• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Murtadlâ Muthahharî tentang Manusia

BAB III FILSAFAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN

B. Filsafat Manusia menurut Murtadlâ Muthahharî

1. Perspektif Murtadlâ Muthahharî tentang Manusia

Murtadlâ Muthahharî memberikan perhatian yang cukup serius mengenai tema tentang hakikat manusia. Ia banyak membahas hakikat manusia di berbagai buku yang ditulisnya. Bahkan ia menulis buku khusus yang menyoroti tentang manusia, yaitu buku yang berjudul Insone Komel yang dialih bahasakan oleh ʻAbdillâh Ḥâmid Baʻabud menjadi Manusia Seutuhnya: Studi Kritis berbagai Pandangan Filosofis.

Penjelasan Muthahharî menganai hakikat manusia sangatlah menarik. Konsep yang ia tawarkan sangat berbeda dengan konsep manusia hakiki sebagaimana banyak orang pahami dari pelopor konsep insân kâmil, Ibn Arabi, yang memang menjadi icon utama dalam perbincangan tentang hakikat manusia. Bahwa apa yang ia sampaikan mengenai manusia yang benar-benar manusia adalah suatu hal yang baru.

Muthahharî memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri dari apa yang ada pada malaikat dan apa yang ada di hewan.93 Dengan demikian, dalam diri manusia terdapat unsur yang tidak dimiliki malaikat yaitu unsur kehewanan meliputi nafsu, amarah dan lainnya dan juga terdapat unsur yang tidak dimiliki

92 Soerjanto Poespowardojo, “Menuju Manusia Seutuhnya,” dalam Sekitar Manusia (Jakarta: Gramedia, 1983), Cet. Ke-4, h. 5.

93

Murtadlâ Muthahharî, Manusia Seutuhnya: Studi Kritis berbagai Pandangan Filosofis, terj. ʻAbdillâh Ḥâmid Baʻabud (Jakarta: Sadra Institute, 2012), Cet. Ke-1, h. 27.

hewan seperti akal dan lainnya. Jika melihat unsur-unsur tersebut, sesungguhnya manusia memang diciptakan untuk diuji, karena unsur-unsur tersebut yang mendorong lahirnya serangkaian potensi. Hal itulah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang unik dan mempunyai keunggulan melebihi makhluk lain.

Manusia merupakan makhluk yang diilhami kebaikan dan keburukan kedalam jiwanya.94 Sehingga dengan itu manusia mampu memahami kebaikan dan keburukan. Karena kebaikan dan keburukan memang sudah tertanam dalam diri manusia, maka meskipun tanpa belajar atau tanpa guru manusia sebenarnya sudah mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan.

Selain itu ia memposisikan manusia sebagai makhluk yang dalam dirinya terdapat segumpalan potensi-potensi yang memang khas. Karena potensi-potensi tersebut adalah suatu hal yang khas, maka makhluk selainnya tidak mempunyai potensi-potensi sebagaimana manusia miliki. Di sinilah nilai lebih manusia dibandingkan dengan makhluk lain, yaitu memiliki potensi yang tidak dimiliki makhluk lain..

Peneliti handal dari UIN Syarif Hidayatullah, Syamsuri, mengatakan dalam laporan hasil penelitiannya mengenai konsep hakikat manusia Muthahharî, bahwa manusia mempunyai banyak potensi. Potensi itu biasa disebut juga dengan dimensi kemanusiaan atau nilai kemanusiaan. Menurutnya, Muthahharî mengklasifikasikan dimensi-dimensi tersebut setidaknya menjadi

94

Murtadlâ Muthahharî, Islam dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam dalam Dialog Teks yang Pasti dan Konteks yang Berubah, terj. Ahmad Sobandi (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2011), Cet. Ke-1, h. 321.

lima bagian, yaitu dimensi intelektual, dimensi moral, dimensi estetis, dimensi ibadat (ritus) dan dimensi kreativitas.95

Dalam pandangannya mengenai hakikat manusia, ia menjadikan dimensi kemanusiaan tersebut sebagai ukuran yang sangat menentukan kemanusiaan manusia. Manusia yang benar-benar manusia adalah ia yang segala dimensi kemanusiaannya berkembang secara seimbang dan stabil.96 Seimbang dalam hal ini menurutnya ialah seiring perkembangan potensi-potensi kemanusiaannya, tercipta juga keseimbangan dalam perkembangannya. Sehingga tak satu pun dari nilai-nilai itu yang berkembang tidak selaras dengan nilai-nilai lain. Manusia seperti itulah yang disebut sebagai imam.

