• Tidak ada hasil yang ditemukan

UUPM dan Kesepakatan Internasional terkait Penananaman Modal Perdebatan-perdebatan tentang kehadiran UUPM yang dipandang “sangat

Dalam dokumen Hukum Penanaman Modal dalam Kerangka WTO (Halaman 79-98)

HARMONISASI PADA UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL INDONESIA

B. UUPM dan Kesepakatan Internasional terkait Penananaman Modal Perdebatan-perdebatan tentang kehadiran UUPM yang dipandang “sangat

liberal” kebanyakan berkisar pada pandangan politis. Hanya sebagian kecil yang memandang korelasi antara semangat liberlisasi investasi dalam UUPM dengan kewajiban internasional Indonesia dan perkembangan kesepakatan terkait investasi di tingkat internasional. Bagian ini akan mencoba melihat kaitan UUPM dengan kewajiban-kewajiban internasional yang dimiliki Indonesia berdasarkan kesepakatan- kesepakatan internasional yang relevan.

1. UUPM memberikan perhatian yang cukup terhadap kesepakatan

internasional

Bagaimana pun cara memandang globalisasi, proses ini akan mempengaruhi hukum. Globalisasi merubah masyarakat dan hukum ada di dalam masyarakat (ibi societas ibi ius). Jika masyarakat berubah, hukum pun akan ikut berubah.148 Dengan

demikian globalisasi hukum mengikuti globalisasi bidang lain, khususnya globalisasi ekonomi. Salah satu karakter globalisasi hukum adalah substansi undang-undang dan

147 Pasal 74 ayat (1) UUPT menyatakan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang

dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

148 Perubahan hukum dalam pengertian undang-undang dapat terjadi karena tekanan

masyarakatnya sendiri dank arena tekanan kepentingan ekonomi. Dalam konteks globalisasi ekonomi, hukum sering berubah karena tekanan kepentingan ekonomi untukmemanfaatkan peluang-peluang pasar yang terbuka lebar.

perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas Negara. Globalisasi hukum tersebut dapat terjadi melalui perjanjian-perjanjian dan konvensi internasional, perjanjian privat dan institusi ekonomi baru.149 Oleh karena itu tidak salah jika

dikatakan UUPM adalah lahir sebagai dorongan globalisasi ekonomi dan globalisasi hukum yang telah disesuaikan dengan kepentingan nasional.

Globalisasi ekonomi yang salah satu cirinya adalah internasionalisasi kegiatan ekonomi melalui peredaran arus barang/ jasa dan modal dengan minim hambatan harus dihadapi oleh Negara-negara dengan suatu kerjasama yang efektif, adil dan saling menguntungkan. Mengurung diri dalam lingkungan nasional tanpa mempertimbangkan perkembangan-perkembangan internasional kiranya tidak mungkin lagi dijadikan sebagai pendekatan tunggal dalam menghadapi arus globalisasi. Kerjasama harus dilakukan untuk menghindari sisi negatif dari globalisasi, seperti diingat oleh Holger Borner sebagai berikut :

Menghadapi problem-problem internasional baru ini, kedaulatan nasional juga mengalami penyusutan. Garis kebijakan politik domestik dan luar negeri telah menjadi kabur. Dalam siatuasi ini keyakinan buta terhadap pasar dan tindakan- tindakan politik belaka tidak lagi menjadi sumber kebijakan. Globalisasi telah memperlebar jurang ketidakadilan dalam masyarakat. Tindakan-tindakan politik harus difokuskan bagi penguatan dasar-dasar kohesi sosial. Globalisasi menuntut adanya budaya baru kerjasama di seluruh dunia.150

UUPM sangat menyadari pentingnya kesepakatan-kesepakatan internasional terkait dengan perdagangan dan penanaman modal. Beberapa bagian dari UUPM dan peraturan pelaksanaannya membuktikan bahwa UUPM cukup memberikan perhatian terhadap perkembangan kesepakatan internasional dan kerjasama internasional, antara lain :

(1). Bagian Menimbang huruf (d).

Bagian ini menegaskan bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional;

(2). Penjelasan Umum Paragraf Kedelapan

Pada bagian ini sangat tegas disebutkan bahwa UUPM memberikan ruang kepada Pemerintah untuk mengambil kebijakan guna mengantisipasi berbagai perjanjian internasional yang terjadi dan sekaligus untuk mendorong kerja sama internasional lainnya guna memperbesar peluang pasar regional dan internasional bagi produk barang dan jasa dari Indonesia.

