• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.4 Determinan Faktor Persepsi Dokter

Persepsi dokter tentang sistem kapitasi merupakan pandangan dokter secara umum terhadap pelaksanaan sistem kapitasi di puskesmas. Persepsi dokter tentunya didasari dengan pertimbangan tentang baik tidaknya pelaksanaan sistem kapitasi terhadap dirinya. Persepsi dokter tentang sistem kapitasi akan berdampak pada cara dokter dalam menyikapai sistem kapitasi tersebut. Persepsi dan sikap negative akan

menyebabkan cara kerja dokter yang berbeda dalam melakukan tugasnya di puskesmas.

Menurut Hendrartini (2010), persepsi dokter terhadap sistem kapitasi akan mempengaruhi sikap dokter terhadap pekerjaannya sehingga sikap seseorang merupakan cermin dari kepuasan kerja. Sikap berasal dari persepsi seseorang terhadap pekerjaannya, jadi kepuasan kerja bersumber dari berbagai aspek kerja, seperti kompensasi, kesempatan untuk berkembang (promosi) dan hubungan dengan supervisior dan rekan kerja.

Di puskesmas wilayah kota Gunungsitoli sebagai tempat penelitian menunnjukkan adanya persepsi yang berbeda antara dokter di puskesmas tentang sistem kapitasi. Persepsi yang timbul lebih dominan ditimbulkan oleh konsekwensi dari penerimaan jasa pelayanan serta kesiapan puskesmas dalam mendukung program JKN di puskesmas. Hal tersebut menyebabkan dokter merasa tidak ada feed back yang positif terhadap dirinya pada sistem kapitasi ini.

Persepsi negatif yang timbul juga berkaitan dengan pola kerja yang berubah dari sebelum pelaksanaan sistem kapitasi di era JKN. Penambahan beban kerja sebagai konsekwensi dari semakin mudahnya akses masyarakat untuk mendapat pelayanan kesehatan menyebabkan perubahan terhadap cara kerja dokter yang tentunya akan merubah persepsinya terhadap pekerjaannya tersebut.

Menurut Hendrartini (2010), persepsi dokter terhadap sistem kapitasi akan mempengaruhi sikap dokter terhadap pekerjaannya sehingga sikap seseorang merupakan cermin dari kepuasan kerja. Sikap berasal dari persepsi seseorang

terhadap pekerjaannya, jadi kepuasan kerja bersumber dari berbagai aspek kerja, seperti kompensasi, kesempatan untuk berkembang (promosi) dan hubungan dengan supervisior dan rekan kerja.

Persepsi tidak timbul dengan sendirinya, akan tetapi melalui proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi sesorang. Hal inilah yang menyebabkan setiap dokter memiliki interpretasi yang berbeda tentang sistem kapitasi. Menurut Robins dalam Ramadhan (2009), ada 3 faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang yaitu :

1. Individu yang bersangkutan (pemersepsi)

Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha untuk memberikan interprestasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia akan dipengaruhi oleh karakteristik individual yang dimilikinya seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman, pengetahuan, dan harapannya.

2. Sasaran dari Persepsi

Sasaran dari persepsi dapat berupa benda, orang, ataupun peristiwa. Sifat-sifat itu biasanya berpengaruh kepada persepsi orang yang melihatnya. Persepsi terhadap sasaran bukan merupakan sesuatu yang dilihat secara teori melainkan dalam kaitannya dengan orang lain yang terlibat. Hal tersebut yang seseorang cenderung mengelompokkan benda, orang ataupun peristiwa sejenis dan memisahKannya dari kelompok lain yang tidak serupa.

3. Situasi

Persepsi harus dilihat secara kontekstual yang berarti situasi dimana persepsi itu timbul, harus mendapat perhatian. Situasi merupakan faktor yang turut berperan dalam proses pembentukan persepsi seseorang.

Persepsi dokter di puskesmas terhadap sistem kapitasi lebih cenderung diengaruhi oleh faktor individu dokter sendiri sebagai pemersepsi. Faktor pengetahuan dan serta pemahaman yang masih kurang tentang sistem kapitasi dan juga berbagai motif dan kepentingan yang masih belum sesuai dengan harapan yang diinginkan menjadi landasan utama dalam membentuk persepsi dokter di puskesmas.

