• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FILSAFAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN

1. Mengenai Hakikat Manusia

Konsep tentang hakikat manusia merupakan pemikiran fundamental Gus Dur dalam memberikan apresiasi luas terhadap segala hal, baik dalam kehidupan manusia dan dalam memberikan perhatian pada kesejahteraan setiap individu. Tampaknya Gus Dur memang benar-benar memposisikan manusia pada tempat yang sebenarnya. Terbukti dalam setiap langkahnya Gus Dur selalu mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan.

Menurutnya, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mempunyai kesempurnaan keadaan yang paling tinggi dalam setiap ciptaan Tuhan. Ia adalah makhluk yang dilengkapi akal, perasaan dan keterampilan untuk mengembangkan diri. Segala kelengkapan itu tidak dimiliki makhluk lainnya.63 Demikianlah manusia lebih unggul dari makhluk lainnya.

Ditinjau dari aspek ini, sesungguhnya seluruh manusia memiliki kedudukan yang tinggi dalam tatanan kosmologi sehingga setiap individu harus memperoleh perlakuan dan hak-hak dasar yang sama.64 Karena posisi manusia yang tinggi itu menuntut pula penghargaan kepada nilai-nilai dasar kehidupan

63

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 30. 64

Samsul Bakri dan Udhofir, Jombang-Kairo, Jombang Chicago: Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2004), Cet. Ke-1, h. 49.

manusia yang sesuai dengan martabatnya. Hal itu menuntut agar manusia dipandang sebagai manusia.

Hak-hak dasar itu tidak lain ialah nilai-nilai dasar manusia. Nilai-nilai dasar manusia merupakan dimensi-dimensi kemanusiaan yang memang sudah melekat dalam diri manusia sejak lahir. Adapun dimensi-dimensi yang dimaksud ialah dimensi materi, keyakinan, moralitas, kepemilikan, kreativitas65 dan rasionalitasnya. 66

Apa yang disebutkan tadi merupakan dimensi-dimensi kemanusian yang bersifat universal, karena setiap individu pasti mempunyai dimensi-dimensi itu. Melekatnya fitrah dalam diri manusia, menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Dalam artian, fitrahnya menjadikan manusia sebagai makhluk termulia di jagat raya.

Untuk menjadi manusia seutuhnya, manusia harus memberikan ruang gerak yang cukup bagi dirinya sendiri di luar dan di dalam dirinya sendiri.67 Maka dari itu dimensi-dimensi tersebut harus dilindungi demi lahirnya kebebasan dimensi-dimensi manusia dalam rangka perkembangan hidup manusia yang optimal. Kebebasan tersebut menjadikan manusia dapat mengembangkan pemikiran dan kepribadiannya tanpa intervensi dari luar baginya.68 Jika kalau tidak demikian, manusia sebagai individu cenderung

65

Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (Depok: Desantara, 2001), Cet. Ke-2, h. 180.

66

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 8-11. 67

Ibid, h. 36

68 Wawan Kurniawan, “Menolak HAM atau Mengubah Fiqh?: Pemikiran Gus Dur tentang

Islam dan HAM,” Kajian Kebudayaan dan Demokrasi, Weltanscauung Gus Dur, Edisi. vi (Juni 2010), h. 40.

memperlakukan dirinya secara berlebihan. Akibatnya, kebebasan keakuan manusia justru akan mengganggu manusia lainnya dalam meraih hakikatnya sebagai manusia.

Kebebasan manusia bukan kebebasan tanpa batas. Tetapi kebebasan manusia yang dimaksud Gus Dur tidak lain ialah kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan manusia lainnya. Itulah yang disebut Gus Dur sebagai kebebasan yang dilandaskan pada dimensi-dimensi kemanusiaan. Hal tersebut harus tumbuh dari hati nurani manusia. Karena kesadarannya akan hakikat manusia itu sendiri merupakan hal yang sangat penting demi terciptanya saling menghargai di antara sesama manusia.69 Sartre membahasakan dengan kebebasan yang juga harus memerhatikan kebebasan orang lain, yang oleh Sartre diistilahkan dengan kata Faktisitas.70

Manusia yang mampu menerapkan penghargaan kepada sesama, pada dasarnya ia sadar bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan mulia. Ia terlahir dalam keadaan dibekali dimensi-dimensi dasar yang sangat manusiawi. Tetapi dalam kehidupannya, terkadang manusia sendiri justru melupakan dimensi-dimensi kemanusiaan tersebut. Jika manusia dapat memahami dan melaksanakan dimensi-dimensi tersebut dengan baik dalam kenyataan,

69 Abdurrahman Wahid, “Pengembangan Ahlussunah wal Jama’ah di Lingkungan Nahdlatul

Ulama”, dalam Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wa al-Jamaʻah: Sebuah Kritik Historis (Jakarta: Pustaka

Cendekia Muda, 2008), Cet. Ke-1, h. viii.

