TERHADAP AKTIVITASNYA SEBAGAI PENURUN
KADAR GLUKOSA DARAH PADA TIKUS DIABETES MELITUS
DADANG SUPRIATNA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
DADANG SUPRIATNA. Pengaruh Proses Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO)
terhadap Aktivitasnya sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah pada Tikus Diabetes Melitus. Dibimbing oleh MADE ASTAWAN dan DEDDY MUCHTADI.
Minyak murni kelapa (Virgin Coconut Oil-VCO) sudah banyak diproduksi
di dalam dan luar negeri dengan berbagai metode proses. Masing-masing metode proses saling mengunggulkan terutama dalam hal kadar asam lauratnya yang terdapat paling banyak di dalam produk VCO. Untuk hal tersebut maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai metode proses pembuatan VCO terhadap aktivitas komponen bioaktifnya yaitu asam lemak jenuh
berantai medium atau medium chain fatty acids - MCFA (C8-C12) dalam
menurunkan kadar glukosa darah pada tikus diabetes melitus (DM).
Penelitian menggunakan 25 ekor tikus putih Sprague Dawley jantan. Tikus-tikus tersebut dipelihara dan dikelompokkan menjadi Tikus-tikus sehat, dan Tikus-tikus penderita DM. Tikus DM dibuat dengan cara tikus diadaptasikan selama 6 hari kemudian dipuasakan selama satu malam serta selanjutnya diinduksi secara
intraperitoneal dengan larutan aloksan 110 mg per kg berat badan tikus. Dua hari kemudian kadar glukosa darah tikus tersebut diperiksa, dan yang mempunyai kadar glukosa lebih dari 200 mg/dl menandakan menderita DM.
VCO yang diproses tanpa pemanasan, VCO yang diproses dengan pemanasan terkendali, serta minyak goreng kelapa yang mewakili minyak kelapa yang diproses dengan suhu tinggi dan penggunaan bahan kimiawi, dicekokkan kepada masing-masing 5 ekor tikus penderita DM. Sementara itu sebagai kontrol dibuat juga kelompok kontrol positif yaitu 5 ekor tikus penderita DM dan kelompok kontrol negatif yaitu 5 ekor tikus sehat. Kedua kelompok tersebut tidak dicekok VCO ataupun minyak goreng tapi dicekok air. Tikus-tikus percobaan tersebut diamati selama 28 hari untuk diukur perkembangan berat badannya setiap 2 hari, jumlah konsumsi ransum setiap hari, kadar glukosa darah setiap 4 hari dan kadar kolesterol setelah selesai pengamatan (hari ke 29).
Berdasarkan hasil analisis kimiawi, diketahui bahwa kadar asam-asam lemak pada dua macam VCO dan minyak goreng relatif tidak berbeda. Kadar asam laurat VCO tanpa pemanasan yaitu 51,5%, VCO pemanasan terkendali 51,0% dan minyak goreng 49,8%. Berdasarkan hasil analisis statistik, metode proses pembuatan VCO tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% terhadap nilai kesukaan panelis. Minyak kelapa ataupun VCO berdasarkan analisis statistik, tidak memberikan efek yang berbeda nyata dalam meningkatkan berat badan tikus percobaan. Proses pembuatan VCO dan minyak goreng tidak berpengaruh nyata pada taraf 5% terhadap persen perubahan nilai glukosa darah tikus penderita DM. VCO tanpa pemanasan mempunyai korelasi negatif yang paling erat dan sangat nyata (p < 1%) terhadap penurunan kadar glukosa. VCO tidak berpengaruh pada taraf 5% terhadap kadar total kolesterol, HDL, LDL dan trigliserida serum darah tikus penderita DM.
ABSTRACT
DADANG SUPRIATNA. The Effect of Virgin Coconut Oil (VCO) Processing Methods on Theirs Activity as a Blood Glucose Reducer of Rats Suffering from Diabetes Mellitus. Supervised by MADE ASTAWAN and DEDDY MUCHTADI.
Virgin Coconut Oil (VCO) has been produced nationally or internationally in various processing methods. Each of the processing method has claimed its own excellence, especially on its lauric acid content that found highest in VCO product. Based on that point of view, the research was conducted with the objective to study the effect of various processing methods in producing VCO on the bioactive compound of saturated medium chain fatty acids (MCFA, C8-C12) activities in reducing blood glucose of the diabetes mellitus (DM) rats.
On the research used the Sprague Dawley white male rats. The rats were cared and grouped into healthy rats and DM rats. The DM rats achieved by adapting the rats for six days, followed for one night without giving any feeding prior to intraperitoneal way induction by using 110 mg alloxan solution per kg rats’ weight. After two days the content of rats blood glucose were then to be checked. The rats suffered DM if they had glucose content more than 200mg/dL.
VCO produced without applying heat, VCO produced by applying controlled heat, also coconut cooking oil as a coconut oil which applied severe heat and chemically produced, were then given forcibly as medicine to each 5 DM rats. Meanwhile as a control, we made a group of positive control that suffered DM and a negative control as another health group (did not suffer DM). The two groups of control were not given the VCO or coconut cooking oil, but they were given drinking water. Each of the 5 groups of the rats were then observed during 28 days on the developing of the body’s rats weight at every two days, the amount of feed consumed at every day, blood glucose content at every 4 days, and at the end of the observing on the 29th day all of the rats were then terminated to be analyzed of theirs cholesterol level.
Based on chemical analysis it was recognized that the content of fatty acid on two kinds of VCOs and coconut cooking oil is relatively no different. The content of lauric acid on VCO without heating was 51.5%, and on controlled heating VCO was 51.0% while on coconut cooking oil was 49.8%. Method of VCO processing, did not give significantly difference on the panelist preferences. It was statistically measured that either coconut cooking oil or VCO gave no significantly difference impact on the increasing of weight rats being experimented. The method of processing VCO and coconut cooking oil did not have significant impact on level 5% toward the percentage of blood glucose value on rats suffering DM. VCO without heating has tightly negative correlation on reducing glucose content. VCO did not give any impact at level 5% on total cholesterol content, HDL, LDL and triglyceride on rats’ blood serum suffering from DM.
terhadap Aktivitasnya sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah pada Tikus Diabetes Melitus. Dibimbing oleh MADE ASTAWAN dan DEDDY MUCHTADI.
Minyak murni kelapa (Virgin Coconut Oil-VCO) sudah banyak diproduksi
di dalam dan luar negeri dengan berbagai metode proses. Masing-masing metode proses saling mengunggulkan terutama dalam hal kadar asam lauratnya yang terdapat paling banyak di dalam produk VCO. Untuk hal tersebut maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai metode proses pembuatan VCO terhadap aktivitas komponen bioaktifnya yaitu asam lemak jenuh
berantai medium atau medium chain fatty acids - MCFA (C8-C12) dalam
menurunkan kadar glukosa darah pada tikus diabetes melitus (DM).
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari VCO, minyak goreng, tikus putih, ransum, dan bahan-bahan kimia. VCO terdiri dari dua macam yaitu VCO proses tanpa panas yang dibeli dari pengusaha VCO di Kedung Badak, Bogor, dan VCO proses panas terkendali yang dibuat penulis sendiri di BBIA.
Sementara itu minyak goreng kelapa merk X yang digunakan dibeli dari Giant
Supermarket Bogor. Dalam pelaksanaan penelitian digunakan 25 ekor tikus putih
Sprague Dawley jantan. Tikus-tikus tersebut dipelihara dan dikelompokkan menjadi tikus sehat, dan tikus penderita DM. Tikus DM dibuat dengan cara tikus diadaptasikan selama 6 hari kemudian dipuasakan selama satu malam serta selanjutnya diinduksi secara intraperitoneal dengan larutan aloksan 110 mg per kg berat badan tikus. Dua hari kemudian kadar glukosa darah tikus tersebut diperiksa, dan yang mempunyai kadar glukosa lebih dari 200 mg/dL menandakan menderita DM.
VCO yang diproses tanpa pemanasan, VCO yang diproses dengan pemanasan terkendali, serta minyak goreng kelapa yang mewakili minyak kelapa yang diproses dengan suhu tinggi dan penggunaan bahan kimiawi, dicekokkan kepada masing-masing 5 ekor tikus penderita DM. Sementara itu sebagai kontrol dibuat juga kelompok kontrol positif yaitu 5 ekor tikus penderita DM dan kelompok kontrol negatif yaitu 5 ekor tikus sehat. Kedua kelompok tersebut tidak dicekok VCO ataupun minyak goreng tapi dicekok air. Dosis cekok VCO A atau VCO B atau minyak goreng kelapa yaitu 0,81 ml per hari untuk BB tikus 200 gram. Dosis tersebut didapat dari faktor konversi 0,018 dari asumsi berat manusia 70 kg kepada tikus 200 gram (Harmita dan Maksum, 2005) dengan dosis VCO untuk manusia sehari 3 kali 1 sendok makan setara total 45 ml per hari. Sementara itu dosis cekok air yang diberikan kepada tikus kelompok kontrol positif dan negatif adalah 1 ml, tidak tergantung dengan berapa berat badan tikus. Tikus-tikus percobaan tersebut diamati selama 28 hari untuk diukur perkembangan berat badannya setiap 2 hari, jumlah konsumsi ransum setiap hari, kadar glukosa darah setiap 4 hari dan kadar kolesterol setelah selesai pengamatan.
pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 % terhadap nilai kesukaan panelis produk VCO tersebut.