5.5 Determinan Faktor Ketersediaan Sarana dan Prasarana Puskesmas

Sarana dan prasarana kesehataan merupakan hal yang mendasar yang dibutuhkan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di puskesmas. Sarana dan prasarana yang tersedia baik secara kuantitasdan kualitas akan menentukan mampu tidaknya suatu puskesmas untuk melaksanakan pelayanan sesuai dengan yang diharapkan selain juga dibutuhkan ketersediaan sumber daya manusia kesehatan yang berkualitas.

Dalam sistem kapitasi di era JKN, sarana dan prasarana kesehatan juga menjadi hal yang sangat penting yang harus di benahi di setiap fasilitas kesehatan.

Dalam era JKN standard ketersediaan obat di fasilitas kesehatan diatur dalam Formularium Nasional sebagai acuan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan

untuk masyarakat di era JKN. Selain itu untuk ketersediaan alat kesehatan di Fasilitas Kesehatan di era JKN juga mengacu pada Kopendium Alat Kesehatan.

Menurut teori C.Edward III dalam Subarsono (2005), walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi terhadap kebijakan tersebut tidak akan berjalan efektif. Hal tesebut menunjukkan pentingnya ketersediaan sumberdaya dalam memastikan tercapainya suatu tujuan kebijakan.

Sarana dan prasarana kesehatan merupakan salah satu sumberdaya yang harus dipenuhi di puskesmas dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan di era JKN selain juga ketersediaan tenaga kesehatan yang memadai. Ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan tentunya harus didukung dengan perencanaan dan penyediaan anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan sarana dan prasarana kesehatan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan di puskesmas masih sangat minim dalam mendukung kinerja dokter memberikan pelayanan Kesehatan di puskesmas. Hal tersebut terlihat dari keluhan dokter dalam keterbatasan memberikan pengobatan dan pemeriksaan tambahan untuk menegakkan diagnosa pasien di puskesmas.

Dalam penelitian juga menunjukkan bahwa kelemahan dalam sistem perencanaan dan pengadaan obat menjadi faktor utama ketidak tersediaan obat di puskesmas. Sistem pengadaan obat seharusnya dilaksanakan lebih awal sehingga dapat mengantisipasi keterlambatan pegiriman obat dari distribtor yang menyebabkan

kekosongan obat di puskesmas. Perencanaan kebutuhan obat oleh Dinas Kesehatan di puskesmas di era JKN juga seharusnya mengacu pada standar kebutuhan obat sesuai dengan Formularium Nasional, sehingga pengobatan terhadap semua diagnosa penyakit yang harus ditangani di FKTP dapat terlaksana di puskesmas. Dalam hal perncanaan obat, Dinas Kesehatan Kota Gunungsitoli juga seharusnya melibatkan dokter di puskesmas untuk meminta masukan terhadap jenis obat yang prioritas paling banyak dibutuhkan sehingga keefektifansistem perencanaan ketersediaan obat dapat terlaksana.

Pemanfaatan dana kapitasi dalam pengadaan obat dan alat kesehatan di puskesmas juga belum terlaksana secara optimal. Hal tersebut juga turutberperan mengakibatkan kekurangan obat dan alat kesehatan di puskesmas. Pemanfaatan dana kapitasi sesuai dengan Permenkes 19 Tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan Dan Dukungan Biaya Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah dimana puskesmas dapat melaksanakan pengadaan obat dan alat kesehatan lainnya untuk mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan kepada pasien BPJS di era JKN.

Dana kapitasi puskesmas di Kota Gunungsitoli di peruntukkan untuk biaya operasional lainnya, 40 % dari dana tersebut di alokasikan untuk penyediaan obat dan alat kesehatan di puskesmas. Namun pemanfaatannya masih belum bisa dilaksanakan di puskesmas karena puskesmas merasa tidak memiliki dasar hukum yang cukup jelas yang dapat digunakan sebagai acuan dalam teknis pelaksanaannya. Dalam hal tersebut seharusnya dibutuhkan suatu regulasi daerah yang sifatnya mengatur tentang

teknis pemanfaatan dana kapitasi puskesmas untuk pembelian obat sehingga puskesmas dapat membelanjakan langsung dana kapitasi tersebut sesuai dengan kebutuhannya.

