• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Faktor Internal Dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Di Kabupaten Asahan Tahun 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Faktor Internal Dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Di Kabupaten Asahan Tahun 2007"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL

TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PENDERITA

KUSTA DI KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2007

T E S I S

Oleh

BASARIA HUTABARAT

057023003/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL

TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PENDERITA

KUSTA DI KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2007

T E S I S

Untuk memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi administrasi kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

BASARIA HUTABARAT

057023003/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PENDERITA KUSTA DI KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2007 Nama Mahasiswa : Basaria Hutabarat

Nomor Pokok : 057023003

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Dr.Drs.R. Kintoko Rochadi, MKM) (Dra. Syarifah, MS )

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

( Dr.Drs. Surya Utama, MS) (Prof.Dr.Ir.T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada

Pada tanggal : 29 April 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr.Drs.R. Kintoko Rochadi, MKM

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP

KEPATUHAN MINUM OBAT PENDERITA KUSTA

DI KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2007

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, April 2008

(6)

ABSTRAK

Penyakit kusta merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang menimbulkan dampak bukan hanya dari segi medis, tetapi dari segi sosial, ekonomi dan psikologis. Peningkatan angka kesembuhan masih sangat sulit dilakukan karena ketakutan, ketidakpatuhan minum obat, ketiadaan dukungan keluarga dan petugas kesehatan. Pada tahun 2006 di Kabupaten Asahan ditemukan penderita kusta 56 orang, dengan angka kesembuhan sebesar 7,14%. Angka tersebut belum memenuhi standar pelayanan minimal sebesar lebih dari 90% pada tahun 2010. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian di Kabupaten Asahan tentang pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta tahun 2007.

Penelitian ini menggunakan desain cross – sectional dengan jumlah populasi 56 penderita kusta, dan jumlah sampel total populasi sebanyak 56 penderita kusta. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh yang dominan dari faktor internal dan eksternal terhadap kepatuhan minum obat pada penderita kusta. Uji statistik yang digunakan adalah chis – quare dan regresi logistik.

Dari 13 variabel independen yang diteliti, terdapat 10 variabel yang signifikan secara statistik dengan nilai p < 0,05, yaitu variabel umur p = 0,013, jenis kelamin p = 0,036, pendidikan p = 0,019, pengetahuan p = 0,049, peran keluarga p = 0,031, peran petugas p = 0,003, lama minum obat p = 0,036, reaksi kusta p = 0,019, cacat kusta p = 0,016. Berdasarkan uji regresi logistik diketahui bahwa variabel jenis kelamin p = 0,048, pendidikan p = 0,011, peran petugas p = 0,024 , reaksi kusta p = 0,015 sangat besar pengaruhnya terhadap kepatuhan minum obat dan variabel pendidikan lebih dominan pengaruhnya karena nilai p value lebih kecil dari lainnya.

Disarankan Kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan untuk memberi kesempatan petugas kusta mengikuti pelatihan. Petugas kusta disarankan untuk memberikan penyuluhan tentang penyakit kusta dan akibat bila tidak patuh minum obat kepada penderita kusta dan kepada keluarga diharapkan menjadi pengawas minum obat bagi penderita kusta.

(7)

ABSTRACT

Leprosy is a health problem in Indonesia that has an brings impact only medically, but also socially, economically, and psychologically. The increase in recovery rate is still difficult to reach due to fear of compliance to take drugs, absence of support of family and healthcare providers. In 2006, in Asahan Regency, there were 56 cases of leprosy found with the recovery rate of 7.14 %. The rate still not met the minimal standard of health service more than 90% in 2010. Based on the fact, a research was carried out in Asahan Regency about the effect of internal and external effects on compliance to take drugs by the patients with leprosy in 2007.

The research used a cross-sectional design with the total population of 56 patiens with leprosy, and the total samples of 56 patiens with leprosy. The goal of the research is to find know the predominant effect of internal and external factors on the compliance to take drugs by the patiens with leprosy. The statistical test used chi-square and logistic regression.

Of the 13 independent variables, there were 9 variables satistically significant with p<0.05, such as age p = 0.034, sex with p = 0.036, education p = 0.019, knowledge p = 0.049, role of family p = 0.031, role of health worker p = 0.003, duration of taking drugs p = 0.036, leprosy reaction p = 0.019 and disability due to leprosy p = 0.016. Based on the logistic regression , it was found that the variables of sex p = 0,048, education p = 0,011, the role of healthcare providers with p = 0.024, leprosy reaction with p = 0.015 have significant effect on the compliance with taking drugs and the variable education has more dominant effect, due to the p value was less than others.

It is suggested that the Head of Regencial Health Departement Asahan allow the healthcare providers to take training. The healthcare providers are suggested to give guidance about leprosy and the consequences of incompliance with drugs to the patiens with leprosy and their families are expected to be controllers on the compliance with drugs by the patients with leprosy.

(8)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat

serta karuniaNya maka penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Dalam penulisan tesis ini sudah tentu banyak pihak yang telah ikut memberikan

bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk semua itu penulis

menyampaikan terimakasih kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, DSAK

atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan progran Magister.

Direktur Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dijabat oleh

Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc atas kesempatan menjadi mahasiswa Program

Magister pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Dr. Drs. Surya Utama, MS yang telah

membimbing kami dan memberikan masukan dan saran dalam penyelesaian tesis.

Sekretaris Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Dr. Dra. Ida Yustina, MSi yang telah

memberikan masukan dan saran penulisan tesis.

Secara khusus kami menyampaikan terima kasih yang sebesar - besarnya kepada

(9)

pembimbing atas segala ketulusan dalam menyediakan waktu untuk memberikan

bimbingan, dorongan, saran dan perhatian selama proses penyelesaian tesis.

Terimakasih kami juga kepada dr. Yosri Aswar,M.Kes dan drh. Hiswani, M.Kes

selaku dosen penguji telah memberikan bimbingan, masukan dan saran untuk

perbaikan tesis.

Kepala Dinas Kabupaten Asahan, dr. H. Armansyah yang telah memberikan izin

untuk pelaksanaan penelitian ini.

Wasor Kusta dan Petugas Kusta Kabupaten Asahan yang telah membantu

kelancaran pengumpulan data untuk penelitian ini.

Seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi Program Studi Administrasi dan

Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan pengajaran, bimbingan dan pengarahan serta bantuan selama

pendidikan.

Seluruh teman - teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan

memberikan semangat dalam penyusunan tesis ini

Akhirnya, kepada suami tercinta Ir. O. Pangaribuan, MSc, ananda tersayang :

Rugun Pangaribuan, Reguel Pangaribuan, Regina Pangaribuan dan seluruh keluarga

Mama, Kakak, Abang serta Delpi Pangaribuan yang senantiasa menghibur,

mendampingi serta memberikan dorongan moril maupun materil yang sangat berarti

(10)

Penulis yakin dalam penulisan tesis ini masih banyak kekurangan, untuk itu

penulis menerima kritik dan saran demi perbaikan tesis ini. Atas saran dan masukan

yang diberikan , penulis ucapkan terimakasih.

Medan, April 2008

(11)

RIWAYAT HIDUP

Basaria Hutabarat dilahirkan di Bahjambi pada tanggal 12 September 1968 anak

ke empat dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda Oberlin Hutabarat dengan

Ibunda Renia Silitonga. Telah menikah dengan Omry Pangaribuan dan dikaruniai tiga

anak Sekarang menetap di jalan Vanili 12 no. 23 Perumnas Simalingkar, Medan.

Menamatkan Sekolah Dasar Negeri No.4 Bahjambi tahun 1982, SMP YPU PNP

VII Bahjambi tahun 1985, SMA Negeri 3 Pematang Siantar tahun 1988, dan FKM

USU Medan tahun 1992.