(3). Pasal 3 ayat (1) d, Pasal 4 ayat (2) a dan Pasal 6

Kedua Pasal tersebut terkait dengan perlakuan sama terhadap semua investor tanpa membedakan asal Negara. Pasal 3 ayat (1) d menetapkan asas perlakuan sama

149 Erman Rajagukguk,op.cit, hal. 1-2

dan tidak membedakan asal Negara sebagai asas penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. Perlakuan sama dalam asas ini menyangkut kedua prinsip perlakuan sama seperti diuraikan sebelumnya, yakni prinsip most favoured nations dan national treatment. Asas perlakuan sama yang dituntut oleh Pasal 3 ayat (1) d tersebut kemudian diderivasi dalam Pasal 4 ayat (2) a dan Pasal 6 UUPM. Kedua pasal ini meskipun berakar dari asas yang sama, yakni perlakuan sama, tetapi berbeda dalam makna. Perlakuan sama dalam Pasal 4 ayat (2) a adalah implementasi dari prinsip national treatment, sedangkan Pasal 6 merujuk kepada makna most favoured nations. Sementara itu, pengecualian penerapan prinsip most favoured nations yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UUPM bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia juga memperlihatkan adanya perhatian yang cukup besar dari UUPM terhadap kerjasama internasional secara bilateral, maupun regional yang diikuti oleh Indonesia.

Ketiga pasal tersebut diatas tidak ditemukan dalam UUPMA maupun UUPMDN. Masuknya prinsip perlakuan sama dalam ketiga pasal UUPM tersebut sangat jelas tidak terlepas dari pengaruh kesepakatan internasional terkait investasi, terutama General Agreement on Trade in Services. Article II.1 GATS tentang most favoured nations treatment menegaskan bahwa setiap measure yang tercakup dalam persetujuan GATS tersebut, maka setiap Negara anggota harus dengan segera dan tanpa syarat memberikan perlakuan yang tidak berbeda kepada jasa dan pemasok jasa dari Negara lain dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan kepada pemasok jasa dari Negara lainnya. Sementara Article XVII GATS tentang National Treatment menetapkan kewajiban kepada Negara anggota untuk memberikan perlakuan sama antara pemasok jasa asing dengan pemasok jasa domestic pada semua sector maupun subsector yang telah dinyatakan dalam schedule of commitment.

Dengan demikian, UUPM sangat memperhatikan kesepakatan-kesepakatan internasional dan kerjasama ekonomi internasional yang diikuti oleh Pemerintah Republik Indonesia.

(4). Pasal 12 tentang Bidang Usaha

Pasal 12 UUPM dapat dikatakan sebagai perwujudan sikap dan jawaban Pemerintah terhadap GATS dan kemungkinan perundingan Multilateral Agreement on Investment dalam kerangka hukum WTO. Pasal 12 UUPM memperlihatkan upaya yang cukup serius dari Pemerintah RI dalam mengharmoniskan UUPM dengan GATS sekaligus antisipatif terhadap perjuangan kepentingan nasional dalam arus liberalisasi investasi.

Kebebasan arus modal melalui kegiatan perdagangan jasa secara commercial presence berdasarkan GATS tidak identik dengan kebebasan yang tanpa batas dalam melakukan kegiatan investasi. Meskipun GATS menjamin hak untuk masuk dan mendirikan usaha (right to entry) kepada setiap investor, namun bukan berarti hak tersebut dapat diterapkan untuk semua sektor usaha. Meskipun Article I.3 huruf b dari GATS mendefiniskan jasa (services) meliputi semua jasa disegala sector kecuali jasa-jasa yang dipasok untuk keperluan fungsi pemerintah, tidak berarti bahwa GATS mewajibkan Negara anggota untuk meliberalisasikan seluruh sektor investasi jasa, sebab sistem perlindungan melalui schedule of commitmen dan specific of commitment yang

dinyatakan oleh Negara anggota Article XVII GATS menyebabkan tidak seluruh sektor usaha terbuka bagi kegiatan investasi. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Article XVII sebagai berikut :

“Pada sektor maupun subsektor yang dinyatakan dalam schedule of commitment

dan tunduk pada semua kondisi dan kualifikasi yang tercantum di dalamnya, setiap Negara peserta harus memberikan perlakuan kepada jasa dan pemasok jasa dari dari Negara lain yang tidak berbeda dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan terhadap jasa dan pemasok jasa yang berasal dari Negara itu sendiri.

