• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prilaku adalah aksi dari individu terhadap reaksi hubungan dengan lingkungannya. Semua makhluk hidup mempunyai prilaku, maka yang dimaksud

dengan prilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas manusia sendiri seperti berbicara, menangis, tertawa, bekerja dan lain sebagainya (Machfoedz dan Suryani, 2006). Menurut Notoatmodjo (2005) dari aspek biologis prilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau mahkluk hidup yang bersangkutan. Aktivitas yang dimaksud terdiri dari dua yaitu aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain yaitu berjalan, bernyanyi, tertawa dan sebagainya. Aktivitas yang tidak dapat diamati oleh orang lain adalah berpikir, berfantasi, dan bersikap.

2.8.1. Persepsi masyarakat tentang sehat dan sakit

Pendapat masyarakat tentang tubuh sehat dan sakit sifatnya tidak selalu objektif, bahkan selalu dipengaruhi oleh pengalaman terdahulu dan sosial budaya. Sebaliknya petugas kesehatan berusaha menerapkan kriteria yang objektif berdasarkan gejala yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik seseorang (Sarwono, 1997).

Sehat adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat dirasakan dan diamati keadaannya, misalnya orang yang tidak mempunyai keluhan fisik dipandang sebagai orang yang sehat. Sebagian masyarakat beranggapan orang gemuk adalah orang yang sehat. Tahun 1947 WHO mendefenisikan sehat yaitu sehat adalah suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Menurut UU No.23,1992, sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya

kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan. Foster/Anderson (1986) menyatakan bahwa sakit mempunyai peranan sosial seperti memberikan kebebasan dari tekanan hidup yang tidak dapat ditahan, untuk menutupi kegagalan yang telah dilakukan seseorang, mendapatkan perhatian dari orang lain, supaya dapat tinggal di rumahsakit sebagai tempat hiburan maupun istirahat, sebagai alat pengawasan sosial dan sebagai perwujudan untuk menebus dosa.

Di dalam hubungannya dengan peranan sakit Talcott dalam Sudarti (1996) menyatakan bahwa pasien mempunyai dua hak yaitu dibebaskan dari tanggung jawab dan memperoleh perawatan sampai sembuh, dan mempunyai 2 kewajiban yaitu berkewajiban berusaha agar cepat sembuh dan mencari pertolongan pada dokter agar segera mengatasi sakitnya. Selama seseorang masih mampu melaksanakan fungsinya seperti biasa maka orang itu masih dikatakan sehat (Sarwono, 1997)

Dari hasil penelitian Rachmalina dan Sunanti (1998) di Kabupaten Bangkalan, masyarakat Madura menggolongkan penyakit menjadi dua golongan yaitu penyakit yang disebabkan oleh mahluk halus (sihir) dan penyakit karena kondisi tubuh tidak baik, penyakit yang tidak wajar disebabkan oleh mahluk halus. Menurut mereka penyakit seperti koreng, kudis, batuk bukanlah sakit, karena dapat disembuhkan oleh pengobat formal atau dapat diobati sendiri secara tradisional. Demikian halnya dengan penderita kusta di Banyusangkah pada umumnya seseorang akan marah bila dikatakan menderita kusta, karena mereka menganggap penyakit kusta adalah penyakit kulit, dan sebagian dari mereka percaya penyakit kusta adalah penyakit

turunan atau karena sihir, sehingga mereka berobat untuk penyembuhan penyakit kusta kepada dukun. Jika keadaannya sudah parah atau stadium lanjut maka dia akan berobat pada petugas kesehatan.

2.8.2. Prilaku kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2005) prilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit seperti lingkungan, makanan, minuman dan pelayanan kesehatan. Prilaku kesehatan pada garis besarnya dikelompokkan menjadi dua yaitu :

1. Prilaku orang yang sehat agar tetap sehat

2. Prilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, untuk memperoleh kesembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya. Menurut Becker dalam Notoatmodjo (2005) membuat klasifikasi prilaku kesehatan menjadi tiga yaitu : Prilaku sehat, prilaku sakit dan prilaku peran orang sakit.