Pengalaman bekerja, tahun 1993 sampai dengan tahun 1999 sebagai staf

Puskesmas PTC. Indrapura di Kabupaten Asahan dan tahun 1999 sampai dengan

sekarang staf Balai Teknik Kesehatan Lingkungan – Pemberantasan Penyakit

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………... v

ABSTRACT………. vi

KATA PENGANTAR ……….…… vii

RIWAYAT HIDUP ………..……….. x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

BAB I. PENDAHULUAN………... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 7

1.3.Tujuan Penelitian ... 7

1.4.Hipotesis ... 8

1.5.Manfaat Penelitian ... 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1. Definisi Penyakit Kusta ... 10

2.2. Sejarah Pemberantasan Penyakit Kusta……….. 10

2.3. Epidemiologi Penyakit Kusta………. 12

2.3.1. Distribusi Penyakit Kusta menurut Tempat……… 12

2.3.2. Distribusi Penyakit Kusta menurut Waktu………. . 13

2.3.3. Distribusi Penyakit Kusta menurut Orang……… 14

2.3.4. Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Sakit Kusta…. 15

2.4. Diagnosis dan Klasifikasi ... 18

2.5. Pencegahan Penyakit Kusta……… 22

2.5.1. Pencegahan Primer……… 22

2.5.2. Pencegahan Sekunder……… 23

2.5.3. Pencegahan Tertier……… 23

2.6. Pengobatan Penderita……….. 25

2.6.1. Release From Treatment……….…………. 27

(13)

2.8.1. Persepsi Masyarakat Tentang Sehat dan Sakit... 30

2.8.2. Perilaku Kesehatan... 32

2.8.3. Domain Perilaku... 35

2.9. Landasan Teori... 46

2.10. Kerangka Konsep... 48

BAB III. METODE PENELITIAN... 50

3.1. Jenis Penelitian... ... 50

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian... 50

3.2.1. Lokasi Penelitian... 50

3.2.1. Waktu Penelitian... 50

3.3. Populasi dan Sampel ... ... 51

3.3.1. Populasi... 51

3.3.2. Sampel... 51

3.4. Metode Pengumpulan Data... ... 51

3.4.1. Alat Pengumpul Data... 51

3.4.2. Pelaksanaan Pengumpul Data... 51

3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner... 52

3.4.4. Pengolahan Data... 54

3.5. Variabel dan Definisi Operasional... .... 55

3.5.1. Variabel... 55

3.5.2. Definisi Operasional... 55

3.6. Metode Pengukuran... 57

3.6.1. Pengukuran Variabel Independent... 57

3.6.2. Pengukuran Variabel Dependent... 63

3.7. Metode Analisa Data... 63

BAB IV. HASIL PENELITIAN... 65

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 65

4.1.1. Keadaan Geografi……….. 65

4.1.2. Keadaan Penduduk………..…. 65

4.1.3. Sumber Daya Kesehatan………..…. 66

4.1.4. Penderita Kusta………. 67

4.2. Analisis Univariat……….… 68

4.2.1. Faktor Internal………... 69

4.2.2. Faktor Eksternal………. 71

4.2.3. Kepatuhan Minum Obat………. 72

4.3. Analisis Bivariat………... 72

4.3.1. Faktor Internal………... 72

4.3.2. Faktor Eksternal………. 76

(14)

4.4.1. Pemilihan Variabel Multivariat……… 79

4.4.2. Penentuan Variabel Yang Dominan……….………… 81

BAB V. PEMBAHASAN……….. 86

5.1. Faktor Internal………. 86

5.1.1. Karakteristik Penderita………. 86

5.1.2. Pengetahuan………. 90

5.1.3. Sikap……… 92

5.1.4. Kepercayaan……… 93

5.2. Faktor Eksternal………. 94

5.2.1. Peran Keluarga………. 94

5.2.2. Peran Petugas……….. 95

5.2.3. Lama Minum Obat……….. 96

5.2.4. Reaksi Kusta……… 97

5.2.5. Cacat Kusta………. 98

5.2.6. Efek Samping Obat………. 99

5.3. Keterbatasan Penelitian………. 100

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN………. 101

6.1. Kesimpulan……….. 101

6.2. Saran………. 102

DAFTAR PUSTAKA……...………. 103

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Situasi Kusta Menurut Regional WHO Tahun 2006………. 12

2. Penemuan Kasus Baru di 17 Negara yang Melaporkan 1000 atau

Lebih Tahun 2002 sampai dengan 20……….………..… 13

3. Dosis Obat Tipe PB 1 : Lesi 1……….……..………..……. 26

4. Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Kuesionar……….….. 53

5. Distribusi Sarana Kesehatan di Kabupaten Asahan Tahun 2007…. 66

6. Distribusi Puskesmas, Tenaga Kesehatan dan Petugas Kusta di Kabupaten Asahan Tahun 2007………..… ………. 67

7. Persentase Penderita Kusta Selesai Berobat di Kabupaten Asahan

Tahun 2007……… 68

8. Distribusi Frekuensi menurut Karakteristik Umur, Jenis Kelamin,

Pendidikan dan Pekerjaan Penderita di Kabupaten Asahan Tahun 2007……….………..…… 69

9. Distribusi Frekuensi menurut Pengetahuan, Sikap dan Kepercayaan Penderita di Kabupaten Asahan Tahun 2007………..……… 70

10. Distribusi Frekuensi menurut Peran Keluarga, Peran Petugas, Lama Minum Obat, Reaksi Kusta, Cacat Kusta, dan Efek Samping Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007….……… 71

11. Distribusi Frekuensi menurut Kepatuhan Minum Obat di

Kabupaten Asahan Tahun 2007………..………..…..……. 72

12. Distribusi Responden menurut Umur dan Kepatuhan Minum

Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007……….………… …… 72

(16)

Minum Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007……..…..………… 73 14. Distribusi Responden menurut Pendidikan dan Kepatuhan

Minum Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007………. 73

15. Distribusi Responden menurut Pekerjaan dan Kepatuhan

Minum Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007……… 74

16 Distribusi Responden menurut Pengetahuan dan Kepatuhan

Minum Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007…..………….. 74

17 Distribusi Responden menurut Sikap dan Kepatuhan Minum

Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007………. 75

18. Distribusi Responden menurut Kepercayaan dan Kepatuhan

Minum Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007………. 76

19. Distribusi Responden menurut Peran Keluarga dan Kepatuhan

Minum Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007……….… 76

20. Distribusi Responden menurut Peran Keluarga dan Kepatuhan

Minum Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007……….… 77

21. Distribusi Responden menurut Lama Minum Obat dan

Kepatuhan Minum Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007…… 77

22. Distribusi Responden menurut Reaksi Kusta dan Kepatuhan

Minum Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007 …….…….… 78

23. Distribusi Responden menurut Cacat Kusta dan Kepatuhan

Minum Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007…………..….. 78

24. Distribusi Responden menurut Efek Samping Obat dan

Kepatuhan Minum Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007… 79

25. Hasil Analisis Bivariat antara Variabel Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan, Sikap, Kepercayaan, Peran Keluarga, Peran Petugas, Lama Minum Obat, Reaksi Kusta, Cacat Kusta, dan Efek Samping Obat dengan

Kepatuhan Minum Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007..…… 80

(17)

Keluarga, Peran Petugas, Lama Minum Obat, Reaksi Kusta, dan Cacat Kusta dengan Kepatuhan Minum Obat

di Kabupaten Asahan Tahun……….……….……….… 81

27. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik antara Variabel Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pengetahuan, Kepercayaan, Peran Keluarga, Peran Petugas,Lama Minum Obat dan Reaksi Kusta, dengan Kepatuhan Minum Obat di Kabupaten Asahan

Tahun 2007……….……….… 82

28. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik antara Variabel Jenis Kelamin, Pendidikan, Pengetahuan, Kepercayaan, Peran

Keluarga, Peran Petugas, Lama Minum Obat, dan Reaksi Kusta, dengan Kepatuhan Minum Obat di Kabupaten

Asahan Tahun 2007…………..………. 82

29. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik antara Variabel Jenis Kelamin, Pendidikan, Kepercayaan, Peran Keluarga, Peran Petugas, Lama Minum Obat, dan Reaksi Kusta, dengan

Kepatuhan Minum Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007…… 83

30. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik antara Variabel Jenis Kelamin, Pendidikan, Kepercayaan, Peran Keluarga, Peran Petugas, dan Reaksi Kusta, dengan Kepatuhan Minum

Obat di Kabupaten Asahan Tahun 2007………….………. 84

31. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik antara Variabel Jenis Kelamin, Pendidikan, Kepercayaan, Peran Petugas, Reaksi Kusta dengan Kepatuhan Minum Obat di Kabupaten

