• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat Manusia (Studi Komparatif Antara Abdurrahman Wahid Dan Murtadlâ Muthahharî)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Filsafat Manusia (Studi Komparatif Antara Abdurrahman Wahid Dan Murtadlâ Muthahharî)"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th. I)

Oleh:

Hairus Saleh 109033100052

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN

(2)

ii Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 08 Juli 2014

(3)

iii Skripsi

Diajukan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memeroleh Gelar Sarjana Theologi Islam

Oleh

Hairus Saleh

NIM: 109033100052

Di Bawah Bimbingan

Dr. Edwin Syarif, MA NIP: 10670918 199703 1 001

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)

iv

Skripsi berjudul FILSAFAT MANUSIA; STUDI KOMPARATIF

ANTARA ABDURRAHMAN WAHID DAN MURTADLÂ MUTHAHHARÎ,

telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 08 Juli 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I) pada Program Studi Aqidah Filsafat.

Jakarta, 08 Juli 2014

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. Edwin Syarif, MA Dra. Tien Rohmatin, MA NIP: 10670918 199703 1 001 NIP: 19680803 199403 2 002

Anggota,

(5)

v

ا = a ﻑ = f

ب = b ﻕ = q

ﺖ = t ك = k

ث = ts ﻝ = l

ﺝ = j ﻡ = m

ﺡ = ḥ ﻦ = n

ﺥ = kh ﻭ = w

ﺩ = d ﻩ = h

ﺫ = dz ء = ’

ﺮ = r ﻯ = y

ﺰ = z

ﺲ = s Untuk Madd dan Diftong

ﺶ = sy آ = â

ﺹ = sh ْﻯﺇ = î

ﺽ = dl ﺃ ْﻭ = û

ﻁ = th ﺃ ْﻭ = aw

ﻅ = zh ْﻯﺃ = ay

ﻉ = „

(6)

vi Hairus Saleh

Filsafat Manusia (Studi Komparatif antara Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî)

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna di antara makhluk-makhluk lain, karena ia mempunyai berbagai potensi yang tidak dimiliki makhluk lain. Potensi itu akan mengarahkan manusia pada tahap mencapai hakikatnya sebagai manusia.

Para sufi mengatakan bahwa manusia yang hakiki adalah ia yang mampu memenuhi kebutuhan jiwanya. Pencapaian jiwa manusia akan Tuhannya merupakan tanda bahwa ia sudah mencapai manusia hakiki. Manusia yang demikian tak akan lagi mengedepankan dunia.

Tetapi bagi Gus Dur dan Murtadlâ tidak demikian, terdapat sisi di mana manusia harus mengoptimalkan potensi rohaninya untuk memenuhi kebutuhan batin, di sisi lain manusia juga mempunyai potensi jasmani untuk memenuhi kebutuhan lahirnya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai jiwa tetapi juga hidup di dunia dan berinteraksi dengan orang lain dan alam.

Meskipun keduanya sama-sama mengakui potensi lahir dan batin manusia, tetapi mereka mempunyai perbedaan-perbedaan dalam menjabarkan tentang konsep mengenai hakikat manusia. Bahkan puncak pencapaian dari rumusan tersebut juga berbeda. Gus Dur menyimbolkan manusia yang hakiki dengan manusia yang mampu mengoptimalkan seluruh potensinya untuk kesejahteraan. Sedangkan Murtadlâ menyimbolkannya dengan makhluk yang mampu menyeimbangkan segala potensinya demi tercapainya ketauhidan yang benar.

(7)

vii

Rasa syukur yang amat sangat mendalam, penulis serahkan jiwa dan raga ini kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan kuasa-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarganya, para sahabat serta para pengikutnya yang telah menyebarluaskan warisan kenabian dan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Pada dasarnya, penulisan skripsi ini merupakan suatu respon atas konflik tajam antara pengikut sunni dan syiah di Sampang Madura yang kemudian melahirkan permusuhan yang tak berkesudahan. Isu yang berkembang di masyarakat, konflik antara keduanya disebabkan oleh perbedaan pemahaman terhadap teks-teks agama. Oleh karena itu penulis begitu tertarik untuk mengkomparasikan pemikiran dua tokoh yang masing-masing berasal dari dua aliran tersebut, yaitu Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî. Kajian pemikiran kedua tokoh tersebut difokuskan pada pembahasan tentang filsafat manusia.

Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan, untuk itu saya

merasa perlu menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

menyelesaikan skripsi ini, terutama peulis sampaikan kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat beserta jajarannya.

(8)

viii

penulis tetap konsisten menyelesaikan judul skripsi ini.

3. Tak akan lupa dan tak akan pernah terlupakan oleh penulis, menghaturkan beribu-ribu terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis Ayahanda Abd. Mun’im Siraj dan Ibunda Hamidah, yang tak henti-hentinya memberikan do’a demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini. Juga kepada kakak-kakakku, Siti Maryamah, Siti Hafsoh dan Siti Hasanah yang selalu mendukung serta mengingatkan penulis untuk secepatnya menyelesaikan skripsi.

4. Pimpinan dan segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi.

5. Para Dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan pencerahan dan ilmu yang luas kepada penulis.

6. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan fakultas Ushuluddin, terima kasih atas pinjaman buku-bukunya yang rela meminjamkan beberapa literatur dalam penulisan skripsi ini.

7. Teman seperjuangan Izaumal Hikmah, Ar Rahmah, Fifin, Burhan, Daqoiq, Fitri M, Ali Humaini, Dwi Astrianingsih dan teman-teman yang lain yang tak bisa disebutkan semua. Terimakasih telah memberikan semangat.

Jakarta, 08 Juli 2014

(9)

ix

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Metode Penelitian ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

G. Sistematika Pembahasan ... 10

BAB II BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID DAN MURTADLÂ MUTHAHHARÎ A. Abdurrahman Wahid ... 12

1. Riwayat Hidup ... 12

2. Karya-karya ... 17

3. Kedudukan Abdurrahman Wahid dalam Pemikiran Islam ... 20

B. Murtadlâ Muthahharî ... 24

1. Riwayat Hidup ... 24

2. Karya-karya ... 28

3. Kedudukan Murtadlâ Muthahharî dalam Pemikiran Islam ... 30

BAB III FILSAFAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN MURTADLÂ MUTHAHHARÎ A. Filsafat Manusia menurut Abdurrahman Wahid ... 35

1. Mengenai Hakikat Manusia ... 35

2. Dimensi-dimensi Manusia ... 40

B. Filsafat Manusia menurut Murtadlâ Muthahharî ... 47

1. Perspektif Murtadlâ Muthahharî tentang Manusia ... 47

(10)

x

A. Pandangan mengenai Ayat-ayat tentang Manusia ... 57

B. Pandangan tentang Manusia secara Utuh ... 61

1. Manusia yang Hakiki ... 61

2. Dimensi-dimensi Manusia ... 65

3. Tentang Kebebasan Manusia ... 69

C. Refleksi Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî ... 76

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ... 81

B.Saran-saran ... 82

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Sebagaimana diungkapkan oleh Jan Hendrik Rapar yang diambil dari definisi Plato dalam Pengantar Filsafat bahwa filsafat ialah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat realitas ada dengan mengandalkan akal budi.1 Karena filsafat mencoba memahi segala realitas yang ada, sehingga objeknya melingkupi segala yang ada termasuk juga manusia.

Ketika filsafat berobjekkan manusia, filsafat menjadi ilmu yang mengaji tentang seluk-beluk manusia. Dalam artian, filsafat akan membahas mengenai manusia secara mendalam, baik dari unsur dan fungsi hidupnya. Jika dikaitkan dengan suatu tokoh, itu berarti mengacu pada pemikiran tokoh tersebut mengenai manusia itu sendiri secara mendalam. Maka dari itu, kajian menganai filsafat manusia mengarah pada hakikat manusia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia disebutkan sebagai alam kecil yang merupakan bagian dari alam besar yang ada di atas alam. Ia adalah makhluk yang bernyawa, makhluk antromorphen dan merupakan binatang yang menyusui, akan tetapi juga merupakan makhluk yang dapat mengetahui dan menguasai kekuatan-kekuatan alam di luar dan di dalam dirinya, baik lahir maupun batin.2

1

Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2010), Cet. Ke-14, h. 15. 2

(12)

Al-Qur’an menyebutkan manusia dengan beberapa istilah, yaitu basyar, insân dan nâs. Istilah basyar mempunyai arti bahwa manusia merupakan makhluk yang terdiri dari karakteristik fisiologis, biologis dan psikologis.3 Istilah insân digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, yaitu jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.4 Maka aspek jiwa dan raga inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang memang benar-benar berbeda dengan makhluk lain. Sedangkan istilah nâs digunakan untuk menunjukkan sifat universal manusia atau untuk menunjukkan spesies manusia. Artinya ketika menyebut nâs berarti adanya pengakuan terhadap spisies di dunia ini yaitu manusia.5

Insân merupakan istilah yang sangat cocok untuk menggantikan istilah manusia yang akan dibahas dalam kajian ilmiah ini. Dalam membahas tentang manusia (insân dalam bahasa al-Qur’an), para tokoh Islam mempunyai beragam pendapat, sesuai dengan latar belakang keilmuannya.

