• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan terjadinya defisiensi insulin absolut atau relatif, dan gangguan fungsi insulin (WHO, 1980). Diabetes mellitus adalah salah satu jenis penyakit dari

kelompok penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah (hyperglycemia) (ADA, 2004). Penyakit ini disebabkan oleh gangguan sekresi insulin sehingga kadar insulin rendah, aktivitas metabolik insulin yang rendah, atau keduanya.

Pada klasifikasi terbaru, ADA (2004) mengelompokan diabetes mellitus ke dalam empat tipe, yaitu diabetes melitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes melitus jenis lain, dan diabetes melitus saat hamil. Diabetes melitus tipe-1 atau yang telah dikenal sebagai IDDM (Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) disebabkan oleh kerusakan sel β pancreas akibat adanya mekanisme autoimun pada tubuh penderita. Penderita diabetes tipe-1 membutuhkan insulin eksogen untuk mempertahankan hidupnya dan memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya ketoasidosis. Diabetes tipe-2 atau yang telah umum dikenal NIDDM (Non Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) disebabkan oleh penurunan sensitivitas insulin atau sekresi insulin. Tipe-2 ini umumnya terjadi pada manusia usia dewasa yang mengalami obesitas sehingga meningkatkan gejala resistensi insulin. Melalui pengurangan berat badan atau pengobatan hiperglekimia secara farmakologis, gejala resistensi insulin dapat diperbaiki. Penderita diabetes tipe-2 dapat memerlukan insulin eksogen namun tidak tergantung pada insulin eksogen seumur hidup.

Diabetes Melitus disingkat DM merupakan gangguan metabolisme yang kronis dan dapat terjadi secara bawaan yang berhubungan dengan ketidakmampuan sel tubuh untuk mengambil glukosa dari aliran darah ke dalam sel (Votey, 2001). Schersten dan Per (1983) mendefinisikan DM sebagai suatu tingkat kronis peningkatan kadar glukosa darah karena adanya gangguan penggunaan glukosa. Kedua hal tersebut terjadi karena kekurangan insulin, gangguan fungsi insulin, atau peningkatan faktor yang memiliki fungsi berlawanan dengan insulin, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein (Schersten dan Per, 1983).

Penggolongan DM menurut World Health Organization (1980) dibedakan berdasarkan pada tingkat gangguan penggunaan glukosa yang

kemudian dibedakan pada kategori klinis dan statistik. Klasifikasi DM menurut WHO (1980) adalah sebagai berikut ini :

Penggolongan Klinis 1. Diabetes Mellitus

a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) c. Diabetes mellitus yang berkaitan dengan nutrisi

d. Tipe lain yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau sindrom tertentu : (1) Penyakit pankreas, (2) Penyakit hormonal, (3) Keadaan yang disebabkan oleh obat atau zat kimiawi, (4) Gangguan reseptor insulin, (5) Sindrom genetik tertentu, dan lain-lain

2. Gangguan Toleransi Glukosa a. Tidak gemuk

b. Gemuk

c. Gangguan toleransi glukosa yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu

3. Diabetes Gestational (pada kehamilan) Penggolongan dengan Resiko Statistik Tinggi

Penggolongan ini berdasarkan kepada penderita dengan toleransi glukosa normal tetapi memiliki resiko untuk menjadi diabetes. Penggolongan tersebut terdiri dari :

a. Gangguan toleransi glukosa abnormal sebelumnya b. Potensial bertoleransi glukosa abnormal

Menurut WHO (1980), DM tipe 1 (IDDM) merupakan gangguan yang terjadi karena adanya defisiensi absolut insulin atau akibat virus Mumps, Coxsakie B, virus Sitomegali, dan infeksius mononukleus yang diikuti proses

autoimmune. Pada tipe ini ditemukan dua macam bentuk, yaitu immune- mediated diabetes melitus yang merupakan hasil dari proses autoimmune

dimana antibodi tubuh menyerang dan menghancurkan sel beta pankreas, dan bentuk idiopatik dimana penyebab pastinya belum diketahui.