Asahan Tahun 2007……….…………... 84

32. Hasil Akhir Analisis Multivariat Regresi Logistik antara Variabel Jenis Kelamin, Pendidikan, Peran Petugas dan Reaksi Kusta,

dengan Kepatuhan Minum Obat di Kabupaten Asahan

Tahun 2007……….. 85

(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Mata Rantai Penularan Penyakit Kusta ……… 25

2. Landasan Teori………..… 48

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Jadwal Pelaksanaan penelitian………... 107

2. Kuesioner Penelitian……….. 108

3. Uji Validitas dan Reliabilitas……… 112

4. Hasil Univariat dari Variabel Independent dan Dependent….. 117

5. Hasil Bivariat dengan Uji Chisquare………. 120

6. Hasil Bivariat untuk Penentuan Multivariat…………... 133

7. Hasil Multivariat dengan uji Regresi Logistik ……… 146

8. Master Data Uji Validitas dan Reliabilitas... 153

9. Master Data Penelitian………. 155

10. Surat Permohonan Izin Penelitian……….. 158

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Arah pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah bagian

integral dari pembangunan nasional. Konsep pembangunan nasional harus

berwawasan kesehatan yang telah memperhitungkan dengan seksama berbagai

dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan masyarakat. Pembangunan

kesehatan diselenggarakan dengan memberikan prioritas kepada upaya peningkatan

kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan dan pemulihan kesehatan masyarakat

(Rachmat 2004).

Salah satu program yang ditetapkan untuk mencapai tujuan dan sasaran

pembangunan di bidang kesehatan adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit

menular. Penyakit menular yang masih menimbulkan masalah kesehatan masyarakat

adalah penyakit kusta. Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang

disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) dan menyerang saraf tepi,

kulit maupun jaringan tubuh lainnya (Haeria, 2006).

Dalam situs http://www.kbi.gemari.or.id/berita detail, Dirjen P2M PL Depkes

RI I Nyoman Kandun mengatakan masalah kusta bukan hanya masalah kesehatan

(medis) saja, tetapi juga masalah sosial ekonomi dan psikologis. Secara sosial

(21)

adanya cacat akibat penyakit kusta akan memperburuk kondisi ekonominya karena

kehilangan lapangan pekerjaan dan kehilangan kesempatan untuk bekerja. Secara

psikologis bercak dan benjolan-benjolan pada kulit penderita kusta membentuk paras

yang menakutkan. Hal ini menyebabkan penderita kusta merasa rendah diri, depresi,

menyendiri bahkan sering dikucilkan oleh keluarga maupun masyarakat sekitarnya.

Menghadapi masalah penyakit kusta tersebut, tahun 1991 organisasi kesehatan

dunia yaitu World Health Organitation (WHO) mengeluarkan resolusi program

eliminasi kusta untuk menurunkan angka kesakitan atau angka prevalens kurang dari

1 per 10.000 penduduk, sehingga penularan penyakit ini menjadi sangat rendah dan

tidak akan menjadi masalah kesehatan masyarakat (Finea, 2007).

Menurut Amiruddin dalam Harahap (2000) penderita kusta tersebar di seluruh

dunia, tetapi sejarah timbulnya penyakit kusta dan penyebarannya di dunia tidak

diketahui secara pasti, ada yang berpendapat penyakit kusta berasal dari Asia Tengah

kemudian menyebar ke Mesir, Eropah, Afrika dan Amerika.

Wilayah endemis utama penyakit kusta di dunia adalah Asia Selatan, Asia

Tenggara, Afrika Tropis dan Amerika Latin. Di Asia Tenggara terdiri dari negara

Filipina, Papua Nugini, Banglades, Myammar dan Indonesia (Chin, 2000). Tahun

2005, negara - negara yang memiliki prevalens rate di atas 1 per 10.000 penduduk

yaitu negara Afrika, Brazil dan Amerika Latin. Dan prevalens penyakit kusta di

Asia Tenggara berkurang dari 4,6 per 10.000 penduduk tahun 1996 menjadi 1,03 per

(22)

Tenggara sebanyak 514.718 kasus baru (33,28 per 100.000 penduduk) dan prevalensi

rate 2,46 per 10.000 penduduk, tahun 2004 menurun menjadi 407.791 kasus baru

(25,45 per 100.000 penduduk) dan prevalensi rate 1,90 per 10.000 penduduk dan

tahun 2005 jumlah penderita baru kusta menurun menjadi 201.635 (17,94 per

100.000 penduduk) dan prevalensi rate 1,13 per 10.000 penduduk. Di awal periode

tahun 2006-2010 diharapkan tiap tahunnya 100.000-200.000 kasus baru dan tahun

2010 diharapkan hanya sekitar 100.000 kasus baru (WHO, 2005).

WHO (2005) menjelaskan bahwa penurunan jumlah penderita kusta baru di

wilayah daerah endemis terjadi sebagian besar adalah akibat meminimalisir atau

berkurangnya faktor-faktor operasional seperti diagnosa yang salah, pendaftaran

kasus yang tidak teratur, penundaan pelaksanaan pengobatan, dan overtreatment,

selain maminimalisir faktor-faktor operasional juga disebabkan tingkat kepatuhan

pengobatan yang lebih baik, teratur dan memperbaharui register penderita kusta.

Tahun 2002, Indonesia telah mencapai eliminasi kusta dengan jumlah penderita

yang terdaftar sebanyak 19.805 kasus dan jumlah penderita yang baru 16.253 kasus

baru ( 6,75 per 100.000 penduduk) dengan angka prevalens rate 0,95 per 10.000

penduduk (Haeria, 2006). Tahun 2003 menurun jumlah penderita yang terdaftar

18.337 kasus dan 15.549 kasus baru (5,96 per 100.000 penduduk) dengan angka

prevalensi 0,81 per 10.000 (WHO, 2003). Jumlah kasus baru 15.549 orang tersebut

terdiri dari penderita kusta jenis Pauci Baciler (PB) 3.593 orang dan jenis Multi

(23)

dan 315 kabupaten/kota ) sudah mencapai eliminasi, hal ini bukan suatu kebetulan

akan tetapi didapatkan melalui usaha yang keras untuk menemukan, mengobati dan

memantau pengobatan penderita sampai dapat dinyatakan sembuh atau selesai

pengobatan (Depkes RI, 2004).

Pada tahun 2004, World Health Organization (WHO) mencatat bahwa

Indonesia memiliki penderita kusta yang terdaftar19.793 orang dengan jumlah

penderita baru 16.572 orang. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan

penderita kusta terbanyak ketiga di dunia setelah India (148.910 penderita kusta) dan

Brazil (49.384 penderita kusta) (Depkes RI, 2006). Tahun 2005 jumlah penderita

kusta yang terdaftar 21.537 penderita yang terdiri dari 18.742 penderita MB dan

2.795 penderita Pauci Baciler (PB) dengan angka prevalens rate 0,98 per10.000

penduduk (Depkes RI, 2006).

Berdasarkan Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, tahun 2004 jumlah

penderita kusta 175 orang yang selesai pengobatan 138 orang, tahun 2005 jumlah

penderita kusta 185 orang yang selesai pengobatan 147 dan tahun 2006 jumlah

penderita kusta sebanyak 194 orang yang selesai pengobatan 172 orang dan di

Sumatera Utara, jumlah penderita kusta yang termasuk 3 (tiga) besar adalah Medan

61 orang, Asahan 56 orang serta Madina 13 orang. Tahun 2006 Standar Pelayanan

Minimal Sumatera Utara penderita kusta yang sembuh atau yang teratur minum obat

(Release From Treatment ) mencapai 50% dan yang tidak teratur minum obat 50%,

(24)

Pencapaian target eliminasi kusta dan peningkatan angka kesembuhan untuk

semua Propinsi dan Kabupaten masih sangat berat dan sulit dilakukan karena :

a. Leprophobia atau ketakutan yang berlebihan pada masyarakat.

Dari zaman dulu hingga sekarang penyakit kusta masih ditakuti masyarakat,

keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya

pengetahuan atau pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang

ditimbulkannya (Depkes RI, 2005a).

b. Ketidakpatuhan minum obat pada penderita kusta.

Menurut Hardyanto dalam Saranani (2005) pengobatan yang adekuat dan

teratur minum obat akan mengurangi infeksiusitas penderita yang menular, dan

ketidakteraturan atau ketidaktaatan minum obat pada penderita kusta akan berakibat

sangat buruk bagi penderita karena akan menimbulkan resistensi terhadap

obat-obatan anti kusta.

