• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Penanaman Modal dalam Kerangka WTO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hukum Penanaman Modal dalam Kerangka WTO"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

yang berbeda dengan perdagangan internasional (international trade). Penanaman modal langsung berkarakter non cross border yang menempatkan pengaturan penanaman modal secara langsung bersentuhan dengan pelaksanaan hak kedaulatan internal sebuah negara berdaulat. Oleh karena itu, dalam tataran internasional sangat sulit membuat sebuah kesepakatan di bidang penanaman modal yang mengikat secara hukum. Hal ini berbeda dengan kegiatan penanaman modal yang berkarakter sebagai

cross border issues dan secara langsung tidak bersentuhan pelaksanaan hak kedaulatan internal sebuah negara berdaulat, karena itulah banyak ditemukan kesepakatan-kesepakatan internasional di bidang perdagangan barang yang mengikat secara hukum (legally binding).

Pandangan tersebut sedikit mengalami pergeseran pasca Uruguay Round GATT (1986-1994) yang kemudian melahirkan WTO. Pada putaran perundingan ini dicapai sebuah kesamaan persepsi bahwa pengaturan perdagangan internasional dan penanaman modal merupakan dua disiplin yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya memiliki keterkaitan erat dan saling melengkapi. Liberalisasi perdagangan internasional dikatakan akan lebih optimal jika diikuti dengan proses liberalisasi pada aliran modal internasional. Oleh karena itu, perundingan berkepentingan agar terdapat keharmonisan dalam penataan peraturan penanaman modal pada tataran hukum nasional negara-negara peserta perundingan.

Pada tahap awal, terlihat bahwa perundingan lebih diarahkan pada penataan persyaratan penanaman modal yang dapat mendistorsi aliran perdagangan barang dan jasa internasional atau persyaratan-persyaratan penanaman modal yang dipergunakan sebagai hambatan perdagangan (trade barrier) oleh negara-negara anggota WTO. Kemudian mengarah pada penataan liberalisasi di sektor jasa yang secara langsung bersentuhan dengan aktivitas penanaman modal langsung melalui modus kehadiran komersial (commercial presence). Perundingan kemudian menghasilkan dua kesepakatan di bidang perdagangan yang berkaitan langsung dengan pengaturan penanaman modal langsung, yakni Agreement on Trade Related Investment Measures dan General Agreement on Trade in Services. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk lebih lanjut berkembang pada perundingan tentang pengaturan penanaman modal secara komprehensif, yang tidak lagi terbatas pada aspek-aspek yang berhubungan langsung dengan kewajiban internasional negara-negara anggota di bidang perdagangan barang internasional. Pada tahap akhir ini, perdebatan tidak bisa terelakkan. Sangat dipahami muncul kekhawatiran negara-negara berkembang mengingat permasalahan ini akan berkaitan langsung dengan masalah kedaulatan negara dan juga dikarenakan adanya perbedaan tingkat kebutuhan pembangunan ekonomi dari negara-negara. Sementara peraturan penanaman modal di suatu negara selalu dihubungkan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi. Masalahnya jika ada peraturan internasional yang mengikat secara hukum, akankah ruang bagi negara berkembang untuk memanfaatkan kehadiran modal (investor) sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonominya akan semakin dibatasi.

(3)

diadaptasikan dengan perkembangan saat ini.

Buku ini berguna bagi bahan ajar, terutama bidang hukum penanaman modal, hukum perdagangan internasional, hukum ekonomi internasional atau hukum bisnis, baik pada tingkatan stara sarjana maupun magister hukum. Akhirnya Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang memberikan kontribusi atas penulisan buku sederhana ini dan semoga bermanfaat dan menjadi amal ibadah dihadapan Allah SWT.

Medan, Oktober 2010

Penulis

(4)

DAFTAR ISI

BAB I : EKSISTENSI PERATURAN PENANAMAN MODAL

DALAM KERANGKA WORLD TRADE ORGANIZATION

(WTO)

A. Latar Belakang

B. Hubungan Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal Langsung

C. Putaran Uruguay (1986-1994) dan Pengaturan Penanaman Modal

1. FIRA Case sebagai Kasus Awal

2. Dua Instrument Pokok Pengaturan Terkait Penanaman Modal Langsung Hasil Kesepakatan Putaran Uruguay D. Perkembangan Pasca Putaran Uruguay

BAB II : KESEPAKATAN DI BIDANG PERDAGANGAN YANG

TERKAIT DENGAN PENANAMAN MODAL (AGREEMENT

ON TRADE RELATED INVESTMENT MEASURES)

A. Latar Belakang

B. Ruang Lingkup

C. Bentuk Persyaratan Penanaman Modal yang Dilarang

1. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan Prinsip National Treatment

2. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan Prinsip General Prohibition on Quantitative Restriction

D. Transparansi

BAB III : KESEPAKATAN UMUM BIDANG PERDAGANGAN JASA

(AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES)

A. Latar Belakang

B. Most Favoured Nations Treatment (MFN)

C. Protecting Through Specific Commitments

D. Transparansi

E. Peningkatan Partisipasi Negara Sedang Berkembang (Development Country)

F. Integrasi Ekonomi

G. Liberalisasi Bertahap

H. Keadaan Darurat

(5)

A. Latar Belakang B. Ruang Lingkup Penanaman Modal C. Penerapan Prinsip Non Diskriminasi

D. Penerapan Prinsip Transparansi

E. Development Provisions

BAB V : HARMONISASI PADA UNDANG-UNDANG PENANAMAN

MODAL INDONESIA

A. Perdebatan tentang Liberalisasi Investasi dalam UUPM 1. Antara Optimistis dan Liberalisasi Investasi yang belum

tepat

2. Kompromi antara liberalisasi investasi dan kepentingan nasional

3. UUPM memberikan fleksibilitas yang cukup bagi Pemerintah

B. UUPM dan Kesepakatan Internasional terkait Penananaman Modal

1. UUPM memberikan perhatian yang cukup terhadap kesepakatan internasional

2. UUPM cukup mengakomodir Agreement on TRIMs dan GATS

3. Perlu perhatian terhadap ketentuan Domestic Regulation

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1. Globalisasi dan Perubahan Hukum

2. Peraturan Perdagangan Internasional dalam

Undang-Undang-Penanaman Modal di Indonesia

3. Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya terhadap Kegiatan Investasi di indonesia

(6)

BAB I

EKSISTENSI PERATURAN PENANAMAN MODAL

DALAM KERANGKA

WORLD TRADE ORGANIZATION

(WTO)

A. Latar Belakang

Kegiatan penanaman modal secara langsung (direct investment)1 memiliki karakteristik yang berbeda dengan kegiatan perdagangan internasional (international trade). Perdagangan internasional merupakan aktivitas ekonomi yang berkarakter lintas batas (cross border) sedangkan karakteristik kegiatan investasi langsung adalah bersifat

non cross border. Sering disebutkan bahwa kegiatan perdagangan internasional secara langsung tidak bersentuhan dengan isu-isu pelaksanaan kedaulatan internal sebuah negara, karena dalam aktivitas ini yang masuk ke wilayah kedaulatan suatu negara adalah barang untuk diperdagangkan. Berbeda dengan kegiatan investasi langsung, yang memasuki wilayah suatu negara tujuan investasi (host country) tidak saja barang/jasa tetapi juga diikuti dengan orang (investor atau tenaga kerja asingnya) yang akan menetap di wilayah negara tersebut. Kehadiran orang asing di wilayah host country

berikut dengan kekayaannya dan aktivitas yang dilakukannya akan bersentuhan secara langsung dengan pelaksanaan kedaulatan internal dari negara host country, antara lain kedaulatan untuk menerapkan hukum nasionalnya terhadap keberadaan orang asing dan kekayaan orang asing tersebut.

Argumentasi kedaulatan tersebut sering dijadikan sebagai dasar menempatkan keberadaan hukum penanaman modal langsung dalam lingkup pelaksanaan kedaulatan internal sebuah negara. Berdasarkan pertimbangan ini, maka kedaulatan untuk mengatur kegiatan investasi langsung dipandang oleh hampir semua negara berdaulat tunduk pada lingkup kedaulatan negara masing-masing. Argumentasi ini didukung oleh Pasal 2.2 Charter of Economic Rights and Duties of State sebagai berikut :

2. Each State has the right :

(a) To regulate and exercise authority over foreign investment within its national jurisdiction in accordance with its laws and regulations and in conformity with its national objectives and priority. No State shall be compelled to grant preferential treatment to foreign investment ;2

Article 2.2. ini memberikan hak kepada host country untuk mengatur dan mengarahkan kegiatan investasi asing yang beroperasi di wilayah yurisdiksi host country sesuai dengan tujuan dan prioritas pembangunan nasional.

1 Kegiatan penanaman modal secara langsung (direct investment) diartikan sebagai kegiatan

penanaman modal yang dilakukan oleh investor melalui kehadiran investor secara langsung pada daerah tujuan investasi dengan cara mendirikan dan menjalankan badan usaha, turut secara langsung mengendalikan kegiatan usaha dan bertanggungjawab terhadap kegiatan usaha yang bersangkutan. Kegiatan penanaman modal secara langsung selalu dibedakan dengan kegiatan penanaman modal secara fortopolio, dimana investor melakukan investasi dengan cara membeli saham atau efek lainnya dan tidak turut melaksanakan pengendalian secara langsung terhadap kegiatan investasi yang bersangkutan.

