• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAKUAN PARIYEM

Dalam dokumen Sastra Yogya PERIODE (Halaman 101-107)

LINGKUNGAN PENDUKUNG TAHUN 1945

PENGAKUAN PARIYEM

(Linus Suryadi Ag.) PARIYEM, nama saya

Lahir di Wonosari gunung Kidul pulau Jawa Tapi kerja di kota pedalaman Ngayogyakarta Umur saya 25 tahun sekarang

-tapi nuwun sewu tanggal lahir saya lupa

Tapi saya ingat betul weton saya:

Wukunya Kuningan

di bawah lindungan bethara Indra

Jumat Wage waktunya

ketika hari bangun fajar “Ya, ya, Pariyem saya

Saya lahir di atas amben bertikar dengan ari-ari menyertai pula

oleh mbah dukun dipotong dengan welat tajamnya tujuh kali pisau cukur

Bersama telur ayam mentah, beras, uang logam bawang merah, bawang putih, gula, garam, jahe dan kencur, adik ari-ari jadi satu Sehabis dibersihkan dibungkus periuk tanah kemudian ditanam di depan rumah

Ya, ya, telur: lambang sifat bayi baru lahir belum bisa apaapa – murni

-gulang-gulung tergantung pada orang tua Beras dan dhuwit logam: lambang harap

semoga hidup kita serba kecukupan dalam hal sandang, pangan, dan uang

Bawang merah dan bawang putih, gula, garam jahe dan kencur: lambing pahit-manisnya hidup yang bakal terjumpa dan terasakan, agar: jangan terlalu sedih bila mendapat kesusahan jangan terlalu gembira bila mendapat kesenangan Dengan upacara kecil adik ari-ari pun dikubur di depan pintu sebelah kanan bila bayi laki-laki di depan pintu sebelah kiri bila bayi perempuan Dipanjar diyan sampai bayi umur Solapan Ya, ya, Pariyem saya

Kata bapak, nama itu membawa tuah Dia berikan ketika saya umur 5 hari - Sepasaran, bahasa populernya

Maka tersedialah di tikar di lantai, di tanah:

Jenang abang: lambang kesucian di jabang bayi Jenang putih: lambang cahya yang menerangi

alam

Ingkung ayam: lambang keutuhan badan

wadhag telanjang

Nasi tumpeng dan gudhangan: lambang

pergaulan hidup

yang kelak memperkaya pengalaman

Jenang sungsum: lambang harap, semoga

Otot bayu simbok bayi yang melahirkan pulih segar bugar sebagai sediakala

Dan jabang bayi kian kokoh daya kekuatannya Dalam upacara kenduri di kampung

berkeliling para tetangga satu dusun - duduk bersila berkalang

Sedang doa dihantarkan oleh pak kaum: Doa keselamatan bagi simbok yang melahirkan dan doa keselamatan bagi bayi yang dilahirkan

Pada Sang Hyang Murbeng Jagad – bersyukur – dengan mulut fasih, berterima kasih

Semoga kehadirannya diterima dan diberkati oleh alam serta segenap isinya

Tambah satulah makhluk di bumi Esok paginya ada among-among dibagikan kepada bocah-bocah: Semoga bala dan sawan jauh – pergi – menyingkir dari jagad saya

“Pariyem, ya, ya.

Nama Pariyem berasal dari tembung “pari” Memang, bapak saya seorang petani, kok Tapi Cuma menggarap bengkok pak Sosial tidak jembar sama sekali

Hanya 3 petak kecil-kecil letaknya di pinggir kali untuk menjaga hidup kami sekeluarga, berlima Saya anak tertua, mas

Dua adik saya lelaki dan wanita Pairin menganyam caping di rumah Painem membantu simbok di pasar Sedang bapak seharian di sawah Buruh, sibuk mengolah tanah …..