Dalam penelitian Harjo (2000) di Kabupaten Majalengka ketidakteraturan

berobat penderita kusta sebesar 32,31% dan teratur berobat hanya sebesar 67,69%,

dari jumlah responden yang diteliti sebanyak 208 penderita kusta, terlihat ada

hubungan yang bermakna antara pengetahuan, sikap penderita, peran petugas

kesehatan, dan ketersediaan obat di puskesmas terhadap ketidakteraturan berobat

penderita kusta. Demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Masduki

(1993) di Kabupaten Kuningan Jawa Barat bahwa 83,5% responden ternyata patuh

(25)

pekerjaan, jenis kelamin, pengetahuan, persepsi dan cacat akibat penyakit kusta

terhadap kepatuhan berobat.

c. Ketiadaan dukungan keluarga dan petugas kesehatan pada penderita kusta.

Hal ini terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Fajar (2002) di Kabupaten

Gresik terhadap 100 penderita kusta, ada pengaruh sikap keluarga yang tidak

mendukung terhadap upaya untuk pengobatan teratur maupun minum obat teratur

oleh penderita kusta (http://digilib.litbang.depkes.go.id/). Dalam penelitian Harjo

(2000) ada hubungan yang bermakna antara peran petugas kesehatan terhadap

ketidakteraturan berobat penderita kusta.

Skiner dalam Notoatmodjo (2005) menyatakan determinan perilaku terdiri dari

faktor internal yakni karakteristik orang yang bersangkutan, bersifat bawaan seperti

tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan faktor eksternal yakni

lingkungan baik lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, politik dan sebagainya.

Berdasarkan teori di atas bahwa angka kesembuhan (yang teratur minum obat) pada

penderita kusta dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ada yang berasal dari dalam

diri sipenderita (faktor internal) seperti jenis kelamin, pengetahuan, kepercayaan dan

persepsi dan dari luar diri si penderita (faktor eksternal) seperti kelainan kulit, cara

mendapatkan obat, cacat, peran keluarga dan peran petugas.

Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Asahan tahun 2006 diperoleh bahwa

jumlah penderita kusta tahun 2003, sebanyak 18 orang dengan jumlah penderita yang

(26)

orang dan jumlah penderita yang sembuh 23 orang (88,46%), tahun 2005 jumlah

penderita 38 orang dengan jumlah penderita yang sembuh hanya 2 orang (5,26%) dan

tahun 2006 jumlah penderita sebanyak 56 orang, yang sembuh atau yang teratur

minum obat hanya 4 orang (7,14%).Data tersebut menunjukkan terjadi peningkatan

jumlah penderita kusta namun angka kesembuhan semakin berkurang dari target

standar pelayanan minimal untuk Kabupaten pada tahun 2010 yaitu lebih dari 90%.

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti merasa perlu untuk melakukan

penelitian tentang pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kepatuhan minum

obat pada penderita kusta di daerah Kabupaten Asahan. Dilakukan penelitian di

Kabupaten Asahan karena jumlah penderita kusta di Kabupaten Asahan terbanyak

ke dua setelah Kota Medan dan angka kesembuhannya (Release From Treatment)

masih rendah dari target standar pelayanan minimal.

1.2. Perumusan Masalah

Bagaimana pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kepatuhan minum

obat penderita kusta di Kabupaten Asahan tahun 2007.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk :

1. Mengetahui pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kepatuhan minum

obat penderita kusta di Kabupaten Asahan tahun 2007.

(27)

1.4. Hipotesis

a. Ada pengaruh umur terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten

Asahan tahun 2007.

b. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta di

Kabupaten Asahan tahun 2007.

c. Ada pengaruh pendidikan terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta di

Kabupaten Asahan tahun 2007.

d. Ada pengaruh pekerjaan terhadap kepatuhan minum obat penderita

kusta di Kabupaten Asahan tahun 2007.

e. Ada pengaruh pengetahuan terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta di

Kabupaten Asahan tahun 2007.

f. Ada pengaruh sikap terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten

Asahan tahun 2007.

g. Ada pengaruh kepercayaan terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta di

Kabupaten Asahan tahun 2007.

h. Ada pengaruh peran keluarga terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta di

Kabupaten Asahan tahun 2007.

i. Ada pengaruh peran petugas terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta di

Kabupaten Asahan tahun 2007.

j. Ada pengaruh lama minum obat terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta

(28)

k. Ada pengaruh reaksi kusta terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta di

Kabupaten Asahan tahun 2007.

l. Ada pengaruh cacat kusta terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta di

Kabupaten Asahan tahun 2007.

m. Ada pengaruh efek samping obat terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta

di Kabupaten Asahan tahun 2007.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi Pengambil Keputusan dan Pembuat Kebijaksanaan Pemda

Kabupaten Asahan dalam merencanakan program kesehatan .

2. Sebagai masukan dan informasi untuk Petugas Pelaksanan P2 Kusta di Kabupaten

Asahan.

3. Manfaat bagi akademis dan peneliti lainnya yaitu memberikan sumbangan

pemikiran untuk mencari alternatif upaya pemberantasan penyakit kusta yang

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Penyakit Kusta

Amiruddin dalam Harahap (2002) menjelaskan penyakit kusta adalah penyakit

kronik disebabkan kuman Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang

susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan

bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis.

Menurut Depkes RI (1996) penyakit kusta adalah penyakit menular yang

menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang

syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Menurut Depkes RI (2006) penyakit

kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat

kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai

masalah sosial, ekonomi, dan psikologis.

2.2. Sejarah Pemberantasan Penyakit Kusta

Penyakit kusta telah dikenal hampir 2000 tahun sebelum Masehi. Hal ini dapat

diketahui dari peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 Sebelum Masehi, di

Tiongkok 600 Sebelum Masehi dan di Mesopotamia 400 Sebelum Masehi (Depkes

RI, 2005a). Pada zaman tersebut pemberantasan penyakit kusta dilakukan dengan

mengasingkan penderita kusta secara spontan karena penderita merasa rendah diri,

(30)

Foster/Anderson (1986) sejak zaman masehi hingga masa modern penyakit kusta

masih selalu dianggap penyakit yang dikutuk, harus hidup sendiri di suatu tempat

jauh dari masyarakat yang tidak menderita kusta. Pada pertengahan abad ke 13

penderita kusta masih tetap diasingkan serta dipaksakan tinggal di perkampungan

khusus penderita kusta seumur hidup.

Dengan ditemukan Gerhard Ameur Hansen tahun 1873 kuman kusta, maka

dimulai era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha

penanggulangannya (Depkes RI, 2006). Di Indonesia, Sitanala telah mempelopori

perubahan sistem pengobatan tadinya dilakukan secara isolasi dan kemudian secara

bertahap dilakukan dengan pengobatan rawat jalan.

Perkembangan pengobatan penyakit kusta di Indonesia dilakukan pemerintah

untuk mengurangi angka kesakitan penyakit kusta adalah sebagai berikut: tahun 1951

hanya menggunakan Diamino Diphenyl Sulfone (DDS) untuk pengobatan kusta,

tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di Puskesmas, tahun

1982 Indonesia mulai menggunakan obat kombinasi Multi Drug Therapy (MDT)

sesuai rekomendasi World Health Organation (WHO) untuk tipe Multi Baciler (MB)

24 dosis dan Pauci Baciler (PB) 6 dosis, tahun 1988 pengobatan Multi Drug Therapy

(MDT) dilaksanakan seluruh Indonesia dan tahun 1997 pengobatan Multi Drug

Therapy (MDT) diberikan 12 dosis untuk tipe Multi Baciler (MB) dan 6 dosis untuk

(31)

2.3. Epidemiologi Penyakit Kusta

2.3.1. Distribusi penyakit kusta menurut tempat

Penyakit kusta menyebar di seluruh dunia mulai dari Afrika, Amerika, Asia

Tenggara, Mediterania Timur dan Pasifik Barat. Jumlah penderita kusta di dunia pada

tahun 1997 sebanyak 888.340 orang. Jumlah penderita baru kusta tahun 2005 adalah

sekitar 296.499 orang. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat pada regional