Menurut al-Jîlî, manusia merupakan makhluk yang keruhaniannya merupakan unsur pokok dalam hidupnya. Unsur pokok tersebut yang menjadikan manusia memiliki potensi untuk meneladani sifat-sifat Tuhan.6 Dengan usaha ini, sesungguhnya manusia berada dalam proses pengembaraan menuju Tuhan.

3

Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Glogal, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 300.

4 M. Qurash Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan 1997), h. 278. 5

Bahruddin, Paradigma Psikologi Islam: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 76.

6

(13)

Keintiman antara manusia dan Tuhan merupakan titik akhir dari pengembaraan tersebut. Pada tahap ini manusia sesungguhnya sudah mencapai realitasnya sebagai manusia yang hakiki.

Berbeda dengan „Alî Syari‘atî, ia memandang bahwa manusia tidak akan pernah mencapai realitasnya, karena antara manusia dan Tuhan selalu terdapat jarak yang memisahkan keduanya. Sehingga manusia pada hakikatnya selalu berada dalam proses menuju realitasnya.7 Jadi meskipun dengan segala unsur-unsur individunya ia berpotensi untuk mencapai taraf yang lebih tinggi dari tingkatan kemanusiaan yang dicapainya, tetapi pencapaiannya hanya sebatas terus-menerus maju ke arah realitasnya.8

Kalau kedua tokoh di atas membahas tentang manusia dalam kaitannya dengan penyatuannya dengan Tuhan, tetapi Abudurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî membahas tentang manusia yang dikaitkan dengan eksistensi manusia sebagai makhluk yang hidup di dunia dan bertugas untuk menjaga keberlangsungan hidupnya. Dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia, kedua tokoh tersebut menjelaskan dimensi-dimensi manusia yang kemudian diarahkan untuk menjaga keseimbangan berbagai aspek dari hidup manusia.

Tetapi keduanya mempunyai perbedaan titik tekan dalam mencapai tujuan dari konsepnya. Gus Dur menjelaskan dimensi-dimensi manusia yang

7 „Alî Syari„atî,

Tugas Cendikiawan Muslim, terj. Muhammad Faishol Hasanuddin (Jakarta: YAPI, 1990), h. 68-69.

(14)

dikembangkan itu berujung pada ranah sosial.9 Sedangkan Murtadlâ Muthahharî menjabarkan dimensi-dimensi manusia tersebut berpangkal pada keimanan dan keilmuan.10

Dalam merumuskan konsep tentang hakikat manusia (filsafat manusia), kedua tokoh sama-sama mendapatkan inspirasi dari al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan landasan utama keduanya dalam konsep tersebut, sehingga dalam membahas tentang manusia, keduanya juga menyertakan ayat-ayat yang kemudian dijabarkan. Maka pembahasan kedua tokoh tentang ayat-ayat mengenai manusia perlu juga dibahasnya. Selain pembahasan mengenai kebebasan manusia dalam menentukan masa depannya.

Latar belakang dari penulisan skripsi ini adalah berawal dari konflik Sunni dan Syiah yang terjadi di Sampang pada 26 Agustus 2012. Berdasarkan MUI Jawa Timur konflik tersebut lahir karena perbedaan aliran, yaitu Sunni dan Syiah. Meskipun para peneliti menyebutkan bahwa faktor digerakkannya masyarakat adalah masalah keluarga pemimpin masing-masing kelompok, tetapi faktanya masyarakat itu bergerak atas nama membela Islam dari kesesatan Syiah.

Ajaran-ajaran Syiah yang sangat berbeda dengan Sunni yang kemudian dianggap sesat antara lain ialah anggapan Syiah yang memposisikan Imam seperti nabi, anggapan Syiah tentang selainnya adalah pelacur, menghalalkan darah Sunni,

9

Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), Cet. Ke-1, h. 30.

(15)

melecehkan Nabi dan Ummul Mu’minin dan lainnya.11 Ajaran-ajaran ini yang membakar jiwa jihat Sunni Sampang, sehingga mereka menganggap ajaran Syiah sebagai ajaran yang bertentangan dengan Islam. Mereka menjadi tak lagi mampu melihat persamaan-persamaan bahwa mereka juga berlandaskan al-Qur’an dan hadis.

Dari faktor inilah, penulis terpanggil untuk mencari titik persamaan dari kedua aliran tersebut melalui pengkajian terhadap pemikiran masing-masing satu tokoh dari kedua aliran tersebut. Dengan demikian penulis mengambil Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî sebagai perwakilan. Alasannya, kedua tokoh tersebut hidup di masa yang sangat dekat, umurnya hanya selisih 20 tahun. Di samping itu, keduanya merupakan tokoh yang mempunyai pengaruh yang cukup besar di Sunni dan Syiah dan bahkan di dunia pemikiran. Kemudian, kedua tokoh tersebut sama-sama tidak hanya membaca buku-buku pemikiran Islam, tetapi juga membaca dan mengkaji secara mendalam buku-buku karya filosof barat.

Di tengah perbedaan yang begitu menyeramkan itu, menjadi sangat menarik ketika pemikiran keduanya tersebut dibahas untuk kemudian mencari titik temu yang tepat sekaligus perbedaannya dalam suatu kajian komparasi. Maka untuk mencapai hal itu, penulis mengangkat tema tersebut dalam sebuah penelitian skripsi yang berjudul Filsafat Manusia: Studi Komparasi antara Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî.

11

(16)

B.Batasan Masalah

Penulis memfokuskan pembatasan masalah skripsi ini pada pemikiran tentang manusia menurut Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî yang ditinjau dari aspek penafsiran tentang manusia, hakikat, unsur-unsur dan kebebasan manusia.

Dalam judul skripsi menyebutkan istilah filsafat manusia. Maksud dari istilah filsafat manusia itu sendiri ialah kajian yang mendalam mengenai hakikat manusia itu sendiri. Pengertian mengenai filsafat sebagai kajian yang mendalam diambil dari buku Kamus Filsafat yang ditulis oleh Loren Bagus. Tepatnya, ia

menjelaskan bahwa “filsafat merupakan penyelidikan kritis atas

pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan”.12

C.Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, masalah pokok dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: bagaimana konsep manusia menurut Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî? Apa persamaan dan perbedaan pemikiran keduanya tentang filsafat manusia?

D.Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi pustaka dengan rujukan buku primer tulisan-tulisan karya Abudurrahman Wahid, seperti Islam Kosmopolitan, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan,

12

(17)

Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, Prisma Pemikiran Gus Dur dan lain-lain. Sedangkan mengenai tulisan pemikiran Murtadlâ Muthahharî, buku yang akan dijadikan kajian utama ialah Insân Kâmil, yang diterjemahkan oleh Abdillâh Ḥâmid Baʻabud menjadi Manusia Seutuhnya, Man and Universe, Bedah Tuntas

Fitrah, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama karya Murtadlâ yang disunting Haidar Bagir dan lain-lain.

Sedangkan sumber sekunder ialah karya-karya yang membahas atau yang berkaitan dengan manusia. Sumber sekunder ini akan digunakan untuk menganalisis pemikiran Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî mengenai manusia sekaligus persamaan dan perbedaannya yang kemudian akan ditemukan titik temu antara kedua pemikiran tersebut.

Dalam pembahasan, penulis menggunakan metode deskriptif-analitik, yaitu menggunakan sumber-sumber yang ada, lalu mendeskripsikannya, kemudian dianalisis mengenai bagaimana pemkiran Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî tentang menusia sekaligus titik temunya.

(18)

E.Tinjauan Kepustakaan

Berdasarkan hasil pengamatan penulis di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, sudah terdapat beberapa penelitian yang mengaji pemikiran Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî, tetapi tidak satu pun dari pembahasan tersebut mengkomparasikan antara pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai kajian tentang manusia. Di antara penelitian-penelitian tersebut yaitu:

Penelitian skripsi yang berhubungan dengan Murtadlâ Muthahharî ialah Pertama, skripsi yang berjudul Kebebasan Manusia dalam Persepektif John Stuart Mill dan Murtadlâ Muthahharî (Sebuah Studi Komparasi) yang ditulis oleh Yuli Astuti pada tahun 2001. Yuli memfokuskan pada kebebasan manusia yang menurutnya terdapat perbedaan dan persamaan dalam pemikiran kedua tokoh tersebut. Kedua, Kejahatan dan Keadilan Tuhan dalam Perspektif Teologi Murtadlâ Muthahharî yang merupakan skripsi Izkar Sobah pada tahun 2006. Skripsi ini difokuskan pada keadilan Tuhan dan kejahatan yang tidak membuatnya untuk tidak adil. Ketiga Konsep Fitrah Murtadlâ Muthahharî yang ditulis oleh Muniroh pada tahun 2008. Dalam skripsi ini ia membahas fitrah yang berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan dan prinsip-prinsip berpikir yang tak lain bersifat fitrah.

(19)

Murtadlâ yang kemudian dilanjutkan pada kritiknya terhadap materialisme dialektis dan materialisme historis Karl Marx.

