• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FILSAFAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN

2. Dimensi-dimensi Manusia

Terdapat beberapa dimensi yang menurut Gus Dur harus diasah jika manusia ingin menjadi diri yang sesungguhnya. Dimensi-dimensi itulah yang

74 Franz Magnis Suseno, “Gus Dur: Bangsa Mana di Dunia Mempunyai Presiden seperti

Kita,” dalam Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKIS, 2000), Cet.

akan benar-benar menampilkan kesempurnaan manusia dibandingkan makhluk lainnya. Dimensi-dimensi itu ialah dimensi badani, keyakinan, moralitas, kepemilikan, kreativitas dan rasionalitasnya.

Manusia berposisi sebagai makhluk yang terdiri dari aspek materi, yaitu susunan fisik yang disebut tubuh. Aspek materi manusia merupakan suatu alat untuk merealisasikan segala apa yang ada dalam pikiran dan hati seseorang. Dengan demikian, untuk mengoptimalkan potensi ini, individu harus mampu mengembangkan persamaan hak dan derajat antarsesama manusia.75 Persamaan hak dan derajat akan melahirkan saling menghormati segala potensi manusia antarsesama yang memang harus memiliki kesempatan yang sama dalam mengembangkan segala pontensinya.

Selain dimensi materi, manusia juga mempunyai dimensi keyakinan yang memang sudah melekat dalam diri manusia. Keyakinan inilah yang memungkinkan manusia untuk mendekat dan menemukan Tuhannya. Sehingga menangkap eksistensi Tuhan itu oleh Gus Dur disebut sebagai bagian dari fitrah manusia. Hal tersebut yang menjadikan Gus Dur tidak ragu untuk mengatakan bahwa manusia dituntut memiliki landasan berupa bekal keyakinan yang kuat,76 karena hal itu merupakan bagian dari penyempurna hakikat diri manusia itu sendiri.

75

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 5. 76

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta: LKIS, 2007), Cet. Ke-2, h. 184.

Dalam tatanan alam, sebenarnya manusia mempunyai posisi yang sangat unik, yaitu keberadaannya di antara alam semesta dan Tuhan.77 Sebagai makhluk yang berkeyakinan yang merupakan bagian dari rohani, manusia mempunyai potensi untuk menangkap pesan-pesan dari Tuhan. Sebagai makhluk materi kemudian manusia menyampaikannya atau mengaplikasikannya kepada alam semesta.78 Manusia ibarat suatu jembatan yang menjadi perantara yang amat baik untuk menyatukan alam semesta dengan Tuhan.

Sehubungan dengan hal tersebut, Gus Dur menambahkan bahwa sebagian dari unsur dasar manusia ialah hakikatnya sebagai makhluk bermoral. Moral oleh Gus Dur diartikan sebagai kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan.79 Dimensi moralitas ini yang oleh Gus Dur disebut sebagai landasan keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi.80 Dimensi moral ini merupakan suatu bekal manusia dalam hidup berdampingan dengan manusia lainnya.

Konsep mengenai manusia sebagai makhluk bermoral, Gus Dur juga mengambilnya dari kandungan al-Qur’an yang banyak menyatakannya. Ayat yang menyatakan manusia sebagai makhluk yang berbangsa dan bersuku-suku merupakan salah satu yang menjelaskan tetang aspek moralitas manusia.81

77

R.A. Nicholson, Tasawuf Cinta: Studi atas Tiga Sufi: Ibn Abî Khair, Jîlî dan Ibn al-Farid, terj. Uzair Faizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 144.

78

Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 12.

79

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 6. 80

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 6. 81

Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Hujarat/49: 13 yakni “wa jaʻalnâkum syuʻûban wa qabâila litaʻârafû” (“Dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal”).

Dimensi moralitas ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain.82 Antara yang satu dengan yang lainnya terjadi hubungan timbal balik yang saling membutuhkan demi serangkaian penemuan identitasnya untuk meningkatkan kualitas hidup mereka sendiri.83 Dengan demikian, kehidupan sosial manusia membutuhkan pengakuan manusia pada eksistensi manusia yang lain. Sehingga perbedaan tiap individu harus diakui mempunyai kebebasan yang sama.

Karena mempunyai kebebasan yang sama dalam tiap individu, sehingga dibutuhkan saling menghormati antara kebebasan yang satu dengan yang lainnya. Hubungan yang baik itu akan melahirkan perkembangan segala potensi dalam dirinya. Inilah bentuk pengabdian diri manusia terhadap sesama. Menurutnya, hasrat mengabdikan diri kepada sesama merupakan suatu hal yang harus dipupuk dalam hubungannya dengan sesama.84

Syamsul Bakri dan Mudhofir mengungkapkan dengan sangat baik dalam bukunya mengenai pemikiran Gus Dur tentang manusia sebagai makhluk bermoral.

