• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedaulatan Hukum Negara di Bidang Ekonomi dalam Kesepakatan Umum dalam Perdagangan Jasa (General Agreement on Trade in Services)

Dalam dokumen Hukum Penanaman Modal dalam Kerangka WTO (Halaman 151-155)

DAFTAR PUSTAKA

GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS) DAN KEDAULATAN HUKUM DI BIDANG EKONOM

2. Kedaulatan Hukum Negara di Bidang Ekonomi dalam Kesepakatan Umum dalam Perdagangan Jasa (General Agreement on Trade in Services)

2.1. GATS mempengaruhi kedaulatan internal Negara-negara anggota

Pasal 1 ayat (1) GATS yang berbunyi: “ This agreement applies to measures by Member affecting trade in services”. Pasal XVIII GATS mendefinisikan measures meliputi seluruh tindakan yang diambil oleh Negara-negara anggota baik dalam bentuk law, regulation, rule, procedure, decision, administrative action maupun bentuk lainnya yang berdampak pada perdagangan jasa. Tindakan pemerintah untuk mengatur perdagangan jasa baik dalam bentuk law, regulation, rule, procedure, decision, administrative action

maupun bentuk lainnya tidak boleh bertentangan dengan GATS. Measure yang berdampak pada perdagangan jasa yang bertentangan dengan GATS dapat melahirkan tuntutan hukum dari Negara-negara anggota lainnya. Akan tetapi, Negara-negara anggota menerima disiplin tersebut lebih dikarenakan merasa perlu dalam rangka memaksimalkan manfaat kerjasama internasional yang berbasis ketentuan (rule base system). Komitmen GATS dimaksudkan untuk melindungi masyarakat atau mencapai akses universal (misalnya dalam telekomunikasi dan penyediaan air bersih) diberlakukan tanpa memperhatikan nasionalitas pemasok.268

Negara-negara yang meratifikasi GATS akan menjadikan ketentuan GATS tersebut sebagai international obligation yang wajib dipatuhi oleh negara dalam pergaulan bangsa-bangsa beradab. Hal ini sesuai dengan Article 4 Charter of Economic Rights and Duties of State yang menyebutkan : “…every State is free to choose the form of organization of its foreign economic relations and and to enter into bilateral and multilateral

266 Oppenheim – Lauterpacht, International Law ; A Tratise, Vol.1, (Longmans, 1967), Hal. 118. 267 Perhatikan Pasal 1 Konvensi Monteideo, 1933 tentang unsur-unsur sebuah Negara. Unsur

keempat yang harus ada dalam sebuah Negara adalah capacity to enter into relation with other state. Kapasitas ini tidak mungkin dimiliki oleh Negara jika tidak memiliki kedaulatan yang cukup dan yang harus dihormati oleh Negara lainnya.

268 Zulkarnain Sitompul, “Domestic Regulation dan Perbaikan Iklim Usaha”, makalah disampaikan

pada acara Training for Trainers Mengenai Seluk Beluk Perdagangan Jasa WTO/GATS, diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan RI, (Medan, 8 April 2010), hal. 16

arrangement consistent with its international obligations and with the need of international economic co-operation.”

2.2. GATS dilaksanakan dalam kerangka kepentingan nasional dan tingkat kebutuhan ekonomi negara anggota

Berdasarkan preambule GATS dapat dipahami bahwa liberalisasi perdagangan sektor jasa yang ingin diwujudkan melalui GATS harus dimaknai dalam konteks liberalisasi secara bertahap (liberalisasi progresif) yang ditempuh melalui serangkaian perundingan multilateral dengan tetap menghormati kepentingan nasional Negara anggota. Dalam konteks ini liberalisasi perdagangan jasa tidak demi hukum berlaku secara agresif untuk seluruh sektor jasa, akan tetapi ditentukan secara bertahap melalui perundingan dengan tetap mengakui adanya keadaan asitmetris pada tingkat pembangunan di berbagai Negara yang merupakan kepentingan khusus, terutama bagi Negara-negara berkembang. Keadaan asimetris pada tingkat pembangunan ekonomi negara-negara memungkinkan negara-negara anggota GATS untuk mengatur secara khusus persyaratan-persyaratan tertentu dalam perdagangan jasa yang disesuaikan dengan komitmen yang diberikan oleh negara tersebut.