Sedangkan karya ilmiah yang berkaitan dengan Gus Dur di antaranya ialah Kontroversi Kebijakan Politik Presiden Abdurrahman Wahid pada Era Reformasi yang ditulis oleh asep hikmatillah tahun 2006. Penelitian ini membahas tentang kebijakan presiden mengenai pencabutan TAP MPR tentang pelarangan ajaran Komunisme, Marxisme, Leninisme; penghapusan Departemen Sosial, juga penerahangan, badan pemantapan stabilitas nasional dan lembaga penelitian khusus. Pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai Asas Negara yang ditulis oleh Warno pada tahun 2009. Skipsi ini mengaji tentang hubungan antara agama dan negara. Hal ini dilakukan untuk menemukan makna Pancasila dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari banyak suku, ras, agama serta budaya. Dan Demokrasi dalam Pandangan Abdurrahman Wahid yang ditulis oleh Ato Sugiarto pada tahun 2010. Skipsi ini membahas tentang pilar-pilar demokrasi, relasi Islam dengan demokrasi dan analisis pemikiran Abdurrahman Wahid tentang demokrasi.

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

(20)

Sedangkan kegunaan dari penelitian ini meliputi kegunaan praktis dan akademis. Kegunaan praktis dari penelitian ini yaitu: Pertama, penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi terhadap pertikaian antara aliran Sunni dan Syiah khususnya di Sampang, bahwa ajaran kedua aliran tersebut tidak bertentangan dan bahkan di beberapa aspek mempunyai persamaan-persamaan yang dengan hal itu kedua aliran tersebut dapat hidup berdampingan dengan damai. Kedua, penelitian ini diharapkan mampu memberikan model terbaik kepada seluruh umat tentang hakikat manusia. Sedangkan kegunaan akademisnya ialah penelitian ini berguna untuk memperkaya khazanah intelektual Islam dan Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada skripsi ini, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I merupakan Bab Pendahuluan, memuat latar belakang, rumusan dan batasan masalah, metode penelitian, tinjauan kepustakaan, tujuan dan kegunaan penelitian dan sistematika pembahasan.

(21)

Mengenai pemikiran filsafat manusianya, penulis akan membahas seluk-beluk pemikirannya mengenai filsafat manusia seperti aspek-aspek kemanusian manusia yang memang harus ditekankan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga aspek kemanusiaan itu perlu dilindungi. Tetapi tidak hanya itu, hal-hal yang berkaitan dengan konsep manusia akan penulis ungkapkan dalam bab ini.

Bab III akan dijelaskan tentang pemikiran kedua tokoh yang penulis bahas mengenai filsafat manusia. Filsafat manusia tersebut terdiri dari kajian tentang manusia secara hakiki beserta dimensi-dimensi kemanusiaan manusia yang memang tertanam dalam diri manusia.

(22)

12

ABDURRAHMAN WAHID DAN MURTADLÂ MUTHAHHARÎ

A.Abdurrahman Wahid

1. Riwayat Hidup

Nama Abdurrahaman Wahid sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Abdurrahman Wahid dikenal juga dengan nama Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan untuk putra dari keluarga Kiai. Gus itu sendiri adalah kependekan dari kata bagus. Di Madura, gus (bagus) dikenal dengan istilah lora. Dia adalah anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan priyai terkemuka di Indonesia. Bapaknya, Kiai Abdul Wahid Hasyim adalah putra Kiai Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri oraganisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, jamʻiyah Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan ibunya, Nyai Sholehah, adalah putri dari tokoh besar NU dan juga seorang Kiai terkemuka, Kiai Bisri Syamsuri.12

Mengenai hari kelahiran Gus Dur, beberapa penulis berbeda pendapat. Tim Institute of Culture and Religion Studies (INCRES), id.wikipedia.org dan beberapa penulis menyebutkan bahwa tanggal kelahirannya bertepatan pada 4 Agustus 1940 M. Sedangkan Greg Barton menyebutkan bahwa pada 7 September adalah tanggal kelahiran Gus Dur. Alasannya, penanggalan

12

(23)

kelahiran Gus Dur berdasarkan pada penanggalan Islam, yaitu 4 Sya’ban yang

bertepatan pada tanggal 7 September 1940 M.13

Tetapi Greg Barton dan Tim Institut of Culture and Religion Studies (INCRES) sepakat bahwa Gus Dur adalah keturunan dari Lembu Peteng (raja Brawijaya VI) melalui Jaka Tingkir (putera Lembu Peteng), pangeran Bawana (putera Jaka Tingkir).14 Jaka tingkir adalah tokoh yang pertamakali dianggap sebagai orang yang memperkenalkan Islam di daerah pantai timur laut pulau Jawa. Sedangkan pangeran Bawana merupakan orang yang rela meninggalkan kemegahan kerajaan demi mengajar sufisme kepada masyarakat.15

Sejak belajar bersama kakeknya, Gus Dur memang sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam pendidikan ia justru belajar di sekolah-sekolah sederhana. Di masa kecil ia belajar di pondok pesantren yang diasuh kakeknya. Ketika di Jakarta, ia belajar di sekolah dasar KRIS (Jakarta Pusat) dan pindah ke SD Matraman Pertiwi.16 Untuk tingkat sekolah menengah pertama ia sekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Tanah Abang, dan pindah ke SMEP Yogyakarta. Di samping itu ia juga belajar ilmu agama kepada Kiai pengasuh pondok pesantren seperti KH. Maksum Ali, KH. Fatah, KH. Masduki dan KH. Bisri Syamsuri.17

Selain kakeknya, ayah Gus Dur, Wahid Hasyim (pemimpin Islam sekaligus pejabat kementerian agama) mempunyai jasa yang besar terhadap

13

Greg Barton, Biografi Gus Dur, terj. Lia Hua (Yogyakarta: LKiS, 2003), Cet. Ke-1, h. 25. 14

Tim INCRES, Beyond the Symbols, h. 6. 15

Greg, Biografi Gus Dur, h. 27. 16

Greg, Biografi Gus Dur, h. 70. 17

(24)

perkembangan intelektual Gus Dur. Ayahnyalah yang mengajarkannya banyak hal, terutama dalam hal pluralitas dan toleransi. Karena Gus Dur adalah orang yang selalu menemani Wahid Hasyim dalam setiap aktivitasnya dengan berbagai golongan, termasuk dengan Tan Malaka.18

Gus Dur memang sosok yang mempunyai kebiasan berbeda dengan lainnya. Sejak kecil ia sudah terbiasa berbaur dengan berbagai golongan dan keadaan sebagaimana diajarkan kakek dan ayahnya. Kebiasaan ini turut memperkaya khazanah intelektualnya, karena setiap orang yang pernah berinteraksi dengannya pasti membawa budaya, ideologi serta kemampuan intelektualnya. Seperti Willem Buhl, di samping mengajarinya bahasa Belanda, ia juga menyuguhkan musik klasik ala Eropa.19 Inilah modal awal Gus Dur yang akan menyadarkanya tentang pentingnya saling menghormati dan pentingnya memanusiakan manusia.

Dari aspek intelektual, Gus Dur juga merupakan sosok yang mempunyai kebiasaan berbeda dengan orang lain seusianya. Ketika di Jakarta, ia sering membaca buku di Perpustakaan Umum dan akrab dengan berbagai majalan, surat kabar, novel, filsafat, dokumen sejarah manca negara, cerita silat hingga fiksi sastra.20 Hal itu didukung oleh anjuran ayahnya untuk membaca buku apa saja yang disukai dan kemudian secara terbuka membicarakan ide-ide yang mereka temukan.21

18

Greg, Biografi Gus Dur, h. 35. 19

Tim INCRES, Beyond the Symbols, h. 6. 20

Tim INCRES, Beyond the Symbols, h. 7. 21

(25)

Maka dari itu, menjadi sangat wajar jika dalam usia 15 tahun saja ia sudah membaca buku-buku berat seperti Das Kapital karya Karl Marx, buku-buku filsafat Plato, Thales, novel-novel William Bocher dan Romantisme Revolusioner karangan Lenin Vladimir Ilych.22 Bacaannya tentang pemikiran filsafat barat juga diteruskan sampai ia kuliah di Universitas Baghdad Iraq. Ia banyak membaca pemikiran Emile Durkheim dan filosof-filosof Barat lainnya.23 Tetapi yang tidak kalah bahwa ia juga belajar dengan tekun tentang buku-buku Islam tradisional sejak keberadaannya di pondok pesantren, Universitas al-Azhar Mesir dan Universitas Baghdad. Serta banyak membaca tentang sastra dan kebudayaan Arab, dan teori sosial.24

Meskipun Gus Dur banyak membaca buku tentang pemikiran-pemikiran barat, tetapi tidak kemudian melupakan bacaan-bacaan dan ajaran Islam tradisional yang merupakan identitas ideologinya. Pemikiran-pemikiran barat tampak banyak memengaruhinya, sehingga ia mampu berpikir secara sistematis. Yaitu kajian-kajian yang dikelutinya dilakukan secara empiris dengan menggunakan pisau mitodologi yang tajam. Ia juga tetap mempertahankan ajaran spritualitas dengan mengunjungi makam para wali. Di samping itu ia mendapat pengokohan ajaran spiritualitasnya dengan menggeluti ajaran Imam Junaidi al-Baghdadi.25

22

INCRES, Beyond the Symbols, h. 9. 23

Greg Barton, “Liberalisme: Dasar-dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman Wahid” dalam Greg Barton dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, terj. Ahmad Suaedy dkk (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 170.