Afrika 42.814 orang, Amerika 41.780 orang dan Asia Tenggara 201.635 orang yang

di dalamnya sudah termasuk data negara Indonesia (Depkes RI, 2006). Data tersebut

[image:31.612.115.521.390.496.2]

dapat kita lihat dalam tabel dibawah ini :

Tabel 1. Situasi Kusta menurut Regional WHO Tahun 2006

Regional WHO Prevalensi

awal 2006

Kasus baru dilaporkan selama tahun 2005 Afrika 40.830 (0.59) 42.814 (5.92) Amerika 32.904 (0.36) 41.780 (4.98) Asia Tenggara 133.422 (0.81) 201.635 (12.17) Mediterran Timur 4.024 (0.09) 3.133 (0.67) Pasifik Barat 8.646 (0.05) 7.137 (0.41) Sumber : Depkes RI (2006)

Pada tahun 2002, di Indonesia, jumlah penderita kusta yang terdaftar 19.805

orang. Masih terdapat di 10 propinsi memiliki penderita kusta terbanyak diantara

propinsi lainnya yaitu Jawa Timur 4856 orang, Jawa Barat 1721 orang, Jawa Tengah

2334 orang, Sulawesi Selatan 1779 orang, Papua 1190 orang, Nanggroe Aceh

Darusalam 736 orang, Daerah Kota Istimewa Jakarta 1721 orang, Sulawesi Utara 404

orang, Maluku Utara 550 orang dan Kalimantan Selatan 473 orang, Maluku 522,

(32)

2.3.2. Distribusi penyakit kusta menurut waktu

Ada 17 negara melaporkan 1000 atau lebih kasus baru selama tahun 2005.

Sejak tahun 2002 secara global terjadi penurunan penemuan kasus baru, tetapi ada

[image:32.612.109.527.266.545.2]

juga peningkatan penemuan kasus baru, hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2. Penemuan Kasus Baru di 17 Negara yang Melaporkan 1000 atau Lebih Tahun 2002 sampai dengan 2005

Jumlah kasus baru yang ditemukan Negara

2002 2003 2004 2005

Angola 4727 2933 2109 1877

Bangladesh 9844 8712 8242 7882

Brazil 38365 49206 49384 38410

China 1646 1404 1499 1658

Demokrasi Kongo 5037 7165 11781 10737

Egypt 1318 1412 1216 1134

Ethiopia 4632 5193 4787 4698

India 473658 367143 260063 161457

Indonesia 12377 14641 16549 19695

Madagascar 5482 5104 3710 2709

Mozambique 5830 5907 4266 5371

Myanmar 5482 3808 3748 3571

Nepal 7386 8046 6958 6150

Nigeria 13830 4799 5276 5024

Philippines 5078 2397 2254 3130

Sri Lanka 2479 1925 1995 1924

United Republik of Tanzania 6497 5279 5190 4237

Total 599945 495074 389027 279664

Sumber : Depkes RI, 2006

Dari tabel di atas terlihat bahwa secara global terjadi penurunan penemuan

kasus baru pada penderita kusta, tetapi sejak tahun 2002 sampai dengan 2005 ada

beberapa negara mengalami peningkatan kasus baru yaitu seperti di Indonesia,

Demokrasi Kongo dan Philippina. Dan sebagai negara terbanyak penderita kusta

(33)

2.3.3. Distribusi penyakit kusta menurut orang

1. Distribusi menurut umur

Penyakit kusta jarang sekali ditemukan pada bayi. Angka kejadian penyakit

kusta meningkat sesuai umur dengan puncak kejadian pada umur 10-20 tahun

(Depkes RI, 2005b). Penyakit kusta dapat mengenai semua umur dan terbanyak

terjadi pada umur 15-29 tahun. Serangan pertama kali pada usia di atas 70 tahun

sangat jarang terjadi. Di Brasilia terdapat peninggian prevalensi pada usia muda,

sedangkan pada penduduk imigran prevalensi meningkat di usia lanjut (Harahap,

2000). Menurut Depkes RI (2006) kebanyakan penelitian melaporkan bahwa

distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang

berdasarkan insiden karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui.

2. Distribusi menurut jenis kelamin

Kejadian penyakit kusta pada laki-laki lebih banyak terjadi dari pada wanita,

kecuali di Afrika, wanita lebih banyak terkena penyakit kusta dari pada laki-laki

(Depkes RI, 2005b). Menurut Louhennpessy dalam Buletin Penelitian Kesehatan

(1999) bahwa perbandingan penyakit kusta pada penderita laki-laki dan perempuan

adalah 2,3 : 1,0, artinya penderita kusta pada laki-laki 2,3 kali lebih banyak

dibandingkan penderita kusta pada perempuan. Menurut Noor dalam Buletin

Penelitian Kesehatan (1999) penderita pria lebih tinggi dari wanita dengan

(34)

3. Distribusi penyakit kusta menurut ras atau etnik

Menurut Amiruddin dalam Harahap (2000) bahwa pada ras Cina, Eropa dan

Myanmar lebih rentan terhadap bentuk lepromatous dibandingkan dengan ras Afrika,

India dan Melanesia, sehingga bangsa Asia dan Bangsa Afrika lebih banyak

terjangkit penyakit kusta. Di Malaysia kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi

pada etnik cina dibandingkan etnik melayu dan India, di Indonesia lebih banyak

terjadi pada etnik Madura dan Bugis dibandingkan dengan etnik Jawa dan Melayu

(Depkes RI, 2006).

2.3.4. Faktor-faktor yang menentukan terjadinya sakit kusta

a. Penyebab

Penyebab penyakit kusta adalah kuman Mycobacterium leprae yang berbentuk

batang dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2-0,5 mic biasanya berkelompok dan

ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (Depkes RI,

1996). Di katakan bersifat tahan asam karena kuman Mycobacterium leprae

merupakan kuman erob tidak berbentuk spora, berbentuk batang yang tidak mudah

diwarnai (Jawetz dkk, 1992). Untuk mengetahui kuman tahan asam atau tidak

dengan pewarnaan teknik Ziehl - Neelsen dengan menggunakan larutan Karbol

Fuhsin, Asam Alkohol dan Metilen Blue. Cara pewarnaan adalah Karbol Fuhsin

diteteskan pada sediaan kemudian dipanaskan selama 5 menit lalu pewarna dibuang

dan ditetesi Asam Alkohol selama 1-2 detik sampai warna berubah, kemudian

(35)

diperiksa di bawah mikroskop hasil pewarnaan adalah bila kuman tahan asam, akan

berwarna merah karena mengikat larutan Karbol Fuhsin dan kuman tidak tahan asam,

berwarna biru karena mengikat larutan Metilen Blue (Zaini dan Kurniati, 1995).

b. Masa inkubasi

Masa inkubasi panyakit kusta dari mulai terpapar hingga menunjukkan gejala

klinis berkisar antara 2-5 tahun (Depkes RI, 2006), akan tetapi dapat juga mulai dari 9

bulan sampai dengan 20 tahun. Untuk kusta tuberkoloid masa inkubasinya rata-rata

4 tahun dan dua kali lebih lama untuk kuman lepromatosa (Chin, 2000).

c. Sumber penularan

Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini dianggap sebagai sumber penularan

walaupun kuman kusta dapat hidup pada Armadillo, Simpanse dan pada telapak kaki

tikus yang tidak mempunyai kelenjar Thymus (Athymic nude mouse) (Chin, 2000).

d. Cara penularan

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi Baciler kepada

orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan terjadi apabila kuman

Mycobacterium leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk

kedalam tubuh orang lain.Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian

besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran

pernapasan dan melakukan kontak kulit yang tidak utuh. Secara teoritis penularan ini

(36)

sudah minum obat sesuai dengan regimen World Health Organization (WHO) tidak

akan menjadi sumber penularan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).

e. Pejamu (tuan rumah/host)

Bila kontak dengan penderita kusta hanya sedikit yang terjangkit. Hal ini

disebabkan karena adanya imunitas. Menurut Cocrane dalam Zulkifli (1999) secara

kontak kulit hanya sedikit orang yang tertular dengan kasus kusta. Menurut Ress

dalam Zulkifli (1999) penularan dan perkembangan penyakit kusta tergantung dari

jumlah, keganasan Mycobacterium leprae dan daya tahan tubuh penderita. Kira-kira

5-15% penderita kusta menularkan Mycobacterium leprae, 95% manusia kebal

terhadap kusta dan hanya 5% yang dapat ditulari. Dari sebagian kecil ini 70% dapat

sembuh dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit. (Depkes RI, 2005a). Misalnya dari

100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa

obat, 2 orang menjadi sakit.

Seorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam salah satu dari tiga

kelompok berikut (Depkes RI, 2006):

1. Pejamu yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi merupakan kelompok terbesar

yang telah akan menjadi resisten terhadap kuman kusta.

2. Pejamu yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta, bila menderita

kusta biasanya tipe Pauci Baciler

3. Pejamu yang tidak mempuyai kekebalan terhadap kuman kusta yang merupakan

(37)

2.4. Diagnosis dan Klasifikasi

Penderita penyakit kusta menimbulkan gejala yang jelas pada stadium lanjut dan

cukup didiagnosis hanya pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan bakteriologi. Ada 3

tanda – tanda utama yang dapat menetapkan diagnosis penyakit kusta yaitu: Lesi

(kelainan) kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan

fungsi saraf, adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit. Pemeriksaan

kerokan hanya dilakukan pada kasus yang meragukan. Apabila ditemukan pada

seseorang salah satu tanda - tanda utama seperti diatas maka orang tersebut

dinyatakan menderita kusta (Depkes, 2005a).

Apabila petugas kesehatan ragu-ragu untuk menegakkan diagnosis, sebaiknya

penderita dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk terapi anti kusta Multi Drug Therapy

(MDT) agar tidak menjadi sumber penularan, selain menghindari kemungkinan cacat

menjadi besar. Namun bila petugas ragu dan sulit merujuk ke rumah sakit karena

alasan jauh maka orang tersebut dianggap sebagai suspek. Tanda-tanda tersangka

kusta tidak dapat digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta. Tanda-tanda

pada kulit tersangka penderita kusta adalah sebagai berikut: Bercak/kelainan kulit

yang merah atau putih di bagian tubuh, kulit mengkilap, bercak yang tidak gatal,

adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut, lepuh tidak

nyeri dan tanda-tanda pada saraf adalah sebagai berikut: rasa kesemutan,

tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka, gangguan gerak anggota badan atau

(38)

Seseorang yang telah didiagnosis menderita kusta selanjutnya akan ditentukan

tipe/klasifikasi penyakit kusta. Tujuan klasifikasi penyakit kusta adalah untuk

menentukan jenis, lamanya pengobatan, waktu penderita dinyatakan sembuh dan

perencanaan logistik. Menurut Soebono dan Suhariyanto dalam Djuanda dkk (1997)

klasifikasi pada penyakit kusta terdiri dari klasifikasi Madrid (klasifikasi

Internasional) dibuat tahun 1953 terdiri dari :

a. Indeterminate (I)

b. Tuberkuloid (T)

c. Borderline (B)

d. Lepromatosa (L)

Klasifikasi Ridley dan Jopling dibuat tahun 1962 terdiri dari :

a. Tuberkuloid tuberkuloid (TT)

b. Borderline tuberculoid (BT)

c. Borderline borderline (BB)

d. Borderline lepromatous (BL)

e. Lepromatosa lepromatosa (LL)

dan tahun 1981 World Health Organization (WHO) mengklasifikasi penyakit kusta

yang disebut klasifikasi WHO terdiri dari Pauci Baciler (PB) dan Multi Baciler (MB)

Menurut Depkes RI (2005a) pada tahun 1982 jenis klasifikasi World Health

Organization (WHO) yang dipakai oleh petugas kesehatan di seluruh Indonesia untuk

(39)

menentukan penyakit kusta tersebut menurut klasifikasi World Health Organization

yaitu :

A. Paucibacillary (PB)

Kelainan kulit dan hasil pemeriksaan :

1. Bercak (makula) mati rasa

a. Ukuran kecil dan besar

b. Distibusi unilateral atau bilateral asimetis

c. Konsistensi kering dan kasar

d. Batas tegas

e. Kehilangan rasa pada bercak : selalu ada dan jelas

f. Kehilangan kemampuan berkeringat, bulu rontok, bercak selalu ada dan jelas

2. Infiltrat

a.Kulit

b.Membrana mukosa (hidung tersumbat, pendarahan di hidung)

3. Ciri-ciri : central healing penyembuhan ditengah

4. Tidak ada Nodulus

5. Deformitas terjadi dini

6. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi (Gangguan fungsi ,mati

rasa atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan):

hanya satu saraf

(40)

B. Multibacillary (MB)

1. Bercak (makula) mati rasa

a. Ukuran kecil - kecil

b. Distibusi bilateral asimetis

c. Konsistensi haus dan berkeringat

d. Batas kurang tegas

e. Kehilangan rasa pada bercak : biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi sudah lanjut

f. Kehilangan kemampuan berkeringat, bulu rontok pada bercak : Biasanya tidak

jelas, jika ada, terjadi yang sudah lanjut

2. Infiltrat

a. Kulit : ada, ada kadang-kadang tidak ada

b. Membrana mukosa (hidung tersumbat, pendarahan di hidung) : ada,

kadang-kadang ada

3. Ciri-ciri : Punched out lesion ( lesi bentuk seperti donat), Madarosis, Gine

komasti, hidung pelana, suara sengau

4. Kadang-kadang ada Nodulus

5. Deformitas biasanya simetris

6. Penebalan saraf tepi disertai dengan gangguan fungsi (Gangguan fungsi ,mati rasa

atau kelemahan otot dipersarafi oleh saraf bersangkutan): lebih dari satu saraf

(41)

2.5. Pencegahan Penyakit Kusta

2.5.1. Pencegahan primer

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :

a. Penyuluhan kesehatan

Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena

penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan

penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan

memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan

tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan

kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara,

meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan

penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat

(Depkes RI, 2005a)

b. Pemberian imunisasi

Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta

seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun

1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan

perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat

memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan

ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara

(42)

2.5.2. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :

a. Pengobatan pada penderita kusta

Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan,

menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah

bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug

therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut

merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).

2.5.3. Pencegahan tertier

a. Pencegahan cacat kusta

Pencegahan tertier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita.

Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :

i. Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita

sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penanganan reaksi untuk

mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.

ii. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk

mencegah luka dan perawatan mata, tangan atau kaki yang sudah

mengalami gangguan fungsi saraf.

b. Rehabilitasi kusta

Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi

(43)

secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai

dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat

secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan

integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang

lebih baik (Depkes RI, 2006)

Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi:

i. Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk

mencegah terjadinya kontraktur

ii. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar

tidak mendapat tekanan yang berlebihan

iii. Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi

iv. Terapi okupsi ( kegiatan hidup sehari-hari ) dilakukan bila gerakan normal

terbatas pada tangan

v. Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat

Tujuan pencegahan penyakit kusta adalah merupakan upaya pemutusan mata

rantai penularan penyakit kusta. Berikut ini adalah mata rantai penularan penyakit

(44)

Kuman Penyebab M. leprae

Tuan rumah Sumber PENGOBATAN yang kekebalan penularan

VAKSINASI kurang penderita kusta

Cara masuk : Cara keluar : saluran napas saluran napas

Cara penularan utama Saluran Napas (Droplet)

ISOLASI

MDT Masih dalam

Pengembangan

Tidak dianjurkan

Gambar 2.1. Mata Rantai Penularan Penyakit Kusta

2.6. Pengobatan Penderita

Setelah menegakkan diagnosa dan ternyata seseorang menderita kusta segera

diberikan pengobatan dengan kombinasi Multi Drug Therapy (MDT) secara gratis

dan dicatat oleh petugas dalam kartu penderita. Memberikan penderita dosis pertama

di puskesmas dan menganjurkan ambil obat secara teratur di puskesmas. Kemasan

blister obat kombinasi atau Multi Drug Ttherapy (MDT) adalah gratis, disimpan

ditempat yang kering, aman, teduh dan jauh dari jangkauan anak-anak. Selama

(45)

dirumah, pergi kesekolah, bekerja, bermain, menikah, mempunyai anak serta dalam

acara-acara sosial (Depkes RI, 2000).