GATS masih membenarkan adanya proteksi oleh pemerintah terhadap perdagangan jasa domestik melalui schedule of commitment dan specificic of commitment

(SOC) yang dibuat masing-masing negara sesuai dengan keadaan negara tersebut yang kemudian dirundingkan dengan mitra dagangnya. Negara yang membuat SOC tersebut tunduk pada ketentuan GATS dengan disertai suatu kondisi, pembatasan, dan persyaratan sebagaimana tercantum dalam komitmennya itu269. SOC diatur pada

Bagian III yang terpisah dari Bagian II GATS yang merupakan general obligations. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa schedule of commitments bukan merupakan

automatic obligation, tetapi merupakan suatu specific obligation. Artinya yang menjadi kewajiban adalah sesuai dengan yang tercantum dalam SOC negara yang bersangkutan.

Pendekatan yang dipergunakan dalam pembuatan SOC adalah bersifat campuran sebagai hasil kompromi dalam menentukan cakupan GATS sebagaimana telah dijelaskan di atas. Positive list dipergunakan di dalam membuka sektor/sub-sektor maupun transaksi kepada foreign services supplier. Artinya hanya sektor/sub- sektor/transaksi yang dibuat dalam SOC itu saja yang dapat dimasuki oleh foreign services supplier sesuai dengan persyaratan atau pembatasan yang ada dengan mendapat perlindungan penuh dari GATS. Pendekatan ini dikenal dengan nama “up-down approach”. Sebaliknya, pendekatan negative list dipergunakan ketika negara tersebut menyatakan komitmennya di bidang market acces dan national treatment. Untuk market acces, komitmen tersebut dinyatakan dalam bentuk terms, limitations, and conditions. Contohnya adalah untuk bentuk pendirian perusahaan joint ventures, modal pihak asing maksimal sebesar 49%. Untuk national treatment, dinyatakan dalam bentuk conditional and qualifications, misalnya pihak asing hanya dapat mendirikan hotel bintang 5 ; suatu ketentuan yang tidak berlaku bagi pengusaha nasional. Pendekatan ini dikenal dengan nama “bottom up approach”. Sementara itu, additional commitments dinyatakan dalam

269 Lihat lebih lanjut John H. Jackson, et.all, Legal Problem of International Economic Relation, (St. Paul

bentuk suatu understaking (pernyataan) yang biasanya menyangkut suatu kualifikasi profesional, standar, dan perizinan.

Liberalisasi bertahap tersebut dilakukan dengan mewajibkan semua anggota WTO untuk melakukan putaran negosiasi secara berkesinambungan yang dimulai paling lambat lima tahun sejak berlakunya Perjanjian WTO (sejak 1 Januari 1995). Negosiasi tersebut harus dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan measures

yang berdampak buruk terhadap perdagangan jasa. Meskipun demikian, proses liberalisasi harus dilakukan dengan tetap menghormati kepentingan nasional dan tingkat pembangunan masing-masing (Pasal XIX ayat (1) dan (2) GATS).

2.3. Kemampuan Mengatur dalam Domestic Regulation

Pasal VI GATS tentang Domestic Regulation mengakui kewenangan Negara untuk menetapkan measures terhadap sector-sektor jasa yang dinyatakan dalam specific of commitment Negara tersebut. Pasal ini memberikan kewenangan mengatur kepada Negara-negara, khususnya untuk menetapkan persyaratan dan prosedur, standar lisensi dan persyaratan perizinan terhadap bidang usaha jasa yang masuk dalam daftar komitmen khusus Negara tersebut.

