• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penderita penyakit kusta menimbulkan gejala yang jelas pada stadium lanjut dan cukup didiagnosis hanya pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan bakteriologi. Ada 3 tanda – tanda utama yang dapat menetapkan diagnosis penyakit kusta yaitu: Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf, adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit. Pemeriksaan kerokan hanya dilakukan pada kasus yang meragukan. Apabila ditemukan pada seseorang salah satu tanda - tanda utama seperti diatas maka orang tersebut dinyatakan menderita kusta (Depkes, 2005a).

Apabila petugas kesehatan ragu-ragu untuk menegakkan diagnosis, sebaiknya penderita dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk terapi anti kusta Multi Drug Therapy

(MDT) agar tidak menjadi sumber penularan, selain menghindari kemungkinan cacat

menjadi besar. Namun bila petugas ragu dan sulit merujuk ke rumah sakit karena alasan jauh maka orang tersebut dianggap sebagai suspek. Tanda-tanda tersangka kusta tidak dapat digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta. Tanda-tanda pada kulit tersangka penderita kusta adalah sebagai berikut: Bercak/kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh, kulit mengkilap, bercak yang tidak gatal, adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut, lepuh tidak nyeri dan tanda-tanda pada saraf adalah sebagai berikut: rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka, gangguan gerak anggota badan atau bagian muka, adanya cacat, dan luka yang tidak mau sembuh (Depkes RI, 2005a).

Seseorang yang telah didiagnosis menderita kusta selanjutnya akan ditentukan tipe/klasifikasi penyakit kusta. Tujuan klasifikasi penyakit kusta adalah untuk menentukan jenis, lamanya pengobatan, waktu penderita dinyatakan sembuh dan perencanaan logistik. Menurut Soebono dan Suhariyanto dalam Djuanda dkk (1997) klasifikasi pada penyakit kusta terdiri dari klasifikasi Madrid (klasifikasi

Internasional) dibuat tahun 1953 terdiri dari : a. Indeterminate (I)

b. Tuberkuloid (T) c. Borderline (B) d. Lepromatosa (L)

Klasifikasi Ridley dan Jopling dibuat tahun 1962 terdiri dari :

a. Tuberkuloid tuberkuloid (TT) b. Borderline tuberculoid (BT) c. Borderline borderline (BB) d. Borderline lepromatous (BL) e. Lepromatosa lepromatosa (LL)

dan tahun 1981 World Health Organization (WHO) mengklasifikasi penyakit kusta

yang disebut klasifikasi WHO terdiri dari Pauci Baciler (PB) dan Multi Baciler (MB) Menurut Depkes RI (2005a) pada tahun 1982 jenis klasifikasi World Health

Organization (WHO) yang dipakai oleh petugas kesehatan di seluruh Indonesia untuk

menentukan penyakit kusta tersebut menurut klasifikasi World Health Organization

yaitu :

A. Paucibacillary (PB)

Kelainan kulit dan hasil pemeriksaan : 1. Bercak (makula) mati rasa

a. Ukuran kecil dan besar

b. Distibusi unilateral atau bilateral asimetis c. Konsistensi kering dan kasar

d. Batas tegas

e. Kehilangan rasa pada bercak : selalu ada dan jelas

f. Kehilangan kemampuan berkeringat, bulu rontok, bercak selalu ada dan jelas 2. Infiltrat

a.Kulit

b.Membrana mukosa (hidung tersumbat, pendarahan di hidung) 3. Ciri-ciri : central healing penyembuhan ditengah

4. Tidak ada Nodulus 5. Deformitas terjadi dini

6. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi (Gangguan fungsi ,mati rasa atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan):

hanya satu saraf

B. Multibacillary (MB) 1. Bercak (makula) mati rasa a. Ukuran kecil - kecil b. Distibusi bilateral asimetis c. Konsistensi haus dan berkeringat d. Batas kurang tegas

e. Kehilangan rasa pada bercak : biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi sudah lanjut f. Kehilangan kemampuan berkeringat, bulu rontok pada bercak : Biasanya tidak

jelas, jika ada, terjadi yang sudah lanjut 2. Infiltrat

a. Kulit : ada, ada kadang-kadang tidak ada

b. Membrana mukosa (hidung tersumbat, pendarahan di hidung) : ada, kadang-kadang ada

3. Ciri-ciri : Punched out lesion ( lesi bentuk seperti donat), Madarosis, Gine komasti, hidung pelana, suara sengau

4. Kadang-kadang ada Nodulus 5. Deformitas biasanya simetris

6. Penebalan saraf tepi disertai dengan gangguan fungsi (Gangguan fungsi ,mati rasa atau kelemahan otot dipersarafi oleh saraf bersangkutan): lebih dari satu saraf 7. Sediaan apusan : BTA positif

2.5. Pencegahan Penyakit Kusta 2.5.1. Pencegahan primer

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan : a. Penyuluhan kesehatan

Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2005a)

b. Pemberian imunisasi

Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2005a).