Dinyatakan lebih lanjut oleh WHO (1980) bahwa DM tipe 2 (NIDDM) dapat terjadi karena resistensi insulin, yaitu kondisi dimana tubuh gagal untuk membuat insulin yang cukup atau gagal untuk mempergunakan insulin walaupun jumlah insulin dalam tubuh normal atau bahkan melebihi normal, yang dikombinasikan dengan defisiensi relatif insulin. DM tipe 2 seringkali dapat dikontrol dengan mengurangi berat badan, meningkatkan kualitas nutrisi tertentu, dan latihan yang benar (Milwicki, 2002).

Secara sederhana menurut WHO (1980) dapat dikatakan bahwa DM disebabkan oleh defisiensi insulin, baik absolut maupun relatif di dalam tubuh. Insulin merupakan suatu hormon protein yang berinteraksi dengan reseptor sel organ targetnya untuk meningkatkan permeabilitas sel terhadap glukosa, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel-sel otot dan disimpan sebagai glikogen serta masuk ke dalam sel jaringan lemak disimpan sebagai trigliserida.

Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa di dalam pembuluh darah (hiperglikemia). Milwicki (2002) menyebutkan bahwa umumnnya peningkatan kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 1 lebih tinggi (400 mg/dl) dari pada penderita DM tipe 2 (150-300 mg/dl). Bila kadar glukosa darah telah melebihi ambang batas ginjal (180 mg/dl), maka glukosa tidak dapat lagi diserap oleh ginjal dan akan dikeluarkan melalui urine (glukosuria). Glukosa merupakan zat yang bersifat hidrofilik (larut dalam air) sehingga peningkatan glukosa darah dapat meningkatkan osmotic diuresis dari sel sekitarnya dan akhirnya terjadi dehidrasi intraseluler diikuti dengan

polyuria.

Glukosa di dalam tubuh dapat digunakan bila glukosa dapat masuk ke dalam sel dan dioksidasi. Glukosa yang tidak dapat masuk ke dalam sel mengakibatkan penggunaan glukosa sebagai energi terhambat dan sel menjadi kekurangan energi. Apabila hal ini terjadi, tubuh akan berusaha mencari energi dari sumber lain yaitu, oksidasi lemak pada jaringan lemak, dan katabolisme protein (Milne, 1989).

Dinyatakan lebih lanjut oleh Milne (1989), bahwa oksidasi lemak menghasilkan energi disertai badan keton. Peningkatan badan keton (asam asetoasetat, aseton, dan asam hidrolisis butirat) dalam tubuh dapat menyebabkan adanya ketosis, ketonemia. Badan keton yang terbentuk akan mengikat ion natrium sehingga kadar ion hidrogen meningkat dan terjadi gangguan keseimbangan elektrolit, asidosis dan diikuti koma serta kematian. E. Peran VCO dalam Membantu Pencegahan Komplikasi Penyakit

Efek pertama VCO dalam membantu pencegahan komplikasi diabetes melitus adalah membantu mensuplai energi kepada sel (sebab minyak kelapa dapat dengan mudah diserap tanpa bantuan enzim lipase) sehingga akan meningkatkan sekresi insulin dan penggunaan glukosa darah. Setelah masuk tubuh, VCO yang mengandung lauric acid dan capric acid ternyata mempunyai efek yang sangat potensial dalam menstimulir terjadinya sekresi insulin oleh sel-sel Langerhans pankreas (Garfinkel et al., 1992).

Lemak polyunsaturated berdasarkan hasil penelitian Ginsberg et al (1982) akan bergabung dengan dinding sel (lipid bilayer membrane) dan menggabung dalam struktur sel. Sel ini kemudian tenyata berkurang kemampuannya untuk mengikat insulin, sehingga kemampuan sel untuk mengambil glukosa juga menurun. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi. Biasanya pengobatan pada penderita diabetes memang telah diberikan nasehat untuk mengurangi konsumsi minyak, terutama minyak atau lemak lain yang bersifat polyunsaturated, monounsaturated yang berasal dari minyak kedelai, jagung dan lain-lain, serta minyak atau lemak hewani yang bersifat

saturated fat dengan rantai panjang (long chain saturated fatty acid = LCSFA). Dengan mengurangi lemak tersebut, pada hewan percobaan memang langsung terjadi perbaikan dari penyakit diabetes tipe II yang dibuat di laboratorium. Bahkan berbagai studi pada manusia, konsumsi rendah lemak juga akan membantu memperbaiki kadar kimiawi darah dan sekaligus membantu mengkontrol penyakit diabetes itu sendiri (Parekh et al, 1998 dan Barnard et al, 1983)

