• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proporsi responden dari 34 yang menyatakan peran keluarga berperan 25 (73,5%) patuh minum obat dan dari 22 yang menyatakan peran keluarga kurang berperan 9 (40,9%) patuh minum obat terlihat bahwa persentase responden yang menyatakan keluarga berperan lebih banyak patuh minum obat dibandingkan responden yang menyatakan peran keluarga kurang berperan. Secara statistik dengan uji chi-square ada hubungan yang bermakna dengan kepatuhan minum obat karena p

value (0,031) yang lebih kecil dari (0,05).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Racmalina dan Sunanti (1999) bahwa peran anggota keluarga membantu penderita kusta minum obat. Dan hasil penelitian Komaria (2000) juga menyatakan mereka yang sakit dalam mencari pelayanan kesehatan terlebih dahulu mendiskusikan sakitnya kepada seseorang terutama keluarga dan saudaranya, hal ini sejalan dengan pendapat Notoatmojo (1985) menyatakan sebelum individu mencari pelayanan kesehatan yang professional, biasanya lebih dahulu meminta nasehat dari keluarga dan teman. Orang yang didukung keluarga dalam melakukan sesuatu hal, cenderung akan melakukan peraturan yang telah ditentukan, begitu juga dengan pengobatan, bila di dukung keluarga akan teratur minum obat, karena selalu diingatkan untuk minum obat. Setelah dilakukan analisis multivariat, ternyata tidak ada pengaruh peran keluarga terhadap kepatuhan minum obat karena nilai p value = 0,190 > 0,05, hal ini

tidak sama dengan penelitian Fajar (2002) bahwa peran keluarga mempengaruhi pengobatan teratur pada penderita kusta dan berbeda juga dengan teori Skiner bahwa kepatuhan penderita untuk minum obat dipengaruhi peran keluarga

5.2.2. Peran Petugas

Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa dari 25 responden yang menyatakan

peran petugas kurang berperan patuh minum obat 21 (84,0%) sedangkan dari 31 responden yang menyatakan peran petugas berperan patuh minum obat 13 (41,9%) dan secara statistik ada hubungan yang bermakna antara peran petugas dengan kepatuhan minum obat karena p value (0,003) < (0,05). Terlihat dari data di atas 25 responden menyatakan petugas kesehatan kurang berperan, hal ini dapat saja terjadi karena di Kabupaten Asahan pembagian petugas kusta kurang merata di beberapa puskesmas, karena ada puskesmas yang penderita kustanya hanya satu orang namun petugas kustanya tiga orang sementara puskesmas yang memiliki 20 penderita kusta, petugas kusta hanya satu orang, karena menurut Depkes RI (2000) penderita terputus pengobatannya disamping karena keterbatasan obat di puskesmas juga pelayanan puskesmas atau tidak ada petugas dipuskemas ketika datang mengambil obat.

Setelah dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik, ternyata ada

pengaruh peran petugas terhadap kepatuhan minum obat, karena nilai p value = 0,024 < 0,05. Hasil penelitian yang sama diperlihatkan oleh Rachmalina dan Sunanti (1999) bahwa ada pengaruh peran petugas kesehatan terhadap ketaatan penderita berobat.

Menurut Joenoes (1998) seorang petugas kesehatan yang tidak komunikatif terhadap penderita akan menyebabkan penderita tidak mematuhi atau tidak menggunakan obat yang diberikan padanya. Penyuluhan yang efektif diberikan petugas kesehatan akan memberikan motivasi untuk patuh oleh penderita. Efektivitas komunikasi petugas dengan penderita akan membuat penderita patuh menggunakan obat, dengan jelas mengutarakan berapa jumlah obat sekali pakai, berapa kali sehari dan harus diteruskan berapa hari. Joenoes juga menyatakan apabila penderita tidak dapat baca tulis maka petugas kesehatan memberikan keterangan secara lisan dan berulang-ulang sehingga penderita merasa yakin atau mengerti keterangan yang

diberikan. 5.2.3. Lama minum obat

Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square menunjukkan dari 18 penderita

yang mengatakan tidak lama minum obat ternyata 15 (83,3%) patuh minum obat 3 (16,7%) tidak patuh minum obat sedangkan 38 penderita kusta yang mengatakan tidak lama minum obat hanya 19 (50,0%) patuh minum obat dan 19 (50,0%) tidak patuh minum obat. Secara statistik penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara lama minum obat dengan kepatuhan minum obat, karena nilai p value 0,036 > 0,05. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan pendapat Joenes (1998) yakni penyakit kronis membuat penderita lebih sering tidak patuh untuk minum obat karena penyakit terlalu lama untuk sembuh. Menurut Depkes RI (2006) pengobatan untuk kusta tipe Multi Baciller diberikan secara teratur dalam waktu 12-18 bulan dan pada

tipe Pauce Bacciler selama 6-9 bulan, dengan jangka waktu tersebut penderita

merasa bosan sehingga penderita kusta kemungkinan tidak patuh minum obat. Setelah dilakukan analisis multivariat, ternyata tidak ada pengaruh lama minum obat terhadap kepatuhan minum obat karena nilai p value 0,223 > 0,05 hal ini berbeda dengan pendapat Sarafino dalam Smet (1994) tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk menyembuhkan penyakit kronis dengan cara pengobatan jangka panjang sekitar 54% sedangkan ketaatan rata-rata minum obat untuk menyembuhkan penyakit akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar 78 %. Artinya penderita patuh minum obat bila jangka waktu pendek untuk minum obat.

