• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FILSAFAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN

B. Pandangan tentang Manusia secara Utuh

3. Tentang Kebebasan Manusia

Perdebatan mengenai kebebasan sudah tidak lagi menjadi kajian yang baru dalam dunia pemikiran. Tetapi tema ini akan tetap menjadi kajian yang menarik karena perdebatan mengenainya tidak pernah tuntas dan menjadi lebih menarik lagi ketika konsep tentang kebebasan tersebut dikontektualkan.

Dalam tiap perjalanan hidup manusia, akan terus menghasilkan pengalaman-pengalaman yang berbeda tiap individu. Dua orang yang berkunjung ke Burobudur, salah satunya tidak dapat menyalahkan atau membenarkan pengalaman lainnya, karena apa yang dialami dan dipikirakan tiap individu mengenai Burobudur merupakan suatu yang berbeda. Maka pemaksaan terhadap orang lain untuk menerima kebenaran mutlak pengalaman seseorang

sehingga menyalahkan pengalaman lainnya merupakan tindakan tidak rasional.143

Ulasan di atas menampilkan konsep kebebasan manusia dalam berpikir. Bahwa tiap individu mempunyai kesempatan untuk berpikir berbeda dengan orang lain yang tak bisa dapat disalahkan dan dipaksakan oleh orang lain. Dalam konsep kebebasan Gus Dur memperlihatkan pentingnya saling mengerti dan menghormati antara individu yang juga mempunyai kebebasan yang sama. Seseorang yang sudah mencapai taraf ini akan merasa bahagia dan bangga atas perbedaan yang dimilikinya dan tidak kemudian memaksakan pemikirannya kepada orang lain.

Maka kebebasan manusia menurut Gus Dur ialah kehendak manusia yang tidak dipaksa oleh segala kehendak di luar dirinya. Dalam artian, kehendaknya adalah keputusan yang dilakukan oleh diri sendiri secara sadar. Tetapi kebebasan itu tidak didasarkan pada egoisme, tetapi lebih tepat harus didasarkan pada jiwa kemanusiaan.144

Menurutnya, manusia adalah makhluk berpikir yang memiliki kebebasan menggunakan rasionya. Bahwa kemerdekaan berpikir manusia harus dijunjung tinggi karena ia adalah keniscayaan dalam Islam.145 Tetapi kemerdekaan itu tidak menjadikan manusia bebas berpikir tanpa batas. Dalam memahami kemerdekaan berpikir ala Gus Dur, kita harus melanjutkannya pada suatu titik mengenai batas-batas kemerdekaan itu.

143

Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 67. 144

Ibid, h. 307. 145

Manusia tidak akan pernah mampu berpikir sebegitu bebasnya, karena ia mempunyai banyak kekurangan-kekurangan. Manusia tak dapat berpikir dengan kemerdekaan yang sempurna kerena yang sempurna itu hanyalah Allah. Maka batasan-batas kemerdekaan manusia ialah kesempurnaan Allah.

Kebebasan berpikir ini hendaknya harus diimbangi dengan kesadaran akan kebebasan individu, bahwa setiap individu memiliki kebebasan yang sama antara yang satu dan yang lainnya. Tiap individu mempunyai peluang berpendapat yang sama, sehingga tiap individu juga berpeluang yang sama untuk berbeda pendapat mengenai hasil pemikirannya tentang suatu objek. Tetapi perbedaan itu tidak merupakan malapetaka bagi kehidupan manusia, bahkan perbedaan itu adalah rahmat.146 Tetapi dalam berpikir, manusia seharusnya berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan,147 keadilan, menghormati dan bersikap benar terhadap fakta.148

Kebebasan manusia untuk berpikir merupakan senjata utama dalam mencari solusi problematika hidup yang kemudian dilengkapi dan didukung dengan fasilitas-tasilitas lain. Segala fasilitas itu dituangkan Tuhan kepada manusia karena manusia memang disiapkan untuk menentukan nasibnya sendiri. Tuhan hanya menyediakan kehidupan itu sendiri.149

Dalam surat al-Baqarah/2: 61 difirmankan bahwa “wa dluribat ʻalaihimu al-dzillatu wa al-maskanatu wa bâ’û bi ghadlabin mina Allahi” (”dibuatkan

