan dampak terhadap kinerja dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien dalam sistem pembayaran kapitasi. Menurut penlitian Hendrartini (2010), determinan kinerja dokter primer dalam kapitasi terdiri dari persentase pendapatan kapitasi, pengetahuan dokter tentang kapitasi, sikap terhadap pembayaran kapitasi, kepuasan dokter dan norma subyektif. Sikap menjadi variabel yang paling berpengaruh yang menjembatani pengetahuan dan kepuasan dokter terhadap sistem kapitasi.
Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa kinerja dokter puskesmaspada yang kurang optimal di era JKNdi wilayah Kota
Gunungsitoli juga berhubungan dengan keterbatasan sumber daya baik berupa tenaga dokter yang ada di puskesmas maupun dan sarana prasarana penunjang pelayanan medis di puskesmas.
Sistem kapitasi merupakan salah satu ciri dari implementasi sistem asuransi kesehatan dengan sistem managed care. Keberhasilan sistem managed care sangat ditentukan oleh efisiensi pemakaian sumber daya, sehingga peran dokter puskesmassebagai gate keeper dalam sistem tersebut sangat penting. Sebagai gate keeper dokter harus mampu mengendalikan biaya pelayanan kesehatan (cost containment) dan mutu pelayanan kesehatan. Kinerja dokter primer dalam pengendalian biaya pelayanan tidak terlepas dari faktor – faktor yang mempengaruhinya.
Menurut Payaman S Simanjuntak (2005), kinerja setiap orang dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat di golongkan dalam 3 kelompok yaitu kompetensi individu orang yang bersangkutan, dukungan organisasi dan dukungan manajemen.
Faktor–faktor yang mempengaruhi kinerja adalah : Faktor individual, yang terdiri dari kemampuan, keahlian, latar belakang, tingkat pendidikan serta demografi.
Faktor psikologis, yang terdiri dari persepsi, attitude, personality, pembelajaran dan motivasi. Faktor organisasi, yang terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan, struktur, dan job designe (Gusneti, 2014).
Menurut Hendrartini (2010) yang mengutip Herzberg Faktor – Faktor yang mempengaruhi kinerja secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor ketidakpuasan (dissastifiers) atau Hygiene factors (faktor untuk memelihara)