Dalam penelitian juga menunujukkan bahwa faktor disposisiyang tidak jalan anatara Dinas Kesehatan dan puskesmasdalam pemanfaatan dana kapitasi untuk pengadaan obat dan alat kesehatan. Hal tersebut terlihat dari instruksi Kepala Dinas Kesehatan Kota Gunungsitoli kepada seluruh puskesmas di wilayah Kota Gunungsitoli untuk melakukan pembelian langsung obat di puskesmas tidak dilaksanakan. Menurut Subarsono (2005), apabila implementator memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, namun ketika implementator memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesamaan perspektif pemikiran dalam menjalankan suatu kebijakan akan menentukan berhasil tidaknya suatu kebijakan tersebut. Ketidaksamaan prespektif antara Dinas Kesehatan dan pihak puskesmas dalam pemanfaatan dana kapitasi memberikan dampak terhadap ketersediaan sarana dan prasasrana pelayanan kesehatan di puskesmas.

Menurut Tangkilisan (2003), disposisi atau sikap dari implementator adalah faktor kritis didalam pendekatan terhadap implementasi kebijakan publik. Jika menginginkan implementasi kebijakan berjalan efektif, implementator tidak saja harus tahu apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas dalam mengerjakannnya, melainkan juga mereka mesti harus berkehendak untuk melakukan

kebijakan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam upaya penyediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, Dinas Kesehatan dan puskesmas seharusnya memiliki pandangan yang sama dalam mengartikan suatu regulasi. Instruksi Dinas Kesehatan kepada puskesmas yang tidak jalan merupakan dampak dari perbedaan pandangan terhadap regulasi yang mengatur tentang pemanfaatan dana kapitasi untuk pengadaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di puskesmas sehingga menimbulkan diskresi terhadap kebijakan tersebut.

Pemanfaatan dana kapitasi untuk penyediaan sarana dan prasarana tentunya urusan wajib Dinas Kesehatan dan puskesmas. Penyediaannya harus berdasarkan kebutuhan disertai dengan pelaksanaan yang harus sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku. Untuk mengantisipasi permasalahan sistem pengadaaan sarana dan prasarana kesehatan di puskesmas, seharusnya setiap puskesmas memiliki tenaga pengadaaan yang ahli (Pejabat Pengadaan) dan telah mengikuti sertfikasi pengadaan barang jasa pemerintah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 04 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah.

Pemerintah daerah seharusnya merencanakan kebutuhan fasilitas ini jauh sebelum penerapan JKN sehingga pelaksanaannya akan bisa lebih maksimal.

Perencanaan sektor keehatan ini dipengaruhi oleh adanya prioritas sektor lain non kesehatan sehingga mengurangi alokasi pembiyaan untuk sektor kesehatan khususnya yang dapat mendukung JKN. Menurut Rundungan (2015), Fasilitas yang lengkap dan sesuai dengan standar yang ditetapkan (standart personal and facilities) diharapkan dapat meningkatkan kualiatas mutu layanan. Sumber daya merupakan faktor yang

sangat penting untuk terlaksananya suatu perilaku. Fasilitas yang tersedia hendaknya dengan jumlah serta jenis yang memadai dan selalu keadaaan siap pakai dan untuk melakukan tindakan harus ditunjang fasilitas yang lengkap dan sebelumnya harus sudah disediakan.

5.6 Determinan Faktor Etika Dokter

Etika dokter puskesmas dilihat dari cara dokter bertindak dan berkomunikasi dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Etika dokter pada hakikatnya selalu berpegang teguh pada sumpah dokter dan kode etik profesi kedokteran. Hal tersebut juga menjadi landasan dokter untuk melaksanakan segala kegiatan tugas sebagai tuntutan profesi. Dokter selalu dituntut untuk dapat memberikan yang optimal kepada pasien dengan etika yang terjaga dengan standard etik yang berlaku.

Menurut Daldiyono (2006), profesi kedokteran memiliki ciri atau karakteristik yang unik dan bersifat keilmuan, keterampilan, perilaku, humanistik dan juga bersifat seni (the art of medicine). Faktor –faktor yang dapat menimbulkan kekhususan bagi dokter adalah :

1. Bahwa profesi kedokteran bersangkutan dengan manusia

2. Bahwa manusia yang berhubungan dengan dokter tentunya yang sedang sakit atau datang untuk pencegahan penyakit atau sekedar konsultasi.