1. Prilaku sehat

Prilaku sehat adalah prilaku – prilaku berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya, antara lain : a. Makan dengan menu seimbang.

b. Kegiatan fisik secara teratur dan cukup.

c. Tidak merokok dan meminum minuman keras serta menggunakan narkoba. d. Istirahat yang cukup.

e. Pengendalian atau manajemen stres.

f. Prilaku atau gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan

Prilaku sehat adalah perilaku yang didasarkan prinsip-prinsip kesehatan. Terciptanya keadaan sehat sebenarnya termasuk kebutuhan dasar manusia (Machfoedz dan Suryani, 2006).

2. Prilaku sakit

Menurut Sarwono (1997) prilaku sakit adalah bentuk tindakan yang dilakukan oleh seseorang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan. Faktor pencetus prilaku sakit adalah faktor persepsi dipengaruhi oleh medis dan sosial budaya, intensitas gejala (menghilang atau terus menetap gejala), motivasi individu untuk mengatasi gejala dan sosial psikologis yang mempengaruhi respon sakit.

Menurut Sucman dalam Sarwoto (1997) terdapat lima macam aksi dalam proses mencari pengobatan untuk penyembuhan dari sakit :

1. Proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seseorang yang dapat memberikan diagnosa dan pengobatan yang sesuai dengan harapan si sakit 2. Proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama,

contoh berobat ke dokter sekaligus ke sinse dan dukun.

3. Proses penundaan mencari pengobatan walau gejala penyakitnya sudah dirasakan 4. Pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau obat-obatan

dinilai tepat baginya.

Pemerintah wajib menyediakan sarana pelayanan kesehatan dan ansuransi kesehatan bagi masyarakat. Dalam hal pelayanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah belum tentu akan digunakan oleh si penderita atau masyarakat, karena menurut teori Health Belief model oleh Rosenstock, prilaku seseorang ditentukan

oleh motif dan kepercayaan tanpa memperdulikan apakah motif dan kepercayaan tersebut sesuai atau tidak dengan realitas atau dengan pandangan orang lain tentang apa yang baik untuk seseorang. Meskipun berbeda dengan realitas menurut Rosenstock pendapat subyektif inilah yang justru merupakan kunci dilakukannya suartu tindakan kesehatan. Artinya seseorang baru akan melakukan tindakan untuk menyembuhkan penyakitnya jika dia benar-benar merasa terancam oleh penyakit itu. Model kepercayaan kesehatan ini memusatkan pada kesiapan seseorang untuk menggunakan pelayanan kesehatan bergantung pada beberapa faktor yaitu (Machfoedz dan Suryani, 2006):

1. Kepekaan seseorang terhadap penyakit.

2. Persepsi seseorang terhadap konsekwensi dari penyakit tertentu

3. Persepsi seseorang keuntungan diperoleh dari penggunaan pelayanan kesehatan. 4. Persepsi seseorang terhadap hambatan – hambatan di dalam menggunakan

pelayanan kesehatan. 3. Perilaku peran orang sakit

Orang sakit yang kondisinya lemah perlu bantuan orang lain, keluarga dan lingkungannya. Jika penyakit itu membutuhkan ketrampilan khusus maka bantuan ini

dapat dimintakan dari dokter, perawat, petugas kesehatan lainnya, dukun dan sinse. Untuk mencapai kesembuhan maka harus melakukan makan obat sesuai dengan anjuran dokter, periksa laboratorium, diet makanan dan lain-lain. Penyebab kegagalan untuk mencapai kesembuhan adalah karena lupa makan obat, jarak pelayanan kesehatan jauh, sulit transport, pengetahuan yang rendah, tidak mengindahkan nasehat dokter, ekonomi keluarga yang sulit, sosial budaya masyarakat dan minimnya informasi kesehatan ( Notoatmodjo, 2005).