5.2.4. Reaksi kusta

Dari analisis bivariat didapat bahwa reaksi kusta mempunyai hubungan yang bermakna karena nilai p = 0,019 < 0,05. Persentase responden yang menyatakan ada reaksi patuh minum obat sebesar 22 (51,2%) sedangkan responden yang menyatakan ada reaksi patuh minum obat 12 (92,3%) terlihat persentase responden yang menyatakan tidak ada reaksi lebih besar patuh minum obat dibanding dengan responden yang menyatakan ada reaksi dan secara statistik ada hubungan yang bermakna antara reaksi kusta dengan kepatuhan minum obat karena p value (0,019) lebih kecil dari (0,05). Dari hasil penelitian Pagolori (2002) menunjukkan hasil yang sama ada hubungan antara teratur minum obat dengan kejadian reaksi kusta. Setelah dilakukan analisis multivariat ada pengaruh reaksi kusta terhadap kepatuhan minum obat, karena nilai p value = 0,15 < 0,05. Hal ini sama dengan hasil

penelitian Oesman (1993) ada pengaruh reaksi kusta terhadap keteraturan berobat. Menurut Depkes RI (2006) reaksi kusta terjadi sebelum pengobatan terutama selama atau setelah pengobatan. Untuk mengurangi reaksi kusta setiap penderita diberikan obat penanganan reaksi dan tetap mengkomsumsi obat kusta.

5.2.5. Cacat kusta

Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa proporsi responden yang

menyatakan ada cacat patuh minum obat 26 (74,3%) sedangkan responden yang menyatakan tidak ada cacat patuh minum obat 8 (38,1%), dan secara statistik ada hubungan yang bermakna antara cacat kusta dengan kepatuhan minum obat karena p value (0,016) lebih kecil dari (0,05).

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Gunadi (2000) di rumah sakit Tugu Semarang, terdapat hubungan yang bermakna antara kecacatan dengan keteraturan minum obat. Penelitian Hasnani (2002) menunjukkan riwayat keteraturan berobat ada hubungannya dengan kejadian cacat tingkat II. Adanya kecacatan yang disebabkan oleh penyakit kusta, menyebabkan betapa takutnya seseorang kehilangan anggota geraknya, sehingga akan menyebabkan seseorang untuk patuh minum obat agar tidak terjadi cacat bertambah berat.

Hasil analisis multivariat dengan uji regresi logistik tidak ada pengaruh cacat

kusta terhadap kepatuhan minum obat karena nilai p value = 0,910 < 0,05, hal ini sama dengan hasil penelitian Masduki (1993) di Kabupaten Kuningan bahwa tidak ada pengaruh cacat terhadap kepatuhan berobat penderita kusta. Menurut Depkes RI

(2006) penyakit kusta dapat menyebabkan kecacatan, namun kerusakan pada mata, tangan maupun kaki dapat dicegah dan diobati secara dini, dan pengobatan Multi

Drug Therapy dapat membunuh kuman kusta tetapi cacat yang terlanjur terjadi tetap

ada seumur hidup dengan perawatan diri dengan rajin, cacat tidak bertambah berat. 5.2.6. Efek samping obat

Dari hasil bivariat ditemukan bahwa 13 penderita kusta yang menyatakan tidak ada efek samping obat ternyata 9 (69,20%) patuh minum obat dan dari 43 penderita yang menyatakan ada efek samping obat, 25 (58,1%) patuh minum obat Terlihat bahwa persentase yang menyatakan tidak ada efek samping obat lebih banyak patuh minum obat dibanding dengan panderita yang menyatakan ada efek samping obat, namun perbedaan ini tidak bermakna karena secara statistik tidak ada hubungan efek samping obat dengan kepatuhan minum obat karena nilai p value 0,694 > 0,05. Menurut Depkes RI (2006) pengobatan kusta menimbulkan efek samping antara lain air seni berwarna merah, perubahan warna kulit menjadi coklat ruam kulit yang gatal dan alergi. Dan akan membuat penderita kemungkinan tidak patuh minum obat. Setelah dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik variabel efek

samping obat tidak termasuk dalam analisis multivariat dengan demikian tidak ada pengaruh efek samping obat terhadap kepatuhan minum obat. Hal ini berbeda menurut Joenoes (1998) bahwa kepatuhan penderita minum obat antara lain dari faktor obat itu sendiri yakni obat yang dapat memberikan efek samping tertentu menimbulkan keragu-raguan untuk meminum obat sehingga tidak teratur minum obat

Dokumen terkait