• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1.1. Karakteristik penderita a. Umur

Hasil uji chi-square menunjukkan persentase responden dari 21 usia tidak

produktif (< 20 tahun) 17 ( 81,0%) patuh minum obat dan dari 35 yang berumur ≥ 20 tahun (produktif) 17 (48,6%) patuh minum obat, terlihat persentase umur < 20 tahun lebih besar patuh minum obat dibanding dengan umur ≥ 20 tahun, dan secara statistik ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kepatuhan minum obat karena p value (0,034) < (0,05). Sama halnya dengan penelitian Djaiman dkk (1996) bahwa lebih banyak dijumpai penderita pada kelompok usia produktif sebanyak 84,1%, dikatannya bahwa titik berat pembangunan salah satunya pembangunan sumber daya manusia, maka penanganan penyakit kusta terutama pada usia produktif perlu mendapat penaganan yang serius.

Hasil uji chi-square penelitian di atas sama dengan penelitian Masduki (1993)

di Kabupaten Kuningan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kepatuhan minum obat. Sama halnya dengan pendapat Joenoes untuk patuh minum obat berhubungan dengan faktor individu penderita antara lain umur penderita.Hal ini sesuai juga dengan pendapat La Greca dalam Smet (1994) bahwa anak-anak dan

remaja lebih patuh minum obat dibandingkan dengan lanjut usia, karena pada usia lanjut dipengaruhi daya ingat yang berkurang dan sering tinggal dirumah hanya sendiri, sehingga tidak teratur minum obat.

Setelah dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik, ternyata tidak

ada pengaruh umur terhadap kepatuhan minum obat karena nilai p value = 0,424 < 0,05. Hal yang sama juga pada hasil penelitian Oesman (1993) di Kabupaten Tangerang bahwa tidak ada pengaruh umur terhadap keteraturan berobat.

b. Jenis kelamin

Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa persentase responden dari 18

perempuan 15 (83,3%) patuh minum obat, sedangkan 38 laki-laki 19 (50,0%) patuh minum obat, terlihat presentase perempuan lebih banyak patuh minum obat dibanding dengan laki-laki, dan secara statistik ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kepatuhan minum obat karena p value (0,036) lebih kecil dari (0,05). Hasil penelitian ini mendukung temuan penelitian Djaiman dkk (1996) penderita kusta lebih banyak pada laki-laki yaitu sebanyak 70,5% sedangkan perempuan 29,5%. Sama halnya menurut Depkes RI (2006) distribusi epidemiologi kusta menurut jenis kelamin, penderita kusta lebih banyak menyerang laki-laki dari pada perempuan. Sama juga dengan pendapat Joenoes patuh minum obat berhubungan dengan faktor individu penderita antara lain jenis kelamin penderita. Setelah dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik, ada pengaruh

Hal ini sejalan dengan teori Skiner dalam Notoatmodjo (2005) bahwa kepatuhan minum obat dipengaruhi faktor dari dalam penderita antara lain jenis kelamin. Menurut pendapat Smet (1994) kaum perempuan cenderung lebih patuh minum obat untuk kesembuhannya dibanding dengan laki-laki, karena sesuai dengan kodrat wanita untuk dapat berpenampilan menarik, karena setiap penyakit yang berakibat buruk terhadap penampilannya diupayakan untuk tidak terjadi dengan mematuhi segala anjuran teratur minum obat.

c. Pendidikan

Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa proporsi responden dari 13 yang

pendidikan tinggi 12 (92,3%) patuh minum obat sedangkan dari 43 responden pendidikan rendah 22 (51,2%) patuh minum obat, terlihat pendidikan tinggi persentase patuh minum obat lebih besar dibanding dengan responden yang pendidikan rendah dan secara statistik ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kepatuhan minum obat karena p value 0,019 < 0,05

Hasil penelitian di atas sama dengan hasil penelitian Masduki di Kabupaten Kuningan (1993) bahwa pendidikan mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kepatuhan minum obat pada penderita kusta. Sama juga pendapat Joenoes bahwa patuh minum obat berhubungan dengan faktor individu antara lain pendidikan. Setelah dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik, ternyata

pendidikan merupakan variabel yang paling dominan mempengaruhi kepatuhan minum obat karena nilai p value terendah dari variabel lain yakni 0,011 > 0,05.