Article XIX GATS menegaskan tentang sistem liberalisasi bertahap terkait liberalisasi investasi sektor jasa. Proses liberalisasi harus dilakukan dengan tetap menghargai kepentingan nasional dan tingkat pembangunan masing-masing Negara, baik untuk seluruh maupun individual sektor. Sehubungan dengan itu, GATS menetapkan adanya fleksibilitas yang memadai untuk masing-masing Negara berkembang untuk membuka sektor yang lebih sedikit, melakukan liberalisasi transaksi yang lebih sedikit, melakukan perluasan akses pasar secara bertahap sejalan dengan situasi pembangunan. 151 Dengan demikian, terkait bidang usaha yang dapat ditanami

modal, suatu Negara anggota WTO dapat menyesuaikannya dengan kepentingan nasionalnya dan situasi pembangunan di Negaranya. Ini pun masih bisa dibatasi dengan syarat-syarat tertentu yang dicantumkan dalam schedule of commitmen dan

specific of commitment yang dinyatakan oleh Negara tersebut. Dengan demikian, tidak benar bahwa liberalisasi investasi berdasarkan GATS melarang suatu Negara membatasi bidang usaha dalam perundang-undangan investasinya.

Disamping itu, GATS juga menyediakan instrument hukum pengecualian, baik secara umum maupun pengecualian yang didasarkan pada alasan kepentingan keamanan Negara. Article XIV GATS tidak mengkategorikan suatu perbuatan sebagai diskriminasi sepihak atau pembatasan terselubung pada perdagangan internasional di bidang jasa, apabila tindakan tersebut diperlukan untuk melindungi moral umum atau untuk mempertahankan kepentingan umum, melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan, menjamin ketaatan terhadap undang- undang dan peraturan perundang-undangan. Pengecualian-pengeculian tersebut dilengkapi dengan Article XIV bis terkait dengan pertimbangan pertahanan keamanan Negara.

Seluruh ketentuan GATS sebagaimana diuraikan diatas, dijawab oleh UUPM dengan rumusan sebagai berikut :

Pasal 12

(1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.

(2) Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:

a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan

b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.

(3) Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya. (4) Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka

dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden.

(5) Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.

Dengan demikian jelaslah bahwa perumusan Pasal 12 UUPM tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati dan sangat memperhatikan aspek keharmonisan dengan kesepakatan internasional, khususnya GATT.

(5). Pasal 35 dan Pasal 36 tentang Ketentuan Peralihan

Pasal 35 UUPM menegaskan bahwa perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut. Sedangkan terhadap rancangan perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang belum disetujui oleh Pemerintah Indonesia pada saat Undang-Undang ini berlaku wajib disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini, demikian Pasal 36 UUPM menyebutkan. Penegasan Pasal 36 tersebut sudah tepat mengingat UUPM ini sendiri telah diharmoniskan dengan kesepakatan multilateral yang ada.

Menanggapi perbedaan pendapat tentang konsep liberalisasi investasi yang diterapkan oleh UUPM, maka satu hal yang juga harus dipertimbangkan adalah kewajiban hukum Indonesia terhadap kesepakatan-kesepakatan internasional yang sudah diratifikasi dan dijadikan sebagai undang-undang nasional. Terlepas dari kontroversi tentang peran WTO dan “krisis legitimisi” yang dihadapi WTO, maka GATS yang merupakan bagian dari paket kesepakatan (single undertaking) dalam final act of Uruguay Round yang diratifikasi Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1994, adalah instrumen hukum internasional yang bersifat mengikat secara hukum (legally binding). Konsekwensi juridis dari keanggotan Indonesia di WTO salah satunya adalah kewajiban untuk menyesuaikan hukum nasionalnya dengan kesepakatan internasional yang sudah diratifikasi. UUPM lahir dari pengaruh eksternal yang demikian.

Sampai saat ini WTO belum memiliki kesepakatan yang mengatur mengenai seluruh aspek penanaman modal secara langsung (direct investment). Namun, meskipun demikian terdapat dua kesepakatan utama WTO yang terkait dengan pengaturan penanaman modal, yakni Agreement on Trade in Services (GATS). Kedua kesepakatan perdagangan internasional tersebut terkait langsung dengan UUPM.

Pada prinsipnya UUPM telah mengakomodir ketentuan-ketentuan Agreement on TRIMs dan GATS. Dapat dipastikan bahwa penyusunan UUPM sangat memperhatikan kedua kesepakatan tersebut. Sub-bab ini mencoba menguraikan keharmonisan UUPM dengan Agreement on TRIMs dan GATS.