70 Lili Tjahjadi, “Ateisme Sartre: Menulak Tuhan Mengiyakan Manusia,” dalam Filsafat

sesunggunya manusia yang demikian merupakan manusia yang sempurna, manusia yang sesuai dengan hakikat dirinya sebagai manusia yang mulia.71

Kemuliaan manusia dilengkapi oleh Allah dengan firman-Nya pula dalam surat al-Tîn/95: 4, yaitu, “laqad khalaqnâ al-insâna fî aḥsani taqwîm” (“sesungguhnya telah Ku-jadikan manusia dalam bentuk kemakhlukan yang sebaik-baiknya”) dan dengan keseluruhan peranan status dan bentuk kemakhlukan itu manusia dijadikan Allah sebagai pengganti-Nya di muka bumi (khalîfatullâh fî al-ardl).72

Fitrah manusia yang diterangkan di atas merupakan anugerah dari Allah kepada manusia agar manusia mampu menjalankan tugasnya sebagai khalîfah-Nya. Kepercayaan Tuhan akan diri manusia merupakan derajat yang sangat spesial yang tidak satu pun makhluk lain mendapatkannya. Jabatan itu menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang mempunyai posisi tertinggi ke-2 setelah Tuhan.

Tuhan tidak akan pernah salah pilih dalam menentukan suatu pilihan, termasuk juga dalam memilih manusia untuk menjadi pengganti-Nya di muka bumi. Menurut Gus Dur, Tuhan memilih manusia sebagai pengganti-Nya tidak lain karena dalam penciptaannya, manusia dibekali berbagai potensi yang dimungkinkan dapat mengemban tugas berat tersebut.

Diutusnya manusia mempunyai tugas-tugas utama. Dalam suatu tulisan, Gus Dur mengatakan bahwa tugas utama manusia sebagai khalîfah tidak lain ialah untuk membawakan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana Nabi Muhammad diutus Allah untuk kesejahteraan manusia.

71

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 368-369.

Pesan-pesan yang dibawakan Islam pada umat manusia adalah sederhana saja: bertauhid, melaksanakan syariah, dan menegakkan kesejahteraan di muka bumi. Kepada kita telah diberikan contoh sempurna, yang harus kita teladani sejauh mungkin, yaitu Nabi Muhammad Saw. Hal itu dinyatakan dalam al-Qur’an surat al A zab/33: 21, yaitu “laqad kâna lakum fî rasûlillâh uswatun ḥasanah” (“telah ada bagi kalian keteladanan sempurna dalam diri Rasulullah”). Keteladanan itu tentunya paling utama terwujud dalam peranan beliau untuk membawakan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia (raḥmatan li’al-âlamîn). Karena meneladani peranan pembawa kesejahteraan itulah manusia diberi status tinggi di hadapan Allah, seperti firman-Nya dalam surat al-Isra’/17: 70, yaitu, “laqad karramnâ banî âdam” (“sungguh telah Ku-muliakan anak Adam”).73

Dalam teks di atas, Gus Dur ingin menjelaskan bahwa urutan pesan yang dibawakan Islam merupakan suatu urutan menuju pada kesempurnaan manusia sebagai khalîfah Tuhan. Bertauhid merupakan menjadi modal utama yang harus tertanam dalam diri manusia untuk menjadi diri yang sempurna. Kebertauhidan manusia mendorongnya untuk menjalankan syariah yang dihasilkan dari persaksian manusia akan Tuhan. Maka menjalankan syariah merupakan suatu tanda bahwa seseorang itu bertauhid. Tidak hanya itu, kebertauhidan dan melaksanakan syariah itu pula mendorong manusia untuk berbuat sebagaimana perintah Tuhan yaitu menciptakan kesejahteraan untuk alam semesta.

Seseorang yang bertauhid dan melaksanakan syariah dengan baik dan benar sudah merupakan kepastian baginya untuk terus berusaha memakmurkan dan menyejahterakan seluruh jagat raya. Sehingga seseorang yang tidak menyebarkan rahmat berupa kesejahteraan tidak dapat dikatakan sebagai manusia yang bertauhid dan melaksanakan syariah.

73

Dengan demikian, Gus Dur menempatkan kesejetahteraan sebagai ukuran hakikat manusia itu sendiri. Sedangkan unsur-unsur dasar kemanusiaan merupakan modal awal yang sangat penting untuk menuju pada derajat tertinggi manusia. Derajat tertinggi manusia ialah jika ia mampu memanfaatkan dimensi-dimensi manusia demi kesejahteraan umat manusia. Manusia yang nilai-nilai kemanusiaannya berkembang dengan seimbang ialah dia yang menyejahterakan seluruh umat manusia. Maka itulah hakikat manusia, yang seharusnya menjadi cita-cita seluruh umat manusia agar dirinya mampu menjadi manusia yang sesungguhnya.

Gus Dur tidak hanya menyusun teori tentang hakikat manusia. Tetapi ia juga memberikan contoh yang sangat baik mengenai teorinya tentang manusia yang sebenarnya. Gus Dur tidak ragu-ragu menggunakan segala kekuatannya untuk kesejahteraan manusia. Ketika menjadi presiden, kesejahteraan masyarakat menjadi perjuangan utamanya. Saking pedulinya pada kesejahteraan, Franz Magnis Suseno SJ menyamakan Gus Dur dengan para khalîfah Mongul yang memang benar-benar bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kebahagiaan minoritas yang hidup di bawah pemerintannya.74

Dokumen terkait