• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARYA-KARYA SASTRA YOGYA

Dalam dokumen Sastra Yogya PERIODE (Halaman 69-72)

LINGKUNGAN PENDUKUNG TAHUN 1945

KARYA-KARYA SASTRA YOGYA

Kreativitas sastra di Yogyakarta meliputi jenis puisi, prosa (cerita pendek dan novel, atau cerita bersambung), drama, serta esai. Setiap jenis sastra tersebut memiliki konvensi dan keunikan sendiri-sendiri sehingga sangat dimungkinkan bila tidak setiap pengarang di Yogyakarta dapat menciptakan semua jenis karya. Oleh karena itu, setiap jenis sastra di Yogyakarta memiliki sejarah perkembangan sendiri. Meskipun demikian, beberapa pengarang juga mampu menulis lebih dari satu jenis karya sastra. Misalnya, Kirdjomuljo dapat menulis puisi dan naskah drama; W.S. Rendra mampu menulis puisi, cerpen, dan naskah drama; Kuntowijoyo mampu menulis puisi, cerpen, dan novel, Subagio Sastrowardojo mampu menulis puis, cerpen, dan esai, dan Subakdi Sumanto mempu menulis puisi dan cerpen, Mohammad Diponegoro mampu menulis puisi dan novel, Iman Budi Santosa mampu menulis puisi dan cerpen, Abidah El Khalieqy mampu menulis puisi, cerpen, dan novel, Evi Idawati mampu menulis cerpen dan novel, serta Agus Noor mampu menulis puisi, cerpen, dan naskah drama. Banyak faktor di balik setiap pengarang yang dapat memberi kemungkinan keahlian bersastra semacam itu. Akan tetapi, biasanya, seorang pengarang lebih menunjukkan salah satu keahlian yang menonjol, seperti Mohammad Diponegoro lebih kuat dalam menulis novel; Subagio Sastrowardojo, Iman Budhi Santosa, dan Evi Idawati lebih menguasai puisi, Landung Simatupang lebih menunjukkan kemampuannya pada puisi dan drama, serta Agus Noor lebih menguasai cerpen.

Di samping itu, perlu diperhatikan juga bahasan pada Bab II mengenai situasi dalam lingkungan sastra di Yogyakarta sepanjang tahun 1945--2000, yang meliputi dinamika sosial di Yogyakarta, dan dinamika elemen-elemen di sekitar kehidupan sastra Indonesia di Yogyakarta, baik untuk jenis puisi, cerpen, novel, drama, dan kritik.

Misalnya, perkembangan puisi di Yogyakarta juga tidak dapat dilepaskan dari peran penyair dalam menciptakan suasana bersastra di wilayah ini, termasuk membangun komunitas dalam masyarakat agar sastra terapresiasi oleh mereka. Selain itu semua, kehidupan sastra di mana pun tidak dapat dilepaskan dari media penyebaran karena media, terutama media cetak, adalah sarana terpenting untuk berterimanya sastra oleh masyarakat, di samping juga sebagai pendukung legitimasi kepengarangan seseorang.

Berikut ini, secara berurutan akan dibahas jenis-jenis sastra yang tumbuh dan berkembang di Yogyakarta, khususnya sepanjang tahun 1945--2000.

3.1 Puisi

3.1.1 Kebangkitan Puisi di Yogyakarta

Puisi adalah jenis sastra yang biasanya pertama kali populer karena bentuknya yang padat, singkat, ritmis, sehingga lebih mudah dihafal, khususnya pada puisi tradisional, dan menjadi bagian dari tradisi lisan. Syair, pantun, misalnya, sangat mudah dikenal masya-rakat, dihafalkan dan dikembangkan oleh masyarakat dari mulut ke mulut karena memiliki cirri kelisanan yang kuat. Demikian juga halnya dengan sastra di Yogyakarta. Jenis sastra yang membuka dinamika sastra di Yogyakarta juga puisi. Namun, Sebagai kaya seni, puisi di Yogyakarta pun tidak mungkin hadir dengan sendirinya, seperti jatuh dari langit. Puisi, misalnya, hadir dari kehadiran penciptanya, yaitu penyair di tengah kehidupan yang kompleks itu.