Kalau berbicara mengenai perkembangan, tentunya terdapat titik awal dari perkembangan tersebut. Bahwa suatu perkembangan pasti diawali oleh titik rendah dan kemudian bergerak menuju arah yang lebih sempurna. Sama halnya dengan perkembangan manusia menjadi manusia. Titik awal dari kemanusiaan tidak lain ialah berpangkal pada aspek kehewanannya yang kemudian terus berkembang menjadi kemanusiaan.97

Pada mulanya, manusia hanyalah sekadar susunan fisik, tetapi bersamaan dengan perkembangan esensinya, ia menjadi lebih bersifat spiritual. Menurutnya, roh manusia berasal dari keberadaan fisiknya dan berkembang menuju kebebasan. Itu berarti, kehewanannya bertindak sebagai suatu sarang. Di dalam sarang tersebut kemanusiaannya tumbuh dan menjadi sempurna.

95 Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtadlâ Muthahharî”, h. 36. 96

Murtadlâ, Manusia Seutuhnya, h. 28. 97

Sehingga kebebasan dinilai olehnya sebagai kemampuan manusia dalam penguasaan terhadap aspek-aspek lainnya.

Dengan demikian manusia yang hakiki adalah ia yang menguasai secara relatif, baik lingkungan internal maupun eksternalnya tanpa menghilangkan keimanan dan keilmuan bahkan menguatkan keduanya. Sebagaimana yang diungkapkan dalam bukunya:

Individu yang hakiki ialah yang terbebaskan dari ikatan internal maupun eksternal dan mengikatkan diri pada suatu keimanan dan keyakinan.98 Perbedaan yang paling penting dan mendasar antara manusia dan makhluk-makhluk lainya terletak pada iman dan ilmu yang merupakan kriteria kemanusiaannya.99

Maka, kebebasan manusia dari ikatan internal dan eksternal yang kemudian mengikatkan dirinya pada suatu keimanan dan keilmuan merupakan tanda atau ukuran mengenai hakikat manusia. Bahwa, seseorang yang dikatakan perkembangan seluruh nilai kemanusiaannya seimbang dan stabil jika individu tersebut bebas dari segala ikatan internal dan eksternal yang kemudian memupuk keimanan dan keilmuan.

Keimanan merupakan media dalam memperluas manusia secara vertikal, sedangkan keilmuan memperluas manusia secara horizontal. Keimanan dan keilmuan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Karena keimananlah yang mengilhami manusia tentang apa yang mesti kita kerjakan. Sedangkan keilmuan menunjukkan kepada kita apa yang ada di sana.

98

Ibid, h. 68. 99

Dari apa yang disampaikan di atas, Murtadlâ ingin menekankan bahwa keseimbangan dari segala aspek nilai-nilai kemanusiaan tersebut ditandai oleh keimanan dan keilmuan seseorang. Jika keimanan dan keilmuan seseorang stabil, sudah merupakan kepastian bahwa nilai-nilai kemanusiaannya sudah seimbang sebaigamana dijelaskannya. Karena menurut Murtadlâ, keilmuan saja tidak mampu menyelamatkan manusia dari kehancuran.100 Dengan demikian, puncak hakikat manusia ialah berada pada keimanan dan keilmuannya.

2. Dimensi-Dimensi Manusia

Sebagaimana dituliskan dalam buku Muthahharî yang berjudul Bedah Tuntas Fitrah yang diterjemahkan oleh Afif Muhammad, bahwa dimensi-dimensi manusia tersebut di antaranya ialah mencari kebenaran, moral, estetika, kreasi dan penciptaan, kerinduan dan ibadah. Sedangkan Syamsuri menyebutnya dengan istilah dimensi intelektual, dimensi moral, dimensi estetis, dimensi ibadat (ritus) dan dimensi kreativitas.101

Sebagai salah satu dari dimensi kemanusiaan, dimensi intelektual manusia sebenarnya sudah tertanam dalam diri manusia sejak lahir. Dimensi intelektual itu merupakan dimensi yang melahirkan dorongan-dorongan suci untuk mencari kebenaran. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan untuk mengetahui dan menalar hakikat sesuatu.102 Artinya, manusia ingin

100

Murtadlâ Muthahharî, Neraca Kebenaran dan Kebatilan, (Bogor: Ebook yang dipublikasikan oleh www.al-shia.org, 2001), h. 45.