Hanya saja yang diperlu diperhatikan adalah ketentuan-ketentuan domestik tersebut harus dilaksanakan dalam cara yang wajar, objektif dan tidak memihak.270

Khusus terhadap peraturan domestic (domestic regulation) yang berkenaan dengan persyaratan dan prosedur, standar lisensi dan persyaratan perijinan harus dipastikan bahwa : (a). didasarkan pada kriteria yang objektif dan transparan, (b). tidak lebih berat daripada yang semestinya untuk menjamin kualitas jasa-jasa, dan (c). dalam hal prosedur perizinan bukan merupakan hambatan dalam supply jasa-jasa.

2.3.1. Qualification Requirement

Setiap Negara anggota harus menjamin bahwa ketentuan-ketentuan tentang

qualification requirement harus transparan, relevan dan tidak dijadikan sebagai hambatan terselubung terhadap pemasok jasa. Dalam konteks ini penolakan terhadap permohonan pemasok jasa harus diberitahukan dilengkapi dengan alasan penolakan dan selanjutnya diberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan permohonan. Dalam melakukan penilaian, harus dipertimbangkan pengalaman professional, keanggotaan pada organisasi profesi sebagai tambahan atas kualifikasi akademis yang dimiliki pemohon. Negara-negara anggota juga berkewajiban untuk memastikan bahwa biaya permohonan untuk memperoleh ijin adalah biaya yang wajar.

2.3.2. Qualification Procedure

Ketentuan tentang qualification procedure harus sederhana dan apabila dimungkinkan pemohon hanya berurusan dengan satu otoritas. Setiap penilaian dan ujian yang harus diikuti oleh pemohon dilakukan dalam interval waktu yang wajar dan proses permohonan diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

2.3.3. Licensing Requirement

Klausula penting dalam licensing requirement adalah tentang persyaratan residensi. Apabila ada persyaratan residensi untuk mendapatkan lisensi maka persyaratan tersebut harus sekecil mungkin dapat digunakan sebagai alat untuk menghambat usaha.

2.3.4. Licensing Procedure

Ketentuan ini bersama dengan ketentuan licencing requirement dimaksudkan untuk menjamin tersedianya pemasok jasa yang berkualitas melalui mekanisme perijinan. Proses perijinan harus tidak dijadikan sebagai alat untuk menghambat masuk pasar (barrier to entry).

2.3.5. Technical Standard

Penerapan technical standard harus secara transparan dan berdasarkan kriteria objektif. Tehnical standard harus diberitahukan kepada seluruh masyarakat. Untuk sector jasa yang telah memiliki standar internasional, Negara anggota diminta agar menggunakan standar internasional sebahagian atau seluruhnya.

2.3.6. Prior Comment

Memberikan kesempatan kepada setiap pihak yang berkepentingan untuk memberikan masukan atas setiap rancanangan ketentuan yang mengatur qualification requirement, qualification procedure, licensing requirement, licensing procedure dan technical standard. Komentar yang diberikan tersebut diharapkan tercermin secara substantive dalam ketentuan yang dikeluarkan. Terdapat jangka waktu yang wajar antara dikeluarkannya suatu ketentuan dengan diberlakukannya secara efektif ketentuan tersebut.271

3. Sinkronisasi Hukum dan Penerapan Regulatory Impact Assetment Sebuah

Kebutuhan

Harmonisasi hukum sangat penting dilakukan untuk menghindari adanya tuntutan dari Negara lain terhadap regulasi di sector jasa yang ada dengan alasan bertentangan dengan GATS. Terlebih lagi karena kondisi regulasi di Indonesia yang sangat banyak baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, daerah otorita maupun pemerintah daerah. Dalam suatu kajian yang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada tahun 2008 yang mengukur objektif regulasi bisnis dan penegakannya di 178 Negara menunjukkan gambaran yang tidak menggembirakan bagi Indonesia. Berdasarkan indikator kemudahan berusaha untuk Negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat ke-20, untuk indikator memulai usaha menduduki peringkat ke- 25 (lebih buruk dari seluruh Negara ASEAN), untuk perijinan Indonesia berada pada posisi 17, dan untuk indicator contract enforcement berada pada posisi 20.272 Analisis

