• Tidak ada hasil yang ditemukan

Development Provisions

Dalam dokumen Hukum Penanaman Modal dalam Kerangka WTO (Halaman 58-62)

MENGGAGAS KESEPAKATAN KOMPREHENSIF DI BIDANG PENANAMAN MODAL

E. Development Provisions

Tidak dicantumkannya Development Provisions dalam proposal multilateral framework on investment yang diusulkan negara-negara pengusul utama (EC dan USA) memperlihatkan bahwa proposal ini berdampak serius pada fleksibilitas pemerintah

host country yang pada umumnya adalah negara sedang berkembang.

Development Provisions adalah dasar bagi negara sedang berkembang untuk menyesuaikan implementasi aturan-aturan WTO dengan tingkat kebutuhan pembangunan ekonomi mereka sendiri. Fleksibilitas ini diakui dalam Bagian IV GATT 1947 tentang Perdagangan dan Pembangunan (Trade and Development) ayat ke-3 yang menyatakan :

“(3). Bahwa ada kebutuhan untuk usaha-usaha positip, disusun untuk menjamin agar negara-negara sedang berkembang terjamin atas sebuah bagian dalam pertumbuhan perdagangan internasional yang sepadan dengan kebutuhan mereka terhadap pembangunan ekonomi mereka sendiri.”

Development Provisions harus menjadi perhatian dalam multilateral framework on investment di WTO. Fleksibilitas bagi negara-negara sedang berkembang sebagai host country, seyogyanya memperhatikan aspek-aspek terkait pembangunan, antara lain meliputi :

(a). sistim liberalisasi progresif bukan agresif

Sistim liberalisasi agresif dengan pendekatan negative list seperti keinginan awal negara-negara maju kurang tepat bagi negara berkembang termasuk Indonesia. Sistim ini akan membuka secara lebar semua sektor investasi kecuali yang tercantum dalam

schedule of commitment yang diberikan oleh negara. Cara seperti ini akan menutup kemungkinan negara-negara berkembang atau negara terbelakang melindungi investor domestik dari tekanan liberalisasi investasi atau untuk melindungi kepentingan nasional dari dampak negtif investasi asing. Pendekatan negative list tepat untuk regulasi domestik, bukan pada pencantuman komitmen di tingkat multilateral.

Liberalisasi progresif dengan pendekatan positive list lebih memberikan ruang kepada negara berkembang termasuk Indonesia untuk menyesuaikan tingkat liberalisasi secara bertahap sesuai kemampuan dan dukungan kesiapan ekonomi domestik. Dengan cara ini negara-negara berkembang hanya berkewajiban melakukan liberalisasi bidang-bidang usaha yang dicantumkan dalam schedule of commitment dan jika perlu masih bisa menerapkan syarat-syarat tertentu bagi bidang usaha tersebut. Cara ini lebih fleksibel bagi negara berkembang karena cara ini memberikan waktu kepada negara berkembang untuk secara bertahap mempersiapkan kemampuannya atau untuk melindungi industri domestik sampai akhirnya liberalisasi pada sektor tersebut benar-benar terbuka.

Pendekatan seperti ini bukanlah sesuatu yang tidak memiliki dasar dalam kerangka WTO. Liberalisasi jasa dalam kerangka GATS dengan pendekatan positive list

melalui pembatasan khusus dalam specific commitment membuktikan bahwa WTO lebih memilih liberalisasi progresif dari pada agresif. Cara seperti ini justru menjadikan Part IV GATT tentang trade and development menjadi lebih bermakna. Pandangan ekonom liberal yang mengkritik pendekatan positive list dengan menyatakan bahwa pendekatan yang demikian tidak membawa kemajuan apa-apa dalam proses liberalisasi adalah kurang tepat. Dengan mempergunakan contoh kerangka hukum MAI dari OECD dan Article 11 NAFTA sebagai format liberalisasi investasi secara agresif, tidak tepat diterapkan dalam kerangka WTO. Tidak seperti OECD ataupun NAFTA, negara-negara anggota WTO sebagian besar adalah negara berkembang dan terbelakang yang memiliki level flaying field yang berbeda dengan negara-negara maju. Oleh karena itu masih memerlukan sejumlah fleksibilitas bagi anggotanya yang tergolong negara- negara berkembang dan terbelakang. Pendekatan yang sama juga dilakukan dalam APEC. Benar bahwa AFTA lebih mengarah pada pendekatan liberalisasi agresif, namun patut dipahami bahwa lingkup berlakunya AFTA hanya terbatas pada negara-negara kawasan yang seluruhnya adalah negara-negara berkembang.