101 Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtadlâ Muthahharî,” h. 38-43. 102

Murtadlâ Muthahharî, Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Hakikat dan Potensi Kita, terj. Afif Muhammad (Jakarta: Citra, 2011), h. 49.

memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda dalam keadaan yang sesungguhnya. Murtadlâ menyebut keadaan itu dengan

“kesadaran filosofis” atau “pencarian kebenaran”.

Dalam kajian Sidi Gazalba, otak diposisikan sebagai organ yang tak akan berfungsi tanpa adanya jiwa.103 Jiwalah yang kemudian dapat menggerakkan otak, sehingga ia dapat berpikir. Fungsi berpikir ini yang kemudian membedakan dengan hewan. Hewan juga mempunyai otak tetapi tidak dapat berpikir sebagaimana manusia, karena memang hewan tidak memiliki jiwa yang mendorong otak untuk berpikir. Maka keunikan manusia sebagai makhluk berpikir ini yang Murtadlâ sebut dengan dimensi intelektual.

Selain itu, manusia akan selalu terarah pada kecenderungan-kecenderungan moral, yaitu kecenderungan-kecenderungan tentang bagaimana ia bersikap.104 Sebagian manusia cenderung pada yang memberikan manfaat secara fisik, selebihnya cenderung pada keutamaan dan kebajikan.105 Kecenderungan pertama ia sebut sebagai kebaikan materi, sedangkan kedua ia sebut sebagai kebaikan spiritual. Dalam diri manusia sebenarnya yang pertama muncul adalah rangsangan kebaikan, bukan kenikmatan.106

Manusia sesungguhnya mempunyai ketergantungan terhadap kebaikan-kebaikan spiritual. Manusia sangat menyukai kejujuran dan sebaliknya dengan kebohongan. Ketergantungan manusia terhadap kebaikan-kebaikan spiritual

103

Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke-3, h.12.

104

Mujtaba Misbah, Daur Ulang Jiwa, terj. Jayadi (Jakarta: al-Huda, 2008), Cet. Ke-1, h. 16. 105

Murtadlâ, Bedah Tuntas Fitrah, h. 53. 106

atau keutamaan itu dibagi menjadi ketergantungan individu dan ketergantungan sosial.107

Ketergantungan individu merupakan ketergantungan terhadap kebaikan yang memang terdapat dalam diri seperti ketergantungan kepada penguasaan diri dan keberanian yang berarti kekuatan hati. Sedangkan ketergantungan sosial ketergantungan terhadap hubungan dengan manusia lainnya. Misalkan senang membantu, bekerjasama, kerja sosial, berbuat baik dan berkorban untuk orang lain, baik dengan jiwa maupun harta. Bahkan, ketergantungan kebaikan spiritual ini merupakan prilaku yang dapat meningkatkan derajat manusia.108

Aspek sosial merupakan bagian terpenting dari ranah moral. Dalam tulisannya ia juga menjelaskan bahwa kepentingan sosial jauh lebih penting di bandingkan kepentingan pribadi, karena terdapat kebahagiaan tersendiri ketika seseorang dapat bersosial.

Dalam kehidupan bermasyarakat, kepantingan umum mesti lebih diutamakan di atas kepentingan perorangan atau bahkan di atas kepentingan pribadi. Karena, jika setiap orang hanya mengutamakan kepentingan pribadi atau perorangan saja, niscaya kepentingan umum, bahkan termasuk kepentingannya sendiri akan terabaikan, karena itu ada sebagian orang yang berkorban demi membela kepentingan umum.109

Dalam wacana Muthahharî mengenai dimensi moral manusia, tampak melandaskan moral tersebut kepada aspek spiritual. Bahwa manusia sesungguhnya akan mencapai kebahagiaan, yang emang diidamkan dalam

107

Ibid, h. 53. 108

Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih (Bandung: Mizan, 2007), Cet. Ke-1, h. 150.