146 Ibid, h. 145. 147 Ibid, h. 307. 148 Ibid, h. 335. 149

bagi kaum mulimin kehinaan dan kemiskinan”). Menurut Gus Dur, ayat ini menjelaskan bahwa Islam menolak kemiskinan sebagai sesuatu yang langgeng dan tetap. Maka dari itu, manusia mempunyai kebebasan untuk tetap melestarikan kemiskinan tersebut atau merubahnya menjadi kekayaan.150 Maka Allah tidak menentukan nasib manusia, melainkan manusia sendiri yang menentukan.151

Bahkan dalam menentukan kebenaran, termasuk kebenaran suatu agama, Tuhan menyerahkannya kepada akal sehat manusia.152 Itu berarti pilihan agama bagi seseorang merupakan pilihan akal sehatnya yang merupakan bentuk kebebasannya. Hal ini menunjukkan keharusan kepada manusia untuk menghormati keputusan-keputusan seseorang dalam memilih agamanya.

Tetapi dalam tulisannya yang berjudul Kerangka Pengembangan Doktrin Ahlu al-sunnah wa al-Jamaʻah, Gus Dur membatasi kebebasan manusia pada kekuasaan Tuhan yang menurutnya tidak dapat dilawan.

Manusia diperkenankan menghendaki apa saja yang dimaunya, walaupun kehendak itu sendiri harus tunduk kepada kenyataan akan kekuasaan Allah yang tidak dapat dilawan lagi.153

Sayangnya, Gus Dur tidak melanjutkan menjelaskan konsep kuasa Tuhan atas manusia itu. Tetapi kalau melihat latar belakang Gus Dur, konsep itu sama dengan teori yang diungkapkan Asy’ariyah. Bahwa manusia mempunyai kemerdekaan kehendak tetapi atas persetujuan Tuhan.154

150

Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 215. 151

Abdurrahman, Tuhan tidak Perlu Dibela, h. 91. 152

Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 14. 153

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 35. 154

Dalam memandang hal ini, Murtadlâ Muthahharî juga berkomentar mengenai kebebasan manusia. Menurutnya, manusia bebas dari kungkungan kekuatan absolut yang menjadikannya tertekan ketakutan. Maka dari itu sesungguhnya takdir Tuhan tidak membatasi kebebasan manusia, melaikan hanya sebagai hakikat sejati.155

Artinya taqdir Tuhan merupakan keputusan mutlak dari peristiwa-peristiwa dan fenomena-fenomena. Dalam kata lain, taqdir merupakan ketetapan suatu hukum yang pasti mengenai suatu kejadian seperti hukum kausalitas. Manusia memang bebas dari pengaruh taqdir Tuhan secara langsung mengenai tindakannya dan kehendaknya, tetapi ia tidak akan pernah bebas dari hukum-hukum yang telah ditentukan tadi.

Tetapi ketetapan itu tidak menjadikan manusia terbelenggu, justru hal tersebut yang mengahruskan manusia agar memiliki kehendak bebas dan sifat yang penuh kearifan. Sedangkan kebebasan itu sendiri ialah tidak adanya berbagai rintangan dalam jalan pertumbuhan.156 Dengan demikian manusia akan mampu sepenuhnya membebaskan diri dari kepatuhan terhadap kendali lingkungan dan sosial, serta mengatur nasib mereka. Sebagaimana ia ungkapkan dalam bukunya.

Ketetapan Ilahi itu mengharuskan manusia memiliki kearifan dan kehendak bebas, agar mereka mampu sepenuhnya membebaskan diri dari kepatuhan terhadap kendala lingkungan dan sosial, serta mengatur nasib mereka.157

155

Murtadlâ, Perspektif al-Qur’an tetanng Manusia dan Agama, h. 143. 156

Murtadlâ Muthahharî, Wacana Spiritual, terj. Strio Pinandito (Jakarta: Firdaus, 1991), h. 39. 157

Ungkapan di atas juga memeberikan penulis penjelasan bahwa kebebasan manusia itu tidak hanya dipandang dari kebebasannya dari belenggu kekuatan Tuhan yang absolut itu. Tetapi juga dilihat dari aspek sosial. Bahwa manusia yang bebas adalah manusia yang tidak patuh terhadap lingkungan dan sosial yang kemudian bebas mengatur nasibnya.