3. Bahwa manusia yang sakit sangat mengharap kesembuhan dengan segala kekhawatirannya.

4. Bahwa keputusan dan perkataan dokter sangat menentukan dalam proses penyembuhan

5. Bahwa terdapat perbedaan yang sangat besar dalam hal pengetahuan antara dokter dan pasien.

Dalam konteks tersebut tentunya dokter di puskesmas harus selalu berfikir tentang bagaimana untuk membebaskan pasien dari penyakitnya dan memberikan segala sesuatu yang pasien butuh kan untuk mencapai derajat kesehatan yang setingi-tingginya.

Pada lokasi penelitian menujukkan bahwa seluruh dokter di puskesmas sebenarnya telah melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan di puskesmas sesuai dengan standar etik yang berlaku. Berdasarkan hasil wawancara tentang bagaimana dokter berkomunikasi dengan pasien, serta juga hasil observasi yang dilakukan di lapangan menjelaskan bahwa sebenarnya dokter tidak memiliki masalah dalam hal penerapan etika terhadap pelayanan di puskesmas. Hal tersebut juga didasari sikap patuh dokter terhadap kode etik profesi kedokteran.

Jika dilihat dari aspek culture dokter di puskesmas juga menunjukkan bahwa mayoritas dokter puskesmas memiliki kesamaan dalam hal budaya dengan masayarakat yang berada di sekitar wilayah kerjanya. Hal tersebut dikarenakan mayoritas dokter di puskesmas juga memiliki latar belakang sukuyang sama dengan masarakat di wilayah kerjanya. Faktor tersebut bisa menjadi hal pendorong bagi dokter di puskesmas untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya baik dalam bertindak dan berkomuikasi dengan pasien. Dalam prinsip kesukuan di wilayah

penelitian dimana suku Niasyang menjadi mayoritas, kewajiban untuk memberikan pertolongan bagi yang membutuhkan sangatlah dijunjung tinggi dalam kehidupan sosial sehari-hari.

5.7 Determinan Faktor Lainnya

Dalam penelitian juga ditemukan hal lain yang menjadi determinan kinerja dokter puskesmas yang dibayar kapitasi di Kota Gunungsitoli. Dalam penelitian menunjukkan bahwa tingginya angka rujukan di puskesmas juga disebabkan oleh faktor eksternal berupa permintaan dari pasien dan faktor kurangnya pengawasan dari pihak BPJS Kesehatan.

Adanya permintaan langsung meminta rujukan tanpa harus diberikan pengobatan di puskesmas masih terjadi di lokasi penelitian. Permintaan-permintaan yang bersifat desakan menyebabakan dokter “terpaksa” memberikan rujukan tanpa indikasi ke Rumah Sakit. Konsep pemikiran sebagian masyarakat dalam mencari pengobatan langsung ke dokter spesialis (specialist minded) menyebabkanadanya rasa tidak puas untuk berobat di puskesmas. Selain itu faktor ketidak percayaan terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang akan diberikan di puskesmas menyebabkan pasien langsung memilih untuk berobat di Rumah Sakit. Dalam penelitian juga menunjukkan bahwa permintaan rujukan tanpa dilayani di puskesmas mayoritas terjadi pada kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Persepsi yang menganggap bahwa pelayanan kesehatan yang didapatkan harus optimal sebagai konsekwensi dari pemotongan gaji tiap bulannya untuk premi asuransi kesehatan.

Sosialisasi sistem pelayanan di era JKN kepada masayarakat di Kota Gunungsitoli masih kurang sehingga menyebabkan masyarakat tidak paham tentang sistem pelayanan kesehatan berjenjang dalam sistem kapitasi. Fungsi sosilasisi tentunya tanggunga jawab seluruh pihak baik dari puskesmas, Dinas Kesehatan dan Kantor BPJS Kesehatan. Pemahaman masayarakat yang baik tentang sistem kapitasi akan dapat mewujudkan tujuan dari program JKN dapat tercapai.