Perlakuan cekok VCO maupun minyak goreng berdasarkan hasil pengamatan selama 28 hari, tidak memberikan efek pertambahan berat badan tikus paling besar dibanding perlakuan lainnya. Kelompok tikus perlakuan VCO A dan VCO B mempunyai rata-rata persen perubahan berat badan yang rendah yaitu 0,91 % dan 1,38 %. Total konsumsi ransum terbanyak berdasarkan hasil penelitian dicapai oleh kelompok tikus kontrol positif yaitu sebanyak 435,27 gram. Namun jumlah konsumsi ransum tersebut tidak berbading lurus dengan bertambahnya berat badan. Perubahan berat badan tikus kelompok positif tidak merupakan yang terbesar. Hal ini terjadi karena tikus kelompok positif yang menderita DM mempunyai gejala klinis banyak makan, namun demikian berat badannya tidak cepat bertambah. Untuk mendapatkan energi penderita DM, tubuhnya tidak dapat memanfaatkan glukosa yang tersedia, sehingga sumber tenaganya memanfaatkan glikogen atau lemak yang ada dalam tubuhnya, sehingga tubuhnya tidak bisa gemuk.
Walaupun perbedaan metode proses pembuatan VCO tidak mempunyai berpengaruh yang berbeda nyata (p > 0,05) terhadap persen perubahan kadar glukosa darah tikus penderita DM, namun selama 28 hari penelitian kedua jenis VCO tersebut dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus penderita DM sampai di bawah kadar 200 mg/dl. Minyak goreng kelapa walaupun kadar asam lemaknya relatif sama dengan di VCO, namun selama 28 hari penelitian tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus penderita DM sampai ke tingkat di bawah kadar 200 mg/dl. Perubahan kadar rata-rata glukosa awal pengamatan dan akhir pengamatan (hari ke 28) untuk tikus kelompok kontrol positif (tikus DM tanpa cekok VCO ataupun minyak goreng) turun 101,4 mg/dl. Tikus kelompok kontrol negatif (tikus sehat tanpa cekok VCO ataupun minyak goreng) naik 24,8 mg/dl. Tikus kelompok VA (tikus DM cekok VCO proses tanpa panas) turun 185,2 mg/dl. Tikus kelompok VB (tikus DM cekok VCO proses panas terkendali) turun 212,0 mg/dl. Tikus kelompok MG (tikus DM cekok minyak goreng) turun 37,6 mg/dl.
Hasil analisis korelasi Spearman’s rho, terlihat bahwa perlakuan VCO A mempunyai korelasi yang paling erat (-0,929) dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus penderita DM selama 28 hari pengamatan dan berbeda sangat nyata (p < 0,01) dengan perlakuan lainnya. Sementara itu tikus kelompok VCO B mempunyai nilai korelasi -0,762 dan berbeda nyata pada taraf 0,05. Hal ini terbukti bahwa walaupun jumlah persentase komponen bioaktif kedua jenis VCO tersebut relatif tidak berbeda namun penggunaan panas dalam proses pembuatan VCO mempunyai pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktifitas komponen bioaktif asam-asam lemak VCO dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus penderita diabetes. VCO berdasarkan hasil analisis statistik tidak mempunyai pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 0,05 terhadap kadar total kolesterol, kadar HDL, kadar LDL dan kadar trigliserida serum darah tikus penderita DM.
PENGARUH PROSES PEMBUATAN
VIRGIN COCONUT OIL (VCO)
TERHADAP AKTIVITASNYA SEBAGAI PENURUN
KADAR GLUKOSA DARAH PADA TIKUS DIABETES MELITUS
DADANG SUPRIATNA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Teknologi Pangan
pada Program Magister Profesi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Pengaruh Proses Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) Terhadap Aktivitasnya sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah pada Tikus Diabetes Melitus
Nama : Dadang Supriatna NIM : F 252050145
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS. (Ketua) (Anggota)
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Magister Profesi Teknologi Pangan
Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul : “Pengaruh Proses Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) Terhadap Aktivitasnya sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah pada Tikus Diabetes Melitus” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Bogor, Mei 2008
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T., karena atas berkat
rakhmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya
ilmiah yang dikerjakan mulai bulan Mei sampai dengan Oktober 2007 ini berjudul
“Pengaruh Proses Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) terhadap Aktivitasnya
sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah pada Tikus Diabetes Melitus”.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan banyak terimakasih kepada :
1. Bpk. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS. selaku ketua komisi pembimbing dan
Bpk Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS. sebagai anggota komisi pembimbing
atas saran, masukan dan bimbingannya selama penulis mengerjakan karya
ilmiah ini.
2. Ibu Ir. Elvira Syamsir, MSi. sebagai Dosen penguji luar komisi pembimbing
atas masukannnya.
3. Ibu Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D., dosen pengajar di Fakultas Kedokteran
Hewan IPB, atas segala masukan dan bimbingannya selama penulis
mengerjakan penelitian.
4. Bapak Ir. Yang Yang Setiawan, MSc., selaku Kepala Balai Besar Industri
Agro atas masukan, bimbingan dan izinnya kepada penulis selama
melaksanakan pendidikan.
5. Bapak Drs. Kurnia Hanafiah, Apt mantan Kepala Bidang Pengembangan
Usaha BBIA dan Bapak Ir. W. Wahyu Widjayadi, MA. Kepala Bidang
Pengembangan Jasa Teknik BBIA atas segala dorongan, masukan dan
bimbingannya kepada penulis.
6. Pejabat Pembuat Komitmen dan stafnya di DIPA 2005 BBIA atas dukungan
dana pendidikan penulis.
7. Bapak Ramlan Ruvendi SE., MM. kepala seksi teknologi informasi BBIA dan
Bpk. Ir. Kusman Sadik, MSi. dosen pengajar Program Studi Statistik FMIPA
atas bantuannya, rekan-rekan MPTP 2006 IPB dan rekan-rekan di Bidang PJT
khususnya dan BBIA umumnya atas segala dorongannya.
9. Ibu Dr. Ir. Endang Prangdimurti, MS. Manajer Lab Hewan Percobaan
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan IPB atas izin labnya, Bapak Adi
Teknisi Lab Hewan Percobaan SEAFAST Center IPB, Ibu Sri Lab Kimia
Pangan IPB, Novi, Serina dan Amy mahasiswi S1 FKH IPB atas bantuan dan
kerjasamanya selama penulis melaksanakan penelitian.
10.Orang tuaku, Istriku, Anak-anaku, dan adik-adikku yang telah memberikan
dorongan dan doa kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari sempurna, sehingga
pada kesempatan ini juga penulis mengharapkan kritik dan saran membangun
demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Jauh dalam lubuk hati yang dalam, penulis
berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang menggunakannya.
Bogor, Mei 2008
Penulis dilahirkan di Sumedang Jawa Barat tanggal 4 Maret 1963 sebagai
anak tunggal dari ayah Halil (Alm.) dan ibu Juju Juhariah dan mempunyai 4 orang
adik dari satu ibu beda ayah. Setelah lulus SMA di SMA N Situraja Sumedang,
pendidikan sarjana ditempuh di program studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung, dan lulus pada tahun 1988.
Penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Balai Besar Industri Agro
(BBIA) Departemen Perindustrian Bogor mulai tahun 1990. Selama bekerja
sebagai peneliti di BBIA, penulis berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan
non gelar di dalam dan luar negeri bidang teknologi pangan yaitu di Cornell
University Ithaca New York State dan di Singapore Polytechnic. Penulis mendapat juara III pada Workshop Hasil Litbang Unggulan yang diselenggarakan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Industri dan Perdagangan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan tahun 2004. Untuk hal tersebut, oleh panitia
penulis kemudian diberi kesempatan untuk ditugaskan mengunjungi negara
Taiwan untuk studi banding bidang litbang industri pangan. Sebagai fungsionalis
peneliti, penulis juga sejak tahun 2005 sampai sekarang menjabat sebagai wakil
ketua kelompok peneliti di BBIA. Selama menjadi peneliti, penulis telah membuat
berbagai karya tulis ilmiah yang diterbitkan di jurnal intern BBIA dan jurnal
internasional yaitu “Cocoinfo International”. Selain itu juga penulis sudah
menulis buku “Membuat Tahu Sumedang” yang diterbitkan oleh Penebar
Swadaya Cimanggis Depok tahun 2005.
Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan dari BBIA untuk
melanjutkan sekolah di program studi Magister Profesi Teknologi Pangan
Sekolah Pascasarjana IPB. Pendidikan penulis di program Magister Profesi
Teknologi Pangan ini mendapat bantuan dukungan dana dari program DIPA 2005
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 5
A. Kelapa 5
B. Virgin Coconut Oil (VCO) 12
C. Asam Lemak Jenuh Rantai Medium 20
D. Diabetes Melitus 23
E. Peran VCO dalam Membantu Pencegahan Komplikasi Penyakit
27
F. Dislipidemia pada Diabetes 29
G. Insulin 30
H Glukosa Darah 31
I Aloksan 32
J Tikus Sprague Dawley 33
III. METODOLOGI PENELITIAN 35
A. Tempat dan Waktu Penelitian 35
B. Bahan 35
C. Alat 35
D. Metode 35
1. Penelitian Pendahuluan 36
a. Pembuatan VCO dan Minyak Goreng Kelapa 36
b. Analisis Fisikokimiawi dan Mikrobiologis VCO
dan Minyak Goreng Kelapa 39
2. Penelitian Utama 39
a. Perlakuan untuk Memperoleh Tikus Diabetes 39
b. Pembuatan Ransun Basal dan Ransum Perlakuan 40
c. Pengukuran Jumlah Konsumsi Ransum 42
d. Pengukuran Berat Badan Tikus 42
e. Pengukuran Persen Perubahan Kadar Glukosa
Darah 42
f. Analisis Kolesterol Serum Darah 43
E. Rancangan Penelitian 43
F. Metode Analisis 44
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 57
A. Penelitian Pendahuluan 57
1. Pembuatan VCO dan Minyak Goreng Kelapa 57
2. Karakteristik Fisikokimia dan Mikrobiologis VCO dan Minyak Goreng
58
3. Uji Kesukaan VCO 63
B. Penelitian Utama 66
1. Induksi Aloksan 65
2. Pembuatan Ransum Basal dan Ransum Perlakuan 67
3. Pengukuran Berat Badan Tikus dan Konsumsi
Ransum 71
4. Pengukuran Persen Perubahan Kadar Glukosa Darah 73
5. Analisis Kolesterol Serum Darah Tikus 78
V. KESIMPULAN DAN SARAN 84
A. Kesimpulan 84
B. Saran 85
DAFTAR PUSTAKA 86
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Luas areal kelapa negara-negara potensi terbesar (x 1000 Ha) 5
2 Produktivitas kelapa Indonesia dan negara-negara lain 8
3 Potensi sentra kelapa Indonesia berdasarkan provinsi, 2003 9
4 Komposisi asam-asam lemak minyak kelapa dan minyak nabati
lain (%)
11
5 Kekurangan dan kelebihan berbagai metode pembuatan VCO 17
6 Draft Rancangan Standar Nasional Indonesia 3 Mutu VCO 18
7 Standar Mutu VCO Menurut APCC 19
8 Bobot contoh berdasarkan perkiraan bilangan iod 48
9 Bobot contoh berdasarkan perkiraan nilai peroksida 52
10 Kondisi operasi Gas Kromatografi 54
11 Hasil analisis fisikokimiawi dan mikrobiologis VCO 59
12 Hasil analisis fisikokimiawi dan mikrobiologis minyak goreng 60
13 Titik didih asam-asam lemak jenuh 62
14 Perlakuan induksi aloksan untuk memperoleh tikus menderita
diabetes melitus 66
15 Rangkuman pemberian cekok sebagai ransum perlakuan 67
16 Hasil analisis proksimat kasein 68
17 Hasil perhitungan persentase nutrisi ransum basal 69
18 Contoh perhitungan jumlah keperluan bahan ransum sehari
untuk 40 ekor tikus 69
19 Perubahan berat badan tikus dan total konsumsi ransum selama pengamatan
71
20 Korelasi Spearman’s rho waktu pengamatan dengan
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Pohon industri pengolahan kelapa. 10
2
Diagram alir metode proses pembuatan VCO A (VCO tanpa panas), Pengamatan langsung di lokasi IKM VCO Kedung Badak Bogor
37
3 Diagram alir proses pembuatan VCO metode pengepresan semi
basah (Tillekeratne et al, 1998, dimodifikasi) 38
4 Tahapan induksi aloksan untuk memperoleh tikus diabetes 39
5 Foto Pelaksanaan Uji Kesukaan VCO oleh Panelis Semi terlatih 63
6 Rata-rata nilai kesukaan warna, aroma dan rasa VCO 64
7 Foto aloksan dalam kemasan 10 g yang digunakan dalam
penelitian 65
8 Induksi aloksan kepada tikus secara intraperitoneal 66
9 Foto pelaksanaan cekok tikus 67
10 Foto pemberian ransum basal tikus 70
11 Foto pelaksanaan pemeriksaan kadar glukosa dengan alat
Glukometer 73
12 Rata-rata kadar glukosa darah tikus selama pengamatan 74
13 Rata-rata persen perubahan kadar glukosa darah tikus dari kadar
glukosa awal, selama pengamatan 75
14 Pelaksanaan pengambilan darah tikus 80
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Form Uji Kesukaan 92
2 Kromatogram Asam-Asam Lemak VCO A 93
3 Kromatogram Asam-Asam Lemak VCO B 94
4 Kromatogram Asam-Asam Lemak Minyak Goreng Kelapa 95
5 Data Hasil Uji Kesukaan VCO A dan VCO B 96
6 Analisis Perbandingan Kesukaan Warna VCO 97
7 Analisis Perbandingan Kesukaan Aroma VCO 98
8 Analisis Perbandingan Kesukaan Rasa VCO 99
9 Dosis Pemberian Aloksan 100
10 Contoh Perhitungan Dosis Pemberian Aloksan untuk Membuat
Tikus Menderita Diabetes Melitus 101
11 Dosis Cekok VCO atau Minyak Goreng Kelapa 102
12 Perhitungan Persentase Nutrisi Ransum dan Kebutuhan Bahan
Ransum 103
13 Prosedur Membuat Ransum Basal Tikus Percobaan 104
14 Perkembangan Berat Badan Tikus (gr) Selama Waktu
Pengamatan
105
15 Jumlah Ransum yang Dikonsumsi (gr) 106
16 Perkembangan Perubahan Berat Badan Tikus (gr) Selama Waktu
Pengamatan
107
17 Perkembangan Persen Perubahan Berat Badan Tikus Selama
Waktu Pengamatan 108
18 Data Pengolahan Statistik Persen Perubahan Berat Badan Tikus 109
19 Kadar Glukosa darah Tikus (mg/dl) 110
20 Nilai Rata-Rata Perubahan Kadar Glukosa Darah dari Kadar
Glukosa Awal (mg/dl)
111
21 Nilai Persen Perubahan Kadar Glukosa Darah Tikus dari Kadar
Glukosa Awal 112
22 Analisis Deskriptif dan Analisis Varian dari Rata-Rata Persen
Perubahan Kadar Glukosa 113
23 Korelasi Spearman’s rho antara Waktu Pengamatan dengan
Kadar Glukosa masing-masing Perlakuan
24 Data Analisis Kadar Kolesterol Darah Tikus 115
25 Analisis Statistik Pengaruh Berbagai Perlakuan Terhadap Kadar
Kolesterol Darah Tikus 116
26 Analisis Statistik Pengaruh Berbagai Perlakuan Terhadap Kadar
HDL Serum Darah Tikus 117
27 Analisis Statistik Pengaruh Berbagai Perlakuan Terhadap Kadar
LDL Serum Darah Tikus 118
28 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mulai tahun 2000-an sampai sekarang minyak murni kelapa yang lebih
populer dikenal dengan Virgin Coconut Oil (VCO) menjadi perhatian hampir semua lapisan masyarakat, baik di lembaga-lembaga penelitian, perguruan
tinggi, praktisi maupun masyarakat dari kalangan bawah sampai atas, di dalam
dan luar negeri. Bukti empiris di masyarakat dan hasil-hasil penelitian,
terhadap nilai guna VCO, telah membangkitkan kembali semangat usaha para
petani kelapa yang selama ini tidak pernah mendapatkan nilai lebih dari
kelapanya.
VCO merupakan alternatif pengolahan daging buah kelapa yang sangat
mempunyai prospek dibandingkan diolah menjadi minyak goreng. Di pasaran
dalam dan luar negeri VCO mempunyai nilai jual 10 – 20 kali lipat dari harga
jual minyak kelapa. Harga jual yang menarik ini disebabkan banyaknya nilai
guna VCO untuk kehidupan manusia, misalnya untuk kesehatan tubuh,
industri kosmetika dan Spa. Untuk kesehatan tubuh manusia meliputi
kesehatan tubuh bagian luar terutama untuk kulit dan rambut, serta kesehatan
bagian dalam tubuh seperti terapi penyembuhan dan pencegahan berbagai
gangguan kesehatan.
VCO mengandung squallen, sterol, zat-zat volatile, vitamin E, sehingga dapat digunakan untuk peremajaan kulit yang kering dan mengalami
penuaan (Anonim, 2005). Komponen nutrisi VCO yang paling dominan
adalah asam laurat yaitu sekitar 45 – 55% dari total asam-asam lemak yang
ada di VCO sehingga merupakan sumber asam laurat yang prospektif.
Diungkapkan oleh Enig(1996) bahwa VCO apabila dikonsumsi maka
komponen bioaktif asam laurat dapat dimetabolisme menjadi monolaurin yang
bersifat efektif membunuh bibit penyakit bentuk virus, bakteri, jamur dan
protozoa. Dayrit (2005) menyatakan hasil penelitiannya yang dimulai pada
tahun 1998 bahwa VCO dapat menurunkan kadar virus HIV/AIDS di dalam
darah penderita. Selanjutnya Rethinam et al (2005) menyatakan bahwa
menyebabkan gangguan jantung. Disebutkan juga oleh Kabara (2000), bahwa
asam-asam lemak rantai medium yang ada di minyak kelapa mirip dengan
asam-asam lemak dari air susu ibu. Dilaporkan juga bahwa VCO dapat
digunakan untuk membantu penyembuhan penyakit-penyakit degeneratif
lainnya seperti penyempitan pembuluh darah, diabetes, kanker, kegemukan, stroke dan lain-lain.
Dari berbagai macam penyakit degeneratif, penyakit diabetes merupakan penyakit yang dapat menyebabkan komplikasi pada penderitanya.
Menurut Wibowo (2005) penyakit-penyakit komplikasi akibat diabetes yaitu
penyakit gagal ginjal, gangguan jantung, gangguan saluran pencernaan,
sumbatan pembuluh darah, pembusukan kaki dan amputasi, kebutaan,
disfungsi ereksi, gangguan sensitivitas perabaan (baal), nyeri seluruh tubuh,
dan kematian.