Hal ini dapat terjadi karena pendidikan adalah suatu proses belajar artinya di dalam pendidikan terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut individu, kelompok atau masyarakat tidak terlepas dari kegiatan belajar. Kegiatan belajar dapat terjadi dimana , kapan dan oleh siapa saja. Seseorang dikatakan belajar apabila di dalam dirinya terjadi perubahan, dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak dapat mengerjakan menjadi dapat mengerjakan. Sama halnya dengan pendapat Notoatmodjo (1993) bahwa pendidikan akan membuat individu menuju kepada suatu perubahan yang diinginkan. Pendidikan sejalan dengan pengetahuan dimana pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan suatu objek tertentu, dan bila penderita tahu minum obat dengan teratur akan memperoleh kesembuhan, maka penderita akan patuh.

Hal ini sama dengan teori Skiner dalam Notoatmodjo (2005) bahwa kepatuhan minum obat adalah tindakan nyata yang dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri antara lain pendidikan penderita. Pendapat Smet (1994) mengatakan bahwa pendidikan yang kurang akan menyebabkan penderita tidak patuh minum obat, apalagi kalau penderita buta huruf, perlu penanganan lebih teliti untuk mengartikan instruksi tatacara penggunaan obat.

d. Pekerjaan

Hasil uji bivariat, menunjukkan bahwa dari 31 penderita kusta yang tidak bekerja 17 ( 54,8% ) patuh minum obat sedangkan dari 25 penderita yang bekerja 17

(68,0%) patuh minum obat. Hasil uji statistik dengan uji chi-square menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan kepatuhan minum obat, karena nilai p value (0,467) > 0,05. Secara persentase penderita yang bekerja lebih banyak patuh minum obat, hal ini disebabkan karena ternyata penyakitnya mempunyai pengaruh timbal balik dengan pekerjaannya tersebut maka penderita akan lebih termotivasi untuk lebih patuh berobat dibandingkan mereka yang tidak bekerja, karena pekerjaan adalah sumber mata pencahariannya.

Hasil penelitian di atas sama dengan penelitian Komariah (1998) bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan ketaatan berobat pada penderita kusta dan selanjutnya, hasil analisis multivariat variabel pekerjaan tidak termasuk dalam analisis multivariat dengan demikian tidak ada pengaruh pekerjaan terhadap kepatuhan minum obat.

5.1.2. Pengetahuan

Proporsi pengetahuan responden dari 23 yang pengetahuan baik patuh minum obat 18 (78,3%) sedangkan 33 responden yang pengetahuan kurang baik sebanyak 16 (48,5%) patuh minum obat, terlihat bahwa persentase penderita kusta yang pengetahuan baik lebih patuh minum obat dibanding dengan pederita yang pengetahuan kurang dan secara statistik ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat karena p value 0,049 < 0,05

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Masduki (1993) bahwa pengetahuan mempunyai hubungan terhadap kepatuhan minum obat pada penderita kusta. Hasil

yang sama juga ditunjukkan oleh Harjo (2000) dalam penelitiannya terhadap penderita kusta, bahwa secara statistik ada hubungan antara pengetahuan penderita kusta dengan keteraturan berobat. Hasil penelitian yang sama juga diperlihatkan oleh Nazar (1997) ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan berobat.

