• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Perubahan Sosial Budaya di Yogyakarta

Dalam dokumen Sastra Yogya PERIODE (Halaman 28-38)

LINGKUNGAN PENDUKUNG TAHUN 1945

2.1 Dinamika Perubahan Sosial Budaya di Yogyakarta

Sejarah mencatat bahwa sejak tahun 1950-an banyak seniman, sastrawan, dan budayawan dari luar Yogyakarta datang ke Yogya-karta, misalnya Nasjah Djamin, Boet Moechtar, Lian Sahar, Motinggo Boesje, Budi Darma, W.S. Rendra, Toto Sudarto Bachtiar, Ashadi Siregar, dan Korrie Layun Rampan. Sebagian ada yang “singgah” atau berdomisili sementara, tetapi banyak juga yang kemudian menetap, misalnya Nasjah Djamin, Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, Rachmat Djoko Pradopo, Bakdi Sumanto, Emha Ainun Nadjib, dan Ashadi Siregar. Kedatangan mereka bukan hanya sekadar didukung oleh mobilitas sosial-ekonomi, melainkan juga oleh faktor lain, seperti keinginan untuk mengembangkan kreativitas dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, di samping mengembangkan profesi. Para seniman tersebut tidak terbatas pada mereka yang pernah berjaya pada dekade sebelumnya, tetapi juga termasuk para seniman yang benar-benar baru yang nama mereka belum pernah muncul di media yang terbit di Yogyakarta atau belum dikenal dalam dunia berkesenian di Yogyakarta.

Di bidang aktivitas bersastra, pada tahun 1950-an memang muncul generasi baru dalam kehidupan sastra Indonesia di Yogya-karta. Kebaruan itu terlihat dari penyebaran pusat-pusat kegiatan para pengarang ke berbagai wilayah atau daerah. Berkat adanya berbagai faktor spesifik yang dimiliki, kota Yogyakarta telah mengundang para seniman dari berbagai kota di Indonesia untuk berproses kreatif di Yogyakarta. Oleh sebab itu, di Yogyakarta kemudian muncul berbagai media massa cetak (surat kabar dan majalah), baik yang menaruh perhatian besar pada bidang kesenian,

kesastraan, dan kebudayaan, khususnya sastra dan budaya Indonesia, maupun yang bersifat umum. Beberapa media massa penting yang terbit pada kurun waktu itu (1950-an), dan juga pada tahun-tahun sebelumnya, di antaranya adalah Pusara (terbit pertama 1933), Pesat (terbit pertama 21 Maret 1945), Api Merdika (terbit pertama 16 November 1945), Arena (terbit pertama April 1946), Suara

Muhammadiyah (terbit pertama 1915 dan masih hidup sampai

sekarang), Kedaulatan Rakyat (terbit pertama 27 September 1945 hingga sekarang), Minggu Pagi (terbit pertama April 1948 hingga sekarang), Medan Sastra (terbit pertama 1953), Darmabakti (terbit pertama April 1950), Gadjah Mada (terbit April 1950), Pelopor (terbit pertama Januari 1950), Basis (terbit pertama Agustus 1951 hingga sekarang), Semangat (terbit pertama tahun 1954), dan Budaya (terbit pertama Februari 1953).

Sejak awal kemerdekaan Yogyakarta telah berupaya mengem-bangkan diri menjadi salah satu kota budaya terkemuka di Indonesia. Hal ini disenanlam oleh kota ini mewarisi dan memiliki tradisi budaya kerajaan (keraton) yang masih kuat, di samping masih banyaknya tokoh masyarakat yang memegang teguh landasan berpikir spiritual dalam upaya memelihara eksistensi kebudayaan lokal (tradisional). Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika di dalam perkembangan berikutnya lahir seniman atau budayawan-budayawan terkemuka yang berproses kreatif di kota Yogyakarta. Kenyataan inilah yang --mau tidak mau-- mempengaruhi denyut dan dinamika sosial-budaya dan kesenian (kesastraan) di Yogyakarta.