24

Ibid, h. 168. 25

(26)

Dalam pandangannya mengenai Islam, ia banyak mengaji mengenai Islam tradisional dan menghormati kebudayaan lokal. Hal itu yang menjadikan Gus Dur tidak terbatasi oleh ideologi, sehingga ia mempunyai ruang yang lebih luas di ranah nasional dibandingkan dengan Kiai lain. Dengan demikian ia dijuluki dengan sebutan Kiai ketoprak.26

Tidak puas-puasnya Gus Dur belajar. Meskipun sudah menjabat sebagai presiden, ia tetap tidak gengsi untuk terus belajar pada orang-orang yang dianggap lebih hebat darinya. Orang yang dijadikannya guru selain guru di pesantren ialah Presiden Kim Dae Jung yang merupakan Presiden Seoul dan Sulakhshi Bharaksa dari Thailand. Keduanya ialah guru Gus Dur yang masih hidup di masanya. Sedangkan gurunya yang sudah meninggal di antaranya Ialah Sun Yat Sen, Jose Rizal, Jawaharal Nehru, Mahatma Gandhi dan Soekarno.27

Sepulangnya ke Indonesia, Gus Dur banyak berkiprah di dunia penulisan dan aktivitas akademis lainnya. Misalnya ia aktif menulis di Majalah Tempo, Jurnah Prisma, Kompas dan Pelita.28 Kemudian dia mendirikan Forum Demokrasi (FORDEM). Sekaligus penggagas berdirinya Gerakan Anti Diskriminasi (Gandi).

Gus Dur juga pernah menjadi salah seorang presiden pada Konfrensi Dunia untuk Agama dan Perdamaian yang berkedudukan di Jenewa, Swiss. Ia juga pernah menjadi anggota Pembina Simon Pereze untuk Perdamaian yang

26

Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Yogyakarta: al-Ruzz, 2004), h. 71. 27

Tim INReS, Beyond the Symbols, h. 22. 28

(27)

Bermarkas di Tel Aviv, Israel dan menjadi dewan penasehat pada Internasional Dialoque Foundation on Perspective Studies of Syariah and Secular Law, di Den Haag, Belanda.29

Berbagai penghargaan juga pernah dinobatkan kepadanya. Salah satunya ialah penghargaan Nobel Asia yang disebut Hadiah Ramon Magsaysay yang digelar di Manila, Filipina. Penghargaan tersebut diberikan berdasarkan keterlibatan yang besar dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap demokrasi serta upaya menumbuhkan toleransi antar umat beragama di Indonesia.30 Penghargaan yang diterima tersebut tidak salah, karena selama hidupnya Gus Dur memang memerjuangkan kemanusiaan lewat demokrasi. Menurut putrinya, Yenny Zannuba Wahid, di sambutan dalam suatu buku, bahwa Gus Dur adalah orang yang sepanjang hidupnya berjuang untuk kemanusiaan.31

2. Karya-Karya

Gus Dur memang terkenal sebagai akademisi yang produktif dalam tulis menulis. Karya-karyanya banyak menyebar di berbagai media. Tulisan-tulisan itu kemudian diformat dalam bentuk buku. Di antara bukunya ialah:

Tuhan tidak Perlu Dibela merupakan buku kumpulan tulisannya yang dimuat di Tempo dari tahun 1970-an sampai 1990-an. Dalam buku ini, Gus Dur

29

Ahmad, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid, h. 37. 30

Mujamil Qamar, NU Liberal dari Tradisionalisme ke Universalisme Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 167.

(28)

menjelaskan tentang paradoks-paradoks yang terjadi di sekitar pemikiran Islam, perdebatan politik, sosial keagamaan dan ideologi antarkelompok dalam konteks kebangsaan dan ke-Indonesia-an.

Prisma Pemikiran Gus Dur merupakan kumpulan tulisan Gus Dur yang dimuat di jurnal Prisma yang dicetak dalam bentuk buku. Spektrum yang menjadi perhatiannya dalam tulisan ini meliputi politik, ideologi, nasionalisme, gerakan keagamaan, pemikiran sosial dan budaya.

Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan merupakan pemikiran Gus Dur dalam merespon isu-isu yang dianggap aktual sejak 1980-an hingga 1990-an. Selain itu, buku ini berisi

kumpulan tulisan-tulisan Gus Dur yang telah berserakan di media lokal maupun

nasional. Dalam buku itu, ia menjelaskan tentang Islam yang multi wajah, wajah manusiawi. Islam, dalam buku tersebut, adalah agama yang tampil sejuk, pluralis, serta demokratis. Agama Islam menjadi agama yang melindungi umat

manusia, bukan agama yang menebar ketakutan kepada umat agama lain.

(29)

memutarnya ke arah kebalikan, yakni pembekuan daya cipta masyarakat yang sedang berada dalam perubahan besar-besaran.

Karya Gus Dur yang berjudul Kiai Nyentrik: Membela Pemerintah ini dikumpulkan dari kolom-kolom yang dia tulis di majalah Tempo era 1970-an dan 1980-an. Esai-esai ini bertutur tentang rasionalitas yang penuh warna, yang bergerak antara ortodoksi dan penyiasatan pragmatik, agar kehidupan tetap berlangsung.

Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, buku ini merupakan kumpulan essai Gus Dur tentang pesantren, yang mengambil format hubungan pesantren, negara, pembangunan, dan juga deskripsi atas kebudayaan pesantren. Deskripsi Gus Dur ini turut mempersempit kesenjangan dan kekeliruan pengertian antara pihak luar dan pihak dalam pesantren. Tawaran pembaruan yang dikemukakan Gus Dur untuk pesantren, seperti hal penyusunan kurikulum, peningkatan sarana, pembenahan manajemen kepemimpinan, pengembangan watak mandiri, dan beberapa yang lainnya tetap merupakan agenda pesantren hingga sekarang.

(30)

3. Kedudukan Abdurrahman Wahid dalam Pemikiran Islam

Dalam ranah pemikiran Islam Indonesia, Gus Dur mempunyai posisi yang cukup tinggi dan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemikiran Islam pada masa itu dan sesudahnya. Hal ini tidak mengherankan, karena kapasitas keilmuan Gus Dur yang tidak diragukan lagi kehebatannya, baik mengenai keilmuan agama maupun keilmuan lain. Tidak hanya itu, yang menjadikannya mempunyai pengaruh dan wibawa yang hebat terhadap umat Islam Indonesia ialah posisinya sebagai cucu dari pemimpin besar kelompok Islam terbesar sedunia, yaitu Hasyim Asyʻarî.

Berdasarkan perjalanan intelektualnya, Gus Dur dibentuk oleh pendidikan Islam klasik dan pendidikan Barat modern. Kedua pendidikan tersebut memberikan modal yang sangat baik untuk mengembangkan pemikirannya mengenai Islam Indonesia. Tampaknya kedua pendidikan tersebut yang menjadikannya mempunyai cara pandang yang lebih luas dibandingkan dengan tokoh Islam lainnya, yaitu pandangan yang menekankan pada hal yang bersifat substansial.32

Hal yang tidak dapat dilupakan ialah Gus Dur merupakan bagian dari gerakan baru dalam pemikiran Islam di Indonesia.33 Gerakan baru yang menekankan pemahaman Islam yang terbuka, terutama dalam menerima kenyataan tentang kemajemukan masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.

32

Tim INCReS, Beyond the Symbols, h. 55. 33

(31)

Hal tersebut kemudian menekankan sikap toleran dan harmonis dalam hubungannya dengan komunitas lain.34

Gus Dur dikenal dengan seorang pemikir Islam yang sangat bijak. Dalam memahami ajaran Islam, ia juga mempertimbangkan kearifan lokal yang menurutnya harus tetap dipertahankan35 tanpa harus menghilangkan ajaran keimanan dan peribadatan formal.36 Karena budaya lokal merupakan identitas suatu masyarakat yang bersangkutan, yang kemudian membedakannya dengan masyarakat lain.

Di samping itu, Gus Dur merupakan pemikir Islam yang disamakan dengan filosof Yunani ternama yang molontarkan komentar-komentar humoris. Filosof tersebut ialah Socrates.37 Sebagai tokoh intelektual yang disamakan dengan Socrates, keagungan Gus Dur dalam ranah akademis sudah sewajarnya menjadi panutan umat.

Bapak Humanis Islam adalah sebutan yang tidak berlebihan untuk Gus Dur. Ia hadir di dunia memang untuk memperjuangkan hak-hak kemanusiaan. Tak pernah ada rasa ragu dan takut dalam memperjuangkan Hak Asasi Manusia. Dalam memperjuangkan kemanusiaan, Gus Dur selalu menghindari kekerasan sebagaimana dilakukan salah satu tokoh favoritnya, Mahatma

34 Abdurrahman Wahid, “Pemikiran Islam yang Brilian,” dalam Badiatul Rozikin, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: E-Nusantara, 2009), h. 38.