Secara selintas dapat dipahami perkembangan kualitas puisi-puisi bermuatan lokal karya penyair muda Linus Suryadi Ag. dalam prosa liris Pengakuan Pariyem-nya (1980). Pembaruan yang dilakukannya amat mengejutkan dunia kesastraan Indonesia pada waktu itu. Ia tidak hanya pada mengganti substansi dari kehidupan masyarakat Jawa di perkotaan ke kehidupan Jawa dari pedesaan, tetapi sampai pada teknik ekspresi, yang menggabungkan tradisi keberaksaraan dengan kelisanan menjadi satu bentuk yang utuh. Hal itu ditunjukkan dengan cara pemahaman yang tidak hanya cukup

dengan direnungkan secara diam, tetapi juga dilisankan. Bahkan, makna dalam prosa liris itu akan lebih utuh bila disertai dengan tembang dan gamelan Jawa pembangun suasana. Ekspresi diri yang utuh memang tidak dapat jauh dipisahkan dari suasana lingkungan yang dipilih penyair.

Faktor mendorong munculnya pembaruan dalam puisi-puisi Linus Suryadi Ag. dan kelompok penyair muda lainnya sejak tahun 1980-an, antara lain tiga faktor di sekitar kepengarangan. Pertama, bangkitnya kesadaran para pengarang membangun komunitas, baik dalam lingkungan masyarakat maupun di lingkungan kampus. Kedua, bangkitnya kesadaran kepada lokalitas setelah terlalu lama tercerabut dari asl daerah masing-masing. Adapun ketiga, ialah bangkitnya kesadaran akan perlunya publikasi, baik melalui media massa maupun penerbitan.

Seperti sudah dibahas di depan, sepanjang akhir tahun 1960-an hingga akhir tahun 1980-1960-an (masa Orde Baru), perkemb1960-ang1960-an puisi Indonesia di Yogyakarta lebih dikuasai oleh kegiatan-kegiaran dalam kelompok sastrawan, atau grup-grup masyarakat peduli budaya dan sastra. Beberapa kampus yang memiliki Jurusan Bahasa Indonesia merupakan tempat-tempat strategis, yang memungkinkan mahasiswa dapat bertemu dan berkarya. Misalnya, di Bulaksumur (khususnya di balairung/teras gedung induk Universitas Gadjah Mada), di boulevard UGM, atau sejak awal tahun 1970-an di Fakultas Ilmu Sastra dan Kebudayaan (selanjutnya menjadi Fakultas Ilmu Budaya),. Universitas Katholik Sanata Dharma (dahulu IKIP Sanata Dharma), UIN (dahulu IAIN Sunan Kalijaga), Universitas Negeri Yogyakarta (dahulu IKIP Negeri Yogyakarta).

Selain itu, pada tahun 1970-an sampai 1990, kantor harian

Pelopor Yogya (depan Hotel Garuda, Malioboro), merupakan tempat

strategis bagi kelompok Persada Studi Klub (PSK) untuk bertemu, berdiskusi, dan berlatih menulis. Bahkan, kegiatan semacam itu ada juga di gedung pertemuan gereja Kotabaru (Widya Mandala), yang terletak di samping timur bekas kantor majalah Basis.

Kelompok masyarakat sastra Yogyakarta yang independen ialah kelompok sastra Malioboro (depan Hotel Garuda), yaitu Persada Studi Klub (PSK), ialah kelompok yang ternama pada waktu

itu. Kelompok studi sastra Persada Studi Klub itu berdiri pada bulan Januari 1966 di Jalan Malioboro 175, lantai atas, tempat Mingguan

Pelopor Yogya berkantor. Dengan adanya PSK itu Jalan Malioboro

menjadi penting, bukan hanya karena menjadi jalan arteri atau urat nadi kehidupan kota Yogyakarta, tetapi juga jalan arteri untuk menyemai sastrawan muda di Yogyakarta, dari mana pun mereka berasal. Kawasan Malioboro di Yogyakarta itu berjasa besar dalam pembenihan para pengarang di Yogyakarta, baik bagi pengarang puisi, cerpen, novel, drama, bahkan kritik. Pada tahun 1979 sampai dengan akhir tahun 1980-an para pengarang sastra di Yogyakarta menemukan tempat bertemu, berdiskusi, yang bagus sehingga tempat itu menjadi sebuah lembaga persemaian pengarang bernama Persada Studi Klub (PSK). Kantor mingguan Pelopor Yogya, pimpinan redakturnya Jussac MR. yang adalah seorang pengarang cerita detektif, digunakan sebagai sekretariat PSK. Adapun Media massa mingguan Pelopor Yogya, yang sudah terbit tahun 1950-an, amat besar bantuannya, yaitu selain sebagai komisariat PSK juga mem-bantu publikasi karya-karya para anggota PSK melalui penyediaan rubrik khusus “Sabana”. Kolom “Sabana” itu akan menjadi media penyebaran bagi karya-karya para sastrawan Malioboro yang telah lolos dalam proses penggodogan PSK.