2.8.3. Domain prilaku

Skiner dalam Notoatmodjo (2005) mengeluarkan suatu teori yang disebut teori S-O-R (stimulus-organisme-respons) yang mengelompokkan prilaku menjadi dua yaitu prilaku tertutup dan prilaku terbuka. Prilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain secara jelas. Respons tersebut masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap. Perilaku terbuka terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan atau praktek dan dapat diamati dari luar. Meskipun prilaku adalah bentuk respon atau reaksi stimulus namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik orang yang bersangkutan, bersifat bawaan. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut diterminan prilaku. Diterminan prilaku dapat dibedakan menjadi dua, yakni :

1. Faktor internal a. Umur

Menurut La Greca dalam Smeat (1994) anak-anak mempunyai tingkat kepatuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja, meskipun anak-anak mendapatkan informasi yang kurang. Untuk penderita lanjut usia kepatuhan minum obat dapat dipengaruhi oleh daya ingat yang berkurang, ditambah lagi apabila penderita lanjut usia tinggal sendiri. Menurut Dunbar & Waszak dalam Smeat (1994) ketaatan dalam aturan pengobatan pada anak-anak, remaja dan dewasa adalah sama. Menurut Taylor dalam Smeat (1994) orang tua cenderung patuh minum obat karena mengikuti semua anjuran dokter.

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin dapat mempengaruhi penderita untuk patuh minum obat. Penderita wanita biasanya akan lebih patuh untuk minum obat karena sesuai dengan kodrat wanita yang ingin tampak kelihatan cantik dan tidak ingin ada cacat pada tubuhnya, sehingga dalam penanggulangannya penyakit kusta akan lebih patuh minum obat dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Smeat (1994) di Amerika Serikat kaum wanita cenderung mengikuti anjuran dokter, termasuk anjuran teratur minum obat demi kesembuhannya.

c. Pendidikan

Penderita dengan pendidikan rendah dan kecerdasan yang terbatas perlu penanganan yang lebih teliti dalam instruksi tatacara penggunaan obat yang betul dan

benar. Karena pendidikan yang rendah akan menganggap aturan minum obat 3x1 sama dan 1x3, sehingga obat untuk satu hari diminum sekaligus. Menurut Langevelt dalam Notoatmodjo (1993) pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak, yang tertuju kepada kedewasaan yaitu kedewasaan jasmani dan rohani. Menurut Notoatmodjo (1993) pendidikan tersebut menuju kepada suatu perubahan yaitu mengubah perilaku kearah yang diinginkan, maka tujuan pendidikan kesehatan mengubah perilaku dari yang merugikan atau tidak sesuai dengan norma kesehatan ke arah tingkah laku yang menguntungkan kesehatan atau norma yang sesuai dengan kesehatan. Menurut penelitian Fajar (2002) di Kabupaten Gresik bahwa pendidikan tidak mempengaruhi keteraturan berobat pada penderita kusta (http://digilib.litbang.depkes.go.id/). Tetapi menurut penelitian Masduki (1993) di Kabupaten Kuningan pendidikan mempunyai hubungan terhadap kepatuhan minum obat pada penderita kusta.

d. Pekerjaan

Penderita penyakit kusta yang bekerja seperti biasa akan termotivasi untuk lebih patuh minum obat demi kesembuhannya bila dibandingkan dengan penderita yang tidak bekerja, karena pekerjaannya adalah sumber mata pencahariannya, sumber untuk memberikan nafkah dan berguna bagi keluarganya walaupun kondisi tubuh menderita penyakit kusta, tetap bekerja. Hasil penelitian Masduki (1993) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat bahwa pekerjaan memberikan kontribusi paling besar terhadap kepatuhan berobat atau minum obat.

e. Penghasilan

Penghasilan keluarga setiap bulannya digunakan untuk membiayai keluarga sehari-hari. Adanya berbagai keresahan dibidang sosio ekonomi keluarga, khususnya masyarakat yang pendapatannya kecil. Dengan penghasilan yang kecil, mengeluarkan biaya untuk ongkos terasa berat bagi masyarakat datang ke pelayanan kesehatan atau puskesmas, dengan tidak datangnya mereka ke puskesmas membuat penderita tidak akan teratur meminum obat. Dari hasil penelitian Fajar (2002) di Kabupaten Gresik terhadap 100 penderita kusta, ada pengaruh penghasilan rendah terhadap pengobatan teratur (http://digilib.litbang.depkes.go.id/).