Agreement on TRIMs meskipun terkait dengan persyaratan penanaman modal yang diterapkan oleh host country dalam peraruran domestiknya, namun kesepakatan ini tidak ditujukan untuk melarang seluruh persyaratan penanaman modal yang diwajibkan oleh pemerintah host country kepada calon investor. Agreement on TRIMs

tidak melarang semua bentuk persyaratan penanaman modal. Agreement ini hanya melarang penerapan TRIM's yang tidak konsisten dengan Article III.4 (national treatment) dan Article XI.l. (general prohibition on quantitative restriction), meliputi kebijakan local content requirement, trade balancing policy, foreign exchange limitation dan

export restriction152. Sebagaimana dituangkan dalam illustrative list dari Agreement on TRIMs, syarat-syarat penanaman modal yang dilarang karena alasan tidak konsisten dengan Article III.4 dan XI.l GATT terdiri dari:153

"1. Persyaratan penanaman modal yang tidak sejalan dengan keharusan perlakuan sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal III.4 GATT 1994: (a). pembelian atau penggunaan produk-produk yang berasal dari dalam

negeri atau dari sumber dalam negeri lainnya dirinci menurut produk-produk tertentu, volume atau nilai barang produk, atau menurut perbandingan dari volume atau nilai produksi lokal; atau (b). pembelian atau penggunaan produk impor oleh perusahaan dibatasi

sampai jumlah tertentu dikaitkan dengan volume atau nilai produksi lokal yang diekspor;

2. Persyaratan penanaman modal yang tidak sejalan dengan keharusan penghapusan pembatasan kuantitatif, sebagaimana diatur dalam Pasal XI ayat (1) GATT 1994 :

(a) impor produk yang dipakai dalam proses produksi atau terkait dengan produksi lokalnya secara umum atau senilai produk yang diekspor oleh perusahaan yang bersangkutan;

(b). impor produk yang dipakai dalam atau terkait produksi lokal dengan membatasi aksesnya terhadap devisa luar negeri sampai jumlah yang terkait dengan devisa yang dimasukkan oleh perusahaan yang bersangkutan”

152 International Trade Center UNCTAD/WTO and Commonwealth Secretariat, Business Guide to the World Trading System, Second Edition, Geneva, 1999, hal. 162

153 Departemen Luar Negeri, Teijemahan Resmi Hasil Akhir Persetujuan Putaran Uruguay,

(d) ekspor atau penjualan untuk ekspor apakah dirinci menurut produk- produk khusus, menurut volume atau nilai produ-produk atau menurut perbandingan volume atau nilai dari produksi lokal perusahaan yang bersangkutan"

Alasan di balik larangan dalam Agreement on TRIMs tersebut hanya ditujukan pada persyaratan penanaman modal yang berkaitan langsung dengan perlakuan terhadap barang impor bukan tindakan investasi secara umum.

UUPM menetapkan sejumlah persyaratan terhadap penanaman modal, antara lain : (1). Kewajiban bagi penanaman modal asing menjalankan usaha dalam bentuk

perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang (Pasal 5 ayat (2))

(2). memenuhi kebutuhan tenaga kerja dengan kewajiban mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia (Pasal 10 ayat (1)) dan membatasi penggunaan tenaga ahli warga negara asing (Pasal 10 ayat (2))

(3). meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 10 ayat (3)) dan alih teknologi (Pasal 10 ayat (4))

(4). Membatasi bidang usaha dan menetapkan syarat-syarat tertentu pada bidang usaha yang dibuka dengan persyaratan, meliputi persyaratanperlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah (Pasal 12 ayat (5))

(5). syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi (Pasal 13 ayat (1))

(6). Melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab sesuai ketentuan Pasal 15 dan Pasal 16

(7). wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan (Pasal 17)

Jika diperhatikan, baik persyaratan yang ditetapkan dalam UUPM maupun Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, atau Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal jo. Peraturan Presiden No. Ill Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, tidak ditemukan adanya persyaratan yang dapat dikategorikan tidak konsisten dengan Agreement on TRIMs.

UUPM mengatur tentang fasilitas penanaman modal pada Bab X mulai dari Pasal 18 sampai dengan Pasal 24. Secara umum tidak ada ketentuan perdagangan internasional yang melarang pemberlakuan insentif investasi berupa fasilitas penanaman modal. Masalah bisa muncul jika pemberian insentif investasi dikaitkan

dengan performance requirement yang bertentangan dengan Agreement on TRIMs. Terkait dengan hal tersebut, menarik untuk diperhatikan ketentuan Pasal 18 UU PM, karena pada pasal ini terdapat dua kemungkinan keberatan penanam modal, khususnya PMA. Pertama, fasilitas penanaman modal tidak diberikan kepada semua penanam modal, akan tetapi hanya kepada penanaman modal yang memenuhi persyaratan tertentu. Bisa saja ketentuan demikian diartikan sebagai ketentuan yang diskriminatif. Kedua, Pasal 18 ayat (3) huruf j mengkaitkan fasilitas penanaman modal dengan penggunaan produksi dalam negeri.