Tujuan pengobatan penderita untuk memutuskan mata rantai penularan,

menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya cacat. Penderita yang

sudah cacat permanen, pegobatan yang dilakukan hanya mencegah cacat lebih lanjut.

Penderita kusta yang tidak meminum obat secara teratur maka kuman kusta dapat

aktif kembali dan menimbulkan gejala-gejala baru yang memperburuk keadaan

penderita. Pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur minum obat agar tidak

timbul cacat yang baru.

Sejak tahun 1982 Indonesia memberikan pengobatan secara gratis pada

penderita kusta dengan kombinasi Multi Drug Therapy (MDT) yaitu kombinasi

Dapsone atau DDS (Diamino Diphenyl Sulfone), Lamprene atau Clofazimine dan

Rifampisin. Keuntungan Multi Drug Therapy (MDT) adalah: mengubah konsep dari

terapi panjang yang hanya mencegah perluasan penyakit ke terapi pendek yang

menyembuhkan penyakit, mencegah resistensi obat, meningkatkan ketaatan berobat

dari 50% ke 95%, mencegah deformitas secara lebih efisien dan menurunkan jumlah

kasus-kasus setiap tahunnya. Pengobatan pada penderita Pauci Baciler (PB) lesi 1

[image:45.612.114.528.638.683.2]

diberikan dosis tunggal ROM ( Rifampisin Ofloxacin Minocylin).

Tabel 3. Dosis Obat Tipe PB 1 : Lesi 1

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa 50-70 kg 600mg 400mg 100mg

Anak 5-14 tahun 300 mg 200mg 50mg

(46)

Obat yang diberikan pada penderita Tipe PB 1 Lesi 1 langsung di telan di depan

petugas dan apabila obat tersebut tidak ada maka sementara diobati dengan dosis obat

Pauci Baciler 2-5. Untuk tipe Pauci Baciler (PB) lesi 2-5, pada dewasa pengobatan

bulanan, hari pertama diminum di depan petugas 2 kapsul Rifampisin 600 mg dan 1

tablet Dapsone 100 mg, pengobatan harian hari ke 2- 28, 1 tablet Dapsone 100 mg 1

blister untuk 1 bulan dan diminum sebanyak 6 blister (Depkes RI, 2005a).

Untuk tipe Multi Baciler (MB) pada dewasa pengobatan bulanan, hari pertama

dosis diminum di depan petugas 2 kapsul Rifampisin 600 mg, 3 tablet Lampren 300

mg dan 1 tablet Dapsone 100 mg, pengobatan harian yang ke 2-28 hari 1 tablet

Lamprene 50 mg, 1 tablet dapsone 100 mg. Satu blister untuk 1 bulan dan diminum

sebanyak 12 blister.Untuk anak dibawah usia 10 tahun obat diberikan berdasarkan

berat badan dengan dosis sebagai berikut : Rifampisin 10-15 mg/kg BB, Dapsone 1-2

mg/Kg BB dan Clofazimin 1 mg/Kg BB (Depkes RI, 2005a).

2.6.1. Release from treatment

Penderita Kusta tipe Pauci Baciler (PB) dan Multi Baciler (MB) setelah

menyelesaikan pengobatan sesuai dengan aturan maka dinyatakan Release From

Treatment (RFT) tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium yang artinya dianggap

sudah sembuh. Petugas harus memberikan keterangan tentang arti dan maksud

Release From Treatment (RFT) kepada penderita bahwa tipe Pauci Baciler (PB)

pengobatan 6 dosis selesai dalam waktu 6-9 bulan langsung dinyatakan sembuh untuk

(47)

dinyatakan sembuh (Release From Treatment). Walaupun sudah sembuh petugas

tetap meyakinkan penderita bahwa bercak yang ada akan berangsur hilang dan

menjelaskan cara mencegah terjadinya luka jika terjadi kecacatan yaitu dengan

memelihara tangan dan kaki dengan baik dan bila penderita melihat bercak kulit yang

baru atau tanda-tanda baru mereka harus datang kembali kontrol atau pemeriksaan

ulang ke puskesmas.

2.7. Program Pemberantasan Penyakit Kusta

Program penyakit kusta mempunyai tujuan memutuskan rantai penularan untuk

menurunkan insidensi penyakit, mengobati, menyembuhkan penderita dan mencegah

timbulnya cacat. Program tersebut memiliki tujuan jangka panjang dan jangka

pendek. Tujuan jangka panjang adalah untuk menurunkan transmisi penyakit kusta

pada tingkat tertentu sehingga tidak menjadi masalah kesehatan, mencegah kecacatan

melalui pengobatan dan perawatan yang benar, memberikan pelayanan

rehabilitasi.Tujuan jangka pendek adalah mengintensifkan penemuan dan diagnosis

penderita kusta di daerah endemik tinggi dan endemik rendah, mengembangkan

puskesmas dengan perawatan cacat dengan dukungan sistem rujukan ke rumah sakit

umum dan rumah sakit khusus yang membutuhkan rehabilitasi medis, melaksanakan

pengelolaan program pengendalian kusta sesuai dengan endemisitas daerah,

menurunkan proporsi anak dan kecacatan tingkat 2 di antara penderita baru menjadi

kurang 5%, mencapai angka kesembuhan lebih dari 90% dan menurunkan proporsi

(48)

Target yang diharapkan dalam program pemberantasan penyakit menular adalah

tercapainya eliminasi kusta (Depkes RI, 2005b). Kebijakan program pemberantasan

kusta adalah pemberian obat kusta secara gratis, pengobatan kusta mengikuti

rekomendasi Word Health Organization, penderita kusta tidak diisolasi, dan program

pemberantasan penyakit kusta diintegrasikan dalam kegiatan pelayanan kesehatan

dasar di puskesmas.

Strategi program pemberantasan penyakit kusta ditujukan pada daerah endemik

tinggi dengan jumlah prevalensi rate > 1 per 10.000 penduduk dan daerah endemik

rendah dengan jumlah prevalens rate < 1 per 10.000 penduduk dengan melakukan

kegiatan perencanaan kesehatan terpadu, penyuluhan intensif, penemuan kasus,

pengembangan kemitraan yang intensif, memberikan pelayanan

rutin dengan perhatian khusus di daerah fokus, merujuk dan mendeteksi suspek

penderita kusta (Depkes RI, 2005b).

Kegiatan program pemberantasan penyakit kusta adalah penemuan

penderita,diagnosis dan klasifikasi, pengobatan, pencegahan cacat, rehabilitasi,

perencanaan, pelatihan, penyuluhan, supervisi, pencatatan dan pelaporan,

pemeriksaan laboratorium, monitoring dan evaluasi serta pengelolaan logistik

(Depkes RI, 2005a).

2.8. Konsep Prilaku

Prilaku adalah aksi dari individu terhadap reaksi hubungan dengan

(49)

dengan prilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas manusia sendiri seperti

berbicara, menangis, tertawa, bekerja dan lain sebagainya (Machfoedz dan Suryani,

2006). Menurut Notoatmodjo (2005) dari aspek biologis prilaku adalah suatu

kegiatan atau aktivitas organisme atau mahkluk hidup yang bersangkutan. Aktivitas

yang dimaksud terdiri dari dua yaitu aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain

yaitu berjalan, bernyanyi, tertawa dan sebagainya. Aktivitas yang tidak dapat diamati

oleh orang lain adalah berpikir, berfantasi, dan bersikap.

2.8.1. Persepsi masyarakat tentang sehat dan sakit

Pendapat masyarakat tentang tubuh sehat dan sakit sifatnya tidak selalu objektif,

bahkan selalu dipengaruhi oleh pengalaman terdahulu dan sosial budaya. Sebaliknya

petugas kesehatan berusaha menerapkan kriteria yang objektif berdasarkan gejala

yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik seseorang (Sarwono, 1997).