Nanji (1995) menyatakan bahwa, tubuh yang mendapat makanan sehari-hari yang diperkaya dengan lemak jenuh atau saturated fatty acid akan

mampu mempertahankan keutuhan sel hati (liver) dari kerusakan yang diakibatkan oleh pemakaian alkohol dan stres oksidatif lain. Efek ini tampaknya terjadi oleh campur tangan asam linoleat (linoleic acid) yang ada pada VCO. Asam linoleat ini bekerja dengan cara menurunkan peroksidasi lemak (down-regulation of lipid peroxidation) sehingga tidak terjadi Reactive Oxigen Substances (ROS) yang terlalu tinggi yang merusak dan menyebabkan disfungsi endotel. Dengan demikian menurut Nanji (1995) bahwa ROS yang terlalu tinggi pada penderita diabetes dapat diturunkan, seiring dengan turunnya peroksidasi lemak yang terjadi. Kerusakan hati (komplikasi pada kerusakan hati) dapat dibantu diperingan sampai total dicegah. Di samping itu, ternyata VCO juga mengandung vitamin alami yaitu Vitamin E yang bersifat sebagai anti-oksidan. Anti-oksidan ini pulalah yang membantu mencegah minyak VCO menjadi tidak tengik dan membantu memblok oksidan yang terlalu tinggi pada penderita diabetes.

Penelitian Monserrat et al (1995) melaporkan bahwa kemungkinan juga VCO mendukung dalam membantu pencegahan kerusakan ginjal. Mereka mendapatkan bahwa pemberian VCO pada hewan percobaan dengan diberi diet yang tidak mengandung cholin dan metil (methyl-deficient diet) ternyata mampu memproteksi terjadinya kerusakan, perlukaan (renal lession), dan kehancuran (necrosis) dari ginjal. Dengan demikian penelitian ini membuktikan bahwa VCO secara umum mampu meringankan derajat kerusakan ginjal. Kemampuan ini terjadi jika pada diet atau makanannya diberi VCO 20 %. Kemampuan meringankan kerusakan ginjal ini tidak tampak pada minyak jagung dan tumbuhan lain yang terhidrogenasi (Monserrat et al, 1995). Kemampuan ini tampaknya akan mendukung pencegahan kerusakan ginjal yang ditunjukkan dengan adanya

microalbuminuria pada penderita diabetes yang diberikan pengobatan.

Bukti kehandalan lain dari VCO pada pencegahan komplikasi diabetes datang dari penelitian Muller et al (2003). Mereka mampu membuktikan bahwa pemberian VCO akan menurunkan tissue-Plasminogen Activator antigen (t-PA antigen) segera setelah makan. Perlu diketahui bahwa t-PA antigen ini berhubungan dengan aktivitas plasminogen activator inhibitor type

1=PAI-1 activity) yang biasanya meningkat pada penderita diabetes karena adanya Hypertriglyceridemia (peningkatan triglyseride). Dengan menurunnya t-PA antigen dan PAI-1 maka akan terjadi perbaikan sistem fibrinolisis

(penghancuran jendalan darah). Kemampuan ini ditambah dengan efek penurunan Lp[a] yang berhubungan dengan serangan stroke dan jantung (Muller et al, 2003).

Kemampuan lain dari VCO yang sangat menguntungkan penderita diabetes, dapat membantu mengurangi timbulnya penyakit sampingan atau komplikasi, antara lain: anti bakteri, anti virus, anti fungal, anti yeast, anti parasit, menurunkan kolesterol tubuh, dan lain-lain (Enig, 1996). Dengan demikian nampak jelas bahwa VCO mampu mencegah atau mengurangi insiden terjadinya stroke, infark jantung, dan sumbatan darah lain yang dapat mengakibatkan berbagai komplikasi termasuk komplikasi disfungsi ereksi.