Menurut Baros dalam Lasudi (2015) bahwa pasien peserta asuransi kesehatan membutuhkan pengetahuan yang komprehensif yang meliputi prosedur pelayanan, rujukan. surat jaminan pelayanan, apotik dan daftar obat agar mereka tidak mendapat kendala ketika akan berobat di sarana pelayanan kesehatan. Untuk itu sosialisasi harus selalu dilakukan kepada peserta asuransi kesehatan

Fungsi pengawasan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan yang berjenjang merupakan tugas dari BPJS Kesehatan. Verifikator melaksanakan tugas untuk melakukan verifikasi setiap rujukan yang masuk ke Rumah Sakit. Pengawasan dilakukan untuk memastikan apakah kasus rujukan tersebut telah sesuai indikasi untuk dapat di rujuk ke Rumah Sakit. Fungsi pengawasan juga tentunya bergantung kepada ketersediaan tenaga verifikasi baik secara jumlah maupun kualitas. Sistem pengawasan untuk memastikan prinsip kendali mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan di era JKN bisa tercapai. Pengawasan juga harus melibatkan seluruh pihak yang memiliki kompetensi tehadap profesi yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan di era JKN untuk memastikan tindakan yang diberikan telah sesuai dengan Standar Operating Procedure (SOP) yang berlaku.

Dalam implementasi suatu kebijakan tentunya diperlukan fungsi pengawasan untuk memastikan tindakan yang dilakukan oleh implementator telah sesuai dengan apa yang diatur dalam regulasi. Pedoman pelaksanaan program JKN telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 28 tahun 2014 sehingg setiap stakeholder harus berpedoman pada regulasi tersebut.

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan yang telah dilaksanakan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Pengetahuan dokter puskesmas tentang sistem kapitasi di wilayah Kota Gunungsitoli merupakan hal penting dalam untuk memastikan dokter di puskesmas bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diamanatkan dalam regulasi JKN. Faktor pelaksanaan sosialisasi yang masih belum optimal dan keingintahuan serta kepedulian dokter terhadap sistem kapitasi menjadi faktor yang dominan yang berkaitan dengan rendahnya pengetahuan tentang sistem kapitasi. Hal tersebut berdampak pada kinerja dokter dalam melaksanakan fungsi sebagai gatekeeper pada era JKN di puskesmas.

2. Faktor kepuasan dokter terhadap sistem kapitasi terkait dengan dampak income yang diperoleh dari sistem kapitasi pada era JKN di puskesmas. Hal tersebut dikarenakan adanya implementasi regulasi Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan nomor 027/113/K/2015 yang mengatur tentang penggunaan variabel daerah dalam menetapkan pembagian besaran jasa pelayanan medis bagi petugas kesehatan di puskesmas. Penggunaan variabel daerah tersebut dianggap kurang memberikan reward terhadap profesi dokter di puskesmas. Kepuasan dokter

puskesmas terhadap sistem kapitasi berdampak terhadap kinerja dokter dalam memberikan pelayanan medis terhadap pasien di puskesmas.

3. Persepsi dokter di puskesmas tentang sistem kapitasi menunjukkan bahwa terdapatnya berbagai cara pandang dan sikap terhadap sistem tersebut dimana sebagian dokter menganggap sistem kapitasi bukan merupakan sistem yang tepat untuk diterapkan di puskesmas. Persepsi ini sebagian besar dipengaruhi olehfeed back yang dirasakan dari sistem kapitasi terhadap diri mereka yang tidak sesuai dengan harapan. Hal tersebut memberikan dampak terhadap sikap dan kinerja dokter dalam memberikan pelayan medis kepada masyarakat di era JKN.

4. Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di puskesmas wilayah Kota Gunungsitoli masih belum memenuhi sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam program JKN. Kekurang lengkapan fasilitas tersebut dikarenakan kelemahan sistem perencanaan kebutuhan puskesmasdalam mengahadapi pelayanan kesehatan di era JKN. Faktor lain yang menyebabkan kurangnya sarana dan prasarana pendukung di puskesmas ialah pemanfaatan dana kapitasi untuk pembelian obat dan alat kesehatan yang masih kurang. Hal tersebut berkaitan regulasi yang masih belum jelas dalam mengatur teknis penggunaan dana kapitasi khususnya dalam pembelian obat-obatan di puskesmas. Kekurangan sarana dan prasarana pendukung tentunya memberikan dampak terhadap kinerja dokter di puskesmas.

5. Dokter puskesmas di wilayah Kota Gunungsitoli melakasanakan pelayanan medis sesuai dengan standard etik profesi kedokteran berlaku yang mengatur dokter

dalam berkomunikasi dan melakukan tindakan pada pasien. Hal tersebut juga didorong dengan kesamaan culture budaya mayoritas dokter dengan penduduk di wilayah kerja puskesmas. faktor etika dokter bukan merupakan determinan dalam kinerja dokter yang dibayar kapitasi di puskesmas di wilayah Kota Gununsitoli.