35

M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur (Yogjakarta: LKiS, 2010), h. 126. 36

Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak Perlu Dibela, h. 92. 37

(32)

Gandhi.38 Bahkan, dia pernah berpesan seandainya ia wafat, di batu nisan

hendaknya dituliskan dengan kalimat “di sini dikubur seorang humanis.”39

Dalam suasana intelektual umat Islam yang mulai stagnan, di tengah keterbungkaman intelektual muslim Indonesia karena tekanan sesepuhnya yang terus menghantui kaum muda untuk berpikir kritis, Gus Dur tampil sebagai pahlawan yang cukup gagah dan sukses dalam mendorong dan memupuk tumbuhnya intelektual umat Islam Indonesia. Dialah, Gus Dur yang melahirkan dan menumbuh suburkan kultur kaum muda NU. Kaum muda yang melahirkan pemikiran-pemikiran yang mencengangkan dalam merespon isu-isu modern.40

Djohan Efendi juga memberikan penilaian yang sama mengenai hal ini, bahwa era kepemimpinan Gus Dur di organisasi Islam terbesar dunia itu telah melahirkan banyak intelektual muda yang punya kompetensi yang hebat dan kreatif dalam merespon problematika zaman yang datang silih berganti. Hal itulah kiranya yang menjadikan NU tidak tergoncang dikala arus globalisasi membanjiri dunia Islam Indonesia.

Tema-tema yang menjadi ajang dialog aktif dan terbuka antarintelektual di antaranya mengenai isu tentang Islam dan negara, Islam dan budaya lokal, Islam dan modernisme, Islam dan kemanusiaan. Gus Dur sangat aktif merespon isu-isu tersebut dengan dasar-dasar yang sangat kuat, dan mampu memberikan jalan tengah antara Islam dan isu-isu yang berkaitan dengannya.

38

Iip D. Yahya, Gus Dur: Berbeda Itu Asyik (Yogyakarta: Kanisius, 2008), Cet. Ke-5, h. 60. 39 Djohan Efendi, “Gus Dur: Sang Presiden yang Humanis,” dalam Ahmad Gaus AF, Sang Pelintas Batas: Biografi Djohan Efendi (Jakarta: ICRP, 2009), h. 191.

40

(33)

Respon-respon Gus Dur kemudian memberikan kemantapan hati umat Islam untuk tetap tidak gentar menghadapi arus globalisasi. Karena mereka sudah menemukan jalan terbaik untuk dilalui di tengah hantaman arus budaya-budaya dunia yang siap mengikis ajaran dan budaya-budaya mereka. Gus Dur juga menunjukkan suatu sikap yang benar-benar terbuka terhadap segala di luar Islam tanpa harus menghilangkan hakikat Islam itu sendiri. Tetapi dengan catatan selama apa yang ada di luar Islam itu dapat memberikan manfaat terhadap kesejahteraan umat manusia.

Pemikiran-pemikiran Gus Dur tidak hanya diterima di kalangan umat Islam Indonesia, tetapi pemikirannya sudah mewakili pemikiran Islam dalam menyuarakan pemikiran-pemikiran cemerlang yang menjadi perhatian intelektual dunia. Bukti diterima pemikirannya di kancah pemikiran internasional ialah banyaknya penghargaan internasional yang diteriman Gus Dur.41 Bahkan Gus Dur tidak hanya berteori, ia juga tidak segan-segan memperaktekkan teori tersebut dalam kehidupan nyata.

Dalam wacana Hak Asasi Manusia, Gus Dur tidak hanya memberikan konsep-konsep kosong mengenai pembelaan HAM, tetapi ia juga mengaplikasikan dalam kehidupan nyata. Misalkan pembelaan terhadap hak-hak kaum Konghucu yang terpasung selama Orde Baru. Atas kerja keras tersebut Gus Dur mendapatkan penghargaan dari sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia, Simon Wiesenthal Center, dan dri

41

(34)

Mebal Valor.42 Bahkan pemikiran-pemikiran yang cemerlang dan langkah-langkah yang mencengangkan itu juga mendapatkan perhatian dari Universitas Tampel. Dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.43

Keluasan cakrawala keilmuannya yang melintasi ilmu agama serta kepiawayannya memanfaatkan ilmunya untuk memberikan solusi-solusi kreatif mengenai seluruh aspek permasalahan-permasalahan umat merupakan keunggulan Gus Dur yang patut dijuluki sebagai pendekar intelektual yang handal. Bahkan sampai saat ini tampaknya belum ada tokoh Islam yang mampu menggantikan posisi tersebut.

B.Murtadlâ Muthahharî 1. Riwayat Hidup

Murtadlâ Muthahharî merupakan putra dari seorang ulama terkemuka dan dihormati, Syekh Muhammad Husain Muthahharî.44 Muhammad Husain adalah orang pertama yang memperkenalkannya dengan ilmu pengetahuan. Ia berada di bimbingan ayahnya sampai 12 tahun setelah kelahirannya.45 Kelahirannya bertepatan pada 2 Februari 1920 M yang bertepatan dengan 12 Jumadil Ula 1228 H di Fariman.46

42

Abdurrahman Wahid, http://id.wikipedia.org. 43

Ibid. 44

Haidar Baqir, Murtadlâ Muthahharî, Sang Mujahid Sang Mujahid (Bandung: Yayasan Muthahharî, 1998), h. 25.

45 Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtadlâ Muthahharî” (Laporan Penelitian

Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2001), h. 8. 46

(35)

Bekal ilmu keagamaan pertamakali didapatkan dari ayahnya. Sehingga sang ayah bukan hanya sekedar orang tua darinya, tetapi juga menjadi seorang guru yang sangat mempunyai perhatian yang cukup tinggi terhadap pendidikannya, sehingga ia selalu membimbingnya dengan baik. Sedangkan keilmuan tentang membaca, menulis, surat-surat pendek al-Qur’an dan pengentar sastra Arab didapatkan dari madrasah di Fariman tempat ia belajar.47 Tampaknya, ilmu-ilmu yang didapatkan itulah yang kemudian menjadi bekal dan bahkan mampu memengaruhi perkembangan intelektualnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar tersebut, ia kemudian berpetualang ke Hawzah Masyhad untuk melanjutkan studi keagamaannya. Tempat itu adalah pusat pendidikan agama Syi’ah. Di Hawzah Masyhad tersebut, Muthahharî telah menunjukkan kecerdasan dan keseriusan dalam upaya mempelajari ilmu-ilmu Islam. Di sana, beliau juga telah menunjukkan minat besar terhadap filsafat dan Irfan. Selama di Masyhad, beliau banyak terinspirasi oleh kepribadian seorang filsuf Islam tradisional ternama kala itu, Mirza Mehdi Syahidi Razavi.48

Tepatnya pada 1936, ia pindah ke Qom untuk memperdalam ilmu keagamaan. Di tempat tersebut, ia belajar di bawah bimbingan Ayatullah Boroujerdi dan Khomeini.49 Tentunya kepindahan tersebut berlasan yang kuat.

47

Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 313.

48

(36)

Di antara faktor-faktor yang menjadikannya pindah ialah pertama, guru yang menjadi curahan perhatiannya, Mirza Mehdi Syahidi Razawi wafat pada tahun 1936. Kedua, Kemunduran yang dialami Hawzah Masyhad. Ketiga, adanya tekanan-tekanan destruktif dari pemerintah tirani yaitu raja Reza Khan, terhadap seluruh lembaga-lembaga ke-Islam-an, termasuk Hawzah Mashyad.50 Kerajaan Persia kala itu menganggap bahwa eksistensi berbagai institusi Islam tersebut dapat mengganggu stabilitas politis negara.51

Khomeini merupakan guru yang mempunyai hubungan yang sangat dekat dengannya. Sang imam adalah pengajar muda yang mempunyai kedalaman dan keluasan wawasan keislaman dan kemampuan menyampaikannya kepada orang lain dengan sangat baik. Kehebatannyalah yang menjadikan pelajaran-pelajaran khomaeni terutama pelajaran mengenai irfannya meninggalkan bekas yang amat kuat dalam hati Muthahharî. Bahkan materi yang disampaikan Khomaeni itu masih terngiang-ngiang di telinganya sampai beberapa hari setelah mendengarkannya.

Tidak hanya Khomaeni yang menjadi gurunya. Bahkan ʻAllamah Thabatthabaʻî yang juga merupakan ulama besar di masanya juga menjadi guru favoritnya di bidang filsafat dan irfan. Sedangkan pemikiran ʻAllamah juga dipengaruhi kajian-kajian mengenai Nahj al-Balâghah. Nahj al-Balâghah

50

Muhsin, Filosof, h. 279.