109

Murtadlâ Muthahharî, Dasar-dasar Epistemologi Pendidikan Islam, terj. Muhammad Bahruddin (Jakarta: Sadra, 2011), Cet. Ke-1, h. 251.

hidupnya, jika ia seseorang melandaskan hidupnya pada aspek kebaikan spiritual. Hal ini sejalan dengan ungkapan W. Poespoprodjo bahwa moral tersebut harus berlandaskan spiritual, tanpanya moral tidak akan terialisasi dengan baik bahkan gagal.110

Ketertarikan manusia pada kebahagiaan tidak dapat dipungkiri, tetapi ketertarikannya terhadap keindahan pun tidak dapat diabaikan dari kehidupan manusia. Justru karena keindahan-keindahan manusia mampu hidup penuh optimis. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, seseorang tidak akan dapat mengabaikan keindahan pribadi ataupun di luar dirinya. Bagaimanapun juga, manusia akan terus memburu keindahan tersebut. Arahnya yang tak dapat dipisahkan dari keindahan itulah yang disebut dengan dimensi estetis. Itulah keunikan manusia.

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat menangkap dunia sekitarnya sebagai suatu yang sangat mengagumkan.111 Artinya manusia mampu menangkap keindahan yang tertuang di balik benda itu sendiri sehingga benda atau alam sekitar itu menjadi mengagumkan. Suatu bentuk (keindahan) yang tidak dapat ditangkap makhluk lain.

Dimensi-dimensi kemanusian mempunyai hubungan langsung dengan fitrah dan fitrah dapat ditafsirkan. Penafsirannya ialah dalam diri manusia terdapat hakikat kemanusiaan yang suci. Salah satu di antaranya adalah kecendungan mencari Tuhan. Kecenderungan mencari Tuhan sebenarnya

110

W. Poespoprodjo, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), Cet. Ke-1, h. 28.

berasal dari kerinduan yang tertanam dalam diri manusia karena kerinduan hakiki manusia menyatu dengan roh manusia, setelah roh itu sampai dan menemukannya. Maka kerinduan itu sendiri berperan sebagai penggerak.

Kerinduan tidak ada kaitannya sama sekali dengan kebersamaan dan pertemuan. Ia berpusat dalam diri individu itu sendiri. Kerinduan dapat mengantarkan seseorang pada suatu tingkat yang di situ ia ingin menjadikan yang dicintainya sebagai tuhan (sesuatu yang dipuja) dan dirinya sebagai hambanya. Sehingga yang dicintai disebut sebagai yang mutlak ada dan dirinya sebagai tidak ada. Maka kerinduan itu sendiri yang Murtadlâ sebut sebagai ritus atau ibadat.112

Menurut Murtadlâ Muthahharî, kerinduan yang sangat tinggi ialah kerinduan akan Tuhannya. Kerinduan terhadap Tuhan merupakan suatu kecenderungan manusia untuk dekat dengan Tuhan.113 Dalam artian, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Tetapi pertanyaannya ialah kalau memang hakikat manusia itu mempunyai kecenderungan untuk dekat dengan Tuhan, mengapa tidak sedikit orang yang jauh dari-Nya. Muthahharî menjelaskan bahwa lahirnya segala keraguan dan keingkaran manusia kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrah mereka sendiri.114

Terlepas dari kecenderungan manusia untuk mensucikan sesuatu sebagaimana telah diterangkan, manusia masih mempunyai nilai dasar yang

112

Murtadlâ, Bedah Tuntas Fitrah, h. 55. 113

Murtadlâ, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, h. 118. 114

tampaknya hal ini sering diabaikan. Bahwa manusia mempunyai ketertarikan-ketertarikan yang mendasar untuk membuat sesuatu yang belum ada dan belum dibuat orang.115 Membuat sesuatu yang belum ada atau kata lain menciptakan merupakan bentuk dimensi kreativitas manusia.

Dalam diri manusia, akan lahir kebahagiaan tersendiri yang menyelimuti hidup seseorang ketika ia mampu berkreasi. Dalam artian, ia mampu berkreasi dan kemudian mengaktualisasikan dalam bentuk nyata. Saat itulah menurut Muthahharî seseorang merasakan kepribadiannya. Merasakan kepribadiannya lewat kreativitas merupakan salah satu tanda bahwa ia benar-benar sadar akan dirinya. Pada saat itu manusia paham bahwa dirinya mampu menciptakan sesuatu dan mampu mewujudkan sesuatu yang bersifat metafisikan menjadi fisika.

115

57 BAB IV

KOMPARASI PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID

DAN MURTADLÂ MUTHAHHARÎ TENTANG FILSAFAT MANUSIA

Dokumen terkait