Efek pertama VCO dalam membantu pencegahan komplikasi diabetes
melitus adalah membantu pengeluaran hormon insulin pada penderita
diabetes. Pada kondisi apapun, VCO mudah diabsorbsi. Setelah masuk tubuh,
VCO yang mengandung asam laurat dan asam kaprat ternyata mempunyai
efek yang sangat potensial dalam menstimulir terjadinya sekresi insulin oleh
sel-sel Langerhans pankreas (Garfinkel et al, 1992).
Cukup banyak pengidap diabetes (diabetesi) yang tidak menyadari
dirinya terserang penyakit yang lazim disebut kencing manis. Anonim (2006a)
menyampaikan bahwa studi populasi yang dilakukan Organisasi Kesehatan
Dunia WHO tahun 2005 menemukan, jumlah pengidap diabetes melitus (DM)
tipe II di Indonesia mencapai peringkat keempat (yaitu 8,6 juta) setelah India
(31,77 juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta). Disebutkan
juga bahwa pada tahun 2006, di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 14 juta
diabetesi. Dari jumlah itu, hanya 50 persen yang menyadari dirinya mengidap
penyakit tersebut. Disebutkan pula oleh Anonim (2006a) bahwa menurut
Federasi Diabetes Internasional (IDF) ada sekitar 177 juta orang di seluruh
dunia dijangkiti penyakit diabetes, dan yang terbanyak adalah tipe-2.
Sedangkan, WHO menduga data tersebut masih meningkat menjadi 300 juta
Pengembangan Pelayanan Keprofesian Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
menyatakan bahwa para diabetesi menghadapi ancaman komplikasi yang tidak
ringan (Anonim, 2006a). Salah satunya adalah problem pada anggota gerak
atas dan anggota gerak bawah. Komplikasi pada anggota gerak penderita
kencing manis akan mempengaruhi kualitas hidup mereka karena berisiko
menyebabkan kecacatan permanen, bahkan kematian. Hal inilah yang
seringkali terlambat disadari oleh penderita. Selanjutnya dinyatakan bahwa
berbagai penelitian menyebutkan, di seluruh dunia setiap 30 detik terdapat
satu kaki penderita kencing manis yang diamputasi. Tanpa amputasi,
diperkirakan sekitar 4 persen pengidap diabetes berakhir pada kematian.
Terdapat bermacam-macam teknologi proses pembuatan VCO, mulai
dari teknologi “pemancingan” yang dikembangkan UGM, teknologi
fermentasi yang dikembangkan LIPI dan instansi lainnya, teknologi enzimatis,
teknologi sentrifusi, teknologi pemanasan bertingkat yang dikembangkan
Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Departemen Pertanian,
Manado, dan teknologi pengepresan semi basah yang dikembangkan oleh
Balai Besar Industri Agro, Departemen Perindustrian, Bogor. Berbagai
teknologi proses tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Ada yang mengunggulkan bahwa teknologi yang tidak
menggunakan panas lebih baik, ada juga yang mengunggulkan teknologi
mekanis yang lebih baik nilai gizinya, khususnya asam laurat.
Deskripsi minyak dan lemak virgin atau murni menurut Codex (2002)
adalah Virgin Fats and Oils means edible vegetable fats and oils obtained by mechanical procedures and the application of heat only. They may have been purified by washing with water, settling, filtering and centrifuging only. Berdasarkan definisi atau deskripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa VCO
boleh dibuat dengan menggunakan panas namun tidak boleh mengalami
pemurnian secara kimiawi atau tidak boleh ada penambahan unsur kimiawi
dalam prosesnya.
Luas areal dan produksi kelapa Indonesia beberapa tahun ini
merupakan yang terbesar di dunia, misalnya pada tahun 2005 luas areal
tersebut harus ditunjang dengan kemampuan pengolahannya, sehingga pasar
VCO dunia akan masih berpeluang untuk dikembangkan. Contoh apabila
untuk kasus diabetes (Anonim, 2006b), dilaporkan bahwa sebanyak 15,7 juta
penduduk Amerika Serikat menderita penyakit diabetes maka diperlukan VCO
sebanyak 706,5 ton per hari, dengan asumsi dosis VCO 15 ml, 3 kali sehari
per orang. Keperluan VCO ini tetap akan ada, karena tidak hanya untuk
membantu penyembuhan penyakit-penyakit degeneratif saja, namun juga
untuk stamina sehari-hari.
Untuk mengatasi kontroversi yang berkembang di masyarakat tentang
teknologi proses pembuatan VCO antara yang mengunggulkan proses tanpa
pemanasan dan yang menggunakan panas minimal, maka diperlukan adanya
penelitian. Penelitian yang dilakukan diarahkan untuk mengetahui pengaruh
berbagai macam teknologi proses pembuatan VCO terhadap aktifitas
komponen bioaktif asam laurat VCO dalam menurunkan kadar glukosa darah.
Dari uraian di atas dapat diambil suatu masalah untuk penelitian, yaitu: • Apakah variasi metode proses pembuatan VCO dapat mempengaruhi
kuantitas komponen bioaktif asam lemak jenuh berantai medium yang
terkandung dalam VCO tersebut.
• Apakah variasi metode proses pembuatan VCO mempengaruhi aktivitas komponen bioaktif asam lemak jenuh berantai mediumnya, dalam
penurunan kadar glukosa darah tikus diabetes melitus.
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh penggunaan panas
dalam proses pembuatan VCO terhadap aktivitas komponen bioaktif asam
lemak jenuh berantai medium, dalam penurunan kadar glukosa darah tikus
diabetes melitus.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. KelapaIndonesia merupakan negara terbesar penghasil kelapa dan terluas
areal kelapanya di dunia (APCC, 2006). Produksi kelapa Indonesia pada
tahun 2005 sebesar 3.290.477 MT ekuivalen kopra dengan luas areal
3.898.418 Ha. Dari produksi tersebut, kebutuhan konsumsi dalam negeri
Indonesia 2.350.604 MT ekuivalen kopra atau 71,44 % dari total produksi dan
sisanya 28,56 % diekspor. Potensi kelapa negara-negara di dunia disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Luas areal kelapa negara-negara potensi terbesar ( x 1000 Ha )
Tahun
No Negara 2001 2002 2003 2004 2005
1 Indonesia 3.897 3.885 3.911 3.870 3.898
2 Filipina 3.149 3.182 3.217 3.259 3.243
3 India 1.840 1.892 1.919 1.899 1.935
4 Sri Lanka 442 442 442 395 395
5 Thailand 326 327 328 343 344
6 Tanzania 310 310 310 310 310
7 Papua New Guinea 260 260 260 260 260
8 Brazil 263 263 271 275 281
9 Mexico 171 171 148 148 150
10 Vietnam 165 165 136 133 132
11 Malaysia 159 159 131 131 130
12 Mozambique 90 70 70 70 70
Sumber : APCC, 2006
Indonesia tergabung dalam organisasi negara-negara penghasil kelapa
terus menjadi negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Hal ini antara lain
disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah Indonesia yang memasukkan
kelapa ke dalam komoditas klaster industri prioritas terpilih untuk
dikembangkan (Departemen Perindustrian, 2005). Potensi ini juga ditunjang
dengan tanah yang subur dan iklim yang cocok untuk pertumbuhan kelapa
dibanding dengan negara pesaing lainnya seperti Filipina. Filipina sebagai
pesaing Indonesia mempunyai iklim subtropis, sehingga yang cocok dan baik
untuk ditanami kelapa hanyalah daerah bagian selatan Filipina. Di
daerah-daerah beriklim subtropis tersebut juga sering terjadi badai topan yang
merusak tanaman kelapa.
Seperti terlihat pada Tabel 1, Filipina merupakan negara dengan luas
areal kelapa kedua terbesar setelah Indonesia yaitu 3.243.000 Ha pada tahun
2005. Dengan luas areal kelapa tersebut Filipina dapat memproduksi kelapa
2.811.200 MT ekuivalen kopra. Dari produksi sejumlah itu, konsumsi dalam
negeri Filipina hanya 468.000 MT equivalen kopra, sehingga nilai total
ekspor kelapa serta produk olahannya sebesar $ US 964.606.787. Sementara
itu Indonesia dari sektor ekspor kelapa dan produk olahannya hanya
mempunyai nilai total ekspor $ US 526.288.000 (APCC, 2006).
Ekspor Filipina terbesar adalah dari minyak kelapa dan kemudian
kelapa segar, sementara itu Indonesia ekspor terbesarnya dari minyak kelapa
dan kemudian bungkil kopra. Filipina tidak mengekspor kopra namun sudah
mampu ekspor 11 macam produk termasuk kelapa segar, dan produk olahan
serta turunannya seperti fatty alcohol, fatty acid, methyl ester, alkanolamide. Indonesia hanya mengekspor 7 macam produk kelapa yaitu minyak kelapa,
bungkil kopra, desiccated coconut, arang tempurung, kopra, arang aktif dan tempurung kelapa.
Berdasarkan data di atas dan kenyataanya walaupun Indonesia sebagai
negara dengan potensi kelapa terbesar di dunia, namun dalam industri
pengolahan kelapanya ketinggalan oleh Filipina. Pengolahan kelapa di
Indonesia umumnya dalam bentuk minyak kelapa. Namun demikian, industri
pengolahan minyak kelapa relatif kurang berkembang apabila hanya
bersaing dengan minyak sawit. Dilaporkan juga bahwa beberapa produsen dan
pengrajin minyak kelapa sudah tidak beroperasi lagi karena relatif kurang
menguntungkan.
Namun demikian, di Indonesia terdapat pengolahan kelapa terpadu
terbesar di dunia yaitu di PT. Pulau Sambu Group yang terletak di Kabupaten
Indragiri Hilir Propinsi Riau. Berdasarkan hasil survey tim proyek DIPA
BBIA (Hanafiah et al, 2006), dilaporkan bahwa Sambu Group terdiri dari PT. Pulau Sambu Guntung, PT. Pulau Sambu Kuala Enok dan PT. Riau Sakti
Plantation.