(7)

Setiap negara memiliki tingkat kepentingan yang berbeda-beda dalam mengatur kegiatan penanaman modal langsung di wilayahnya yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan pembangunan ekonominya. Kebutuhan pembangunan ekonomi negara-negara berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga menimbulkan pengaturan hukum penanaman modal langsung yang berbeda pula. Salah satu contoh, bahwa adakalanya suatu negara membenarkan penanaman modal pada satu sektor usaha tertentu karena pembangunan ekonomi negara tersebut sangat membutuhkan kehadiran modal (asing) untuk mempercepat pengembangan sektor usaha tersebut, namun justru di negara lain bidang usaha tersebut tidak dibenarkan ditanami modal oleh investor asing atau dibenarkan dengan batasan-batasan tertentu. Adakalanya suatu negara hanya mencadangkan beberapa sektor usaha tertentu untuk kegiatan usaha kecil, sehingga tidak dibuka bagi kegiatan penanaman modal. Dilema antara proteksi terhadap kepentingan nasional dan liberalisasi arus modal tetap membutuhkan ruang bagi kedaulatan negara untuk menyesuaikan pengaturan penanaman modal langsungnya dengan kepentingan nasionalnya termasuk kebutuhan pembangunan ekonomi negara tersebut.

Mengingat adanya perbedaan kepentingan nasional negara-negara dan perbedaan tingkat kebutuhan ekonominya, maka dapat dipahami terjadinya kesulitan dalam merumuskan sebuah kesepakatan internasional yang mengikat di bidang pengaturan penanaman modal langsung. Kekhawatiran hilangnya fleksibilitas negara untuk mengatur penanaman modal langsung di wilayahnya sendiri akibat keterikatan dengan peraturan internasional yang mengikat selalu melatar belakangi perdebatan-perdebatan dalam upaya merumuskan kesepakatan internasional yang mengikat secara hukum dalam bidang penanaman modal langsung.

Namun meskipun demikian, ternyata ketiadaan rambu-rambu internasional dalam bidang hukum penanaman modal langsung dalam beberapa hal menimbulkan permasalahan bagi kegiatan penanaman modal. Kedaulatan penuh host country untuk mengatur kegiatan penanaman modal langsung tak jarang melahirkan kebijakan yang diskriminatif, mendistorsi aliran modal dan perdagangan internasional serta mengarah pada pelanggaran terhadap kewajiban internasional host country di bidang perdagangan internasional. Dalam perkembangannya ditemukan pula beberapa kasus pelanggaran kesepakatan perdagangan internasional yang lahir dari kebijakan penanaman modal langsung yang diberlakukan oleh host country. Sehingga memerlukan adanya suatu kesepakatan yang tegas agar suatu negara dengan dalil kedaulatan internal kemudian menerapkan proteksi perdagangan melalui kebijakan investasi, atau menerapkan kebijakan diskriminatif yang dapat menimbulkan kerugian bagi investor atau bahkan kontraproduktif dengan tujuan pengaturan penanaman modal langsung itu sendiri.

(8)

negara-negara peserta agar menghindari perlakuan yang diskriminatif terhadap investor asing.3 Namun, Havana Charter tidak berhasil mendapatkan persetujuan untuk diratifikasi oleh para penandatangannya.4 Sejak saat itu praktis pembicaraan mengenai kebijakan

investasi dan perdagangan kurang mendapatkan perhatian dari negara-negara perserta. dan hanya lebih fokus pada persoalan liberalisasi perdagangan.5 Keadaan ini berubah

setelah dilangsungkannya Uruguay Round pada kurun waktu 1986 – 1994. Uruguay Round sendiri kemudian menghasilkan tiga kesepakatan yang berkaitan langsung dengan pengaturan penanaman modal langsung, yakni : (1). Agreement on Trade Related Investment Measures, dan (2). General Agreement on Trade in Services.

B. Hubungan Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal

Langsung

Para ahli hukum, baik yang berasal dari negara maju maupun negara berkembang, mengakui bahwa hukum perdagangan internasional akan mempengaruhi hukum penanaman modal, demikian juga sebaliknya. Hukum perdagangan internasional bertujuan membuka pasar internasional secara luas, tanpa terganggu oleh hambatan-hambatan perdagangan. Keterbukaan pasar, akan mendorong perubahan pola bisnis perusahaan multinasional dengan melakukan investasi ke luar negeri untuk memenuhi supply pasar internasional dan mendekatkan diri dengan konsumen.6

Mekanisme hambatan tarif yang diatur dalam hukum perdagangan internasional mempengaruhi pola perubahan pengembangan usaha perusahaan multinasional dari sekedar kegiatan perdagangan menjadi kegiatan investasi langsung (direct investment).

Penerapan hambatan tarif pada kegiatan impor akan menekan perusahaan-perusahaan multinasional untuk melakukan relokasi investasi langsung ke wilayah host country.

Produksi langsung di wilayah host country akan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan impor yang bebannya lebih besar karena dibebani tariff impor yang besar.7

3 United Nations, The Impact of Trade Related Investment Measures; Theory, Evidency and Policy Implication, United Nations, New York, 1991, Hal. 79

4 Salah satu penyebabnya adalah tidak bersedianya Congres Amerika Serikat meratifikasi charter

tersebut dan tindakan ini kemudian diikuti oleh negara-negara besar lainnya. Untuk mengisi kekosongan hukum dalam penataan perdagangan internasional, para peserta Konerensi menggunakan salah satu instrument dalam Havana Charter yakni Protocol of Provisional Aplication (PPA) yang penandatangannya cukup dilakukan oleh eksekutif. PPA inilah kemudian menjadi cikal bakal GATT. (Lebih lanjut lihat John H. Jackson, The World Trading System ; Law and Policy of International Economic Relations, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts, London, England, 1989, Hal. 32-39

5 Mari Pangestu, “Perjanjian Internasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Pertamina – Komite Nasional Indonesia – World Energy Council, Jakarta, 1996, hlm. 34.

6 Renato Ruggiero, “ Foreign Direct Investment and The Multilateral Trading System,”

(Transnational Corporation : Vol. 5 No. 1, April, 1996), hal. 1.

(9)

Semakin banyak terjadi relokasi usaha dan internalisasi kegiatan bisnis perusahaan-perusahaan multinasional melalui kegiatan penanaman modal secara langsung, maka akan semakin meningkatkan volume perdagangan internasional antar negara.8 Dengan demikian sistim hukum perdagangan internasional akan mendorong

pertumbuhan investasi internasional. Negara host country dapat memanfaatkan peluang ekonomi dari aliran modal internasional tersebut dengan mempersiapkan sistim hukum penanaman modal yang lebih baik dan iklim usaha yang lebih kondusif.

Sebaliknya, hukum penanaman modal domestik dapat menciptakan hambatan-hambatan terhadap perdagangan internasional dengan menetapkan syarat-syarat penanaman modal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum perdagangan internasional. Meskipun persyaratan-persyaratan penanaman modal tersebut bukan ditujukan secara khusus untuk menciptakan hambatan di bidang perdagangan internasional, tetapi adakalanya persyaratan tersebut menimbulkan akibat yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan internasional. Secara umum, pertimbangan yang demikian yang selalu dipergunakan panel penyelesaian sengketa GATT/WTO untuk melihat keterkaitan hubungan hukum penanaman modal dengan hukum perdagangan internasional.

Perbedaan pandangan mengenai keterkaitan antara kedua disiplin tersebut bersumber dari metode implementasi keterkaitan tersebut dalam piranti hukum internasional. Umumnya negara-negara maju (sebagian besar adalah home country),

lebih menghendaki adanya jaminan terhadap kebebasan penanaman modal yang ditetapkan melalui sebuah perjanjian internasional tentang penanaman modal. Pendekatan yang dipergunakan adalah dengan membuat kerangka pelarangan umum dan tanpa syarat terhadap persyaratan-persyaratan penanaman modal yang diskriminatif, misalnya jaminan perlakuan sama dalam hal right to establish mulai sejak tahapan entry approval atau green field investment, larangan umum terhadap semua bentuk performance requirement, dan lain-lain. Sebaliknya negara-negara sedang berkembang pada umumnya lebih menghendaki pendekatan liberalisasi progresif, bertahap, bersyarat, larangan yang lebih selektif terhadap performance requirement yang secara langsung berkaitan dengan perdagangan internasional dan adanya pengaturan khusus mengenai klausula development provision yang memberikan ruang yang lebih fleksibel bagi pemerintah untuk menyesuaikan peraturan penanaman modal dengan kebutuhan pembangunan ekonomi nasional. Kebutuhan pembangunan ekonomi setiap negara tidak sama, hukum penanaman modal harus memberikan ruang yang lebih luas

kegiatan investasi asing (FDI) oleh perusahaan multinasional di Negara tersebut umumnya berlangsung dengan mengikuti pola internalisasi yang dimulai dengan kegiatan perdagangan dan akhirnya melakukan produksi langsung. Hukum perdagangan internasional dan kebijakan Inggris di bidang perdagangan mendorong perusahaan multinasional menjadi tidak sekedar melakukan kegiatan perdagangan tetapi merubahnya dengan kegiataninvestasi langsung. (United Kingdom, Department of Trade and Industry,