KPPOD menunjukkan mengarah pada suatu kesimpulan bahwa regulasi masih menjadi hambatan terpenting bagi dunia usaha di Indonesia. Sebesar 31 % hambatan berusaha berasal dari masalah kelembagaan, antara lain peraturan daerah 25 %, penegakan hukum 17 %, pelayanan birokrasi 15 %.273

Sejak tahun 2001 Indonesia memberlakukan kebijakan otonomi daerah. Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah terutama di tingkat kabupaten/kota. Transisi dramatis ini, merupakan tonggak positif dari demokrasi, namun juga telah menimbulkan masalah yang bersifat administratif dan diiringi dengan kebijakan insentif yang keliru. Dalam kenyataannya, dengan diterapkan kebijakan tersebut iklim bisnis mengalami kemunduran secara signifikan karena dua alasan utama: (1) Pemerintah Daerah memberlakukan sejumlah

271 Zulkarnain Sitompul, op.cit, hal. 18 272 Ibid., hal. 5

273 Frida Rustiani, “Reformasi Regulasi : Mengapa Perlu “, Puri Imperium, (Jakarta, 19 Oktober

regulasi untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa memperhatikan dampaknya terhadap perekonomian dan pelayanan publik, dan (2) banyak Peraturan Daerah (Perda) yang tidak konsisten dengan undang-undang atau peraturan di tingkat nasional.274

Kondisi seperti diuraikan diatas, apabila terus berlanjut maka dapat menggambarkan potensi masalah hukum bagi Indonesia terkait dengan pelaksanaan GATS secara umum, khususnya terkait dengan ketentuan domestic regulation. Untuk itulah perlu dilakukan secara berkelanjutan reformasi regulasi dan sinkronisasi hukum baik secara vertical maupun horizontal untuk menemukan regulasi-regulasi yang menghambat dunia usaha dan tidak konsisten dengan kewajiban internasional Indonesia sedangkan untuk regulasi baru perlu diterapkan secara konsisten analisis

regulatory impact assestment (RIA).

Secara konseptual RIA merupakan proses review regulasi baik existing maupun

proponed regulation yang terdiri dari 7 langkah analisis sebagai berikut : (1). Perumusan masalah yang jelas (2). Identfikasi tujuan dikeluarkannya regulasi ; (3). Analisis alternative tindakan untuk menemukan alternative tindakan paling efektif menyelesaikan masalah. Dengan cara ini belum tentu regulasi menjadi pilihan utama menyelesaikan masalah ; (4). Analisis biaya dan manfaat ; (5). Pemilihan tindakan ; (6). Strategi implementasi dan (7). Konsultasi public pada setiap tahapan. RIA dengan demikian akan dapat mengurangi lahirnya peraturan-peraturan yang tidak efektif atau memberatkan dunia usaha.

Terkait dengan GATS dan Domestic Regulation, Kementerian Keuangan telah mencoba menjabarkan intisari domestic regulation yang didapat dipergunakan untuk analisis simulasi terhadap regulasi yang berpotensi tidak konsisten dengan GATS dan

domestic regulation (terlampir). Upaya ini harus didukung oleh sosialisasi secara terus menerus mengenai GATS, domestic regulation, dan RIA terutama kepada para pembuat peraturan baik di tingkat pusat, daerah otoritas dan pemerintah daerah.

Dalam dokumen Hukum Penanaman Modal dalam Kerangka WTO (Halaman 151-155)