Pengetahuan responden adalah pengetahuan mengenai penyakit kusta yang diterima secara langsung dari petugas kesehatan sewaktu mendapat pengobatan maupun melalui media lainnya sebelum dan sewaktu berobat sehingga diharapkan dapat merubah perilaku untuk teratur berobat maupun minum obat untuk mencapai kesembuhan. Penyuluhan secara intensif secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan pengetahuan yang akhirnya akan mendorong meningkatkan keteraturan berobat maupun minum obat. Setelah dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik ternyata tidak ada pengaruh pengetahuan terhadap

kepatuhan minum obat ditunjukkan dengan nilai p value = 0,363 > 0,05 . Hal ini tdak sama dengan teori L.Green dalam Notoatmojo (2005) yang menyatakan perilaku dipengaruhi oleh faktor predisposisi (pengetahuan, sikap dan persepsi), faktor pendukung dan faktor penguat. Dan tidak sama juga dengan pendapat Notoatmodjo pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Hal ini kemungkinan disebabkan karena bias informasi dari responden dalam memberikan jawaban tentang pengetahuan.

5.1.3. Sikap

Dari hasil bivariat ditemukan bahwa 33 penderita kusta yang bersikap baik ternyata 22 (66,7%) yang patuh minum obat dan dari penderita yang bersikap kurang baik patuh minum obat sebanyak 12 (52,2%) dan secara statistik nilai p valuenya 0,415>0,05 artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan kepatuhan minum obat. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Harjo (2000) di Kabupaten Majalengka bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan ketidakteraturan berobat penderita kusta.

Setelah dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik, variabel sikap

tidak termasuk dalam analisis multivariat dengan demikian tidak ada pengaruh sikap terhadap kepatuhan minum obat. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Fajar (2002) di Kabupaten Gresik pada penderita kusta hasilnya berbeda, dimana pada penelitian tersebut ada pengaruh sikap penderita terhadap pengobatan dini dan pengobatan teratur, karena dengan pengobatan yang teratur dan patuh minum obat si penderita akan mengalami kesembuhan. Sementara menurut Taylor dalam Azwar (2007) ketaatan penderita minum obat sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilaku atau sikapnya apakah pasien mengikuti apa yang dianjurkan oleh petugas untuk dilaksanakan guna mencapai kesembuhan. Perbedaan ini terjadi seperti yang diungkapkan Thustone dan Likert bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi, reaksi yang mendukung, memihak atau tidak memihak pada objek tertentu.

5.1.4. Kepercayaan

Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa dari 38 penderita yang kepercayaan

benar 21 (55,3%) patuh minum obat sedangkan responden yang kepercayaan kurang benar 13 (72,2 %), dan secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara kepercayaan dengan kepatuhan minum obat karena p value 0,357 > 0,05. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian kualitatif Racmalia dan Sunanti (1999) di Kabupaten Bangkalan mereka percaya penyakit kusta disebabkan guna-guna, penyakit kutukan dan sihir, namun rasa ketakutan akan penyakit kusta yang mendorong mereka untuk berobat ke puskesmas agar lekas sembuh sehingga mematuhi anjuran minum obat. Setelah dilakukan analisis multivariate dengan uji regresi logistik, kepercayaan

variabel yang nilai p value = 0,101 > 0,05 artinya tidak ada pengaruh kepercayaan terhadap kepatuhan minum obat. Hasil penelitian Oesman (1993) di Tangerang memperlihatkan hasil yang berbeda, dimana kepercayaan mempengaruhi keteraturan minum obat. Adanya perbedaan hasil penelitian seperti yang dikemukakan di atas, dapat dijelaskan bahwa menurut Krech dkk dalam Sarwono (1997) kepercayaan dapat tumbuh jika orang berulang-ulang kali mendapat informasi, kemungkinan masyarakat di daerah penelitian Oesman, Racmalia dan Sunanti berulang-ulang kali memperoleh informasi tentang pentingnya minum obat kusta menyebabkan mereka percaya dan teratur minum obat dan berobat ke puskesmas agar memperoleh kesembuhan.

5.2. Faktor Eksternal

Dokumen terkait