(37)

merupakan kumpulan wacana, pidato, surah-surah dan kata-kata bijak khalîfah keempat dan imam pertama dalam madzhab Syi’ah, „Alî bin Abî Thâlib.52

Pada tahun 1950 Murtadlâ konsentrasi lebih keras lagi pada studi filsafat. Ia meneruskan bacaannya tentang Marxisme melalui terjemahan Persia dari karya George Pulizer yang berjudul Introduction to Philosophy dan mulai mengikuti diskusi Kamis Thabatthabaʻî tentang “filsafat materealis.” Diskusi ini berlangsung dari tahun 1950-1953 dan menghasilkan lima jilid buku Ushul-e Falsafah va RavUshul-esh-Ushul-e RUshul-ealism (Prinsip-prinsip Filsafat dan MUshul-etodUshul-e RUshul-ealistik). Murtadlâ kemudian mengedit karya ini dan menambahkan catatan-catatan yang luas (lebih besar dari naskah aslinya sendiri) dan secara bertahap menerbitkannya (1953-1985). Di samping itu pada waktu ini ia mempelajari Ibn Sina dengan Thabatthabaʻî. Di antara teman kelasnya adalah Muntazeri dan Behesti

Mengenai Nahj al-Balâghah, selain dikenal merupakan suatu model ketinggian sastra Arab, seperti antara lain diungkapkan oleh Syaikh

Mu ammad „Abduh, kitab ini berisi banyak ungkapan-ungkapan teologis,

filosofis, dan mistis yang amat sophisticated. Dari kitab ini (di samping

ucapan-ucapan para imam lain) kaum Syi’ah menggali banyak dasar-dasar filsafat dan

irfan. Inkorporasi Nahj al-Balâghah ke dalam sistem Filsafat Islam yang berkembang di Iran diketahui mencapai puncaknya pada aliran Hikmah Mullah Shadra. Untuk sekedar mengetahui isinya, khususnya yang menarik minat

52

(38)

Muthahharî, berikut ini adalah topik-topik yang terutama dibahas kitab ini Muthahharî dalam karyanya yang berjudul Sayr’e dar Nahu al-Balâghah (pelancangan dalam Nahj al-Balâghah). Teologi dan metafisika, suluk (tasawuf) dan ibadah, kuliah-kuliah mengenai akhlak, serta dunia dan keduniaan (dalam hubunganya dengan sikap seseorang arif dan sufi terhadapnya).

Dari kesemuanya di atas itulah yang membentuk dasar karakter pola pikir Muthahharî menjadi seorang pemikir Syiʻî yang dapat memadukan antara filsafat dan agama serta menanggapi setiap persoalan secara rasionalitas dan filosofis, sebagaimana di dalam Sya’ir dan Nahj al-Balâghah, misalnya Murtadlâ membantah pernyataan sebagian pengamat yang menyatakan bahwa rasionalisme dan kecendrungan kepada filsafat lebih merupakan pengaruh budaya intelektual Persia dari pada budaya intelektual ke-Islam-an. Dia menunjukkan bahwa semuanya itu berada di jantung ajaran Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh al-Qur’an, Hadis nabi dan ajaran para imam.

2. Karya-Karya

Murtadlâ Muthahharî cukup produktif dalam menghasilkan karya. Ia mempunyai karya yang cukup banyak, yaitu sekitar enam puluhan. Tulisan tersebut terdiri dari tulisan sendiri dan juga banyak akumulasi dari pidato-pidatonya yang kemudian diterbitkan menjadi buku.

(39)

manusia. Bis Guftôr, buku ini merupakan kumpulan 20 ceramah yang secara keseluruhan mengacu pada pembahasan mengenai keadilan, hak-hak, ilmu, akal, hati dan tentang cara berpikir yang ideal dalam kehidupan.

Fundamentals of Islamic Thought God, Man and Universe, buku ini menjelaskan tentang persoalan Tuhan, manusia dan alam semesta. Goal of Life. Buku ini menjelaskan tentang tujuan penciptaan, landasan etika personal dan etika sosial, agama, madzhab pemikiran dan pendangan dunia Islam serta proses penyempurnaan manusia serta tauhid Islam.

Hak wa al-Bathil, buku ini menjelaskan nilai-nilai pandangan dunia ideologi Islam di hadapan pandangan dunia dan ideologi lain, buku ini memberikan tawaran pemikiran alternatif tentang kebenaran dan kebatilan, plus sebagai kritik yang jitu terhadap berbagai penyelewengan pemikiran yang sedang berkembang.

Inna al-Dîn ‘Inda Ilâh al-Islâm, buku ini menjelaskan tentang cara melihat kebenaran ajaran Islam yang murni sebagai bentuk filsafat sosial dan keyakinan ketuhanan, pola pikir dan kepercayaan yang konstruktif dan konfrehensif. Dan cara mengenal kondisi umat Islam harus senantiasa cemat melihat orientasi perkembangan sains dan pengetahuan, mana fenomena yang menyimpang, imam yang sebenarnya secara substansial harus dikembangkan.

(40)

harmonis. Buku ini merupakan ceramahnya yang disampaikan pada bulan Ramadhan.

Introduction to Kalam, buku ini membahas tentang ilmu kalam yang merupaka ilmu yang mengaji mengenai dasar-dasar pokok aqidah seseorang terhadap teologi. Man and Universe, buku ini merupakan akumulasi poin-poin penting tentang berbagai problematika manusia dan alam semesta yang diimbangi dengan argumentasi yang ilmiah, filosofis, logis serta merujuk kepada al-Qur’an.

Mas’alê-ye Syenôkh, buku ini merupakan kumpulan ceramahnya

tentang penguatan landasan filsafat Islam yang pada waktu itu penganut Marxisme melakukan aktifitas besar-besaran di bidang kebudayaan. Penguatan itu dengan cara memperbaiki kerangka pemikiran umat Islam dalam ranah epistemologis yang mengarahkan pada hakikat epistemologi Islam. Ceramah itu disampaikan pada bulan Muharram 1397 H/1977 M.

Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, buku ini menjelaskan menenai tiga persoalan pokok yaitu manusia dan keimanan, manusia menurut al-Qur’an, manusia dan takdirnya.

3. Kedudukan Murtadlâ Muthahharî dalam Pemikiran Islam

Murtadlâ adalah pemikir yang mengabdikan hidupnya untuk perjuangan ideologi dan politik.53 Selain itu ia merupakan seorang cendekiawan muslim yang mempunyai pengetahuan dan wawasan mendalam tentang berbagai hal.

53

(41)

Syamsuri menyebutkan bahwa ia adalah intelektual muslim yang taat beragama, moderat, dan terbuka dan senantiasa berkeinginan mengembangkan dan memperluas wawasan berpikir generasi muda Islam Iran dan meningkatkan kualitas pendidikan mereka.54

Beliau adalah seorang filosof besar yang tidak hanya menguasai filsafat Islam, namun juga filsafat Barat. Meskipun ia juga menguasai filsafat Barat, tetapi ia tetap menjadi cendikiawan yang sangat gagah dan tidak pernah rendah diri terhadap ilmuwan Barat, bahkan ia tidak malu untuk mengutip pemikiran-pemikiran ilmuwan Islam. Tidak sama dengan kebanyakan ilmuan yang merasa rendah diri dihadapan pemikir barat sehingga kemudian ia memuja pemikiran Barat tanpa berpikir kritis terhadapnya.

Dari pemikiran dan metodologi yang beliau gunakan, Murtadlâ termasuk dalam kategori pemikiran Islam atau islamic thought (fikr al-islâmî). Beliau sudah menggunakan metode dan pendekatan dalam pemikirannya, namun di samping itu juga beliau masih berada dalam lingkaran sebagai seorang muslim yang taat terhadap agama Islam sekte Syi’ah, sebagai agama yang beliau anut sejak kecil.

Tidak heran, karena memang sejak dini ia sudah memperlihatkan kecenderungan yang kuat pada filsafat Islam. Kecenderungannya itu dipicu oleh pandangannya tentang filsafat sebagai senjata ideologi yang ampuh untuk menghadapi ide-ide sekular yang tersebar cepat di Iran pada waktu itu.

(42)

Dari aspek pemikiran, Muthahharî memang tidak kalah intelektualnya dengan ilmuan barat yang terkenal seperti Sartre, Heidegger atau Buber. Karena dalam pemikiran mengenai eksistensi manusia dan alam, Muthahharî sudah melakukan permenungan yang aktif dan menyajikannya dengan sangat kritis dan analitis.55

Sedangkan dalam ranah filosof muslim, ia disamakan dengan al-Ghazâlî. Kesamaannya terletak pada kecenderungannya melihat filsafat sebagai senjata ampuh ideologi untuk menangkal ide-ide filosofis. Tetapi perbedaannya ialah terletak lawan yang dihadapinya. Kalau al-Ghazâlî menghadapi ide-ide filosofis para filosof muslim yang dianggap tidak ortodoks. Sedangkan yang dihadapi Muthahharî ialah ide-ide sekular Barat, khususnya Marxisme. Tetapi keduanya mempunyai semangat yang sama.56

Dalam mengkritik ideologi Marxisme, Muthahharî sampai pada satu kesimpulan bahwa ideologi Marxisme tidak sesuai dengan ideologi Islam, sehingga tidak pantas bagi ummat untuk mengusung ideologi tersebut. Memudahkan memahami argumentasi yang dipakainya, Muthahharî mengajukan diagram di bawah ini.