(London : 1996), hal.3

8 Berdasarkan data UNCTAD dalam World Investment Report tahun 2000, disebutkan bahwa

(10)

bagi pemerintah untuk menyesuaikan pengaturan penanaman modal dengan kebutuhan pembangunannya. 9

Terutomo Ozawa mengemukakan sebuah teori tentang foreign direct investment and economic development, yang menentang pelarangan kebijakan FDI yang diterapkan oleh pemerintah host country dan tidak menyetujui upaya-upaya pembentukan satu ukuran aturan investasi yang mengikat semua negara. Menurut Ozawa, masalah kebijakan FDI lebih mencerminkan masalah pembangunan dari pada persoalan perdagangan. Kebijakan FDI suatu negara sangat tergantung pada tingkat pembangunan negara yang bersangkutan. Oleh karena tingkat pembangunan setiap negara adalah berbeda satu dengan yang lainnya membawa konsekuensi yang logis pada perbedaan pada kebijakan terhadap FDI. Ukuran keberhasilan FDI adalah percepatan dalam pencapaian sasaran pembangunan sebuah negara, bukan kepentingan perusahaan multinasional. Oleh karena itu, determinan keberahasilan FDI adalah fleksibilitas pemerintah host country untuk menerapkan kebijakan FDI sesuai kebutuhan, dan bukan berdasarkan pada liberalisasi progresif10 Pandangan ini

didukung oleh Carlos Correa dan Nagesh Kumar yang menyatakan bahwa kehadiran sebuah aturan investasi liberal yang mengikat semua negara tidak menjamin besarnya arus modal yang masuk. Penelitian empiris yang dilakukan oleh mereka membuktikan bahwa faktor yang menentukan masuknya FDI lebih ditentukan oleh faktor besarnya pasar, tingkat pendapatan, kedekatan geografis dan budaya, serta kualitas infrastruktur. Faktor kebijakan memainkan peran yang relatif lebih kecil. Oleh karena itu, tidak ada alasan yang dapat diterima untuk menundukkan kebijakan FDI masing-masing negara pada satu rejim tunggal.11 Namun pada umumnya adanya stabilitas politik, keuntungan

ekonomi dan kepastian hukum menyebabkan modal asing datang ke suatu negara.12

C. Putaran Uruguay (1986-1994) dan Pengaturan Penanaman Modal

1. FIRA Case sebagai Kasus Awal

Peraturan penanaman modal asing masing-masing negara pada dasarnya berisi ketentuan tentang persyaratan-persyaratan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh investor asing, seperti persyaratan penggunaan kandungan lokal (local content requirement), kewajiban menggunakan komponen tertentu buatan dalam negeri, kewajiban alih teknologi (technology transfer requirement), kebijakan keseimbangan

9 Perhatikan lebih lanjut Carlos Correa and Nagesh Kumar, Protecting Foreign Investment : Implication of a WTO Regime and Policy Options, (London and New York : Zed Press, 2003). Dikatakan bahwa rejim investasi internasional yang benar-benar terbuka tidak menjamin bahwa sebuah Negara dengan sendirinya menjadi sangat attraktif bagi arus masuk FDI. Studi empiris menunjukkan bahwa faktor kebijakan, sekalipun sangat liberal, memainkan peran relative lebih kecil dibandingkan dengan determinan lain seperti ukuran pasar, tingkat pendapatan, tingkat urbanisasi, kedekatan geografis dan budaya dengan Negara sumber FDI dan kualitas infrastruktur investasi.

10 Terutomo Ozawa, Foreign Direct Investment and Economic Development, Transnational Corporation,

Vol.1 No. 1, 1992, Hal. 27-54

11 Carlos Correa and Nagesh Kumar, Preotecting Foreign Investment ; Implications of A WTO Regime and Policy Option, Zed Press, London and New York, 2003.

12 Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International Law and

(11)

perdagangan (trade balancing policy), pembatasan bidang usaha, pemilikan saham, penggunaan tenaga kerja asing dan lain sebagainya.13

Adakalanya persyaratan penanaman modal tersebut dapat menghambat perdagangan internasional. Tolak ukur yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi apakah sebuah persyaratan penanaman modal menghambat perdagangan internasional adalah dampak diskriminatif terhadap produk impor dan hambatan kuantitatif terhadap aliran barang yang ditimbulkan persyaratan-persyaratan tersebut. Indikator ini pertama muncul dalam perkara antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Kanada tahun 1982 mengenai Canada’s Foreign Investment Review Act. Kasus ini kemudian sangat terkenal dengan sebutan FIRA Case dan selalu dijadikan referensi dalam pembahasan-pembahan mengenai persyaratan penanaman modalyang terkait dengan perdagangan.

FIRA Case berawal dari tindakan Perlemen Kanada yang melakukan perubahan atas Undang-Undang Penanaman Modal Kanada pada tanggal 12 Desember 1973. Perubahan undang-undang ini ditujukan terutama untuk menjamin bahwa kegiatan bisnis perusahaan asing di wilayah Kanada menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi kemajuan Kanada. Pemerintah Kanada akan mengijinkan kegiatan operasi perusahaan investasi asing hanya jika menurut pertimbangan Pemerintah Kanada perusahaan investasi asing tersebut dapat memberikan keuntungan yang signifikan bagi kemajuan pembangunan ekonomi Kanada. Untuk memastikan tercapainya keuntungan yang signifikan tersebut, Pemerintah Kanada menetapkan syarat bagi investor yang melakukan permohonan penanaman modal asing di Kanada untuk melakuklan hal-hal berikut ;

a. membeli sejumlah persentase tertentu barang-barang dari Kanada; b. menggantikan produk impor dengan produk buatan Kanada;

c. membeli barang-barang dari Kanada jika barang-barang tersebut dapat bersaing dengan barang impor (misalnya jika harga atau persyaratannya sama, maka investor harus membeli produk dari Kanada;

d. membeli dari supplier di Kanada (menyebabkan investor harus membeli barang secara langsung dari produser dalam negeri tetapi tidak dapat membeli langsung dari produser asing). 14

Meskipun pada Perubahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing Kanada disebutkan bahwa tindakan tersebut adalah tindakan sukarela dari perusahaan asing, jadi bukan merupakan kewajiban yang dipaksakan, namun pada pelaksanaannya mau atau tidaknya perusahaan investasi asing memenuhi secara sukarela persyaratan tersebut dikaitkan dengan pemberian ijin investasi. Pernyataan perusahaan investasi asing untuk secara sukarela memenuhi persyaratan tersebut dilampirkan dalam aplikasi permohonan investasi, sehingga patut disangsikan bahwa kesediaan perusahaan investasi asing untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan akan sangat berpengaruh pada putusan Pemerintah Kanada untuk menerima atau menolak permohonan investasi asing untuk beroperasi di wilayah Kanada. Tambahan lagi dinyatakan bahwa pernyataan sukarela tersebut akan mengikat secara hukum setelah disetujui oleh investor asing.

13 David Conklin and Donald Lecraw,Restrictions on Foreign Ownership during 1984-1994 ;

Development and Alternative Policies”, Transnational Corporations, Vol. 6 No.1, April, 1997, Hal. 4 -29.

14 Paul Civello, “The TRIM’s Agreement : A Filed Attempt at Investment Liberalization”,

(12)

Meskipun didalilkan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut bukan merupakan kewajiban yang dipaksakan, akan tetapi pengalaman “Apple Computer”, salah satu perusahaan multinasional asal Amerika Serikat, justru menggambar sebaliknya. Pada awalnya perusahaan multinasional ini keberatan terhadap persyaratan-persyaratan yang ditawarkan oleh Pemerintah Kanada. Setelah hampir selama satu tahun melakukan negosiasi dengan Pemerintah Kanada, perusahaan itu baru diberikan ijin untuk beroperasi di wilayah Kanada. Pemberian ijin ini pun diberikan setelah “Apple Computer” menyetujui serangkaian persyaratan, antara lain mengenai kesediaan “Apple Computer” untuk membeli barang-barang buatan Kanada dalam persentase tertentu dari proses produksi dan persetujuan untuk merekomendasikan komponen-komponen buatan Kanada kepada dealer-dealer “Apple Computer” di seluruh dunia.15

Pemerintah Amerika Serikat dalam tuntutannya yang diajukan tahun 1982 mendalilkan bahwa persyaratan pembelian dan penggunaan komponen lokal buatan Kanada dalam proses produksi bertentangan dengan Artikel III.416, III.517, XI.118 dan

Pasal VII.1. c 19 GATT. sedangkan kewajiban ekspor sejumlah tertentu dari hasil

produksi melanggar ketentuan Artikel XVII.1.c dan XXIII20 dari GATT.