2.5.2. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan : a. Pengobatan pada penderita kusta

Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug

therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut

merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006). 2.5.3. Pencegahan tertier

a. Pencegahan cacat kusta

Pencegahan tertier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :

i. Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penanganan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.

ii. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.

b. Rehabilitasi kusta

Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat

secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006)

Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi:

i. Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur

ii. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan

iii. Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi

iv. Terapi okupsi ( kegiatan hidup sehari-hari ) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada tangan

v. Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat Tujuan pencegahan penyakit kusta adalah merupakan upaya pemutusan mata rantai penularan penyakit kusta. Berikut ini adalah mata rantai penularan penyakit kusta (Depkes RI, 2006) :

Kuman Penyebab M. leprae

Tuan rumah Sumber PENGOBATAN yang kekebalan penularan

VAKSINASI kurang penderita kusta

Cara masuk : Cara keluar : saluran napas saluran napas

Cara penularan utama Saluran Napas (Droplet)

ISOLASI

MDT Masih dalam

Pengembangan

Tidak dianjurkan

Gambar 2.1. Mata Rantai Penularan Penyakit Kusta 2.6. Pengobatan Penderita

Setelah menegakkan diagnosa dan ternyata seseorang menderita kusta segera diberikan pengobatan dengan kombinasi Multi Drug Therapy (MDT) secara gratis

dan dicatat oleh petugas dalam kartu penderita. Memberikan penderita dosis pertama di puskesmas dan menganjurkan ambil obat secara teratur di puskesmas. Kemasan blister obat kombinasi atau Multi Drug Ttherapy (MDT) adalah gratis, disimpan

ditempat yang kering, aman, teduh dan jauh dari jangkauan anak-anak. Selama menjalani pengobatan penderita dapat menjalani kehidupan normal, dapat tinggal

dirumah, pergi kesekolah, bekerja, bermain, menikah, mempunyai anak serta dalam acara-acara sosial (Depkes RI, 2000).

Tujuan pengobatan penderita untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya cacat. Penderita yang sudah cacat permanen, pegobatan yang dilakukan hanya mencegah cacat lebih lanjut. Penderita kusta yang tidak meminum obat secara teratur maka kuman kusta dapat aktif kembali dan menimbulkan gejala-gejala baru yang memperburuk keadaan penderita. Pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur minum obat agar tidak timbul cacat yang baru.

Sejak tahun 1982 Indonesia memberikan pengobatan secara gratis pada penderita kusta dengan kombinasi Multi Drug Therapy (MDT) yaitu kombinasi

Dapsone atau DDS (Diamino Diphenyl Sulfone), Lamprene atau Clofazimine dan

Rifampisin. Keuntungan Multi Drug Therapy (MDT) adalah: mengubah konsep dari

terapi panjang yang hanya mencegah perluasan penyakit ke terapi pendek yang menyembuhkan penyakit, mencegah resistensi obat, meningkatkan ketaatan berobat dari 50% ke 95%, mencegah deformitas secara lebih efisien dan menurunkan jumlah

kasus-kasus setiap tahunnya. Pengobatan pada penderita Pauci Baciler (PB) lesi 1

diberikan dosis tunggal ROM ( Rifampisin Ofloxacin Minocylin).

Tabel 3. Dosis Obat Tipe PB 1 : Lesi 1

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa 50-70 kg 600mg 400mg 100mg

Anak 5-14 tahun 300 mg 200mg 50mg

Obat yang diberikan pada penderita Tipe PB 1 Lesi 1 langsung di telan di depan petugas dan apabila obat tersebut tidak ada maka sementara diobati dengan dosis obat Pauci Baciler 2-5. Untuk tipe Pauci Baciler (PB) lesi 2-5, pada dewasa pengobatan

bulanan, hari pertama diminum di depan petugas 2 kapsul Rifampisin 600 mg dan 1

tablet Dapsone 100 mg, pengobatan harian hari ke 2- 28, 1 tablet Dapsone 100 mg 1

blister untuk 1 bulan dan diminum sebanyak 6 blister (Depkes RI, 2005a).

Untuk tipe Multi Baciler (MB) pada dewasa pengobatan bulanan, hari pertama

dosis diminum di depan petugas 2 kapsul Rifampisin 600 mg, 3 tablet Lampren 300

mg dan 1 tablet Dapsone 100 mg, pengobatan harian yang ke 2-28 hari 1 tablet

Lamprene 50 mg, 1 tablet dapsone 100 mg. Satu blister untuk 1 bulan dan diminum

sebanyak 12 blister.Untuk anak dibawah usia 10 tahun obat diberikan berdasarkan berat badan dengan dosis sebagai berikut : Rifampisin 10-15 mg/kg BB, Dapsone 1-2

mg/Kg BB dan Clofazimin 1 mg/Kg BB (Depkes RI, 2005a).

2.6.1. Release from treatment

Penderita Kusta tipe Pauci Baciler (PB) dan Multi Baciler (MB) setelah

menyelesaikan pengobatan sesuai dengan aturan maka dinyatakan Release From

Treatment (RFT) tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium yang artinya dianggap

sudah sembuh. Petugas harus memberikan keterangan tentang arti dan maksud Release From Treatment (RFT) kepada penderita bahwa tipe Pauci Baciler (PB)

pengobatan 6 dosis selesai dalam waktu 6-9 bulan langsung dinyatakan sembuh untuk tipe Multi Baciler (MB) pengobatan 12 dosis selesai dalam waktu 12-18 bulan

dinyatakan sembuh (Release From Treatment). Walaupun sudah sembuh petugas

tetap meyakinkan penderita bahwa bercak yang ada akan berangsur hilang dan menjelaskan cara mencegah terjadinya luka jika terjadi kecacatan yaitu dengan memelihara tangan dan kaki dengan baik dan bila penderita melihat bercak kulit yang baru atau tanda-tanda baru mereka harus datang kembali kontrol atau pemeriksaan ulang ke puskesmas.

Dokumen terkait