Epistemologi --> Paradigma --> Ideologi --> Praktik

Diagram di atas menjelaskan relasi antara ideologi dengan paradigma (worldview) seseorang ibarat fondasi dasar sebuah bangunan dengan bagian

55 Jalaluddin Rahmat, “Mutahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama’,”, h. 8. 56

(43)

atas bangunan tersebut. Singkatnya, ideologi sebagai hikmat amali (ilmu praktis) mesti berlandaskan pada hikmat nazhari (ilmu teoritis) tertentu.57

Tetapi menurut Ḥamîd Dabbashî -sebagaimana diungkapkan Mulyadi Kartanegara dalam makalahnya- bahwa sumber-sumber yang dipakai Muthahharî untuk mempelajari Marxisme ini adalah sekunder, yaitu sumber-sumber yang bisa ia dapatkan dalam bahasa Persia, baik pamplet-pamplet oleh kaum Marxis yang tergabung dalam partai Tudeh, atau terjemahan karya Marx ke dalam bahasa Persia atau sumber Arab berbahasa Arab.58

Selain itu, Murtadlâ merupakan salah satu tokoh yang memberikan perhatian yang serius terhadap filsafat. Menurutnya filsafat mempunyai peran penting dalam pertempuran ideologi. Ia merupakan senjata ideologi, sehingga Muthahharî berusaha menghidupkan kembali tradisi filosofis, dan ia percaya filsafat merupakan prioritas utama dalam skala makna di antara semua cabang ilmu pengetahuan.

Maka dari itu Murtadlâ dikenal sebagai pemikir filosofis juga dikenal sebagai salah seorang tokoh pembela kebebasan berpikir. Muthahharî berkeyakinan bahwa eksistensi Islam tidak bisa dipertahankan kecuali dengan kekuatan ilmu dan pemberian kebebasan terhadap ide-ide yang muncul. Oleh karena itu, ajaran Islam yang dipercayai dan diyakini kebenarannya harus melindungi kebebasan berpikir.

57

Haidar Bagir, Resensi Buku Murtadlâ Muthahharî : Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia (Jakarta: Sadra Press, 2010), h. ii.

58

(44)

Filsafat bagi Muthahharî merupakan alat dan metode untuk memahami ajaran-ajaran Islam, di samping untuk mempertahankan diri dari pengaruh ideologi-ideologi yang menyimpang. Tetapi, menurut Muthahharî, filsafat bukan merupakan kebenaran yang berdiri sendiri, di sampingnya, ada kebenaran agama.

Kebenaran filsafat dan kebenaran agama, bagi Muthahharî tidak saling bertentangan. Berdasarkan keyakinan ini, Muthahharî selalu mendasarkan pemikirannya pada kebenaran-kebenaran agama, kemudian dipahami, diinterpretasikan, dan dipertahankan dengan kebenaran-kebenaran filosofis.

Muthahharî memandang serbuan pemikiran Barat sebagai musuh terbesar dari pemikiran Islami. Menghadapi pertempuran intelektual ini menurut Muthahharî harus dengan menggunakan senjata intektual pula. Muthahharî tidak menolak Barat dengan mengumumkan shalat istikharah, tidak pula dengan menyesuaikan ajaran Islam pada kerangka pemikiran Barat (seperti kaum modernis yang membungkus paham Barat dengan kemasan Islam). Muthahharî mengadakan penelitian tentang dasar-dasar pemikiran yang sudah terbaratkan; Ia mengkaji dan menyangkal secara rasional aliran-aliran filsafat intelektual dan sosial Barat dan memberikan interprestasi baru tentang pemikiran dan praktik-praktik keislaman secara logis dan rasional.59

59

(45)

35

BAB III

FILSAFAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN MURTADLÂ MUTHAHHARÎ

A.Filsafat Manusia menurut Abdurrahman Wahid

1. Mengenai Hakikat Manusia

Konsep tentang hakikat manusia merupakan pemikiran fundamental Gus Dur dalam memberikan apresiasi luas terhadap segala hal, baik dalam kehidupan manusia dan dalam memberikan perhatian pada kesejahteraan setiap individu. Tampaknya Gus Dur memang benar-benar memposisikan manusia pada tempat yang sebenarnya. Terbukti dalam setiap langkahnya Gus Dur selalu mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan.

Menurutnya, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mempunyai kesempurnaan keadaan yang paling tinggi dalam setiap ciptaan Tuhan. Ia adalah makhluk yang dilengkapi akal, perasaan dan keterampilan untuk mengembangkan diri. Segala kelengkapan itu tidak dimiliki makhluk lainnya.63 Demikianlah manusia lebih unggul dari makhluk lainnya.

Ditinjau dari aspek ini, sesungguhnya seluruh manusia memiliki kedudukan yang tinggi dalam tatanan kosmologi sehingga setiap individu harus memperoleh perlakuan dan hak-hak dasar yang sama.64 Karena posisi manusia yang tinggi itu menuntut pula penghargaan kepada nilai-nilai dasar kehidupan

63

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 30. 64

(46)

manusia yang sesuai dengan martabatnya. Hal itu menuntut agar manusia dipandang sebagai manusia.

Hak-hak dasar itu tidak lain ialah nilai-nilai dasar manusia. Nilai-nilai dasar manusia merupakan dimensi-dimensi kemanusiaan yang memang sudah melekat dalam diri manusia sejak lahir. Adapun dimensi-dimensi yang dimaksud ialah dimensi materi, keyakinan, moralitas, kepemilikan, kreativitas65 dan rasionalitasnya. 66

Apa yang disebutkan tadi merupakan dimensi-dimensi kemanusian yang bersifat universal, karena setiap individu pasti mempunyai dimensi-dimensi itu. Melekatnya fitrah dalam diri manusia, menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Dalam artian, fitrahnya menjadikan manusia sebagai makhluk termulia di jagat raya.

Untuk menjadi manusia seutuhnya, manusia harus memberikan ruang gerak yang cukup bagi dirinya sendiri di luar dan di dalam dirinya sendiri.67 Maka dari itu dimensi-dimensi tersebut harus dilindungi demi lahirnya kebebasan dimensi-dimensi manusia dalam rangka perkembangan hidup manusia yang optimal. Kebebasan tersebut menjadikan manusia dapat mengembangkan pemikiran dan kepribadiannya tanpa intervensi dari luar baginya.68 Jika kalau tidak demikian, manusia sebagai individu cenderung

65

Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (Depok: Desantara, 2001), Cet. Ke-2, h. 180.

66

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 8-11. 67

Ibid, h. 36

68 Wawan Kurniawan, “Menolak HAM atau Mengubah Fiqh?: Pemikiran Gus Dur tentang

(47)

memperlakukan dirinya secara berlebihan. Akibatnya, kebebasan keakuan manusia justru akan mengganggu manusia lainnya dalam meraih hakikatnya sebagai manusia.

Kebebasan manusia bukan kebebasan tanpa batas. Tetapi kebebasan manusia yang dimaksud Gus Dur tidak lain ialah kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan manusia lainnya. Itulah yang disebut Gus Dur sebagai kebebasan yang dilandaskan pada dimensi-dimensi kemanusiaan. Hal tersebut harus tumbuh dari hati nurani manusia. Karena kesadarannya akan hakikat manusia itu sendiri merupakan hal yang sangat penting demi terciptanya saling menghargai di antara sesama manusia.69 Sartre membahasakan dengan kebebasan yang juga harus memerhatikan kebebasan orang lain, yang oleh Sartre diistilahkan dengan kata Faktisitas.70

Manusia yang mampu menerapkan penghargaan kepada sesama, pada dasarnya ia sadar bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan mulia. Ia terlahir dalam keadaan dibekali dimensi-dimensi dasar yang sangat manusiawi. Tetapi dalam kehidupannya, terkadang manusia sendiri justru melupakan dimensi-dimensi kemanusiaan tersebut. Jika manusia dapat memahami dan melaksanakan dimensi-dimensi tersebut dengan baik dalam kenyataan,

69 Abdurrahman Wahid, “Pengembangan Ahlussunah wal Jama’ah di Lingkungan Nahdlatul

Ulama”, dalam Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wa al-Jamaʻah: Sebuah Kritik Historis (Jakarta: Pustaka

Cendekia Muda, 2008), Cet. Ke-1, h. viii.

70 Lili Tjahjadi, “Ateisme Sartre: Menulak Tuhan Mengiyakan Manusia,” dalam

(48)

sesunggunya manusia yang demikian merupakan manusia yang sempurna, manusia yang sesuai dengan hakikat dirinya sebagai manusia yang mulia.71

Kemuliaan manusia dilengkapi oleh Allah dengan firman-Nya pula dalam surat al-Tîn/95: 4, yaitu, “laqad khalaqnâ al-insâna fî aḥsani taqwîm” (“sesungguhnya telah Ku-jadikan manusia dalam bentuk kemakhlukan yang sebaik-baiknya”) dan dengan keseluruhan peranan status dan bentuk kemakhlukan itu manusia dijadikan Allah sebagai pengganti-Nya di muka bumi (khalîfatullâh fî al-ardl).72

Fitrah manusia yang diterangkan di atas merupakan anugerah dari Allah kepada manusia agar manusia mampu menjalankan tugasnya sebagai khalîfah-Nya. Kepercayaan Tuhan akan diri manusia merupakan derajat yang sangat spesial yang tidak satu pun makhluk lain mendapatkannya. Jabatan itu menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang mempunyai posisi tertinggi ke-2 setelah Tuhan.