Dinamika sosial-budaya di Yogyakarta pada tahun 1950-an sesungguhnya menunjukkan gambaran yang tidak berbeda dengan mobilitas sosial-politik di daerah-daerah lain di Indonesia. Aktivitas masyarakat Yogyakarta dilatarbelakangi pula oleh dinamika sosio-kultural yang kontradiktif, yaitu tradisi yang bergerak relatif lamban dan dorongan modernisme yang demikian kuat dan cepat. Di Malioboro, misalnya, dua aspek penting yang saling tarik dan ulur itu menampakkan diri dengan jelas. Sebagai sebuah kota bekas kerajaan Mataram, aura sosio-kultural tradisi tersebut hingga sekarang masih dan terus tampak kuat walaupun arus gelombang modernisasi tidak mungkin terelakkan. Bahkan, keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai atraksi kultural demi wisatawan, baik domestik maupun asing.

Pada sektor pendidikan, Yogyakarta memiliki pusat-pusat pendidikan yang spesifik, antara lain Universitas Gadjah Mada, Perguruan Taman Siswa, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), Akademi Seni Kerawitan, Akademi Seni Rupa Indonesia (selan-jutnya menjadi ASRI, dan kini menjadi bagian dari ISI) yang menyebabkan banyak orang dari berbagai kota di Indonesia berke-inginan datang ke Yogyakarta untuk memperoleh atau mengem-bangkan pendidikan yang lebih baik. Karena Yogyakarta memiliki tradisi baca dan tulis yang relatif lebih baik --dan ini tidak lepas dari tradisi yang dibangun oleh para pujangga keraton--, para aktivis di berbagai perguruan tinggi tersebut kemudian mendirikan dan atau menerbitkan media tertentu sebagai sarana komunikasi, baik bagi mereka sendiri maupun bagi mereka dengan dunia luar, misalnya Universitas Gadjah Mada menerbitkan majalah Gadjah Mada dan

Gama, sedangkan Perguruan Tamansiswa menerbitkan majalah Pusara. Bahkan tidak hanya itu, selain aktif di kampus, di

tengah-tengah masyarakat mereka juga mengembangkan aktivitas berke-seniannya sehingga muncul kelompok-kelompok studi tertentu yang menambah semarak kehidupan seni di Yogyakarta.

Beberapa di antara aktivis yang saat itu menjadi pelopor di berbagai media massa di kampus, di antaranya adalah Kusnadi Hardjasumantri, Umar Kayam, Budi Darma, Jussac MR, Umbu Landu Paranggi, Darmanto Jatman, W.S. Rendra, Ashadi Siregar, Bakdi Sumanto, Darmadji Sosropuro, Jasso Winarso, dan Moham-mad Diponegoro. Dari kehadiran nama-nama sebagian besar dari mereka di berbagai media massa yang terbit di kota inilah yang pada akhirnya menggambarkan aktivitas dinamis perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta. Beberapa tempat penting di kota ini, seperti trotoar Malioboro (tepatnya di depan kantor Pelopor Yogya), Jalan Mangkubumi (depan kantor Kedaulatan Rakyat), Bulaksumur, kampus IAIN, kampus IKIP Negeri Karangmalang (sekarang UNY), dan kantor Basis di Kotabaru telah menjadi pusat atau kantung-kantung bagi kegiatan bersastra dan berbudaya di Yogyakarta (setidaknya hingga tahun 1970-an).

Seperti diketahui bahwa tahun 1966 merupakan penanda waktu terjadinya peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru. Peristiwa tumbangnya kekuasaan Orde Lama dan berkuasanya kekuasaan Orde Baru melalui peristiwa “Supersemar” (Surat Perintah 11 Maret) itu tidak hanya bersifat politis, tetapi juga dilatarbelakangi oleh beragam masalah yang berkaitan dengan praktik sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Beberapa di antara masalah tersebut ialah pada saat itu (1950-an--1960-an) pertumbuhan penduduk terlalu cepat, tidak cukupnya produksi pangan bagi rakyat, di samping banyaknya rakyat yang buta huruf dan miskin. Berkaitan dengan hal ini Ricklefs (de Vries, 1985:45) mendata bahwa pada 1950 jumlah penduduk Indonesia mencapai 77,2 juta jiwa; pada 1955 berjumlah 85,4 juta jiwa; dan menurut sensus penduduk 1961, jumlah penduduk meningkat menjadi 97,02 juta jiwa. Kendati saat itu produksi pangan meningkat, ternyata kebutuhan penduduk yang juga terus meningkat tetap tidak tercukupi. Hal tersebut terbukti melalui kenyataan bahwa pada saat itu pemerintah terus melakukan impor beras meskipun pada 1956 produksi beras meningkat 26% jika dibandingkan produksi beras pada 1950. Karena itu, kekurangan pangan dan kemiskinan yang terjadi di beberapa daerah di pulau Jawa sejak 1930-an masih terus berlangsung. Kondisi itu lebih memprihatinkan lagi karena pemerintah membangun wacana anti-Barat dengan meneriakkan konsep-konsep seperti liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, imperialisme, neokolonialisme, dan neo-imperialisme. Upaya pemerintah mengambil jarak terhadap negara-negara Barat itu terbukti berdampak pada tidak mengalirnya bantuan finansial dari mereka. Hal itu semakin hari semakin buruk karena politik luar negeri Indonesia memihak kepada negara-negara sosialis seperti Uni Soviet, RRC, dan Eropa Timur.