Dari Sambu Group, PT. Pulau Sambu Guntung merupakan perusahaan
yang terbanyak memproduksi berbagai produk olahan buah kelapa, seperti
desiccated coconut, coconut cream, coconut milk powder, coconut cream paste, coconut cream square, minyak kelapa mentah, bungkil kelapa, minyak murni kelapa (virgin coconut oil), pina colada, mango colada, passion colada, activade sport drink, Sweetened Coconut Milk dan activated carbon. Produk-produk tersebut sebagian besar diekspor ke negara-negara di Asia dan Eropa.
Produk yang dipasarkan di dalam negeri misalnya coconut cream atau santan awet dalam kemasan aseptis.
Klaster industri pengolahan kelapa di Indonesia masih mempunyai
berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut misalnya produktivitas kelapa
masih relatif rendah seperti terlihat pada Tabel 2, kepemilikan lahan usaha tani
sangat sempit rata-rata 0,5 ha per keluarga dengan pola usaha monokultur dan
tersebar, pengetahuan petani mengenai budidaya masih terbatas, sebagian
besar pohon kelapa sudah tua, serta sebagian besar merupakan perkebunan
rakyat. Permasalahan lain yang masih perlu dibenahi adalah penguasaan
teknologi pengolahan kelapa masih belum optimal, dan kemampuan sumber
daya manusia dalam penguasaan teknologi proses masih kurang, diversifikasi
produk dengan nilai tambah tinggi kurang berkembang, serta kurangnya
tenaga profesional yang menguasai teknologi dan bisnis produk-produk
Tabel 2 Produktivitas kelapa Indonesia dan negara-negara lain
No Negara Produktivitas kelapa
(butir/hektar/tahun)
1. Indonesia 4.235
2. Philipina 4.334
3. India 6.632
4. Sri Lanka 5.608
5. Thailand 3.500
6. Tanzania 1.492
7. Brazil 13.496
8. Papua New Guinea 3.125
9. Mexico 7.917
10. Vietnam 5.132
11. Malayasia 3.008
12. Vanuatu 3.125
13. Myanmar 10.671
14. China 12.500
Sumber : Diolah dari APCC, 2006
Berdasarkan Tabel 2, produktivitas kelapa Indonesia 4.235 butir kelapa
per hektar per tahun masih rendah dibanding negara-negara penghasil kelapa
lainnya misalnya Philipina, India, Sri Lanka, Brazil, Mexico, Vietnam,
Myanmar dan Cina. Brazil, Cina, Myanmar dan Mexico merupakan
negara-negara penghasil kelapa dengan produktivitas tertinggi yaitu masing-masing
13.496, 12.500, 10.671 dan 7.917 butir kelapa per hektar per tahun.
Tabel 3 memperlihatkan daerah-daerah sentra kelapa di Indonesia.
Daerah sentra kelapa yang berpotensi mulai dari yang terbesar adalah Propinsi
Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa
Tenggara Timur, Maluku Utara, Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan Barat
dan lain-lain. Berdasarkan data dari Pemda Propinsi Riau (Rusli, 2006),
pembangunan perkebunan kelapa di Propinsi Riau tahun 2005 merupakan
prioritas kedua setelah kelapa sawit, dan prioritas ketiga adalah karet. Potensi
kelapa di Propinsi Riau sebagian besar atau seluas 81 % berada di kabupaten
Indragiri Hilir, kemudian kabupaten Bengkalis seluas 11,39 % dan kabupaten
Pelalauan 4,83 %. Perkebunan kelapa di propinsi Riau 90,88 % merupakan
perkebunan rakyat dengan jumlah petani sebanyak 279.942 KK, sedangkan
Tabel 3 Potensi sentra kelapa Indonesia berdasarkan propinsi, 2005
Area Produksi Propinsi
Ha % MT %
A. Sumatera 1.348.604 34,59 1.111.570 33,78
1. Aceh 114.346 2,93 79.222 2,41
2. Sumatera Utara 138.575 3,55 115.489 3,51
3. Sumatera Barat 91.068 2,34 75.934 2,31
4. Riau 598.776 15,36 510.021 15,50
5. Riau Kepulauan 43.446 1,11 16.630 0,51
6. Jambi 128.951 3,31 134.918 4,10
7. Sumatera Selatan 56.858 1,46 42.752 1,30 8. Bangka Belitung 14.119 0,36 7.253 0,22
9. Lampung 148.786 3,82 122.522 3,72
10.Bengkulu 13.679 0,35 6.829 0,21
B. Jawa 891.896 22,88 736.179 22,37
11.Jawa Barat 180.558 4,63 162.647 4,94
12.Banten 103.665 2,66 52.305 1,59
13.Jawa Tengah 271.444 6,96 209.352 6,36
14.Jawa Timur 292.099 7,49 265.292 8,06
15.D.I. Jogyakarta 44.130 1,13 46.583 1,42
C. Bali 73.030 1,87 75.808 2,30 D. Kalimantan 294.355 7,55 222.888 6,77 16.Kalimantan Barat 112.185 2,88 50.846 1,55 17.Kalimantan Selatan 51.784 1,33 32.986 1,00 18.Kalimantan Tengah 83.846 2,15 94.007 2,86 19.Kalimantan Timur 46.540 1,19 45.049 1,37
E. Sulawesi 730.176 18,73 728.780 22,15 20.Sulawesi Utara 259.535 6,66 247.186 7,51
21.Gorontalo 55.949 1,44 61.412 1,87
22.Sulawesi Tengah 173.840 4,46 196.638 5,98 23.Sulawesi Selatan 190.668 4,89 187.322 5,69 24.Sulawesi Tenggara 50.184 1,29 36.222 1,10
F. Nusa Tenggara 223.090 5,72 119.974 3,65 25.Nusa Tenggara Barat 68.088 1,75 66.170 2,01 26.Nusa Tenggara Timur 155.002 3,98 53.804 1,64
G. Maluku + Papua 337.267 8,65 295.278 8,97
27.Maluku 93.443 2,40 71.805 2,18
28.Maluku Utara 200.922 5,15 208.595 6,34
29.Papua 30.951 0,79 7.546 0,23
30.Irian Jaya Barat 11.951 0,31 7.332 0,22
Industri pengolahan kelapa di Indonesia tersebar hampir ke setiap
propinsi, mulai dari yang skala kecil, menengah sampai dengan besar, bahkan
modern. Pohon kelapa biasa dikatakan sebagai pohon kehidupan atau tree of life sebab hampir semua bagian pohon kelapa mulai dari akar, batang, buah, dan daunnya dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia, seperti terlihat
pada Gambar 1. Masing-masing bagian dari pohon kelapa tersebut
mempunyai industri pengolahannya.
Gambar 1 Pohon industri pengolahan kelapa.
Seperti terlihat pada Gambar 1, misalnya untuk buah kelapa, mulai dari
sabut, tempurung, daging buah dan air kelapa dapat dimanfaatkan untuk
industri hilir, baik untuk keperluan rumah tangga, pangan, kosmetik, farmasi
dan lain-lain. Daging buah kelapa dapat diolah selanjutnya menjadi virgin coconut oil (VCO), kopra, minyak kelapa, desiccated coconut, minyak goreng dan lain-lain. Produk turunan dari minyak kelapa dapat diolah kemudian
menjadi sabun, sampho, minyak rambut, gliserin, cat, dan lain-lain.