Bagi Abdurrahman Wahid, penanggulangan kemiskinan harus dilakukan dengan mendudukkan martabat manusia pada tempat yang tinggi, yaitu

82

Ibid, h. 161. 83

Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKIS, 2010), h. 90. 84

sebagai makhluk bermoral dengan hak-hak asasi dan kebutuhannya sendiri.85

Dalam kutipan di atas, dinyatakan bahwa Gus Dur memosisikan manusia sebagai makhluk yang sangat tinggi ketika manusia mampu hidup dengan sesama, dengan segala pemenuhan seluruh haknya sebagai manusia yang utuh. Jika hal tersebut tidak dicapai, manusia tidak dapat dikatakan sebagai manusia, melainkan hanyalah bayangan mengenai manusia.

Adelbert Snijders juga mengungkapkan mengenai pentingnya manusia hidup dalam suatu interaksi dengan sesama. Menurutnya, manusia tidak akan pernah menjadi manusia sampai ia hidup bersama manusia pula. Kebersamaan hidup manusia tersebut juga akan menjadikan dunia sebagai tempat yang manusiawi.86

Tetapi hidup manusia bersama dengan manusia lainnya tidaklah cukup menjadikannya sebagai makhluk yang unggul. Terdapat hal lain yang juga melengkapi keunikan manusia sebagai makhluk terbaik Tuhan, yaitu dimensi kepemilikan. Manusia menurut Gus Dur tidak bisa tidak memiliki sesuatu dalam hidupnya. Itu berarti, memiliki adalah salah satu kodrat manusia yang tak bisa dihilangkan.

Bukti mengenai hakikat manusia merupakan makhluk yang berkepimilikan ialah tidak berhasilnya konsep Plato diterapkan di mayarakat.

85

Syamsul Bakri dan Mudhofir, Jombang Kairo, Jombang Chicago: Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2004), Cet. Ke-1, h. 65.

86

Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran: Sebuah Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Galang Press, 2010), Cet. Ke-5, h. 217.

Konsep Plato tersebut menyebutkan bahwa manusia tidak diperkenankan memiliki sesuatu secara pribadi, segala sesuatu yang dimiliki sesungguhnya bukan miliknya, tetapi milik seluruh umat manusia.87 Konsep itu sudah pernah dicoba diterapkan di negara polisnya, dan dicoba dihidupkan kembali oleh Karl Marx. Tetapi sampai sekarang konsep itu tidak dapat diterapkan dengan sempurna. Hal itu terjadi karena konsep mengenai ketidak pemilikan manusia adalah bertentangan dengan hakikat manusia itu sendiri dan merupakan konsep berupa pemerkosaan terhadap kodrat manusia.

Tampaknya fitrah manusia sebagai makhluk yang memiliki dapat melahirkan semangat kepada manusia agar terus berlomba-lomba untuk memiliki sesuatu. Perlombaan itu kemudian melahirkan kemajuan pada suatu individu, dan kalau setiap individu sudah maju, maka kelompok (masyarakat) yang individu yang terdapat dalam suatu negara akan maju seiring dengan majunya tiap individu tersebut.

Tidak dapat dipungkiri pula bahwa akal merupakan salah satu potensi manusia yang sangat penting. Kinerja dari akal disebut berpikir. Maka sesungguhnya manusia merupakan makhluk yang berpikir. Melalui kinerjanya yang berpikir, akal dapat memberikan pencerahan pada manusia agar dapat membedakan antara kebaikan dengan keburukan, serta antara yang bermanfaat dan membahayakan.88

87

Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: Kompas Gramedia, 2006), h. 116.

88

Ibrahim Amini, Risalah Tasawuf: Kitab Suci para Pesuluk, terj. Ahmad Subandi dan Muhammad Ilyas (Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2001), h. 61.

Gus Dur menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk rasional, yaitu makhluk yang mempunyai kemampuan akal.89 Sebagai makhluk rasional, manusia hendaknya mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran.90 Wawasan terjauh tersebut bisa saja terus menerus mencari sisi-sisi yang paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan. Apa yang terkait dengan kemampuan akal manusia itu sebenarnya sangat terkait dengan metafisika. Hasil dari berpikir itulah yang disebut dengan konsep.

Tetapi manusia tidak hanya membutuhkan suatu konsep. Lebih dari itu, manusia membutuhkan realisasi terhadap apa yang telah dirumuskan melalui akalnya. Maka realisasi itulah yang disebut dengan berkreasi. Lebih dalam lagi Gus Dur menjelaskan bahwa kreatif mempunyai arti mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran.91 Manusia boleh mempunyai seribu konsep mengenai hidup yang sejahtera, tetapi ia tidak akan mampu bertahan hidup tanpa berkreasi, atau tanpa merealisasikan apa yang telah disusunnya.

Bahwa berkreasi atau berkarya (meminjam istilah Soerjanto Poespowardojo) sebenarnya mempunyai arti yang positif, yakni mempunyai makna yang sangat manusiawi, karena berkreasi merupakan proses

89

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 30. 90

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 11. 91

penyempurnaan manusia itu sendiri.92 Dengan demikian dalam kreativitasnya tercermin mutu dan martabat manusia.

Dokumen terkait