15 Robert H. Edward Jr. and Simon N. Lester, op.cit., Hal.17

16 Article III.4 GATT : The product of the territory of any contracting party imported into the

territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable that accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulation and requirement affecting their internal sale, purchase, transportation, distribution or use …

17 Article III.5 GATT : No contracting party shall establish or maintain any internal quantitative

regulation relating to the mixture, processing or use of products in specified amount of proportions which requires, directly or indirectly, that any specified amount or proportion of any product which is the subject of the regulation must be supplied from domestic sources…

18 Aticle XI.1 GATT : No prohibiton or restrictions other than duties, taxes or other charges,

whether made effective through quotas, import or export licenses or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party…

19 Article XVII.1. [c] GATT : No cantracting party shall prevent any enterprise (whether or not an

enterprise described in sub-paragraph (a) of this paragraph) under its jurisdiction from acting in accordance with the principle of sub-paragpraph (a) and (b) of this paragraph.

Perhatikan sub-paragrap (a) dan (b) dari Article XVII.1 sebagai berikut :

(a) Each contracting party undertake that if it establishes or maintains a State enterprise, wherever located, or grants to any enterprise, formally or in effect, exclusive or special privileges, such enterprise shall, in its purchases or sales involving either imports or exports, act in a manner consistent with the generap principles of non-discriminatory treatment prescribed in this Agreement for govermental measures affecting imports or exports by private traders.

(b) The provision of sub paragraph (a) of this paragraph shall be understood to require that such enterprises shall, having due regard to the other provisions f this Agreement, make any such purchases or sales solely in accordance with commercial consideration, including price, quality, availability, marketability, transportation and other conditions of purchase or sale, and shall affordtne enterprises of the other contracting parties adequate opportunity, in accordance with customary business practice, to compete for participation in such purchases or sales.

20 Article XX III (1) GATT : If any contracting party should consider that any benefit accruing to it

(13)

Pemerintah Kanada dalam membantah tuntutan Pemerintah Amerika Serikat mempergunakan pendekatan tentang kedaulatan dan kompetensi GATT sebagai dasar argumentasi penolakan. Pemerintah Kanada mendalilkan bahwa ketentuan-ketentuan GATT tidak meliputi masalah investasi. GATT sejak saat pembentukannya diterima sebagai sebuah kesepakatan multilateral yang menyangkut masalah pengaturan liberalisasi perdagangan barang, tidak termasuk di dalamnya masalah investasi. Penataan investasi asing menyangkut langsung pada persoalan kedaulatan negara Kanada sebagai sebuah negara merdeka. Oleh karena itu ketentuan-ketentuan GATT tidak dapat diterapkan atas persyaratan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah Kanada bagi perusahaan-perusahaan investasi asing di wilayah hukum mereka.

Keberatan Pemerintah Kanada berkenaan dengan masalah kedaulatan negara Kanada untuk menerapkan tindakan-tindakan tertentu di wilayah hukumnya pada dasarnya diterima oleh Panel Penyelesaian Sengketa GATT yang memeriksa dan mengadili FIRA Case ini, akan tetapi alasan tersebut tidak menyebabkan Pemerintah Kanada menyampingkan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan perjanjian internasional yang telah mereka sepakati, khususnya dalam hal ini adalah General Agreement on Tariffs and Trade. Pendapat ini tercermin dari pertimbangan hukum Panel yang diputuskan pada tahun 1984 yang menyatakan sebagai berikut :

“… in view of the fact that the General Agreement does not prevent Canada from exercising its sovereign right to regulate foreign direct investment, the panel examined the purchase and export undertaking by investors solely in the light of Canada’s trade obligation under the General Agreement. Thus, the Panel clearly stated that this is not an inquiry into a sovereign state’s right to regulate foreign investment in Canada’s territory, but is only designed to determine whether or not the regulation effected Canada’s trade obligations within the framework of the GATT. 21

Dengan memperhatikan keterkaitan antara persyaratan penanaman modal dan kewajiban-kewajban Kanada di bawah ketentuan GATT selanjutnya Panel memutuskan bahwa tindakan Pemerintah Kanada yang menjadikan syarat pembelian dan atau penggunaan produk buatan dalam negeri Kanada serta menentukan jumlah tertentu dari hasil produksi yang wajib diekspor, dijadikan sebagai pertimbangan utama untuk

Any contracting party thus approached shall give sympathetic consideration to the representations or proposals made to it.

Article XXIII (2) If no satisfactory adjustment is effected between the contracting parties conserned within a reasonable time, or if the difficulty is of the type described in paragraph 1 [c] of this Article, the matter may be reffered to the contracting parties. The contracting parties shall promptly investigate any matter so reffered to them and shall make appropriate recommandations to the contracting parties which they considered to be concerned, or give a ruling on the matter, as appropriate. The contracting parties, woth the Economic and Social Council of the United Nations and with any appropriate inter-govermental organization in case they consider such consultation necessary.

21 Lebih lanjut perhatikan Canada Administration of the Foreign Investment Review Act, FIRA

Panel Report, Februari 7th 1984, Hal. 140 –144. Perhatikan juga Catherine Curtiss and Kathryn Cameroon,

(14)

memberikan ijin operasi bagi investasi asing, maka secara meyakinkan Perubahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing Kanada tersebut telah melanggar ketentuan Artikel III.4 GATT tentang national treatment.

Persyaratan penanaman modal yang diterapkan oleh Pemerintah Kanada terhadap para investor asing merupakan wujud perlakuan diskriminatif terhadap barang impor. Perlakuan diskriminatif ini diwujudkan dengan cara memberikan perlakuan istimewa terhadap barang-barang buatan dalam negeri Kanada. Dengan cara mewajibkan pembelian atau penggunaan barang buatan dalam negeri Kanada, maka dengan sengaja Pemerintah Kanada telah menghilangkan kesempatan bagi barang impor untuk bersaing secara adil dengan barang-barang buatan dalam negeri Kanada di pasar Kanada sendiri. Tindakan ini, meskipun keluar dalam bentuk kebijakan investasi asing tapi sebenarnya tindakan tersebut ditujukan untuk mempengaruhi perdagangan barang-barang Kanada. Sehingga dapat dikatakan bahwa tindakan investasi yang demikian merupakan bentuk hambatan perdagangan.

Fontheim dan Gadbaw mendukung putusan Panel atas FIRA Case tersebut dengan mengemukakan pendapat yang sedikit lebih luas sebagai berikut :

“Although no single article of GATT is applicable to all forms of (performance requirements), all (performance requirements) arguable violate one Article or another. Some (performance requirements) clearly run afoul of specific provisions while the case againts other forms is weaker, given a strict construction of treaty obligations. Nonetheless, where obligation do not appear, on their face, to prohibit certain (performane requirements), the general intent and context of the GATT-MTN sistim should be considered. The sistim is intended to foster free trade, while (performance requirements) are protectionst measures. The presumption should, therefore, be againts considering any (performane requirements) valid under GATT."22

Meskipun tidak ada satu pasal pun dari GATT yang dapat diterapkan untuk semua bentuk persyaratan penanaman modal, dalam hal ini pembatasan tertentu, namun bukanlah berarti tindakan seperti yang diterapkan oleh Kanada adalah tindakan yang dapat dibenarkan berdasarkan sistim GATT. Persyaratan-persyaratan seperti yang terkandung dalam Canada’s Foreign Investment Review Act tersebut merupakan bentuk proteksi terhadap industri Kanada dan tindakan semacam ini bertentang dengan maksud dan tujuan umum dari GATT yang justru ingin menciptakan perdagangan yang lebih bebas.

Pandangan ini lebih luas karena mempergunakan aspek tujuan umum dari GATT itu sendiri untuk menentang kebijakan pembatasan-pembatasan seperti yang diterapkan Kanada. Pandangan semacam ini cenderung tidak memperhatikan fakta-fakta khusus dalam sebuah peristiwa konkrit. Jika pandangan yang demikian digunakan, maka dapat menimbulkan kekeliruan yang lebih besar, mengingat bahwa tujuan GATT itu sendiri ingin dicapai dalam serangkaian ketentuan-ketentuan yang sangat kompleks dan dilengkapi dengan sejumlah pengecualian-pengecualian yang hanya dapat dilihat dari fakta-fakta khusus yang terdapat dalam sebuah peristiwa konkrit. Jika setiap perbuatan yang berlawanan dengan tujuan GATT dilarang, maka negara-negara berkembang adalah pihak yang paling dirugikan, karena dalam

22 Claude G.B. Fontheim and Micheal R. Gadbaw, “Trade Related Performance Requirement under

(15)

keadaan tertentu kelompok negara ini masih diperkenankan melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya justru bertentangan dengan tujuan umum GATT.