Kebebasan sosial ialah kebebasan manusia dalam hubungannya dengan individu-individu lain dalam suatu masyarakat sehingga tidak menghalangi pertumbuhannya, tidak memenjarakannya untuk mencegah berbagai aktivitasnya, tidak memeras atau memperbudaknya, tidak memeras segala kekuatan fisik dan mentalnya demi berbagai kepentingannya sendiri, yang dapat pula digolongkan ke dalam beberapa jenis.158

Orang lain tidak boleh menghalangi pertumbuhannya dan tidak mempersiapkan sarana bagi kesempurnaannya dan tidak menggunakan seluruh kemampuan pemikiran dan fisiknya untuk kepentingan mereka. Satu dari tujuan diutusnya para nabi adalah memberikan kebebasan sosial kepada manusia. Yakni, menyelamatkan manusia dari tawanan dan penghambaan kepada orang lain.

Tidak hanya itu, Murtadlâ juga menjelaskan tentang kebebasan dari tekanan-tekanan internal seseorang. Dalam artian, manusia adalah makhluk yang bebas dari belenggu diri sendiri.159 Tidak berhenti di situ, ia melanjutkan lagi

158

Murtadlâ, Wacana Spiritual, h. 40. 159

dengan kalimat “dan mengikatkan diri pada keimanan dan keyakinan.160 Tampaknya mengikatkan diri pada keimanan dan keyakinan itulah yang disebut dengan kebebasan spiritual.

Kebebasan spiritual ialah kebebasan diri seseorang terhadap kebebasan sosial, kebebasan dari berbagai ikatan yang lain.161

Kecenderungan spiritual yang tertuang dalam diri manusia menjadikannya berusaha untuk terus melangkah di jalan pertumbuhan dan kesempurnaan spiritual dan tidak mengikuti kecenderungan materi saja. Itu berarti bebas dari rakus, ketamakan, syahwat, marah dan hawa nafsu dapat merealisasikan kebebasan spiritual. Orang-orang yang bebas secara hakiki di dunia ini adalah mereka yang pada awalnya telah membebaskan dirinya dari tawanan hawa nafsu.

Ia mencontohkannya pada pandangan seseorang kepada seorang wanita tetapi ia mencegah dorongan nafsu tersebut dan mematuhi kesadarannya. Orang yang demikian, Murtadlâ menyebutnya sebagai manusia bebas.162

Muthahharî menilai kebebasan spiritual sangat penting dalam kehidupan manusia, bahkan menyebutnya sebagai sarana bagi manusia untuk meraih kebebasan sosial. Dengan kata lain, manusia yang telahmencapaikebebasan spiritual, manusia yang mendapat didikan ajaran para nabi, pasti menghormati hak-hak sosial manusia lainnya. Mereka tidak akan melakukan kezaliman, berbuat yang melampaui batas dan menghianati orang lain.

160

Ibid, h. 68. 161

Murtadlâ, Wacana Spiritual, h. 54. 162

Tampaknya kedua tokoh tersebut sama-sama mengakui kebebasan manusia dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Hal tersebut tampak pada paparan di atas tentang kemampuan manusia untuk bebas. Maka menurut keduanya, manusia mampu menjadi orang berilmu atau menjadi orang bodoh sekalipun. Tetapi dalam mencapai pilihan-pilihan itu tetap membutuhkan usaha-usaha yang mengarah pada pilihan-pilihan tersebut.

Tetapi memang kalau menurut Gus Dur, kebebasan tersebut tetap dibatasi oleh kemahabebasan Tuhan. Artinya sebebas-bebasnya manusia, tetap Tuhan yang mengiyakan segala keputusan manusia. Hanya saja, usaha manusia sangat berpengaruh terhadap keputusan Tuhan, meskipun keputusan bebas Tuhan itu sendiri tidak dapat diintervensi. Sedangkan Murtadlâ menyatakan bahwa kebebasan manusia itu dibatasi oleh kepastian hukum alam. Manusia bisa menjadi orang pintar jika ia melalui proses-proses alam yang telah ditentukan Tuhan. Misalkan jika ia mempunyai otak untuk berpikir, dan berusaha untuk mengasah otak untuk menjadi orang pintar.

Dokumen terkait