f. Pengetahuan

Definisi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2005) adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya.Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Teori L.W. Green dalam Notoatmojo (1993), menyatakan bahwa pengetahuan merupakan faktor awal dari suatu perilaku yang diharapkan dan pada umumnya berkorelasi positif dengan perilaku. Menurut Azwar (2007) fungsi pengetahuan mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Menurut penelitian Masduki (1993) di Kabupaten Kuningan Jawa Barat pengetahuan mempunyai hubungan terhadap kepatuhan berobat

pada penderita kusta. Apabila penderita kusta memiliki pengetahuan yang baik dan memadai tentang penyakit kusta, cara pengobatannnya, jenis obat,cara memakan obat tersebut dan akibat bila tidak patuh meminum obat yang akan berakibat buruk terhadap dirinya akan mampu mengimplementasikannya di dalam kehidupannya sehari-hari maka diharapkan angka kesembuhan pada penderita kusta meningkat. Rendahnya pengetahuan tentang kusta dan masih kuatnya stigma terhadap penyakit kusta sangat berpengaruh terhadap ketaatan penderita untuk minum obat.

g. Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang, tidak senang, setuju dan tidak setuju, baik dan tidak baik). Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2005) sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Menurut Thustone dan Likert dalam Azwar (2007) sikap adalah suatu bentuk evalusi, reaksi perasaan yang mendukung, memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut. Menurut Taylor dalam Azwar (2007) ketaatan penderita minum obat sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya apakah pasien mengikuti apa yang dianjurkan oleh petugas untuk dilaksanakan guna mencapai kesembuhan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fajar (2002) di Kabupaten Gresik pada penderita kusta, ada pengaruh sikap penderita terhadap pengobatan dini dan upaya pengobatan teratur oleh penderita kusta. (http://digilib.litbang.depkes.go.id/ ).

h. Kepercayaan

Kepercayaan adalah sikap untuk menerima suatu pernyataan atau pendirian, tanpa menunjukkan sikap pro atau anti. Menurut Krech dkk dalam Sarwono (1997) kepercayaan dapat tumbuh jika orang berulang-ulang kali mendapat informasi yang sama. Dari hasil penelitian Oesman (1993) di Tangerang secara statistik bahwa ada pengaruh kepercayaan penderita kusta terhadap keteraturan minum obat (http://digilib.litbang.depkes.go.id/). Dari hasil penelitian kualitatif oleh Rachmalia dan Sunanti (1999) di Kabupaten Bangkalan kepada penderita kusta mengatakan mereka terpaksa berobat ke petugas kesehatan karena malu akan penyakitnya dan keluarga mereka percaya bahwa penyakit kusta itu disebabkan guna-guna, penyakit kutukan dan sihir, sehingga setelah penyakit parah terpaksa mereka berobat kepada petugas kesehatan.

2. Faktor eksternal a. Peran keluarga

Keluarga merupakan sebagai lembaga sosial yang mempunyai fungsi tradisional keluarga seperti fungsi sosial ekonomi, karena sebagian hasil kerja yang dilakukan di dalam atau di luar rumah dikelola dalam keluarga, yang ditunjukkan dengan adanya pembentukan kerabat, keturunan dan hubungan sosial melalui keluarga dan fungsi proses pendidikan termasuk di dalamnya penanaman nilai dan ideologi kepada anggota keluarga, oleh karena itu penangan yang baik terhadap persoalan-persoalan keluarga akan memberikan kontribusi yang positif bagi upaya kesehatan para

anggotanya (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005). Orang-orang yang mendapat perhatian dan penghiburan maupun pertolongan dari keluarganya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis, karenanya peranan keluarga sangat besar bagi penderita dalam mendukung perilaku atau tindakan dalam memamfaatkan pelayanan kesehatan. Menurut hasil penelitian Rachmalina dan Sunanti (1999) di Kabupaten Bangkalan peran anggota keluarga membantu penderita kusta teratur minum obat. b. Peran petugas kesehatan

Pelayanan yang baik dari petugas kesehatan dapat menyebabkan berperilaku positip. Perilaku petugas yang ramah dan segera mengobati pasien tanpa menunggu lama-lama serta dan mengambil obat diperiksa dokter terlebih dahulu, maka penderita merasa dihargai datang ke puskesmas, penderita diberi penjelasan tentang obat yang diberikan dan pentingnya makan obat yang teratur. Kebanyakan orang hanya kadang-kadang datang ke tenaga kesehatan, karena hampir semua orang mempunyai keluhan yang menakutkan tentang kunjungan pada petugas kesehatan (Smet,1994).