Pimpinan PSK yang pertama ialah Umbu Landu Paranggi, seorang mahasiswa Fakultas Sospol UGM, berasal dari Nusa Tenggara Barat (Pulau Sumbawa). Di PSK itulah para sastrawan berkumpul dan melakukan pembinaan dengan cara saling asuh dan saling asah tentang sastra. Sederet panjang pengarang di Yogyakarta --bahkan juga pengarang ibu kota-- pernah menjadi bagian dari PSK, misalnya, Sang Ketua: Umbu Landu Paranggi sendiri, Teguh Ranu Sastroasmara, Emha Ainun Najib, Iman Bhudi Santosa, Ragil Suwarno Pragolapati, Fauzi Absal, Faisal Ismail, Darwis Khudori, Linus Suryadi Ag., Abdul Hadi W.M., Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi Ag., Suripto Harsah, dan sejumlah nama lainnya tercatat namanya sebagai yang pernah aktif di PSK. Kelompok studi sastra PSK tersebut juga dikenal dengan nama “Pengarang Malioboro”, yang bila dilihat dari asalnya, tidak semua adalah pengarang asli Yogyakarta. Banyak dari anggota PSK itu dari etnis-etnis di

daerah-daerah Indonesia. Walaupun kondisi anggotan PSK itu amat plural, para pengarang dalam PSK itu mereka mampu membangun kebersamaan untuk menciptakan suasana kesastraan yang dinamis di Yogyakarta, terutama puisi. Dari asal pendidikan mereka, para pengarang PSK datang dari berbagai bidang studi dan profesi. Setelah Umbu Landu Paranggi pergi ke Bali pada tahun 1978, PSK dipimpin oleh Ragil Suwarno Pragolapati hingga tahun 1989. Perlu diperhatikan bahwa melalui kehadiran PSK itu di Yogyakarta muncullah penyair-penyair perting, --baik penyair asli dari Yogyakarta maupun yang dari luar Yogyakarta. Mereka yang asli dari Yogyakarta, antara lain, Mustofa W. Hasyim, Linus Suryadi Ag., Darwis Khudori, Fauzi Absal, Darmadji Sosropuro, Pariyo Adi, Suripto Harsah, dan Kuntowijoyo. Adapun penyair dari luar Yogyakarta, antara lain, Umbu Landu Paranggi, Bakdi Sumanto, Darmanto Jatman, Rachmat Djoko Pradopo, Ragil Suwarno Pragolapati, Abdul Hadi W.M., Iman Budhi Santosa, Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, Jussac M.R.

Berikut ini beberapa contoh puisi karya penyair pendatang di Yogyakarta, yang juga anggota PSK, seperti Umbu Landu Paranggi, Pariyo Adi, Mustofa W. Hasjim, Ragil Suwarno Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, dan Jussac M.R.

(1)

DI RUMAH

(Umbu Landu Paranggi)

cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan karena sajak pun sanggup merangkum resah gelisah kehidupan

baiknya mengenal suara sendiri dalam menyaring suara-dunia luar sana

sewaktu-waktu aku mesti berjaga dan pergi, membawa langkah kemana saja

dalam kamar berkisah, taruhan jernih memberi arti kehadirannya

membukakan diri dan menyeri hari-hari yang begitu tergesa berlalu

yang deras meniup usia mengitari jarak dalam benturan waktu

tak kan jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi

dalam kerja berlumur suka duka, hikmah pengertian melipurku damai

begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, catatan dan penanggalan penuh coretan

yang selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam manja bujukan

rasa-rasanya, padanya, padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia yang sederhana

di rumah kecil yang papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa

kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan dan impian

yang teguh mempertanyakan nasib pada urat biru di dahi dan kedua belah tangan.

(Basis, 1967) (2)

Dalam dokumen Sastra Yogya PERIODE (Halaman 101-107)

Dokumen terkait