Perkara lain yang membuat semakin tingginya minat untuk mempelajari persyaratan penanaman modal dalam kaitannya dengan hambatan perdagangan multilateral adalah perkara “screwdriver case” antara Jepang versus European Communities (EC) pada tahun 1988. Dalam perkara ini Pemerintah Jepang keberatan atas tindakan Pemerintah EC yang menerapkan bea anti dumping terhadap produk dari suatu pabrik screwdriver asal Jepang. Keberatan yang paling mendasar bagi Pemerintah Jepang adalah kebijakan tersebut telah menimbulkan kerugian bagi perdagangan Jepang karena kewajiban bea anti dumping tersebut dapat tidak diterapkan bagi investor asing di EC asalkan investor yang bersangkutan setuju untuk membatasi penggunaan peralatan-peralatan dan komponen peralatan yang berasal dari Jepang.23

Seperti halnya pada FIRA Case, Panel dalam perkara “screwdriver case” ini juga menetapkan bahwa kebajikan EC bertentang dengan Article III.4 GATT tentang perlakuan sama (national treatment). Meskipun dalam perkara ini tindakan investor untuk membatasi penggunaan barang-barang buatan Jepang merupakan suatu tindakan sukarela (tidak diwajibkan), akan tetapi disediakannya sejumlah keuntungan besar dari pembebasan bea anti-dumping dapat mendorong para investor untuk menyetujui kebijakan yang ditetapkan EC. Dalam perkara ini, insentif yang ditawarkan EC bagi para investor asing berupa pembebasan bea anti-dumping sangat tergantung pada kesediaan investor untuk tidak menggunakan produk impor (buatan Jepang). Dengan kata lain keuntungan EC untuk menarik investor diperoleh dari kerugian Jepang berupa pembatasan impor komponen-komponen asal Jepang.

Panel menemukan adanya pelanggaran terhadap Article III.4 GATT. Meskipun EC tidak mewajibkan harus menggunakan produk buatan mereka, tetapi dalam hal ini EC telah memberikan tindakan diskriminatif terhadap produk-produk buatan Jepang. Tindakan yang demikian secara meyakinkan bertentangan dengan kewajiban EC untuk menerapkan perlakuan sama (national treatment) terhadap barang-barang impor tanpa harus memandang asal negara.

Keputusan panel dalam dua perkara perintis tersebut diatas telah membuka wacana baru dalam hubungan antara peraturan penanaman modal dengan kelancaran arus perdagangan barang. Titik taut yang menghubungkan peraturan penanaman modal langsung, dengan liberalisasi perdagangan lahir dari kemungkinan terjadinya dampak yang mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan terjadinya pembatasan akses pasar (market acsess) melalui persyaratan investasi yang diterapkan oleh pemerintah host country. Keputusan tersebut juga telah mengidentifikasi secara pasti dua bentuk persyaratan investasi yang memiliki potensi mendistorsi kebebasan aliran perdagangan barang secara internasional, yakni persyaratan kewajiban menggunakan kandungan lokal (local content requirement) dan pembatasan pemakaian barang impor yang dikaitkan dengan insentif investasi.

Perdagangan bebas multilateral dibangun diatas pondasi yang bertumpu pada prinsip non-diskriminasi (non-discrimination principle) dan larangan pembatasan kuantitatif (general prohibition on quantitative restriction) untuk satu tujuan perluasan akses pasar. Perdagangan tanpa hambatan dan akses pasar yang terbuka lebar diyakini

23 EEC, Regulation on Imports of Part and Components, BISD 37S/132, 197, dikutip dari

(16)

menciptakan distribusi sumber daya secara internasional melalui pembagian kerja yang lebih efektif. Kebijakan-kebijakan penanaman modal yang menetapkan persyaratan penggunaan kandungan lokal dan pembatasan penggunaan barang impor adalah kebijakan yang diskriminatif terhadap barang impor, dan tindakan yang demikian dengan sendirinya bersifat membatasi akses pasar

2. Dua Instrument Pokok Pengaturan Terkait Penanaman Modal Langsung

Hasil Kesepakatan Putaran Uruguay

Saat ini WTO memiliki setidaknya dua instrumen hukum yang terkait langsung dengan peraturan penanaman modal. Agreement on Trade Related Investment Measures

mengupayakan terciptanya kelancaran perdagangan internasional melalui pengaturan sejumlah performance requirement dalam persyaratan penanaman modal yang bertentangan dengan peraturan perdagangan internasional. Instrumen kedua adalah

General Agreement on Trade in Services (GATS), yang merupakan kesepakatan umum di bidang perdagangan jasa. GATS terkait langsung dengan peraturan penanaman modal, melalui modus perdagangan jasa yang dilakukan dengan cara kehadiran komersial (commercial presence). Kedua instrumen ini pada dasarnya adalah penjabaran prinsip-prinsip umum perdagangan internasional yang telah ada dalam GATT, khususnya prinsip national treatment, most favoured nations, general prohibition on quantitative restriction, dan transparency.

(1). Agreement on Trade Related Investment Measures (Agreement on TRIMs)

Pada prinsipnya Kesepakatan ini mengatur larangan performance requirement

yang tidak konsisten dengan Article III (national treatment) dan Article XI GATT (quantitative restriction) dalam peraturan penanaman modal. Agreement on TRIMs tidak mengatur dengan tegas bentuk performance requirement yang tidak konsisten dengan Article III dan Article XI GATT.24 Direktur Jenderal GATT kemudian merumuskan illustrative list dari Agreement berisi bentuk-bentuk performance requirement yang tidak konsisten dengan Article III.4 dan XI.1 GATT sebagai berikut :

“1. Persyaratan penanaman modal yang tidak sejalan dengan keharusan perlakuan sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal III.4 GATT 1994 :

(a). pembelian atau penggunaan produk-produk yang berasal dari dalam negeri atau dari sumber dalam negeri lainnya dirinci menurut

24 Pada saat negosiasi untuk menetapkan bentuk performance requirement terdapat perbedaan

(17)

produk tertentu, volume atau nilai barang produk, atau menurut perbandingan dari volume atau nilai produksi lokal; atau

(b). pembelian atau penggunaan produk impor oleh perusahaan dibatasi sampai jumlah tertentu dikaitkan dengan volume atau nilai produksi lokal yang diekspor;

2. Persyaratan penanaman modal yang tidak sejalan dengan keharusan penghapusan pembatasan kuantitatif, sebagaimana diatur dalam Pasal XI ayat (1) GATT 1994 :

(a). impor produk yang dipakai dalam proses produksi atau terkait dengan produksi lokalnya secara umum atau senilai produk yang diekspor oleh perusahaan yang bersangkutan ;

(b). impor produk yang dipakai dalam atau terkait produksi lokal dengan membatasi aksesnya terhadap devisa luar negeri sampai jumlah yang terkait dengan devisa yang dimasukkan oleh perusahaan yang bersangkutan;

(c) ekspor atau penjualan untuk ekspor apakah dirinci menurut produk-produk khusus, menurut volume atau nilai produ-produk-produk atau menurut perbandingan volume atau nilai dari produksi lokal perusahaan yang bersangkutan"

Agreement on TRIMs tidak melarang semua bentuk performance requirement yang dipersyaratakan dalam penanaman modal, tetapi hanya bentuk-bentuk persayaratan tertentu saja yang dapat menghambat perdagangan barang internasional. Performance requirement lain seperti persyaratan tenaga kerja, bidang usaha, komposisi pemilikan saham asing, alih teknologi, insentif investasi, divestasi, dan nasionalisasi belum tersentuh oleh Agreement tersebut.

(2). General Agreement on Trade in Services (GATS)

GATS terkait dengan peraturan penanaman modal, karena salah satu modus perdagangan jasa dilakukan dengan cara kehadiran komersial (commercial presence)

pemasok jasa ke negara host country. GATS tidak secara tegas menyebutkan bentuk-bentuk kebijakan penanaman modal yang bertentangan dengan prinsip perlakuan nasional. Article II GATS menetapkan bahwa setiap negara anggota harus dengan segera dan tanpa syarat memberikan perlakuan yang tidak berbeda (no less favourable) kepada jasa-jasa dari negara lain dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan kepada pemasok jasa dari negara lainnya.

(18)

list.25 Penerapan kewajiban perlakuan sama terhadap pemasok jasa dari semua Negara

berdasarkan most favoured nations dan national treatment, masih dimungkinkan untuk menyimpang berdasarkan Article II, Exemption GATS, dengan ketentuan harus dimuat dalam specific of commitment (SoC) dan berlaku dalam jangka waktu paling lama 10 tahun dan di review setiap lima tahun.

Dengan demikian, komitmen yang diterapkan secara awal ditentukan secara bertahap masing-masing negara dalam positive list dan Negara tersebut menentukan sejauhmana keterbukaan yang akan diberikan yang dilakukan melalui proses negosiasi. Apabila suatu negara telah membuka suatu sector, maka prinsip MFN harus diberlakukan. Dengan pendekatan ini sebenarnya dalam keadaan-keadaan tertentu masih bisa dilakukan perbedaan antara pelaku penanaman modal asing dengan lokal/ nasional.26

D. Perkembangan Pasca Putaran Uruguay

Liberalisasi peraturan investasi dalam kerangka WTO tidak berakhir dengan dihasilkannya Agreement on TRIMs dan General Agreement on Trade in Services. Kedua kesepakatan tersebut belum mencakup semua aspek peraturan investasi. Agreement on TRIMs hanya menghasilkan pembatasan persyartan investasi yang menghambat perdagangan barang, sementara GATS hanya terbatas pada sektor jasa yang lingkup mengikatnya terbatas specific commitment yang disetujui oleh negara-negara anggota. Dengan demikian sejumlah besar pembatasan penanaman modal yang diterapkan host country, terutama negara-negara berkembang masih belum diatur dalam WTO. Negara-negara maju utama seperti Amerika Serikat, European Council (EC) dan Jepang masih terus berusaha agar pembatasan-pembatasan investasi yang belum dicakup kedua kesepakatan diatas diatur dalam kerangka WTO.