Sehat adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat dirasakan dan

diamati keadaannya, misalnya orang yang tidak mempunyai keluhan fisik dipandang

sebagai orang yang sehat. Sebagian masyarakat beranggapan orang gemuk adalah

orang yang sehat. Tahun 1947 WHO mendefenisikan sehat yaitu sehat adalah suatu

keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas

dari penyakit atau kelemahan. Menurut UU No.23,1992, sehat adalah keadaan

sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara

sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu

(50)

kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan. Foster/Anderson (1986)

menyatakan bahwa sakit mempunyai peranan sosial seperti memberikan kebebasan

dari tekanan hidup yang tidak dapat ditahan, untuk menutupi kegagalan yang telah

dilakukan seseorang, mendapatkan perhatian dari orang lain, supaya dapat tinggal di

rumahsakit sebagai tempat hiburan maupun istirahat, sebagai alat pengawasan sosial

dan sebagai perwujudan untuk menebus dosa.

Di dalam hubungannya dengan peranan sakit Talcott dalam Sudarti (1996)

menyatakan bahwa pasien mempunyai dua hak yaitu dibebaskan dari tanggung jawab

dan memperoleh perawatan sampai sembuh, dan mempunyai 2 kewajiban yaitu

berkewajiban berusaha agar cepat sembuh dan mencari pertolongan pada dokter agar

segera mengatasi sakitnya. Selama seseorang masih mampu melaksanakan fungsinya

seperti biasa maka orang itu masih dikatakan sehat (Sarwono, 1997)

Dari hasil penelitian Rachmalina dan Sunanti (1998) di Kabupaten Bangkalan,

masyarakat Madura menggolongkan penyakit menjadi dua golongan yaitu penyakit

yang disebabkan oleh mahluk halus (sihir) dan penyakit karena kondisi tubuh tidak

baik, penyakit yang tidak wajar disebabkan oleh mahluk halus. Menurut mereka

penyakit seperti koreng, kudis, batuk bukanlah sakit, karena dapat disembuhkan oleh

pengobat formal atau dapat diobati sendiri secara tradisional. Demikian halnya

dengan penderita kusta di Banyusangkah pada umumnya seseorang akan marah bila

dikatakan menderita kusta, karena mereka menganggap penyakit kusta adalah

(51)

turunan atau karena sihir, sehingga mereka berobat untuk penyembuhan penyakit

kusta kepada dukun. Jika keadaannya sudah parah atau stadium lanjut maka dia akan

berobat pada petugas kesehatan.

2.8.2. Prilaku kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2005) prilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang

terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan

faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit seperti lingkungan, makanan, minuman dan

pelayanan kesehatan. Prilaku kesehatan pada garis besarnya dikelompokkan menjadi

dua yaitu :

1. Prilaku orang yang sehat agar tetap sehat

2. Prilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, untuk

memperoleh kesembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya.

Menurut Becker dalam Notoatmodjo (2005) membuat klasifikasi prilaku kesehatan

menjadi tiga yaitu : Prilaku sehat, prilaku sakit dan prilaku peran orang sakit.

1. Prilaku sehat

Prilaku sehat adalah prilaku – prilaku berkaitan dengan upaya atau kegiatan

seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya, antara lain :

a. Makan dengan menu seimbang.

b. Kegiatan fisik secara teratur dan cukup.

c. Tidak merokok dan meminum minuman keras serta menggunakan narkoba.

(52)

e. Pengendalian atau manajemen stres.

f. Prilaku atau gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan

Prilaku sehat adalah perilaku yang didasarkan prinsip-prinsip kesehatan.

Terciptanya keadaan sehat sebenarnya termasuk kebutuhan dasar manusia

(Machfoedz dan Suryani, 2006).

2. Prilaku sakit

Menurut Sarwono (1997) prilaku sakit adalah bentuk tindakan yang dilakukan

oleh seseorang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan. Faktor pencetus prilaku

sakit adalah faktor persepsi dipengaruhi oleh medis dan sosial budaya, intensitas

gejala (menghilang atau terus menetap gejala), motivasi individu untuk mengatasi

gejala dan sosial psikologis yang mempengaruhi respon sakit.

Menurut Sucman dalam Sarwoto (1997) terdapat lima macam aksi dalam proses

mencari pengobatan untuk penyembuhan dari sakit :

1. Proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seseorang yang

dapat memberikan diagnosa dan pengobatan yang sesuai dengan harapan si sakit

2. Proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama,

contoh berobat ke dokter sekaligus ke sinse dan dukun.

3. Proses penundaan mencari pengobatan walau gejala penyakitnya sudah dirasakan

4. Pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau obat-obatan

dinilai tepat baginya.

(53)

Pemerintah wajib menyediakan sarana pelayanan kesehatan dan ansuransi

kesehatan bagi masyarakat. Dalam hal pelayanan kesehatan yang disediakan oleh

pemerintah belum tentu akan digunakan oleh si penderita atau masyarakat, karena

menurut teori Health Belief model oleh Rosenstock, prilaku seseorang ditentukan

oleh motif dan kepercayaan tanpa memperdulikan apakah motif dan kepercayaan

tersebut sesuai atau tidak dengan realitas atau dengan pandangan orang lain tentang

apa yang baik untuk seseorang. Meskipun berbeda dengan realitas menurut

Rosenstock pendapat subyektif inilah yang justru merupakan kunci dilakukannya

suartu tindakan kesehatan. Artinya seseorang baru akan melakukan tindakan untuk

menyembuhkan penyakitnya jika dia benar-benar merasa terancam oleh penyakit itu.

Model kepercayaan kesehatan ini memusatkan pada kesiapan seseorang untuk

menggunakan pelayanan kesehatan bergantung pada beberapa faktor yaitu

(Machfoedz dan Suryani, 2006):

1. Kepekaan seseorang terhadap penyakit.

2. Persepsi seseorang terhadap konsekwensi dari penyakit tertentu

3. Persepsi seseorang keuntungan diperoleh dari penggunaan pelayanan kesehatan.

4. Persepsi seseorang terhadap hambatan – hambatan di dalam menggunakan

pelayanan kesehatan.

3. Perilaku peran orang sakit

Orang sakit yang kondisinya lemah perlu bantuan orang lain, keluarga dan

(54)

dapat dimintakan dari dokter, perawat, petugas kesehatan lainnya, dukun dan sinse.

Untuk mencapai kesembuhan maka harus melakukan makan obat sesuai dengan

anjuran dokter, periksa laboratorium, diet makanan dan lain-lain. Penyebab

kegagalan untuk mencapai kesembuhan adalah karena lupa makan obat, jarak

pelayanan kesehatan jauh, sulit transport, pengetahuan yang rendah, tidak

mengindahkan nasehat dokter, ekonomi keluarga yang sulit, sosial budaya

masyarakat dan minimnya informasi kesehatan ( Notoatmodjo, 2005).

2.8.3. Domain prilaku

Skiner dalam Notoatmodjo (2005) mengeluarkan suatu teori yang disebut teori

S-O-R (stimulus-organisme-respons) yang mengelompokkan prilaku menjadi dua

yaitu prilaku tertutup dan prilaku terbuka. Prilaku tertutup terjadi bila respons

terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain secara jelas. Respons

tersebut masih terbatas dalam bent

Gambar

Tabel 1. Situasi Kusta menurut Regional WHO Tahun 2006
Tabel 2. Penemuan Kasus Baru di 17 Negara yang Melaporkan 1000 atau Lebih
Tabel 3. Dosis Obat Tipe PB 1 : Lesi 1
Gambar 2.2. Landasan Teori
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kinerja pengawas obat (PMO) dengan kepatuhan minum obat pada penderita kusta di Wilayah Kerja

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara locus of control dengan kepatuhan minum obat pada penderita kusta di wilayah kerja puskesmas Panaguan

Hastono, S. Analisis data kesehatan. Pendekatan holistik pada gangguan jiwa : Skizofrenia. Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kepatuhan minum obat pendertita kusta

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Ketidakteraturan Berobat penderita Kusta di kabupaten Majalengka Tahun 1998-2000, Jakarta: Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas

Penderita kusta yang tidak patuh minum obat yaitu petugas kesehatan jarang memberikan penyuluhan tentang penyakit kusta, petugas kesehatan jarang menganjurkan minum obat

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor internal dan eksternal perawatan diri pada Mantan Penderita Kusta di Rehabilitation Village Sumber Telu Unit Rehabilitas Kusta

orang dan jumlah penderita yang sembuh 23 orang (88,46%), tahun 2005 jumlah penderita 38 orang dengan jumlah penderita yang sembuh hanya 2 orang (5,26%) dan tahun 2006

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul hubungan motivasi keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat pada Penderita