Air Kelapa Sabut Kelapa Kelapa Muda Kelapa Tua Tempurung Kelapa Buko Segar Daging Buah Kelapa Kue Kelapa Manisan Serutan Kelapa Salad Kelapa Buah Kelapa Insulator Batako Pres Gantungan Bunga
Gumpalan Benang ikat Insulator Isi Jok Kursi Karpet Keset Patung Kecil Penyaring/Filter Air Pewarna Batik Sikat Tali Batako Pres Pewarna Batik Karpet Air Kelapa Kecap Kelapa Cuka Kelapa Pengganti Dekstrosa Sari Kelapa Cuka Kelapa Manisan Serutan Kelapa Daging Buah Segar Minyak yang tidak dapat dimakan Minyak yang dapat dimakan Pelet Kopra Makanan Ternak Bungkil Kelapa Es Krim
Minyak Goreng Minyak Goreng Bahan Kimia Cat Gliserin Krim Rambut Minyak Mentah Minyak Rambut Sabun Cuci Sabun Mandi Shampo
Cat Gliserin
Krim Rambut Minyak Rambut Shampo VCO Daging Kelapa Parut Kulit Ari Daging Kelapa Ampas Kelapa Rendah Lemak
Kelapa Parut Kering Krim Santan Daun Pucuk Daun Manggar Kelapa Pelepah Kering Batang Kelapa Akar Bingkai Lemari Janur Keranjang Sampah Sapu Lidi Sarang Ketupat Tatakan Tempat Buah Asinan Bonggol/Kelapa Muda/Ubod In Brine Lumpia Jenewer/Gin/ Lambanog Ragi Tuba Gula Tuba Kipas Sandal Tas Tangan Topi Kipas Topi Bahan Obat-obatan Bahan Pewarna/ Bahan Celup Root Beer Bahan Obat-obatan Perabot Bahan Bangunan Genteng Kayu Balok Kayu Gelondongan Papan Kayu Papan Asbak Asesoris Meja Bangku Duduk Santai Binkai Lukisant Cawan Meja Komputer Pemberat Kertas Tempat Buah Tempat Klip Tropi Dan Kreasi Lainnya
Lemak Margarin Permen Susu Iris Susu Kelapa Santan Kelapa Tepung Santan
Bubuk Susu Susu Kocok Biskuit
Kue Kelapa Kering Makaron Kering
Biskuit Tepung Santan
Margarin
Kue Kelapa Minyak Semi Murni Arang
Celengan Hiasan Dinding
Tepung Batok Kelapa Vas Bunga Bahan Pembersih Bahan Pemurni Bahan Penyerap Katalisator Arang Karbon Aktif Ikat Pinggang Obat Nyamuk Kopra Minyak Goreng VCO
© BBIA
Depperind
Produk utama dari olahan kelapa adalah minyak kelapa. Komposisi
kimia minyak kelapa berbeda dengan komposisi kimia sumber minyak lainnya
baik yang berasal dari nabati maupun hewani. Keunikan minyak kelapa, yaitu
kaya akan kandungan asam-asam lemak jenuh berantai pendek dan berantai
menengah. Satu-satunya minyak yang komposisi kimiawinya mirip dengan
minyak kelapa adalah minyak biji sawit atau palm kernel oil (PKO). Sebagai perbandingan komposisi asam-asam lemak berbagai sumber minyak nabati
[image:30.612.151.509.270.482.2]dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi asam-asam lemak minyak kelapa dan minyak nabati lain (%)
Sumber minyak
Kelapa Biji sawit Sawit Jagung Kedelai safflower sunflower
Jenuh :
C6:0 kaproat 0,50 0,30 - - - - -
C8:0 kaprilat 8,00 3,90 - - - - -
C10:0 kaprat 7,00 4,00 - - - - -
C12:0 laurat 48,00 49,60 0,30 - - - 0,50
C14:0 miristat 17,00 16,00 1,10 - 0,10 0,10 0,20
C16:0 palmitat 9,00 8,00 45,20 11,50 10,50 6,50 6,80
C18:0 stearat 2,00 2,40 4,70 2,20 3,20 2,40 4,70
C20:0 arahidat 0,10 0,10 0,20 0,20 0,20 0,20 0,40
Tidak jenuh :
C16:1 palmitoleat 0,10 - - - 0,10
C18:1 oleat 6,00 13,70 38,80 26,60 22,30 13,10 18,60
C18:2 linoleat 2,30 2,00 9,40 58,70 54,50 77,70 68,20
C18:3 linolenat - - 0,30 0,80 8,30 - 0,50
C20:4 arahidonat - - - - 0,90 - -
Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Persen tidak jenuh 8,40 15,70 48,50 86,10 86,00 90,80 87,40 Sumber : Thampan (1998)
Seperti terlihat pada Tabel 4, minyak kelapa mengandung 92 % asam
lemak jenuh, yang tediri dari 48 % asam laurat (C12 : 0), 17 % asam miristat
(C14 : 0) dan lain-lain. Berbeda dengan minyak lainnya seperti misalnya
minyak jagung, minyak kedelai, minyak safflower dan minyak sunflower yang dominan dengan kandungan asam lemak tidak jenuh. Sehingga dari kondisi
ini, minyak kelapa biasa juga dikenal dengan minyak sumber asam laurat.
Minyak kelapa kandungan asam-asam lemak jenuhnya tinggi, sehingga
minyak kelapa relatif lebih stabil terhadap oksidasi dibanding minyak-minyak
B. Virgin Coconut Oil (VCO)
Mulai era tahun 2000-an, baik di negara potensi kelapa seperti halnya
di Indonesia, Philippina dan India, bahkan juga di negara-negara yang tidak
tumbuh kelapa pun seperti halnya di negara-negara Amerika dan Eropa,
produk olahan kelapa ramai dicari orang. Primadona produk olahan kelapa di
dunia yang kemungkinan akan terus berjaya sepanjang masa adalah minyak
murni kelapa atau dikenal dunia dengan istilah virgin coconut oil atau VCO. Selain itu kelapa juga memegang peranan dalam sumber energi masa depan
yang tidak akan habis-habisnya yaitu apabila dibuat produk cocodiesel.
VCO banyak dibuat orang dengan berbagai macam metode
pembuatannya. Masing-masing produsen VCO saling mengunggulkan
kualitas produknya dengan diantaranya ada yang mengklaim tidak boleh
menggunakan panas dan sebagainya. Lebih jelasnya berikut ini disajikan
definisi aslinya (dalam bahasa Inggris) dari istilah virgin tersebut.
Deskripsi Virgin Fats/Oils (Codex, 2001 ): Virgin Fats and Oils means edible vegetable fats and oils obtained by mechanical procedures and the application of heat only. They may have been purified by washing with water, settling, filtering and centrifuging only. Definisi menurut Asian and Pacific Coconut Community, Coconut oil is derived from the kernel / meal / copra of the coconut (Cocos nucifera L.). Virgin coconut oil is obtained from the fresh and mature kernel of coconut by mechanical or natural means with or without the application of heat, which does not lead to alteration of the oil. Virgin coconut oil is suitable for human consumption in its natural state (APCC, 2004b). Definisi menurut Rancangan Standar Nasional Indonesia 3 hasil rapat
21 Nopember 2006 di Departemen Perindustrian (BSN, 2006), VCO yaitu
minyak yang diperoleh dari daging buah kelapa (Cocos nucifera L) tua yang segar dan diproses dengan diperas dengan atau tanpa penambahan air, tanpa
pemanasan atau pemanasan tidak lebih dari 60 oC dan aman dikonsusmsi
manusia. Apabila diamati dari definisi-definisi tersebut, maka suatu produk
disebut virgin apabila dalam proses pembuatannya tidak menggunakan proses pemurnian secara kimiawi dan tidak secara tersirat menyebutkan tidak boleh
Sementara itu definisi minyak goreng menurut SNI 01 – 3741 – 2002
adalah minyak yang diperoleh dengan cara memurnikan minyak makan nabati.
Sementara itu menurut Codex Stan 210 Edible vegetable oils adalah bahan pangan yang utamanya terdiri dari beberapa gliserida asam-asam lemak yang
hanya diperoleh dari sumber nabati. Bahan pangan ini bisa juga secara alami
mengandung sejumlah kecil lemak-lemak lainnya seperti fosfatida, bahan
tidak tersabunkan, dan beberapa asam-asam lemak bebas. Dijelaskan lebih
lanjut bahwa minyak kelapa adalah minyak yang diperoleh dari daging buah
kelapa (Cocos nucifera L)
Berdasarkan hasil penelitian para ahli di berbagai negara seperti
Amerika Serikat, Filipina, India dan lain-lain, VCO mempunyai banyak
manfaat dan khasiat untuk kesehatan. Menurut Fife (2001) VCO berkhasiat
untuk membantu mengurangi resiko penyakit aterosklerosis, mendukung
sistem fungsi kekebalan, membantu mencegah osteoporosis, membantu
mengendalikan penyakit diabetes, penyedia sumber energi spontan, membantu
menjaga kehalusan kulit, mengurangi resiko kanker, menghancurkan
virus-virus membahayakan seperti halnya herpes, hepatitis C dan HIV, mengurangi
berat badan, memperbaiki sistem pencernaan dan penyerapan nutrisi,
membantu mencegah penuaan dan pengkerutan kulit dan lain-lain.
Berikut ini pengalaman orang-orang yang menggunakan VCO
(Sukartin dan Maloedyn, 2005), VCO dapat menurunkan gula darah dan
meningkatkan stamina, menyembuhkan penyakit radang tenggorokan,
menyembuhkan jari-jari yang sakit dan kaku, tidak meningkatkan kolesterol
dan berat badan, menyembuhkan penyakit stroke, menyembuhkan penyakit
jantung, menghentikan perdarahan akibat ambeien, menyembuhkan
pembengkakan prostat, menyembuhkan penyakit kanker payudara,
menyembuhkan bintik merah dan gatal, menyembuhkan penyakit asam urat
dan vertigo, menguatkan sistem saraf dan memperbaiki darah, serta
meredakan penyakit hepatitis
Sudah dikenal berbagai macam metode pembuatan VCO, misalnya
metode fermentasi, enzimatis, pemancingan, pemanasan bertingkat, metode
di Indonesia banyak dikembangkan oleh LIPI, IPB dan perguruan tinggi
lainnya serta lembaga riset lainnya. Metode pemancingan dikembangkan oleh
UGM. Metode pemanasan bertingkat dikembangkan oleh Balai Penelitian
Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Departemen Pertanian, Manado. Metode
pengepresan semi basah dikembangkan oleh Balai Besar Industri Agro,
Departemen Perindustrian Bogor. Sementara itu metode pembuatan VCO di
Filipina banyak yang mengembangkan teknologi mekanis (Hanafiah et al. 2006),
Proses pembuatan minyak murni dengan cara fermentasi dapat
dijelaskan sebagai berikut (Sukartin dan Maloedyn, 2005). Daging buah
kelapa segar dibuat santan, santan didiamkan selama 2 – 3 jam, pemisahan
santan pekat, santan pekat atau krim dicampur dengan cuka nira perbandingan
2 sendok makan cuka nira untuk 1 liter krim santan yang diaduk sampai
merata, didiamkan atau difermentasi selama 10 – 24 jam, pemisahan minyak
dari blondo dan air, penyaringan minyak dengan kertas saring dan zeolit, dan
pembotolan. Untuk proses fermentasi dapat juga menggunakan ragi roti, atau
ragi tape. Disampaikan lebih lanjut bahwa untuk proses pembuatan VCO
metode enzimatis, bedanya pada tahap pemeraman krim, krim dicampur
dengan enzim pemecah lemak misalnya enzim poligalakturonase, amilase,
atau pektinase.