Sejak Konferensi Tingkat Menteri WTO di Singapura tahun 1996 negara-negara maju tersebut merekomendasikan perundingan baru mengenai trade and investment.

Sebuah proposal tentang multilateral framework on investment telah diajukan. Kerangka hukum ini akan melengkapi Agreement on TRIMs dan GATS sehingga semua aspek investasi tunduk di bawah rejim WTO. Liberalisasi agresif yang ingin diterapkan WTO pasca Putaran Uruguay mengarah pada kecenderungan perluasan bidang cakupan pengaturan WTO. Bidang-bidang yang keterkaitannya dengan perdagangan belum teruji secara meyakinkan dan belum diterima oleh sebagian besar anggota WTO ingin ditundukkan ke dalam rejim WTO. Salah satu bidang yang kontroversi tersebut adalah bidang penanaman modal.

Pada saat Singapore WTO Ministerial Conference tahun 1996, negara-negara maju yang diprakarasai terutama oleh EC,USA dan kemudian menyusul Jepang menyerukan agar WTO membentuk Kelompok Negosiasi di bidang investasi. Dalam

25 Lebih lanjut, Pierre Sauve, “Assesing the General Agreement on Trade in Services ; Half-Full or

Half – Empty ? “ , Journal of World Trade, Vol. 9 No. 4, August, 1995, Hal. 133

26 Erman Rajagukguk, dalam Diskusi Liberalisasi Jasa, Kerjasama Direktorat Hukum Bank

(19)

kerangka hukum WTO, hal ini dibenarkan berdasarkan Pasal 9 Agreement on TRIMs yang menyatakan :

“Tidak lebih dari lima tahun terhitung sejak berlakunya Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia secara efektif, Dewan Perdagangan Barang akan meninjau kembali operasional dari persetujuan ini dan apabila diperlukan mengajukan perubahan naskah Persetujuan kepada konferensi tingkat Menteri.

Dalam rangka peninjauan tersebut, Dewan Perdagangan Barang akan mempertimbangkan apakah persetujuan perlu dilengkapi dengan ketentuan tentang kebijaksanaan penanaman modal dan kebijakan kompetisi”27

Usulan negara maju, khususnya EC tentang kerangka multilateral investment agreement didasarkan pada tiga prinsip utama dalam kegiatan investasi asing, yakni

right of entry and establishment,national treatment dan freedom to repatriate and other returns.

Prinsip pertama, right of entry and establishment, menuntut adanya jaminan hukum bagi MNCs maupun perorangan untuk dapat masuk melakukan investasi baik secara

porthofolio investment maupun direct investment serta untuk mendirikan usaha mereka di wilayah negara tuan rumah tanpa perlu terhalang oleh persyaratan-persyaratan yang dikenakan oleh pemerintah negara tuan rumah. Sementara prinsip national treatment

menuntut negara tuan rumah (host country) harus memberikan perlakuan yang sama terhadap investor asing dan investasi mereka dengan perlakuan yang mereka berikan kepada investor atau investasi dalam negeri. Singkatnya tidak dimungkinkan lagi perlakuan yang berbada antara investor asing dan domestik. Dan negara tuan rumah wajib melindungi hak investor asing untuk melakukan transfer atas keuntungan mereka atau pendapatan lain ke negara asal mereka tanpa ada pembatasan-pembatasan dari negara tuan rumah.28

Pada dasarnya Singapore WTO Ministerial Conference menolak untuk menegosiasikan aturan-aturan tentang investasi. Hal ini jelas terlihat dalam Paragraf 20

Ministerial Declaration yang berbunyi sebagai berikut :

“ Having regard to the existing WTO provision on matters related to investment and competition policy and the build-in agenda in these areas, including under the TRIMs Agreement,and on the understanding that the work undertaken shall not prejudge whether negotiations will be initiated in the future, we also agree to:

a. establish a working group to examine the relationship between trade and investment ; and

b. establish a working group to study issues raised by Members relating to the interaction between trade and the competition policy, including anti-competitive practices, in order to identify any areas that may merit further consideration in the WTO framework.”29

27 Article 9 Agreement on Trade-Related Investment Measures.

28 Lebih lanjut dapat dibaca dalam Communication from The European Community and Its

Member States, WTO, Doc. No. WT/WGTI/W/54, 2nd September, 1998, Hal.2-3

(20)

Perintah Ministerial Conference tersebut diatas merupakan penolakan terhadap keinginan negara maju menegosiasikan masalah investasi dalam kerangka WTO pada saat itu, namun tidak berarti bahwa masalah investasi sama sekali tidak memiliki peluang untuk diatur dalam kerangka WTO. Untuk itu WTO membentuk Kelompok Kerja yang akan mempelajari hubungan antara perdagangan dan investasi untuk mendapatkan jawaban perlu tidaknya masalah investasi secara keseluruhan ditundukkan dalam WTO. Dengan demikian sebenarnya keinginan untuk menundukkan masalah tersebut oleh negara maju bukan mengalami kegagalan, tetapi hanya mengalami sedikit penundaan.

Working Group on the Relationship between Trade and Investment melakukan pekerjaan yang sangat sulit karena kelompok ini berisikan perwakilan negara-negara yang berbeda pandangan tentang perlunya satu kesepakatan tentang investasi yang ditundukkan pada WTO. Untuk pembahasan tentang tingkat hubungan antara perdagangan dan kebijakan investasi sebenarnya tidak banyak masalah yang dihadapi, karena masing-masing negara umumnya menyadari hubungan yang erat antara perdagangan dan investasi. Kontroversi muncul ketika negara maju mengingkan agar masalah investasi tunduk pada aturan WTO. Pada bagian ini negara-negara berkembang dengan tegas menolak keinginan tersebut. Alasan utamanya adalah peraturan tersebut akan mempersempit ruang gerak negara-negara berkembang dalam menyelaraskan kebijakan investasi dengan kebutuhan pembangunan ekonomi.

Pada pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) di Doha, September 2001 terjadi suatu perkembangan baru. Para menteri mengakui pentingnya multilateral framework untuk menjamin terdapatnya suasana yang transparan, stabil dan predictable

untuk long term cross border investment, terutama investasi langsung. Para menteri juga setuju bahwa negosiasi di bidang investasi akan dilakukan setelah KTM V di Cancun Meksiko, September 2003 berdasarkan keputusan yang diambil dengan explicit consencus

pada sesi perundingan modalitas. Hal ini secara tegas dicantumkan dalam Doha Declaration Paragraf 20 sebagai berikut :

“ Recognizing the case for multilateral framework to secure transparent, stable and predictable conditions for long term cross-border investment, particularly foreign direct investment, that will contribute to the espansion of trade, and the need for enhanced technical assistance and capacity building in this area as reffered toin paragraph 21, we agree that negotiations will take place after the fifth session of the Ministerial Conference on the basis of a decision to be taken, by explicit consensus,at the session on modalities of negotiations.”30

Apa yang diinginkan oleh negara maju sebenarnya hampir tercapai, yakni perundingan di sektor penanaman modal secara komprehensif yang akan menghasilkan suatu aturan yang mengikat negara-negara anggota dalam memberlakukan ketentuan-ketentuan investasi di wilayah mereka. Oleh karena itu, adalah mutlak bagi negara-negara berkembang untuk memahami konsep multilateral framework tentang investasi asing, agar tidak terikat pada suatu ketentuan hukum yang justru menimbulkan kesulitan bagi negara-negara berkembang sendiri.

(21)

Beberapa konsep aturan perlu diperhatikan dengan seksama, seperti mengenai pengertian investasi, right to establish, penerapan prinsip non-discrimination dan

transparency, mengingat masalah-masalah tersebut jika tidak tepat diatur bisa menimbulkan kesulitan seperti yang banyak dikhawatirkan oleh negara-negara berkembang.

Amerika Serikat misalnya, menginginkan agar definisi investasi dalam kerangka hukum multilateral harus diartikan secara luas, tidak saja meliputi FDI tetapi juga investasi fortofolio dan transaksi modal lainnya (asset based definition).. Dengan demikian semua bentuk transaksi yang mengandung unsur asing harus dilindungi dan bebas dari hambatan-hambatan peraturan. Gagasan ini harus diperhatikan dengan cermat, mengingat ketentuan yang demikian bisa menyebabkan negara-negara berkembang kehilangan otoritas untuk mengendalikan investasi fortofolio, apalagi jika dihadapkan dengan investasi atau transaksi jangka pendek yang bersifat spekulatif. Ketentuan semacam ini bisa melegitimasi dan bahkan wajib melindungi transaksi modal jangka pendek dan spekulatif yang hanya memanfaatkan keuntungan tanpa menunjang sepenuhnya pada kebutuhan pembangunan. Pengertian investasi yang terbatas pada FDI (enterprise based definition) akan lebih baik, mengingat investasi ini sifatnya jangka panjang dan menunjang kebutuhan pembangunan ekonomi.