Bertolak dari kenyataan itulah pemulihan ekonomi dimulai dengan mengubah struktur ekonomi yang semula berpola kolonial ke pola yang bersifat nasional. Langkah awal yang dilakukan peme-rintah adalah menumbuhkembangkan pengusaha pribumi. Para pengusaha Indonesia yang umumnya kekurangan modal diberi hak dan kesempatan untuk ikut membangun ekonomi nasional melalui Program Benteng yang pada 1950 hingga 1953 memberikan bantuan

kredit kepada sekitar 700 perusahaan. Program itu bertujuan me-lindungi perusahaan pribumi, membentuk kelompok pengusaha yang tangguh, yaitu dengan memberikan lisensi impor barang yang kemudian dijual di dalam negeri dengan keuntungan yang tinggi. Sebab, pada saat itu terjadi perbedaan kurs mata uang resmi dengan yang tidak resmi atau yang berada di pasar gelap (Budiman, 1991:31).

Usaha di atas sebenarnya cukup memuaskan karena jumlah pengusaha pribumi meningkat. Pada Juni 1953 tercatat jumlah importir nasional melonjak dari 800 menjadi 3.500 (bahkan ada yang menyebut 6.000 hingga 9.000 importir). Akan tetapi, yang terjadi kemudian tidaklah seperti yang diharapkan. Sebab, Program Benteng ternyata justru semakin memperkuat pengusaha Cina dan India, bukan pengusaha Indonesia itu sendiri. Hal demikian terjadi karena ternyata para pengusaha Indonesia lebih suka menjual lisensinya kepada perusahaan asing (Cina dan lain-lain) dengan “kedok” melakukan kerja sama (Budiman, 1991:31).

Setelah terjadi pergantian kekuasaan, Orde Baru dengan slogan politisnya (“pembangunan”) ingin melakukan perubahan di bidang ekonomi (termasuk sosial-budaya) sehingga terwujudlah program, antara lain, program pengentasan kemiskinan. Ketika Orde Baru berkuasa, kebijakan ekonomi diarahkan pada strategi yang berorientasi ke luar. Strategi itu memberi peluang bagi swasta untuk berperan aktif dalam sistem pasar bebas. Langkah itu diharapkan segera dapat memberikan hasil tanpa memerlukan perombakan radikal struktur sosial-ekonomi (Mas’oed, 1990:116—117). Hal itu setidaknya dapat dicermati dari diberlakukannya peraturan 3 Oktober 1966 yang memuat pokok-pokok usaha, yaitu (1) penyeimbangan anggaran belanja, (2) pengekangan ekspansi kredit untuk usaha-usaha produktif, khususnya di bidang pangan, ekspor, prasarana, dan industri, (3) penundaan pembayaran utang luar negeri dan upaya mendapatkan kredit baru, dan (4) penanaman modal asing guna memberi kesempatan kepada negara lain untuk turut membuka alam Indonesia, membuka kesempatan kerja, membantu usaha pening-katan kerja, dan membantu usaha peningpening-katan pendapatan nasional.