Sementara itu menurut Sukartin dan Maloedyn (2005), tahap-tahap
pembuatan minyak murni metode pemancingan hampir sama dengan
teknologi fermentasi dan enzimatis. Bedanya setelah didapat krim, krim
kemudian ditambah dengan minyak murni yang sudah jadi dengan
perbandingan 1 bagian minyak murni dicampur rata dengan 3 bagian krim,
campuran tersebut kemudian didiamkan selama 8 jam atau lebih sampai
terbentuk 3 lapisan. Lapisan tersebut yaitu minyak, blondo dan air. Tahap
selanjutnya sama dengan tahap-tahap pada proses fermentasi atau enzimatis.
Pembuatan VCO metode pemanasan bertingkat dapat diuraikan seperti
berikut ini (Rindengan dan Hengky, 2005). Daging kelapa segar dibuat santan,
pemisahan minyak dari blondo mentah, pemanasan minyak yang dihasilkan
dari pemanasan krim, dan penyaringan minyak serta pembotolan.
Metode pengepresan semi basah atau teknologi intermediate moisture content atau IMC yang dikembangkan di Balai Besar Industri Agro (BBIA) didasarkan atas hasil penelitian pertama kali yang dilakukan oleh Natural Resources Institute (NRI) Inggris yang mengekstrak minyak menggunakan tekanan rendah (525 psig) pada kondisi kadar air bahan baku daging kelapa
sekitar 11 sampai dengan 15 % (NRI, 1998). Pada kondisi kadar air tersebut
kemudian daging kelapa dipres menggunakan tekanan rendah (525 psig) untuk
mendapatkan minyaknya. Dilaporkan bahwa teknik pelaksanaan yang
dilakukan untuk mencapai kondisi kadar air tersebut (yang disebut kemudian
dengan nama kondisi semi basah atau intermediate moisture content) dengan dua cara yaitu mencampur daging kelapa segar parut dengan daging kelapa
parut kering pada perbandingan tertentu atau dengan cara mengeringkan
langsung daging kelapa parut segar kemudian dites tingkat kekeringannya
dengan metode squeeze test.
Tes tingkat kekeringan metode squeeze test dilakukan dengan cara peremasan daging buah kelapa parut menggunakan tangan pada waktu tertentu
pada saat proses pengeringan. Pada tes tingkat kekeringan tersebut terjadi tiga
kemungkinan. Pertama apabila keluar cairan putih di antara sela-sela jari,
berarti tingkat kekeringan belum cukup atau masih basah dan proses
pengeringan harus dilanjutkan lagi, kedua apabila tidak keluar sama sekali
cairan berarti bahan terlalu kering untuk dipres dan ketiga apabila keluar
cairan bening berarti proses pengeringan tersebut sudah cukup untuk
selanjutnya dilakukan proses pengepresan.
Alat pengepres yang digunakan NRI untuk mengekstrak minyak
metode pengepresan semi basah adalah alat pres tipe bridge press atau spindle press. Tipe alat pres tersebut dirancang menggunakan tekanan rendah yaitu sekitar 525 psig (Tillekeratne et al, 1998). Lebih lanjut dilaporkan bahwa pada tekanan tersebut dengan kondisi kadar air bahan sekitar 12 % dapat
mengekstrak minyak sebesar 61 %. Dalam penelitian yang dilakukan di BBIA
menggunakan pengembangan atau perbaikan dalam bentuk wadah produk
yang akan dipres dan dilengkapi dengan dongkrak dari bagian bawah alat pres
tersebut.
Metode pengepresan semi basah dibanding teknologi lain mempunyai
beberapa kelebihan yaitu :
• Peralatan dapat dibuat di dalam negeri secara lokal dengan harga relatif murah.
• Keseluruhan proses dapat selesai dalam waktu sehari, dan minyak yang dihasilkan berkualitas baik tanpa perlu melalui proses pemurnian kimiawi. • Minyak yang dihasilkan jernih tidak berwarna, sehingga akan lebih bagus
kalau digunakan sebagai bahan baku kosmetik, farmasi serta untuk lulur
dan pijat di “Spa” atau salon-salon kecantikan.
• Ampas sisa pengepresan merupakan kelapa parut kering berlemak rendah sebagai bahan baku pembuatan kue serta dapat digunakan juga untuk
bahan makanan ternak
Untuk lebih meningkatkan kualitas produk, minyak hasil proses
pengepresan dalam penelitian kemudian dilakukan proses penjernihan
menggunakan arang aktif, pengurangan aroma kelapa dengan pencucian
menggunakan air hangat, dekantasi, penyaringan dan pemanasan vacuum
untuk mengurangi kadar airnya, serta ditambahkan antioksidan alami yaitu
tocoferol untuk memperpanjang daya tahan simpannya. Antioksidan alami yang ditambahkan yaitu tocoferol atau vitamin E juga akan berguna untuk menambah fungsi VCO untuk peremajaan kulit dan pemeliharaan rambut.
Metode-metode pembuatan VCO tersebut mempunyai kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Pada Tabel 5 disajikan kekurangan dan
kelebihan berbagai macam metode pengolahan VCO (Supriatna et al., 2006). Idealnya waktu proses pembuatan VCO lebih cepat, VCO yang dihasilkan
akan lebih bagus kualitasnya. Seperti terlihat pada Tabel 5, waktu proses
masing-masing metode bervariasi sehingga akan menghasilkan VCO dengan
kualitas berbeda. Waktu proses lebih lama akan menghasilkan VCO yang
Tabel 5 Kekurangan dan kelebihan berbagai metode pembuatan VCO
No Metode Proses Investasi Penggunaan Panas
Total Waktu Proses (Jam)*
1 Pemanasan bertingkat Relatif murah Panas 10 – 12
2 Pemancingan Relatif murah Tanpa panas 10 – 24
3 Fermentasi Relatif murah Tanpa panas 12 – 36
4 Enzimatis Relatif mahal Tanpa panas 14 - 18
5 Sentrifusi Relatif mahal Tanpa panas 7 – 8
6 Pengepresan Semi
Basah Relatif mahal
Panas
minimal 8 – 10
* Keterangan : Lama proses dari jumlah kapasitas batch yang sama
Sementara itu menurut APCC (2004a), metode proses pembuatan
VCO diantaranya yaitu metode Fresh-Dry and Wet Miling Route, metode
Fresh-Dry and Desiccated Coconut Route, Fresh-Dry and Grated Nut Route, metode Low Pressure Extraction, metode Modified Natural Fermentation,
metode Single-Double Stage Centrifuge, dan metode Bawalan-Masa.
Dari berbagai macam metode proses tersebut dalam penggunaannya
harus diperhitungkan kelayakan investasinya. Nilai investasi peralatan dan
mesin yang tinggi harus diimbangi dengan adanya jaminan kualitas yang lebih
bagus.
Standar Nasional Indonesia untuk VCO masih dalam tahap proses
untuk ditetapkan. Tabel 6, merupakan rancangan SNI untuk VCO hasil
Tabel 6 Draft Rancangan Standar Nasional Indonesia 3 Mutu VCO
Sumber : BSN (2006)
Sementara itu standar mutu VCO yang dikeluarkan APCC sudah
ditetapkan pada waktu kegiatan APCC session di Kiribati pada tahun 2004.
Standar mutu VCO yang ditetapkan APCC dapat dilihat pada Tabel 7. Seperti
terlihat pada Tabel 6 dan Tabel 7, standar mutu VCO relatif tidak begitu
berbeda antara RSNI dan APCC. Prakteknya standar yang dipergunakan di
lapangan umumnya mengacu juga pada standar yang dikeluarkan oleh calon
konsumen atau negara tujuan ekspor.
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan :
1.1. Bau - Khas kelapa segar,
tidak tengik
1.2. Rasa - Normal, khas
minyak kelapa
1.3. Warna - Tidak berwarna
hingga kuning pucat 2. Air dan senyawa yang menguap % Maks 0,2
3. Bilangan Iod g Iod/100 g
contoh
4,1 – 11,0
4. Asam Lemak Bebas % Maks 0,2
5. Bilangan Peroksida mg ek/kg Maks 2,0 6. Asam Lemak :
6.1. Asam Kaproat (C 6 : 0) % Tidak terdeteksi – 0,7 6.2. Asam Kaprilat (C 8 : 0 % 4,6 – 10,0
6.3. Asam Kaprat (C 10 : 0) % 5,0 – 8,0 6.4. Asam Laurat (C 12 : 0) % 45,1 – 53,2 6.5. Asam Miristat (C 14 : 0) % 16,8 – 21,0 6.6. Asam Palmitat (C 16 : 0) % 7,5 – 10,2 6.7. Asam Stearat (C 18 : 0) % 2,0 – 4,0 6.8. Asam Oleat (C 18 : 1) % 5,0 – 10,0 6.9. Asam Linoleat (C 18 : 2) % 1,0 – 2,5
6.10. Asam Linolenat (C 18 : 3) % Tidak terdeteksi – 0,2 7. Cemaran Mikroba :
7.1. Angka Lempeng Total koloni/ml Maks. 10 8. Cemaran Logam :
8.1. Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,1
8.2. Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 0,4
8.3. Besi (Fe) mg/kg Maks. 5,0
8.4. Cadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,1
Tabel 7 Standar Mutu VCO Menurut APCC
Sumber : APCC, (2004b)
Tersedianya standar mutu, baik internasional yaitu dari APCC maupun
nasional, akan menjadi patokan para produsen VCO. VCO yang memenuhi
standar akan terus berkembang di pasaran, sementara itu VCO yang tidak
memenuhi standar tidak akan berkembang.