Pengertian investasi dalam lingkup terbatas, yang hanya meliputi FDI, juga harus dipahami khusus mengenai fokus dari FDI yang akan diatur. Penataan FDI bisa bermakna pada kerangka green field investment yakni mengenai pengaturan investasi baru atau pada kerangka brown field investment yang khusus mengatur tentang pembelian perusahaan investasi yang sudah ada. Penataan aturan investasi yang lebih fokus pada kerangka green field investment akan lebih berhubungan langsung dengan kebutuhan pembangunan, dengan ketentuan bahwa hak untuk mengatur persyaratan pada saat sebelum perusahaan didirikan (pada saat masuk atau pre-establishment stage)

tetap berada pada kedaulatan host country, agar mereka bisa menyesuaikan keinginan pemodal asing dengan kebutuhan pembangunan ekonomi mereka.

(22)

dihilangkan perusahaan MNC akan menjadi lebih leluasa dan memperoleh hak-hak baru yang dilindungi dalam kerangka hukum internasional.

Kedua, dengan ketentuan tersebut, maka pemerintah negara-negara host country

akan kehilangan hak untuk melindungi warga negara mereka yang kurang beruntung melalui penetapan bidang usaha yang tidak bisa ditanami modal asing karena dicanangkan untuk usaha kecil. Kalau investor diberikan hak untuk memdirikan perusahaan (right to establish) tanpa pembatasan, maka usaha-usaha di dalam negeri yang belum mampu bersaing akan mengalami kesulitan dengan hadirnya perusahaan PMA yang umumnya memiliki modal, teknologi, menejemen dan SDM yang lebih unggul.

Implementasi prinsip transparansi juga harus jelas batasannya, mengingat peraturan investasi banyak tersebar dalam berbagai tingkat peraturan, mulai dari undang-undang sampai kepada surat edaran dan tidak hanya terkait pada satu departemen atau lembaga, tetapi menyangkut pada berbagai departemen. Jika tidak jelas batasan implementasi transparansi, maka klausula tentang transparansi bisa setiap saat membawa negara berkembang pada forum penyelesaian sengketa, karena sebuah MNC memandang ada suatu ketentuan yang tidak transparan. Di samping itu, transparansi harus diimplementasikan secara berimbang, dalam arti kewajiban transparansi tidak saja dikenakan pada host country tetapi juga pada host country yang wajib terbuka tentang MNC mereka yang beroperasi di wilayah host country.

(23)

BAB II

KESEPAKATAN DI BIDANG PERDAGANGAN YANG TERKAIT

DENGAN PENANAMAN MODAL (

AGREEMENT ON TRADE

RELATED INVESTMENT MEASURES

)

A. Latar Belakang

Peraturan penanaman modal asing masing-masing negara pada dasarnya berisi ketentuan tentang persyaratan-persyaratan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh investor asing, seperti persyaratan penggunaan kandungan lokal (local content requirement), kewajiban menggunakan komponen tertentu buatan dalam negeri, kewajiban alih teknologi (technology transfer requirement), kebijakan keseimbangan perdagangan (trade balancing policy), pembatasan bidang usaha, pemilikan saham, penggunaan tenaga kerja asing dan lain sebagainya.31

Adakalanya persyaratan penanaman modal tersebut dapat menghambat perdagangan internasional. Tolak ukur yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi apakah sebuah persyaratan penanaman modal menghambat perdagangan internasional adalah dampak diskriminatif terhadap produk impor dan hambatan kuantitatif terhadap aliran barang yang ditimbulkan persyaratan-persyaratan tersebut. Indikator ini pertama muncul dalam perkara antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Kanada tahun 1982 mengenai Canada’s Foreign Investment Review Act, sebagaimana dikemukakan diatas.

Perkara lain yang membuat semakin tingginya minat untuk mempelajari persyaratan penanaman modal dalam kaitannya dengan hambatan perdagangan multilateral adalah perkara “screwdriver case” antara Jepang versus European Communities (EC) pada tahun 1988. Dalam perkara ini Pemerintah Jepang keberatan atas tindakan Pemerintah EC yang menerapkan bea anti dumping terhadap produk dari suatu pabrik screwdriver asal Jepang. Keberatan yang paling mendasar bagi Pemerintah Jepang adalah kebijakan tersebut telah menimbulkan kerugian bagi perdagangan Jepang karena kewajiban bea anti dumping tersebut dapat tidak diterapkan bagi investor asing di EC asalkan investor yang bersangkutan setuju untuk membatasi penggunaan peralatan-peralatan dan komponen peralatan yang berasal dari Jepang.32

Seperti halnya pada FIRA Case, Panel dalam perkara “screwdriver case” ini juga menetapkan bahwa kebajikan EC bertentangan dengan Article III.4 GATT tentang perlakuan sama (national treatment). Meskipun dalam perkara ini tindakan investor untuk membatasi penggunaan barang-barang buatan Jepang merupakan suatu tindakan sukarela (tidak diwajibkan), akan tetapi disediakannya sejumlah keuntungan besar dari pembebasan bea anti-dumping dapat mendorong para investor untuk menyetujui kebijakan yang ditetapkan EC. Dalam perkara ini, insentif yang ditawarkan EC bagi para investor asing berupa pembebasan bea anti-dumping sangat tergantung pada kesediaan investor untuk tidak menggunakan produk impor (buatan Jepang). Dengan

31 David Conklin and Donald Lecraw,Restrictions on Foreign Ownership during 1984-1994 ;

Development and Alternative Policies”, Transnational Corporations, Vol. 6 No.1, April, 1997, Hal. 4 -29.

32 EEC, Regulation on Imports of Part and Components, BISD 37S/132, 197, dikutip dari

(24)

kata lain keuntungan EC untuk menarik investor diperoleh dari kerugian Jepang berupa pembatasan impor komponen-komponen asal Jepang.

Panel menemukan adanya pelanggaran terhadap Article III.4 GATT. Meskipun EC tidak mewajibkan harus menggunakan produk buatan mereka, tetapi dalam hal ini EC telah memberikan tindakan diskriminatif terhadap produk-produk buatan Jepang. Tindakan yang demikian secara meyakinkan bertentangan dengan kewajiban EC untuk menerapkan perlakuan sama (national treatment) terhadap barang-barang impor tanpa harus memandang asal negara.

Keputusan panel dalam dua perkara perintis tersebut diatas telah membuka wacana baru dalam hubungan antara peraturan penanaman modal dengan kelancaran arus perdagangan barang. Titik taut yang menghubungkan peraturan penanaman modal langsung, dengan liberalisasi perdagangan lahir dari kemungkinan terjadinya dampak yang mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan terjadinya pembatasan akses pasar (market acsess) melalui persyaratan investasi yang diterapkan oleh pemerintah host country. Keputusan tersebut juga telah mengidentifikasi secara pasti dua bentuk persyaratan investasi yang memiliki potensi mendistorsi kebebasan aliran perdagangan barang secara internasional, yakni persyaratan kewajiban menggunakan kandungan lokal (local content requirement) dan pembatasan pemakaian barang impor yang dikaitkan dengan insentif investasi.

Perdagangan bebas multilateral dibangun diatas pondasi yang bertumpu pada prinsip non-diskriminasi (non-discrimination principle) dan larangan pembatasan kuantitatif (general prohibition on quantitative restriction) untuk satu tujuan perluasan akses pasar. Perdagangan tanpa hambatan dan akses pasar yang terbuka lebar diyakini menciptakan distribusi sumber daya secara internasional melalui pembagian kerja yang lebih efektif. Kebijakan-kebijakan penanaman modal yang menetapkan persyaratan penggunaan kandungan lokal dan pembatasan penggunaan barang impor adalah kebijakan yang diskriminatif terhadap barang impor, dan tindakan yang demikian dengan sendirinya bersifat membatasi akses pasar

Sampai selesainya Perundingan Putaran Uruguay tahun 1994, tidak terdapat kaidah hukum internasional di bidang penanaman modal asing yang mengikat seluruh negara-negara, khususnya negara berkembang dan yang melarang pemerintah suatu negara melakukan tindakan-tindakan tertentu di bidang penanaman modal asing. GATT yang telah ada sejak tahun 1947 sebagai sebuah kesepakatan multilateral di bidang perdagangan, ternyata dalam ketentuan-ketentuannya tidak terdapat adanya larangan yang tegas bagi pemerintah suatu negara untuk mengatur sendiri perihal penanaman modal asing di wilayah yurisdiksi negara tersebut.33 Seperti dikemukakan

oleh Robert H. Edward dan Simon N. Lester bahwa sampai dihasilkannya final act of Uruguay Round, tidak ada forum resmi dalam GATT yang ditujukan khusus untuk mengatur penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment).34 Tidak

adanya suatu kesepakatan multilateral yang secara khusus mengenai penanaman modal asing bukanlah berarti bahwa tidak ada sama sekali usaha untuk membicarakan

33 Lebih lanjut Catherine Curtiss and Subramaniam,TRIM,s in the Uruguay Round ; An

Unfinished Bussiness”, makalah dipersentasekan pada Seminar Bank Dunia tentang Putaran Uruguay dan Pembangunan Ekonomi, 26 – 27 Januari 1995, Hal. 5

34 Robert H. Edward and Simon N. Lester,Toward A More Comprehensif World Trade

(25)

masalah-masalah berkaitan dengan penanaman modal asing dalam pertemuan-pertemuan internasional. GATT sendiri meskipun secara tegas tidak menghasilkan kesepakatan multilateral tentang penanaman modal asing, akan tetapi berbagai persoalan berkaitan dengan penanaman modal asing sudah bahan pembicaraan pada forum-forum GATT.