Alasan dipilihnya strategi tersebut tampaknya ada dua hal. Pertama, memberi kepuasaan material bagi masyarakat luas dalam bentuk penyediaan kebutuhan sandang dan pangan. Strategi itu diterapkan Orde Baru untuk menarik simpati rakyat dalam usaha melumpuhkan kekuatan Orde Lama. Kedua, menumbuhkan keper-cayaan internasional terhadap Indonesia. Alasan ini diajukan karena sikap Orde Lama yang mencurigai penanaman modal asing dan bantuan-bantuan negara Barat serta ketidakmampuan pemerintah membayar utang luar negeri telah mempersulit pemerintah dalam upaya mencari bantuan dan penanaman modal asing. Hal itulah yang menyebabkan pemerintah Orde Baru bersedia menerima usulan IMF (International Monetary Fund) mengenai perlu diciptakan iklim usaha yang loyal bagi beroperasinya investasi asing dan perlu diintegrasikan kembali perekonomian Indonesia ke dalam sistem kapitalis internasional (Mas’oed, 1990:118). Hal itu mencerminkan komitmen untuk melaksanakan pembangunan ekonomi yang dianggap merupakan landasan untuk merancang kehidupan politik yang dilakukan pemerintah (Setiawan, 1998:108). Rehabilitasi ekonomi itu berkait erat dengan upaya Indonesia untuk memisahkan diri dari negara-negara komunis dan dijalinnya kembali hubungan dengan negera-negara nonkomunis. Perbaikan hubungan dengan AS dan Jepang, misalnya, terbukti merupakan langkah strategis bagi upaya rehabilitasi ekonomi.

Ricklefs (1994:433) menjelaskan bahwa sejak semula memang pemerintah Orde Baru berupaya untuk menjalankan kebijakan-kebijakan stabilisasi dan pembangunan ekonomi, menyandarkan legitimasi pemerintah pada kemampuan meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat. Salah satu upaya penting yang dilakukan ialah, di samping upaya seperti yang telah dijelaskan di atas, berdasarkan Kepres No. 319/1969, pemerintah mencanangkan stra-tegi pembangunan yang disebut Pelita yang dimulai sejak 1969 (Harnoko dkk., 2003:76—77). Strategi itulah yang kemudian mela-hirkan konsep pembangunan yang mengarah pada pembangunan pedesaan sehingga muncul tiga tipologi desa (swadaya, swakarya, dan swasembada). Konsep itu dinilai tepat karena pada saat itu sebagian besar (73,8%) masyarakat desa masih berada di bawah garis

kemiskinan. Sesuai dengan tipologi desa itu pemerintah berusaha meningkatkan taraf hidup rakyat dengan menerapkan program seperti Bimas, Inmas, Padat Karya, Bantuan Kabupaten, Bantuan Desa, Kredit Candak Kulak, dan Kredit Investasi Kecil. Melalui program-program tersebut akhirnya terbukti kondisi masyarakat Indonesia pada 1970-an hingga 1980-an lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat pada masa Orde Lama.

Khusus di bidang kesehatan, misalnya, pada masa pemerin-tahan kolonial (sekitar 1930) hanya terdapat sekitar 1.030 dokter, padahal jumlah penduduk pada waktu itu mencapai 60,7 juta sehingga setiap 59.000 jiwa hanya tersedia seorang dokter. Pada 1974 terdapat 6.221 dokter, sedangkan jumlah penduduk sekitar 130 juta sehingga setiap 20,9 ribu penduduk tersedia seorang dokter. Keadaan ini meningkat pada 1980-an karena tercatat satu orang dokter hanya melayani 11,4 ribu penduduk. Data-data itu jelas menunjukkan kemajuan drastis meskipun distribusi pelayanan medis tetap tidak merata dan masih jauh dari ideal. Sementara itu, produksi pangan juga mengalami peningkatan karena ketersediaan bibit unggul dan melimpahnya persediaan pupuk. Karena itu, sikap pesimis mengenai terjadinya kekurangan pangan di Indonesia (mestinya sangat) tidak beralasan. Keadaan itu juga terlihat pada kegiatan impor beras berkurang karena pemerintah telah mencapai swasembada beras. Gambaran ini menunjukkan prestasi yang luar biasa yang antara lain sebagai akibat dari kemajuan teknologi, di samping kebijakan ekonomi dan peningkatan pangan oleh peme-rintah dan adanya inisiatif serta kerja keras para petani.