Persyaratan untuk memperoleh fasilitas penanaman modal sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) huruf a sampai dengan i154 tidak bertentangan dengan ketentuan

perdagangan internasional, karena tidak ada ketentuan secara imperative melarang persyaratan tersebut. Pemberian fasilitas yang dibatasi pada penanaman modal yang memenuhi syarat tertentu semestinya dipandang sebagai konsistensi pemerintah terhadap pandangan yang mengakui bahwa penerapan kebijakan penanaman modal tunduk pada kedaulatan politik Indonesia yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi. Dalam pemaknaan yang demikian, syarat-syarat tersebut adalah bentuk dari kebutuhan pembangunan ekonomi Indonesia pada sektor industri. Masalah seperti ini belum mendapatkan pengaturan yang tegas dan merupakan salah satu agenda kontroversi dalam negosiasi trade and investment.

Pasal 18 ayat (3) huruf j yang mengkaitkan fasilitas penanaman modal dengan penggunaan produksi dalam negeri kemungkinan akan mendapat perhatian investor asing. Fasilitas penanaman modal yang demikian dapat berdampak pada perdagangan internasional, karena pemberian fasilitas tersebut didasarkan pada syarat yang dapat berakibat ada perbedaan perlakuan antara barang buatan dalam negeri dengan barang impor. Dalam hal ini perlakuan khusus diberikan kepada barang buatan dalam negeri dalam bentuk fasilitas penanaman modal, fasilitas mana tidak diberikan kepada penanam modal yang menggunakan barang impor. Tentunya masih bisa diperdebatkan, mengingat bahwa Pasal ini tidak mensyaratkan adanya kewajiban menggunakan barang buatan dalam negeri dalam jumlah, nilai atau persentase tertentu seperti yang dilarang dalam Agreement on TRIMs. Tindakan ini merupakan tindakan sukarela tetapi diberikan insentif investasi. Pasal 18 ayat (3) huruf j ini berlindung pada argumentasi tidak adanya kewajiban menggunakan barang buatan dalam negeri.

Pasal 18 ayat (3) huruf j ini betbeda dengan perkara Kanada vs. USA dalam FIRA Case. Perubahan UUPM Kanada secara tegas mencantumkan adanya persyaratan wajib dalam persentase penggunaan kandungan lokal dan dipergunakan sebagai syarat untuk mendapatkan insentif investasi. Meskipun Kanada pada saat itu mendalilkan bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan sukarela, tetapi panel berpendapat lain. Menurut Panel, adanya ketentuan local content requirement sudah cukup membuktikan

154 Pasat 18 Ayat (3) Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) adalah yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria berikut ini: a. menyerap banyak tenaga kerja; b. termasuk skala prioritas tinggi; c. termasuk pembangunan infrastruktur; d. melakukan alih teknologi; e. melakukan industri pionir; f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu; g. menjaga kelestarian lingkungan hidup; h. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi; i. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau k operas i; atau j. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri.

bahwa tindakan Kanada bertentangan dengan Article III.4 GATT, terlebih lagi persyaratan tersebut dikaitkan dengan insentif investasi.

Disamping Agreement on TRIMs, persentuhan terbesar UUPM adalah dengan GATS. GATS meskipun merupakan sebuah kesepakatan dibidang perdagangan jasa, akan tetapi terkait sangat erat dengan peraturan investasi, dikarenakan tiga alasan utama : pertama, perdagangan jasa yang dilakukan oleh foreign supplier dalam bentuk

commercial presence adalah sebuah kegiatan penanaman modal secara langsung (direct investment), Kedua, tidak dibenarkan adanya peraturan/ persyaratan penanaman modal yang bertentangan dengan komitmen mengenai akses pasar (market access). Ketiga, tidak dibenarkan adanya perijinan atau persyaratan penanaman modal sektor jasa yang dipergunakan sebagai trade barrier dibidang perdagangan jasa.

Berikut ini akan diuraikan syarat dan ketentuan penanaman modal dalam UUPM terkait dengan ketentuan-ketentuan perda-gangan jasa dalam GATS.

(1). Ketentuan mengenai bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal Pasal 12 ayat (1) UUPM menyatakan bahwa semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan, Pada dasarnya Pasal 12 ayat (1) UUPM tidak membuka semua bidang usaha untuk ditanami modal, baik modal asing maupun dalam negeri, karena Pemerintah dapat menyatakan suatu bidang usaha

Dalam dokumen Hukum Penanaman Modal dalam Kerangka WTO (Halaman 79-98)