Keberatan perusahaan-perusahaan multinasional atas persyaratan penanaman modal persyaratan penanaman modal yang diterapkan oleh negara-negara merupakan salah satu faktor pendorong bagi forum GATT untuk membicarakan beberapa persoalan penting perihal penanaman modal asing. Oleh karena itulah dapat dipahami mengapa wacana dalam forum GATT berkaitan dengan penanaman modal asing didominasi oleh pembicaraan mengenai persyaratan penanaman modal. Meskipun beberapa persoalan penting di bidang penanaman modal asing dijadikan wacana dalam GATT, akan tetapi belumlah dapat dikatakan bahwa masalah penanaman modal asing merupakan agenda penting bagi GATT, karena pembicaraan tersebut dilakukan bukan dalam topik yang berhubungan dengan penanaman modal asing secara menyeluruh melainkan dalam pembahasan mengenai restrictive bussiness practise. Pembicaraan yang demikian ini pun hanya terbatas pada wacana tanpa menghasilkan sebuah kesepakatan yang mengikat.35

Agreement on Trade Related Investment Measures yang diterima sebagai salah satu kesepakatan WTO yang mengikat bukanlah sebuah kesepakatan investasi multilateral yang komprehensif. Meskipun banyak upaya dari berbagai negara, khususnya negara maju yang menginginkan Agreement on TRIMs sebagai suatu rejim investasi multilateral yang berlaku untuk seluruh tindakan negara yang berkaitan dengan bidang penanaman modal. Namun, adalah suatu pandangan yang sangat keliru jika menganggap Agreement on TRIMs sebagai sebuah persetujuan yang mengatur tentang investasi asing secara komprehensif. Juga tidak tepat apabila melihat Agreement on TRIMs sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan masalah investasi asing.

Agreement on TRIM’s adalah sebuah kesepakatan multilateral di bidang perdagangan, hanya saja kesepakatan ini lebih spesifik melihat hambatan perdagangan yang dimunculkan oleh negara-negara peserta dalam kebijakan investasi asing. Patut dipahami bahwa hanya tindakan investasi yang potensial memberikan dampak terhadap arus perdagangan yang menjadi subjek Agreement on TRIM’s. Sebagai suatu Persetujuan yang bukan ditujukan untuk mengatur kegiatan investasi asing dapat dilihat dari tujuan pemberian mandat Punta del Estate yang mengamanatkan perudingan sebagai berikut :

“ Following an examination of the operation of GATT articles related to trade restrictive and distorting effect of investment measures, negotiation should elaborate, as appropriate, further provisions that may be necessary to avoid such adverse effect on trade.”

Fokus utama perundingan tentang persyaratan penanaman modal yang dimandatkan oleh Pertemuan Punta del Este bukan untuk membentuk sebuah kesepakatan di bidang investasi, akan tetapi untuk melihat pelaksanaan dari pasal-pasal GATT yang berkaitan dengan hambatan perdagangan dan dampak distorsi dari kegiatan tertentu di bidang investasi asing. Jadi, fokus utama dari mandat tetap pada masalah perdagangan, bukan pada investasi secara menyeluruh.

(26)

B. Ruang Lingkup

Persyaratan penanaman modal adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah host country untuk menata kegiatan investasi asing di wilayah mereka. Tindakan ini bisa meliputi berbagai bentuk kebijakan, antara lain : local content requirement, trade balancing requirement, foreign exchange requirement, exchange restriction, manufacturing requirement, export performance requirement, product mandating requirement, technology transfer requirement, licencing requirement, remittance requirement, dan local equity requirement.36

Agreement on TRIMs tidak melarang semua bentuk persyaratan penanaman modal tersebut. Agreement hanya melarang penerapan TRIM’s yang tidak konsisten dengan Article III.4 (national treatment) dan Article XI.1. (general prohibition on quantitative restriction), meliputi kebijakan local content requirement, trade balancing policy, foreign exchange limitation dan export restriction.37 Alasan di balik larangan dalam Agreement on TRIMs hanya yang berkaitan langsung dengan perlakuan terhadap barang impor bukan tindakan investasi secara umum.

Agreement on TRIMs memberikan perlindungan yang sangat terbatas kepada kepentingan investor di luar negeri, sebab Agreement on TRIMs hanya mengatur sebagian kecil dari ketentuan yang berkaitan dengan investasi asing, yakni kebijakan pemerintah host country yang dapat mengganggu perdagangan barang.38 Dari ruang

lingkup Persetujuan, jika Agreement on TRIMs merupakan kesepakatan di bidang investasi, seharusnya aturannya meliputi seluruh kegiatan dalam sebuah rejim investasi, mulai dari ijin investasi, bidang usaha, ketentuan pemilikan saham, ketentuan tenaga kerja, transfer teknologi, nasionalisasi dan lain sebagainya. Tentu jika hal ini diatur akan bertentangan dengan tujuan mandat diberikan serta kompetensi GATT sebagai lembaga perdagangan multilateral.

Sampai akhir perundingan tidak diperoleh kesepakatan tentang bentuk-bentuk persyaratan penanaman modal yang harus dilarang karena bertentangan dengan ketentuan GATT. Didorong oleh situasi yang dapat mengancam mentahnya kembali seluruh hasil perundingan di sektor lain yang sudah dicapai, Panitia Perundingan mengambil kebijakan untuk menyerahkan kepada Direktur Jenderal GATT untuk menyiapkan suatu ilustrative list tentangpersyaratan penanaman modal yang dilarang.39

Selanjutnya Dirjen GATT merumuskan ilustrative list yang kemudian dijadikan lampiran integral dari Agreement on TRIMs sebagai berikut :40

36 Lebih lanjut International Trade Center UNCTAD/WTO and Commonwealth Secretariat, Business Guide to the World Trading System, Second Edition, Geneva, 1999, Hal.161.

37 Ibid., p. 162

38.Matthew W. Barrier, “Regionalization: The Choice of a New Millennium”, Currents:

International Trade Law Journal , Winter, 2000, Hal. 4

39 Mochtar Kusumaatmadja, Investasi di Indonesia dalam Kaitannya dengan Pelaksanaan Hasil Perundingan Puataran Uruguay, dikutip dalam Huala Adolf, dkk., Pengaruih Perjanjian WTO/ GATT 1994 mengenai Penanaman Modal terhadap Peraturan Perundang-Undangan Penanaman Modal Asing di Indonesia dan Langkah Antisipasi Hukumnya, Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1998, hlm.94.

40 Departemen Luar Negeri, Terjemahan Resmi Hasil Akhir Persetujuan Putaran Uruguay, Jakarta,

Referensi

Dokumen terkait

Sementara, pada cerpen “Lukah yang Tergantung di Dinding”, tokoh utama harus kehilangan ibunya karena telah melanggar mitos berupa larangan menggunakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan, kualitas pelayanan dan kepatuhan pemeriksa dalam pelaksanaan prosedur pemeriksaan memberikan pengaruh signifikan terhadap

Pada aplikasi matlab dengan hasil klasifikasi menggunakan metode GLCM dan SVM berhasil mengidentifikasi antara tumor otak jinak dan ganas dengan baik dengan tingkat

Objek wisata yang dikembangkan secara baik, agar menimbulkan kesan baik atau dapat menjadi kenangan yang baik dan sulit dilupakan bagi pengunjungnya pasti ditata

Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa apabila biaya produksi meningkat sebesar 10%, usahatani anggur Prabu Bestari di Kecamatan Wonoasih masih memiliki nilai Net

Desa wisata Melikan merupakan sentra gerabah, seperti Kasongan dan Manding di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Melikan terletak sekitar kurang lebih 13 km sebelah

Sejarah desa Bandar Baru menurut Kepala Desa Salomo Sembiring yaitu, pada zaman dahulu desa ini adalah lautan yang luas ini dibuktikan dengan adanya bekas kapal yang

tif dan kuantitatif. Data kualitatif merupakan penilaian, tanggapan,saran-saran, dan angket yang diperoleh yang diperoleh dari reviu ahli desain pembelajaran, ahli