Kesejahteraan rakyat di bidang ekonomi dan pangan men-dorong pula meningkatnya penyediaan sarana pendidikan. Penye-diaan sarana pendidikan meningkat jauh melebihi penyePenye-diaan sarana pendidikan pada masa kolonial yang tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk melek huruf (Ricklefs, 1994:434). Pada 1930 jumlah penduduk yang melek huruf hanya 7,4% (13,2% pria dan 2,3% wanita). Pada 1971 angka-angka itu naik menjadi 72% pria dan 50,3% wanita, dan pada 1980 masing-masing adalah 80,4% pria dan 63,6% wanita. Lebih jauh Ricklefs mencatat bahwa keuntungan-keuntungan dari pendidikan umum dalam bahasa Indonesia tidak

hanya terlihat dari jumlah penduduk yang melek huruf, tetapi juga meliputi peningkatan jumlah penduduk yang dapat menggunakan bahasa Indonesia (bahasa nasional), yaitu dari 40,8% pada tahun 1971 menjadi 61,4% pada tahun 1980.

Di wilayah pedesaan, dampak kemelekhurufan tersebut mampu mengubah hubungan sosial masyarakat dengan terbukanya komunikasi mereka dengan dunia luar sehingga budaya nasional lebih eksis dibanding budaya lokal. Contoh mengenai pergeseran ini dapat dilihat pada masuknya lembaga-lembaga nasional ke pedesaan (Kuntowijoyo, 1994:74—75). Kenyataan itu mengisyaratkan bahwa pada tataran tertentu budaya lokal pedesaan, ritual sosial desa, festival, kesenian, mitologi, dan bahasa “desa” semua digantikan oleh simbol-simbol nasional. Ritual sosial-politik nasional seperti perayaan 17-an, misalnya, menggantikan acara-acara desa seperti

suran, nyadran, dan sejenisnya. Perayaan-perayaan desa dipenuhi

oleh pesan-pesan nasional mulai dari persoalan kesehatan, penataan lingkungan, sampai pada persoalan KB. Kesenian desa diganti oleh televisi, nyanyian desa pun digeser lagu-lagu nasional dan Barat. Mitologi cikal bakal desa juga tidak lagi memenuhi pikiran anak-anak muda karena pahlawan-pahlawan nasional sudah memenuhi pikiran mereka. Pergeseran tersebut menimpa pula pada bahasa khas desa. Dialek dan intonasi yang khas sudah hampir tidak dikenal lagi. Bahasa Indonesia menjadi makin populer di masyarakat karena kedekatan mereka dengan media massa, baik cetak maupun elek-tronik, yang menggunakan bahasa Indonesia dengan berbagai gaya dan ragam yang ditawarkan. Keadaan itu semakin signifikan dengan diberlakukannya Kurikulum 1975 yang semakin memper-kokoh kedudukan bahasa Indonesia. Alasannya adalah bahwa bahasa Indonesia diasumsikan merupakan salah satu sarana yang dapat memperkuat terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa.

Paparan di atas menunjukkan bahwa Orde Baru telah mampu mendudukkan birokrasi sebagai agent of change, yaitu birokrasi sebagai kekuatan yang efektif bagi pelaksanaan program pem-bangunan dan modernisasi. Namun, kalau dicermati, yang terjadi sesungguhnya tidak demikian. Sebab, secara tidak disadari, konsep “persatuan dan kesatuan” dengan proyek “pembangunanisme” yang

dicanangkan oleh pemerintah sejak awal Orde Baru--sejak ada perombakan struktur politik, terutama setelah dilangsungkannya Pemilu 1971--telah menimbulkan ekses tertentu. Dikatakan demikian karena keutuhan dan kesatuan wilayah Indonesia--hal ini tampak sejak tahun 1975--dicapai dengan cara represi fisik dan dominasi ideologis (hegemoni) oleh sebuah rezim yang birokratik, militeristik, dan teknokratik yang mengombinasikan ideologi nasionalisme dan kapitalisme (Oetomo, 2000:3). Hal itulah yang pada tahap selan-jutnya melahirkan kenyataan bahwa pemerintah yang dalam tataran wacana selalu ingin menegakkan demokrasi justru sangat tidak demokratis. Di bidang politik, misalnya, hal itu tampak jelas, yaitu dari sekitar 10 partai (Partai Katolik, PSII, NU, Parmusi, Golkar, Parkindo, Murba, PNI, Perti, dan IPKI) yang eksis menjadi kontestan pada Pemilu 1971 akhirnya hanya tinggal dua partai dan satu golongan (PDI, PPP, dan Golkar) pada Pemilu 1977 dan pemilu-pemilu berikutnya. Oleh karena pada waktu itu seluruh sepak terjang dua partai (PDI dan PPP) dapat “dikuasai” oleh satu golongan (Golkar), akhirnya terjadilah dominasi kemenangan yang terus-menerus, yaitu kemenangan Golkar. Karena komponen Golkar terdiri atas birokrat-birokrat pemerintah mulai dari pucuk pimpinan sampai ke pimpinan terendah di pedesaan, Golkar pun akhirnya identik dan atau layak disebut sebagai “Partai Pemerintah”.