6. Faktor keinginan pasien untuk meminta rujukan langsung tanpa dilayani di puskesmas mempunyai peran dalam meningkatkan angka rujukan tanpa indikasi harus di rujuk ke Rumah Sakit sehingga memberikan penilaian yang tidak baik terhadap kinerja dokter di puskesmas sebagai gatekeeper dalam konsep pelayanan kesehatan di era JKN.

7. Fungsi pengawasan dari pihak BPJS Kesehatan Kota Gunugsitoli terkait dengan sistem pelayanan kesehatan berjenjang masih belum berjalan dengan baik sehingga prinsip kendali mutu dan kendali biaya dalam pelayanan kesehatan di era JKN masih belum terlaksana sesuai dengan yang diharapkan.

6.2 Saran

Dari berbagai hal yang telah disimpulkan dalam penelitian ini, maka dapat disarankan sebagi berikut :

1. Pihak BPJS Kesehatan Kota Gunungsitoli bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Gunungsitoli perlu melaksanakan sosialisasi menyeluruh tentang sistem kapitasi kepada seluruh dokter di puskesmas.

2. Mekanisme sistem penilaian poin dalam menentukan besaran jasa pelayanan medis dari sumber dana kapitasi yang diterima oleh tenaga kesehatan di

puskesmas perlu direvisi dengan meninjau ulang penggunaan variabel-variabel yang tidak memilki indikator yang jelas dalam penilaiannya.

3. Dinas kesehatan perlu membenahi sistem perencanaan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di puskesmas. Sistem perencanaan harus berorientasi pada standar kebutuhan sarana prasarana pelayanan kesehatan di era JKN.

4. Perlu dibuat suatu regulasi yang mengatur tentang teknis pemanfaatan dana kapitasi di puskesmas khususnya penggunaan dana kapitasi untuk keperluan pengadaan obat dan alat kesehatan di puskesmas

5. BPJS Kesehatan Kota Gunungsitoli berkerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Gunungsitoli perlu melakukan sosialisasi yang lebih optimal kepada masayarakat tentang sistem pelayanan kesehatan yang berjenjang di era JKN.

6. BPJS Kesehatan Kota Gunungsitoli perlu melakukan upaya yang lebih optimal dalam fungsi pengawasan terhadap kasus rujukan tanpa indikasi dari puskesmas untuk menekan angka rujukan di Rumah Sakit dan memastikan prinsip kendali mutu dan kendali biaya dalam pelayanan kesehatan dapat terlaksana dengan baik.

7. Dokter di puskesmas harus memberikan pelayanan yang komprehensif kepada pasien peserta BPJS Kesehatan untuk memastikan pasien tersebut mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai dengan kebutuhannya.

8. Perlu dibuatnya sebuah regulasi yang mengatur tentang sistem Punishment terhadap puskesmas yang tidak melaksanakan sistem pelayanan yang diamanatkan dalam program JKN.

9. Perlu dilakukan pengkajian terhadap jumlah diagnosa penyakit yang mampu dilayani di puskesmas wilayah Kota Gunungsitoli.

10. Perlu dilaksanakan penelitian lanjutan tentang seberapa besar berbagai determinan yang telah dijelaskan dalam penelitian dapat mempengaruhi kinerja dari tenaga dokter di puskesmas dalam sistem kapitasi.

Addani, A, 2008., Pengaruh karakteristik masyarakat terhadap utilisasi puskesmas di Kab. Bireuen Provinsi NAD, Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universutas Sumatera Utara

Ali, Fauziah.A, G.D. Kandou, JML.Umboh., 2014. Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Di Puskesmas Siko Dan Puskesmas Kalumata Kota Ternate Tahun 2014, Manado : Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat UNSRAT, Pasca

BPJS Kesehatan., 2014. Panduan Praktis Gatekeeper concept, Jakarta

Cahyani, Ade.S., Psinringi, S,A.,Zulkifli,A., 2013 Pengaruh Kepuasan Kerja

Cahyani, Ade.S., Psinringi, S,A.,Zulkifli,A., 2013 Pengaruh Kepuasan Kerja