(b). fleksibilitas dalam menerapkan persyaratan tertentu sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonomi negara berkembang.

Ada sebuah peluang yang bisa diperjuangkan oleh negara-negara sedang berkembang, yakni meninjau ulang Agreement on TRIMs. Jika multilateral framework on investment dalam kerangka WTO ditujukan untuk mengatur investasi secara komprehensif, maka seluruh kebijakan terkait investasi asing, termasuk persyaratan tertentu yang terkait kinerja perusahaan PMA, semestinya diatur dalam multilateral framework, bukan pada kesepakatan tersendiri, seperti dalam Agreement on TRIMs.

Dengan demikian, penerimaan negara-negara sedang berkembang untuk negosiasi

multilateral framework dapat membawa konsekuensi pada pembatalan Agreement on TRIMs.

Meskipun peluang terbuka tetapi kemungkinannya akan sangat kecil, mengingat telah ada kesepakatan dari sebagian besar negara-negara anggota WTO untuk mempertahankan larangan kinerja terbatas pada format yang ditetapkan dalam

Agreement on TRIMs.

(c). pengecualian mengenai pengadaan pemerintah (government procurement)

Pengadaan pemerintah selalu dipergunakan baik oleh negara maju maupun negara-negara sedang berkembang guna meningkatkan pengembangan industri lokal dengan cara memberikan perlakuan khusus dan berbeda, baik dalam kondisi harga, atau kondisi lain dari pengadaan. Guna menjamin fleksibilitas bagi negara sedang berkembang, maka multilateral framework on investment harus mengijinkan penggunaan instrumen pengadaan pemerintah untuk meningkatkan pengembangan perusahaan lokal.

Jika pengadaan pemerintah juga harus diliberalkan, setelah pendisiplinan persyaratan terkait kinerja, maka akan bertambah satu lagi kehilangan instrumen yang menjamin fleksibilitas bagi negara-negara sedang berkembang sebagai host country.

Keadaan semacam ini jelas tidak adil bagi negara sedang berkembang.

Fleksibilitas berupa pengecualian dalam pengadaan pemerintah memiliki dasar dalam kerangka WTO. Article XIII ayat (1) GATS tentang Government Procurement secara tegas mengecualikan jasa yang terkait dengan proyek pengadaan pemerintah dalam lingkup liberalisasi investasi sektor jasa.

(d). Pengamanan Neraca Pembayaran (Balance of Payment Safeguard)

BOP safeguard harus dibangun dalam multilateral framework. Ketentuan ini menjamin fleksibilitas bagi negara-negara sedang berkembang sebagai host country,

untuk menetapkan penahanan atau pembebanan syarat-syarat tertentu atas remitensi profit, dividen an repatriasi keuntungan dari PMA pada saat terjadinya kesulitan neraca pembayaran (BOP difficulties). Klausula BOP safeguard bukanlah ditujukan untuk melakukan pembatasan atas remitensi keuntungan dari investasi, akan tetapi untuk menjaga agar larangan pembatasan remitensi tidak semakin menyulitkan neraca pembayaran pada saat terjadi BOP difficulties.

(e). Special and Differential Treatment berdasarkan penetapan secara objektif standar pembangunan

Negara-negara yang baru mencapai tahap awal pembangunan atau negara- negara yang memiliki pendapatan perkapita yang rendah serta baru berusaha meningkatkannya harus diberikan perlakuan khusus dan berbeda. Kepada mereka ini seharusnya tidak dibebani dengan kewajiban-kewajiban yang dapat menghalangi upaya mereka membangun industri domestik yang baru berada pada tahap awal pertumbuhan.

Special and differential treatment bagi negara berkembang dapat diberikan dalam bentuk komitmen yang tingkatnya lebih rendah dari negara-negara maju dan kemudahan-kemudahan lainnya yang diberikan dalam GATT.

BAB V

HARMONISASI PADA UNDANG-UNDANG

Dalam dokumen Hukum Penanaman Modal dalam Kerangka WTO (Halaman 58-62)