Kenyataan serupa terjadi dalam dunia pers dan penerbitan. Pers pada dekade 1970-an (bahkan 1980-an hingga sebelum masa reformasi) adalah pers Pancasila yang kehadirannya tidak bebas karena segalanya harus seiring dengan konsep stabilisasi, “persatuan dan kesatuan”, dan ideologi pembangunanisme. Karena itu, pers dan penerbitan (koran, majalah, dan buku) yang tidak sehaluan dengan ideologi dominan (negara) tidak diberi hak hidup. Oleh sebab itu, berbagai jenis media massa cetak yang banyak muncul pada awal tahun 1950-an harus mati pada masa Orde Baru. Hal itu terbukti pada masa berikutnya (akhir 1970-an) banyak koran, majalah, dan buku yang dibreidel atau dilarang peredarannya; bahkan ada beberapa personalnya yang ditangkap dan dipenjarakan. Khususnya di wilayah Yogyakarta, media massa cetak yang hidup pada kurun waktu itu di antaranya ialah Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Pelopor, Basis,

Suara Muhammadiyah, Semangat, Masa Kini, dan Berita Nasional.

Kenyataan demikian tidak hanya menciptakan kondisi yang “tenang karena takut”, tetapi juga menyumbat kreativitas masyarakat--termasuk seniman, sastrawan, budayawan, dan kritikus--sehingga hal itu berpengaruh pada perkembangan bidang seni, sastra, budaya, dan kritik. Meski demikian, sejak 1980-an ada sedikit kemajuan karena di berbagai propinsi di Indonesia berdiri Taman Budaya. Pendirian Taman Budaya yang diprakarsai oleh Dirjen Kebudayaan--saat itu Prof. Dr. Haryati Soebadio--itu semakin menampakkan geliat yang lebih maju karena lembaga ini sering menggelar berbagai kegiatan seni dan sastra. Bahkan, pada perkembangan berikutnya, khususnya Taman Budaya di Yogyakarta, juga menerbitkan majalah Citra

Jogja. Di samping itu, sejak awal tahun 1980-an Pemda DIY juga

secara rutin menggelar Festival Kesenian (FKY) yang sering menerbitkan buku antologi sastra. Hal itu berarti, kehidupan sosial-budaya, termasuk di dalamnya sastra, tambah bergairah.

Kendati demikian, kegairahan kehidupan sosial-budaya itu tidaklah berlangsung selamanya karena sejak awal 1990-an di berbagai daerah di Indonesia terjadi penentangan terhadap kebe-radaan pemerintah Orde Baru di bawah rezim Soeharto. Para penentang yang terutama dipelopori oleh para pemuda dan mahasiswa itu menilai bahwa Orde Baru telah menyelewengkan asas-asas demokrasi sehingga kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar. Hal itu terjadi akibat sistem bisnis dan ekonomi dikuasai oleh sekelompok orang yang memiliki kedekatan dengan para penguasa yang cenderung menerapkan sistem politik yang represif. Itulah sebabnya, kemudian banyak di antara elite politik yang berbalik arah dan akhirnya terjadi peristiwa tragis yang berpuncak pada Mei 1998 di Jakarta; dan saat-saat menjelang itu terjadi kerusuhan massal (penjarahan, pembakaran, dll.) sehingga mengantarkan Presiden Soeharto mengundurkan diri dan menye-rahkan kekuasaannya kepada Habibie yang ketika itu menjabat sebagai wakil presiden. Sejak Habibie naik menjadi presiden, mulailah Indonesia masuk ke dalam Era Reformasi, baik reformasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Di era reformasi ini, tidak semua bidang kehidupan mampu menerima dan atau mengikutinya

karena kenyataan menunjukkan, bidang pers dan penerbitan misalnya, justru mengalami masa kritis (nyaris mati) akibat belum pulihnya krisis ekonomi, sosial, dan politik. Hal demikian tampak pula pada beberapa penerbitan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

2.2 Lingkungan Pendukung

Dalam dokumen Sastra Yogya PERIODE (Halaman 28-38)

Dokumen terkait