No Standar APCC
A Identity Characteristic
1. • Relative Density 0.915 – 0.920 2. • Refractive Index at 40oC 1.4480 – 1.4492 3. • Moisture % wt. max 0.1 – 0.5 4. • Insoluble impurities per cent by mass max. 0.05 5. • Saponification Value 250 – 260 6. • Iodine Value 4.1 – 11.0 7. • Unsaponifiable matter % by mass max. 0.2 – 0.5 8. • Specific gravity at 30 deg./30 deg.C 0.915 – 0.920 9. • Acid Value max. 0.5 10. • Poleske Value min. 13 B GLC Ranges of Fatty Acid Composition (%)
1. • C 6 : 0 0.4 – 0.6
2. • C 8 : 0 5.0 – 10.0
3. • C 10 : 0 (Capric acid) 4.5 – 8.0
4. • C 12 : 0 (Lauric acid) 43.0 – 53.0
5. • C 14 : 0 (Miristic acid) 16.0 – 21.0
6. • C 16 : 0 (Palmitic acid) 7.5 – 10.0
7. • C 18 : 0 (Stearic acid) 2.0 – 4.0
8. • C 18 : 1 (Oleic acid) 5.0 – 10.0
9. • C 18 : 2 (Linoleic acid) 1.0 – 2.5
10. • C 18 : 3 – C 24 : 1 (Linolenic acid) < 0.5 C Quality Characteristics
1. • Colour Water clean
2. • Free Fatty Acid ≤ 0.5 % 3. • Peroxide Value ≤3 meq/kg oil
4. • Total Plate Count < 10 cfu D Odour and Taste Free from foreign and
rancid odour and taste
E Contaminats
1. • Matter volatile at 105 oC 0.2 % 2. • Iron (Fe) 5 mg/kg 3. • Copper 0.4 mg/kg
4. • Lead 0.1 mg/kg
C. Asam Lemak Jenuh Rantai Medium
Berdasarkan struktur kimianya, lemak terdiri dari lemak jenuh dan
lemak tidak jenuh. Lemak jenuh adalah suatu jenis lemak dimana antara atom
karbon penyusunnya tidak ada ikatan rangkap, sedangkan lemak tidak jenuh
adalah apabila diantara atom karbon penyusunnya terdapat satu atau lebih
ikatan rangkap. Lemak jenuh biasanya bersumber atau berasal dari hewani
misalnya daging, susu, telur dan lain-lain. Sedangkan lemak tidak jenuh
biasanya sumbernya adalah nabati misalnya minyak jagung, kedelai, kanola,
bunga matahari dan lain-lain. Namun demikian sumber lemak jenuh pun biasa
juga didapat dari minyak kelapa dan minyak biji sawit. Dinyatakan oleh
Thampan (1998), bahwa lemak jenuh kelapa 91,6 %, biji sawit 84,3%, sawit
41,5%, jagung 13,9 %, kedelai 14 %, safflower 9,2 % dan sunflower 12,6 %. Lebih lanjut dinyatakan bahwa lemak jenuh minyak kelapa didominasi oleh
lemak jenuh berantai medium sekitar 63 – 67 % dari total asam-asam lemak
atau sekitar 69 – 72 % dari total asam lemak jenuh. Dilaporkan juga bahwa
minyak kelapa kadang-kadang disebut sebagai asam laurat, sebab sekitar
49-52 % dari asam-asam lemak adalah asam laurat.
Peranan minyak jenuh di perdagangan tingkat dunia pernah mengalami
kemerosotan bahkan menjadikan suatu momok yang menakutkan untuk
kesehatan konsumen. Hal tersebut sengaja dikondisikan oleh negara-negara
penghasil minyak jagung ataupun minyak kedelai sebagai kampanye negatif
karena di negaranya tidak tumbuh kelapa. Minyak kelapa dan minyak sawit
yang disebut tropical oil oleh American Soybean Association didiskreditkan bahwa mengandung banyak lemak jenuh yang dapat menimbulkan penyakit
penyempitan pembuluh darah ataupun penyakit jantung. Sehingga penduduk
khususnya di Amerika Serikat dan umumnya dunia diarahkan untuk
menggunakan minyak kacang kedelai ataupun minyak jagung dan tidak boleh
menggunakan minyak kelapa ataupun sawit.
Minyak jagung ataupun minyak kedelai termasuk sumber atau
didominasi lemak tidak jenuh yang tidak stabil terhadap oksidasi dan
ketengikan. Supaya stabil minyak tersebut dihidrogenasi parsial sehingga
adalah industri minyak kedelai dan minyak jagung, sementara itu penduduk
Amerika sendiri menjadi korban munculnya berbagai macam penyakit
degeneratif akibat transfat misalnya penyakit jantung, penyempitan pembuluh
darah, diabetes, obesitas dan lain-lain.
Penelitian yang dilakukan terhadap penduduk Pulau Pukapuka dan
Pulau Tokealu di daerah Pasifik yang sudah bertahun-tahun kebiasaan dalam
menu dietnya banyak mengkonsumsi kelapa, penduduknya tidak pernah
mengalami berbagai penyakit degeneratif. Namun setelah penduduknya
berpindah ke Selandia Baru, mereka mengubah pola makannya dengan
menerapkan pola makan ala Barat, sehingga kemudian penyakit-penyakit
degeneratif ditemukan pada penduduk tersebut (Fife, 2001).
Faktanya kelebihan lemak jenuh dari pada minyak tidak jenuh adalah
minyak jenuh tidak mempunyai satu atom hidrogen yang hilang ataupun tidak
mempunyai ikatan rangkap. Hal tersebut berarti minyak atau lemak tidak
jenuh lebih mudah terserang oksidasi ataupun mudah terbentuk radikal bebas,
sementara itu lemak jenuh lebih stabil dan tidak terbentuk radikal bebas.
Namun demikian, lemak jenuh yang berasal dari hewani umumnya juga dapat
menimbulkan berbagai penyakit, misalnya kolesterol, penyempitan pembuluh
darah, jantung dan lai-lain. Namun juga tidak semua lemak jenuh dapat
menimbulkan penyakit yang tidak diinginkan tersebut.
Baik lemak jenuh maupun tidak jenuh tersusun atas beberapa asam
lemaknya. Tergantung dari panjang dan pendeknya rantai atom karbon,
asam-asam lemak tersebut ada yang berantai pendek, medium dan panjang.
Menurut Kabara (2000) bahwa lemak jenuh terdiri dari lemak jenuh berantai
pendek atau short chain fatty acid - SCFA atau short chain trigliseride-SCT yaitu yang mempunyai atom karbon 2 sampai dengan 6 (C2 – C6), lemak
jenuh berantai medium atau medium chain fatty acid - MCFA atau medium chain trigliseride-MCT (C8 – C12), dan lemak jenuh berantai panjang atau
long chain fatty acid - LCFA atau long chain trigliseride-LCT (14-24). Sementara itu Enig (2000), menggolongkan asam-asam lemak jenuh menjadi
SCFA yaitu asam propanoat (C3), asam butirat (C4) dan asam kaproat (C6);
serta LCFA yaitu asam miristat (C14), asam palmitat (C16), asam stearat
(C18), asam arahidat (C20), asam behenat (C22) dan asam lignoserat (C24).
Beberapa hasil penelitian tentang MCT sudah dipublikasikan di
berbagai jurnal di seluruh dunia. Beberapa contoh hasil penelitian tentang
MCT dapat diuraikan seperti berikut ini. Hasil penelitian Johnson et al (1990)
menyebutkan bahwa MCT dipergunakan atau dicerna dan didistribusikan
lebih cepat dan lebih lengkap dibanding LCT sehingga MCT tidak disimpan
dalam bentuk lemak di tubuh. Dinyatakan oleh Fife (2001) bahwa karena
MCT mempunyai berat molekul lebih kecil dibanding dengan LCT sehingga
MCT hanya memerlukan sedikit energi dan sedikit enzim untuk memecahkan
MCT tersebut untuk dapat dicerna. Thampan (1998) menyatakan bahwa oleh
karena MCT mudah dipecahkan selama pencernaan, maka enzim-enzim
pankreatik untuk mencerna lemak tidak diperlukan sebagai yang utama,
sehingga sedikit mengurangi ketegangan pankreas dan sistem pencernaan
Lebih jauh Johnson et al (1990) menyatakan bahwa dengan dosis yang
sama pasien akan menerima energi lebih cepat dan lebih banyak dari MCT
daripada dari LCT. Disebutkan juga bahwa kecepatan metabolisme MCT
dapat berubah dengan mencampur dosis dengan LCT, sehingga disarankan
menjadi pengatur metabolisme MCT yang potensial dengan mengatur
perbandingan MCT dan LCT dalam dosis. Dengan demikian terapi dapat
dibuat atau dipesan untuk memenuhi keperluan khusus pasien untuk energi
yang segera akan digunakan, kebutuhan asam-asam lemak esensial dan
memelihara berat badan.
Hasil penelitian Bach dan Babayan (1982) juga menyatakan bahwa
produk MCT dihidrolisis dan diserap ke dalam sel-sel usus secepat glukosa
dan dibawa secara langsung ke hati untuk kemudian secepatnya dioksidasi
menjadi energi. Sebaliknya LCT dicerna secara lambat dan hasil proses
pencernaan ditransportasi ke hati melalui limphatik dan sirkulasi sistemik.
Konsekuensinya LCT didistribusikan secara sistematik ke semua bagian
perangkat pencernaan sebelum mencapai hati. Sehingga LCT lebih mudah
disimpan menjadi lemak dalam jaringan peripheral dibanding dengan SCT