Tuhan tidak akan pernah salah pilih dalam menentukan suatu pilihan, termasuk juga dalam memilih manusia untuk menjadi pengganti-Nya di muka bumi. Menurut Gus Dur, Tuhan memilih manusia sebagai pengganti-Nya tidak lain karena dalam penciptaannya, manusia dibekali berbagai potensi yang dimungkinkan dapat mengemban tugas berat tersebut.

Diutusnya manusia mempunyai tugas-tugas utama. Dalam suatu tulisan, Gus Dur mengatakan bahwa tugas utama manusia sebagai khalîfah tidak lain ialah untuk membawakan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana Nabi Muhammad diutus Allah untuk kesejahteraan manusia.

71

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 368-369.

(49)

Pesan-pesan yang dibawakan Islam pada umat manusia adalah sederhana saja: bertauhid, melaksanakan syariah, dan menegakkan kesejahteraan di muka bumi. Kepada kita telah diberikan contoh sempurna, yang harus kita teladani sejauh mungkin, yaitu Nabi Muhammad Saw. Hal itu dinyatakan dalam al-Qur’an surat al A zab/33: 21, yaitu “laqad kâna lakum fî rasûlillâh uswatun ḥasanah” (“telah ada bagi kalian keteladanan sempurna dalam diri Rasulullah”). Keteladanan itu tentunya paling utama terwujud dalam peranan beliau untuk membawakan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia (raḥmatan li’al-âlamîn). Karena meneladani peranan pembawa kesejahteraan itulah manusia diberi status tinggi di hadapan Allah, seperti firman-Nya dalam surat al-Isra’/17: 70, yaitu, “laqad karramnâ banî âdam” (“sungguh telah Ku-muliakan anak Adam”).73

Dalam teks di atas, Gus Dur ingin menjelaskan bahwa urutan pesan yang dibawakan Islam merupakan suatu urutan menuju pada kesempurnaan manusia sebagai khalîfah Tuhan. Bertauhid merupakan menjadi modal utama yang harus tertanam dalam diri manusia untuk menjadi diri yang sempurna. Kebertauhidan manusia mendorongnya untuk menjalankan syariah yang dihasilkan dari persaksian manusia akan Tuhan. Maka menjalankan syariah merupakan suatu tanda bahwa seseorang itu bertauhid. Tidak hanya itu, kebertauhidan dan melaksanakan syariah itu pula mendorong manusia untuk berbuat sebagaimana perintah Tuhan yaitu menciptakan kesejahteraan untuk alam semesta.

Seseorang yang bertauhid dan melaksanakan syariah dengan baik dan benar sudah merupakan kepastian baginya untuk terus berusaha memakmurkan dan menyejahterakan seluruh jagat raya. Sehingga seseorang yang tidak menyebarkan rahmat berupa kesejahteraan tidak dapat dikatakan sebagai manusia yang bertauhid dan melaksanakan syariah.

73

(50)

Dengan demikian, Gus Dur menempatkan kesejetahteraan sebagai ukuran hakikat manusia itu sendiri. Sedangkan unsur-unsur dasar kemanusiaan merupakan modal awal yang sangat penting untuk menuju pada derajat tertinggi manusia. Derajat tertinggi manusia ialah jika ia mampu memanfaatkan dimensi-dimensi manusia demi kesejahteraan umat manusia. Manusia yang nilai-nilai kemanusiaannya berkembang dengan seimbang ialah dia yang menyejahterakan seluruh umat manusia. Maka itulah hakikat manusia, yang seharusnya menjadi cita-cita seluruh umat manusia agar dirinya mampu menjadi manusia yang sesungguhnya.

Gus Dur tidak hanya menyusun teori tentang hakikat manusia. Tetapi ia juga memberikan contoh yang sangat baik mengenai teorinya tentang manusia yang sebenarnya. Gus Dur tidak ragu-ragu menggunakan segala kekuatannya untuk kesejahteraan manusia. Ketika menjadi presiden, kesejahteraan masyarakat menjadi perjuangan utamanya. Saking pedulinya pada kesejahteraan, Franz Magnis Suseno SJ menyamakan Gus Dur dengan para khalîfah Mongul yang memang benar-benar bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kebahagiaan minoritas yang hidup di bawah pemerintannya.74

2. Dimensi-dimensi Manusia

Terdapat beberapa dimensi yang menurut Gus Dur harus diasah jika manusia ingin menjadi diri yang sesungguhnya. Dimensi-dimensi itulah yang

74 Franz Magnis Suseno, “Gus Dur: Bangsa Mana di Dunia

Mempunyai Presiden seperti

Kita,” dalam Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKIS, 2000), Cet.

(51)

akan benar-benar menampilkan kesempurnaan manusia dibandingkan makhluk lainnya. Dimensi-dimensi itu ialah dimensi badani, keyakinan, moralitas, kepemilikan, kreativitas dan rasionalitasnya.

Manusia berposisi sebagai makhluk yang terdiri dari aspek materi, yaitu susunan fisik yang disebut tubuh. Aspek materi manusia merupakan suatu alat untuk merealisasikan segala apa yang ada dalam pikiran dan hati seseorang. Dengan demikian, untuk mengoptimalkan potensi ini, individu harus mampu mengembangkan persamaan hak dan derajat antarsesama manusia.75 Persamaan hak dan derajat akan melahirkan saling menghormati segala potensi manusia antarsesama yang memang harus memiliki kesempatan yang sama dalam mengembangkan segala pontensinya.

Selain dimensi materi, manusia juga mempunyai dimensi keyakinan yang memang sudah melekat dalam diri manusia. Keyakinan inilah yang memungkinkan manusia untuk mendekat dan menemukan Tuhannya. Sehingga menangkap eksistensi Tuhan itu oleh Gus Dur disebut sebagai bagian dari fitrah manusia. Hal tersebut yang menjadikan Gus Dur tidak ragu untuk mengatakan bahwa manusia dituntut memiliki landasan berupa bekal keyakinan yang kuat,76 karena hal itu merupakan bagian dari penyempurna hakikat diri manusia itu sendiri.

75

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 5. 76

(52)

Dalam tatanan alam, sebenarnya manusia mempunyai posisi yang sangat unik, yaitu keberadaannya di antara alam semesta dan Tuhan.77 Sebagai makhluk yang berkeyakinan yang merupakan bagian dari rohani, manusia mempunyai potensi untuk menangkap pesan-pesan dari Tuhan. Sebagai makhluk materi kemudian manusia menyampaikannya atau mengaplikasikannya kepada alam semesta.78 Manusia ibarat suatu jembatan yang menjadi perantara yang amat baik untuk menyatukan alam semesta dengan Tuhan.

Sehubungan dengan hal tersebut, Gus Dur menambahkan bahwa sebagian dari unsur dasar manusia ialah hakikatnya sebagai makhluk bermoral. Moral oleh Gus Dur diartikan sebagai kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan.79 Dimensi moralitas ini yang oleh Gus Dur disebut sebagai landasan keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi.80 Dimensi moral ini merupakan suatu bekal manusia dalam hidup berdampingan dengan manusia lainnya.

Konsep mengenai manusia sebagai makhluk bermoral, Gus Dur juga mengambilnya dari kandungan al-Qur’an yang banyak menyatakannya. Ayat yang menyatakan manusia sebagai makhluk yang berbangsa dan bersuku-suku merupakan salah satu yang menjelaskan tetang aspek moralitas manusia.81

77

R.A. Nicholson, Tasawuf Cinta: Studi atas Tiga Sufi: Ibn Abî Khair, Jîlî dan Ibn al-Farid, terj. Uzair Faizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 144.

78

Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 12.

79

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 6. 80

Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 6. 81

(53)

Referensi

Dokumen terkait

Hakim memutus sebagai berikut: Menyatakan terdakwa Saridah bin Senin terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pembukaan Lahan dengan Cara

Kenyataan ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru- guru yang mengajar di kelas rendah untuk membuat siswa menjadi mengerti dengan materi yang guru jelaskan.Salah satu

berkiprah selama 17 tahun, menginspirasi banyak karnaval di tanah air, memiliki sederet prestasi internasional dan menjadi event fashion carnival kelas dunia

Minat dan kebutuhan pemakai Perpustakaan Perguruan Tinggi setiap pribadi atau kelompok masyarakat mempunyai minat dan kebutuhan akan informasi yang berbeda satu

Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal edisi kali ini sebanyak 5 (lima) artikel yang meliputi: Bakteri Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-Nina di

dan mikro Pengetahuan Menguasai konsep dan prinsip ilmu ekonomi Pengetahuan Konsep dan Prinsip C-2 Understand Mampu menjelaskan/ Mampu membandingkan/ Mampu menghitung/

1) Aptitude Treatment Interaction (ATI) merupakan suatu konsep atau model yang berisikan sejumlah strategi pembelajaran ( treatment ) yang efektif digunakan untuk siswa

Hadirnya aktor politik selebriti senada dengan Bauer (2010) yang secara implisit menyampaikan bahwa sosok selebriti mampu merubah wajah panggung politik. Lebih jauh