Dalam Bab II disebutkan mengenai dinamika sastra di Yogya-karta pada awal kemerdekaan. Padahal, menurut Farida-Sumargono (2004:77--99), pada awal kemerdekaan cukup banyak pengarang Angkatan ’45 datang dari Jakarta ke Yogyakarta, misalnya, Sanusi Pane, Armijn Pane, Chairil Anwar, Usmar Ismail, dan Aoh Karta-hadimadja. Akan tetapi, sangat mengejutkan bila tiba-tiba nama Chairil Anwar dengan puisinya “Rumahku” muncul dalam majalah sastra di Yogyakarta, Seriosa I (Mei 1954). Para seniman pendatang dari Jakarta tersebut memang tidak lama singgah di Yogyakarta sehingga jejaknya tidak tampak dalam sejarah perpuisian di Yogya-karta. Akan tetapi, menurut catatan Farida-Sumargono (2004:99),

meskipun kedatangan mereka itu hanya sebentar, hal itu dapat menggugah kehidupan sastra di Yogyakarta yang waktu itu masih kuat dengan budaya tradisi. Waktu itu, di Yogyakarta beberapa orang penyair kelahiran Yogyakarta, misalnya Mahatmanto, Kirdjo-muljo, dan Sukarno Hadian sudah aktif menulis puisi dan menye-barkan puisi-puisinya dalam majalah-majalah Basis (1951), Seriosa (1954), dan Medan Sastra (1953). Seperti diketahui, sejak tahun 1945 media massa di Yogyakarta sudah tumbuh. Hingga tahun 1950-an, Yogyakarta memiliki harian Kedaulatan Rakyat, harian Pelopor

Yogya, tabloid Minggu Pagi. Di samping itu, beberapa majalah yang

masih hidup, yaitu Pusara, Budaya, Medan Sastra (berganti menjadi

Seriosa), Suara Muhammadiyah, Gadjah Mada, Arena, dan Basis.

Kecuali Kedaulatan Rakyat, hampir semua media massa di kota Yogyakarta memiliki rubrik sastra, terutama puisi. Ramainya media massa itu juga menjadi salah satu sebab mengapa sastra dapat cepat tumbuh di Yogyakarta.

Kedatangan para penyair dari luar Yogyakarta ternyata terus berlangsung hingga sekarang, hampir tanpa henti, dan tujuan utama ialah untuk belajar atau bekerja. Menurut catatan Farida-Soemargono (2004:207), sebagian besar urbanisasi penduduk pada awal periode kemerdekaan itu kebanyakan dari Sumatera. Di antara mereka tercatat sejumlah nama yang penting bagi masa depan dunia sastra dan lukis di Indonesia, antara lain Nasjah Djamin, Motinggo Busje, Ajib Hamzah, M. Nizar, Suwardi Idris, dan Bastari Asnin18. Seba-gian besar dari mereka mengawali kepengarangan di Yogyakarta dengan menulis puisi. Dari laporan penelitian Widati dkk. (2003--2006) --tentang “Puisi di Yogyakarta”-- disebutkan bahwa hampir semua pendatang dari luar Yogyakarta, terutama dari Sumatera, mengawali profesi kepengarangannya sebagai penyair (bdk. Nasjah Djamin dalam Sumargono, 2004:251). Hal itu terbukti dengan kehadiran karya-karya Nasjah Djamin, Motinggo Boesje, dan Iwan

18

Selama dasawarsa pertama abad XX, urbanisasi intelektual pribumi dari Sumatera telah masuk ke Pulau Jawa, khususnya ke Batavia, seperti Mohammad Jamin, Amir Hamzah, Sutan Sakdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Armyn Pane, dan Hamka. Merekalah generasi pertama pengarang Indonesia yang mengisi sejarah sastra Indonesia prakemerdekaan.

Simatupang (dalam Rosidi, 1977:160) yang puisi-puisinya di tahun 1950-an sampai 1960-an tersebar di media massa Yogyakarta. Berikut ini contoh puisi Motinggo Boesje dan Nasjah Djamin.

Dalam dokumen Sastra Yogya PERIODE (Halaman 69-72)

Dokumen terkait