Dari hasil penelitian Rachmalina dan Sunanti (1999) di Kabupaten Bangkalan peran petugas kesehatan sangat berpengaruh terhadap ketaatan penderita untuk berobat. Menurut Zulaicha dalam Smet (1994) di Indonesia kualitas interaksi antara petugas kesehatan terutama dokter dan penderita berbeda-beda berdasarkan tingkat pendidikannya, karena si petugas harus memberikan informasi dengan kalimat atau kata-kata sesuai dengan tingkat pendidikan pasiennya.

Dari hasil penelitian Masduki (1993) di Kabupaten Kuningan bahwa peran petugas mempunyai hubungan yang bermakna terhadap ketidakteraturan berobat pada penderita kusta. Menurut Depkes RI (2000) Penderita sering terputus pengobatannya karena keterbatasan obat di puskesmas, pelayanan puskesmas yang buruk dan tidak ada petugas dipuskesmas ketika datang mengambil obat dengan memperhatikan besarnya masalah kusta yang dapat menimbulkan penularan pada masyarakat, perlunya penderita untuk berobat, pencegahan kecacatan dan keteraturan minum obat maka kegiatan penyuluhan kesehatan yang diberikan oleh petugas merupakan komponen sangat penting perlu dilanjutkan, dikembangkan, dan ditingkatkan perannya dalam pemberantasan penyakit kusta.

c. Lama minum obat

Pengobatan untuk kusta type Multi Baciler diberikan secara teratur dalam

waktu 12-18 bulan dan sedapat mungkin sampai pemeriksaan bakteri negatif. Jika pegobatan tidak teratur maka 12 bulan regimen bulanan Multi Drug Therapy harus

diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan dengan syarat pemeriksaan bakteri negatif. Pengobatan untuk type Paucy Baciler diberikan secara teratur tanpa berhenti

dalam waktu 6 bulan. Jika tidak teratur minum obat selama 6 bulan maka harus

diselesaikan dalam waktu maksimal 9 bulan (Depkes RI, 2005b).

d. Reaksi kusta

Reaksi kusta dapat terjadi pada penderita sebelum mendapatkan pengobatan pada saat pengobatan maupun sesudah pengobatan, namun sering terjadi pada 6 bulan

sampai setahun sesudah mulai pengobatan. Menurut Depkes RI ( 2000) reaksi kusta adalah bukan dari efek samping obat Multi Drug Therapy (MDT). Reaksi adalah

respon tubuh terhadap penyakit kusta dan tidak berarti penyakit menjadi bertambah buruk atau bukan berarti pengobatan tidak berhasil. Menurut Depkes RI (2005a) Jenis reaksi kusta menurut proses terjadinya dibedakan atas 2 tipe yaitu reaksi tipe I dan II. Menurut Guinto dkk (2000) gejala-gejala reaksi tipe I adalah perubahan bercak kulit, nyeri tekan pada syaraf tepi, gangguan fungsi syaraf tepi, kadang ada gangguan umum, dan gejala reaksi tipe II adalah nodul yang nyeri tekan dan ada yang sampai pecah, nyeri tekan dan gangguan fungsi syaraf tepi dan bisa terjadi gangguan pada organ tubuh. Reaksi tipe I terjadi pada penderita tipe Pauci Baciler dan Multi Baciler

pada 6 bulan pertama pengobatan.

Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 6-12 minggu atau lebih. Pada reaksi tipe II terjadi pada penderita Multi Baciler, biasanya berlangsung selama 3 minggu

atau lebih, kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama. (Menaldi, 2001). Dari hasil penelitian Pagolori (2002) di Kabupaten Gowa ditemukan bahwa tipe kusta dan teratur minum obat adalah faktor resiko kejadian reaksi kusta (http://digilib.litbang.depkes.go.id/). Disarankannya disiplin minum obat untuk mencegah reaksi kusta lebih berat.

e. Cacat kusta

Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki, dan yang mana semua cacat tersebut dapat dicegah. Menurut Word Health

Organization (WHO) dalam Depkes RI (2006) membagi tingkat cacat kusta sebagai

berikut : 0 jika mata, tangan atau kaki tetap utuh maka dinyatakan tingkat cacat 0, 1 Jika ada cacat pada mata, tangan atau kaki akibat kerusakan saraf tetapi cacat itu tidak kelihatan maka dinyatakan tingkat cacat 1 dan 2 kalau ada cacat akibat kerusakan saraf dan cacat itu kelihatan (borok luka, lunglai, pemendekan, mata tidak dapat menutup erat, luka pada kornea) maka diberi tingkat cacat 2.

Dari hasil penelitian Hasnani ( 2002) di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam menunjukan bahwa kejadian tingkat cacat 2 berhubungan dengan umur, lama sakit, status imunisasi BCG, riwayat keteraturan berobat dan tipe penyakit (http://digilib.litbang.depkes.go.id/). Disarankannya agar petugas lebih aktif meningkatkan penemuan penderita, pendekatan khusus pada tipe Multi Baciler (MB)

dengan tingkat cacat 1 dan 2 sehingga dapat memotivasi penderita untuk minum obat teratur. Dari hasil penelitian Gunadi (2000) di Rumah Sakit Tugu, Semarang terdapat hubungan yang bermakna antara kecacatan dengan keteraturan minum obat (http://digilib.litbang.depkes.go.id/).

f. Efek samping obat

Efek samping pengobatan kombinasi atau Multi Drug Therapy (MDT) yang

umum akan muncul seperti air kemih berwarna merah. Ini disebabkan zat warna dari obat Rifampicin yang diminum sebulan sekali. Dan ini berlangsung hanya beberapa

jam setelah minum obat dan tidak menimbulkan bahaya. Kulit menjadi gelap, ini adalah akibat minum obat Lamprene yang diminum setiap hari. Ini tidak berbahaya

dan akan hilang beberapa bulan setelah pengobatan lengkap, oleh karena itu penderita harus minum obat secara teratur (Depkes RI, 2000).

Alergi muncul pada beberapa penderita kusta dapat terjadi yaitu pada salah satu dari obat kombinasi. Yang paling umum terjadi adalah alergi gatal-gatal yang hebat, bintik-bintik merah/gelap pada kulit penderita. Bila ditemui alergi maka penderita dianjurkan untuk menghentikan sementara minum obat dan dirujuk ke puskemas atau rumah sakit untuk lebih dahulu mengobati alergi yang ada (Depkes RI, 2000).

g.Tersedianya obat

Kelengkapan fasilitas kesehatan yang di dapat penderita kusta salah satunya adalah tersedianya obat di puskesmas terutama stok obat kombinasi atau Multi Drug

Therapy. Menurut Depkes RI (2000) penderita sering terputus pengobatannya karena

keterbatasan obat di puskesmas. Penelitian Fajar (2002) di Kabupaten Gresik, menunjukkan tersedianya obat di puskesmas mempengaruhi ketidakteraturan berobat penderita kusta, disarankannya perlu perencanaan tahunan kebutuhan obat sesuai dengan jumlah sasaran (http://digilib.litbang.depkes.go.id/).

h. Jarak tempat tinggal ke pelayanan kesehatan

Makin jauh tempat pelayanan kesehatan, masyarakat semakin malas untuk datang ke tempat pelayanan tersebut. Disebabkan bahwa pada batas jarak tertentu orang masih mau berpergian untuk mencari dan memamfaatkan pelayanan kesehatan. Batas jarak ini pun dipengaruhi oleh jenis jalan, jenis kendaraan, waktu tempuh, berat ringannya penyakit dan kemampuan bayar transportasi. Jarak tempat tinggal

penderita kusta dengan tempat pelayanan kesehatan seperti puskesmas sering menjadi masalah kelangsungan keteraturan untuk minum obat, karena jarak yang jauh ke tempat pelayanan kesehatan berhubungan dengan waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk ongkos. Dari hasil penelitian Oesman (1991) jarak tempat tinggal penderita kusta ke tempat pelayanan kesehatan atau puskesmas mempunyai hubungan

Dokumen terkait