• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGU-MALIOBORO, MINGGU SIANG

Dalam dokumen Sastra Yogya PERIODE (Halaman 110-119)

LINGKUNGAN PENDUKUNG TAHUN 1945

TUGU-MALIOBORO, MINGGU SIANG

(Mustofa W. Hasyim)

dalam menyeret langkah, kepalaku hangat oleh matahari yang diam-diam

sebagian toko tutup, pejalan kaki gontai menerobos lorong

musik tak sampai seberang, deru melindas satu-satu

ada kata-kata berguling di dada, tak kukenal untuk siapa

pohon-pohon yang lenyap, arwahnya masih bergerombol di jalur kawat di tingkap took mendesah rasa asing, seketika lembab dan sunyi memapas wajah terhuyung

aku mencari mata Yogya, tak ada

gadis Kabul diremas waktu ah langkahnya bisu begitu tumpah semua yang terhampar, hadiah barang yang tak dijanjikan, harus dibayar

Kotagede, 10 Sept. 1979 (Tonggal-Tonggak, 1980)

Kelima buah contoh puisi karya mantan para penyair PSK yang plural-etnik tadi pada pemilihan substansinya mulai bergeser. Mereka mulai menunjukkan estetika baru yang menandai kesadaran kepada kearifan lokal masing-masing etnis dan daerahnya. Kesa-daran tersebut menunjukkan perkembangan dalam menafsirkan kehidupan ini, juga atas diri mereka masing-masing. Umbu Landu Paranggi, misalnya, merindukan kehidupan, kesetiaan, dan keda-maian seperti di tanah kelahirannya, di Sumba, meskipun dia sudah beberapa tahun merantau di Yogyakarta. Berbeda halnya dengan Pragolapati yang merasa damai di Yogyakarta, meskipun dia hanya salah seorang pendatang dari Pati. Perasaannya yang menunjukkan kecintaan dan kerinduan kepada Yogyakarta itu ditunjukkannya dengan ungkapan yang penuh harapan, seperti terbaca pada judul “Selamat Pagi Yogya”, dan ungkapan ramah dengan kata “… jari-jari dikembangkan ….”. Gaya pengucapan Pragolapati memang berbeda dengan Linus Suryadi yang semangat lokalitasnya berkobar di hati. Linus menyampaikan kecintaan kepada daerah dengan ungkapan tentang lingkungan di Yogyakarta yang diakrabinya, misalnya Kali Progo dalam puisinya “Syair Kali Progo”, juga Taman Sari dalam puisinya “Taman Sari”. Ia juga dekat dengan aspek-aspek budaya di Jawa yang adiluhung, seperti karawitan dan wayang. Beberapa judul puisi menandai kecenderungannya itu, ialah yang berjudul “Lagu tentang Seorang Penabuh Gender”, “Himbauan

Cangik”, “Bilung Grundhelan”, dan “Abimanyu di Padang Kuru-setra”.

Dukungan dari para pengarang terhadap komunitas sastra Malioboro tersebut semakin kuat, misalnya didukung oleh Achmad Munif, Faizal Ismail, Korrie Layun Rampan, dan Mieska M. Amien. Dalam buku daftar anggota tercatat bahwa anggota PSK sepanjang tahun 1970--1977 itu lebih dari 1000 nama. Sebagian dari anggota adalah dipanggil dengan Sabanawan (bagi anggota senior) dan sebagian lainnya adalah yang disebut Persadawan (bagi anggota junior). Dalam setiap diskusi PSK itu itu yang dibahas tidak terbatas tentang sastra Indonesia, tetapi juga mencakupi sastra Jawa. Oleh karena itu dalam komunitas PSK tersebut tercatat nama Ay. Suharyono, Suryanto Sastroatmojo, Ragil Suwarno Pragolapati (juga seorang penyair), Jujuk Sagitaria (Juwariningsih), dan Teguh R. Asmara, yang seringkali menulis dalam bahasa Jawa. Namun, setelah Umbu Landu Paranggi meninggalkan Yogyakarta (pindah ke Bali) pada tahun 1978, PSK mengalami kemunduran. Penggantinya ialah Ragil Suwarno Pragolapati. Pengarang dwibahasawan itu juga berusaha untuk tetap menghidupi dan mengembangkan Persada Studi Klub itu, dibantu oleh Suryadi Ag., dan Teguh Ranu Sastroasmoro.22

22 Di samping kelompok sastra PSK itu, pada tahun 1970-an ada juga kelompok-kelompok studi sastra lainnya yang berpusat di kampus-kampus, atau bernaung di bawah naungan agama, atau partai politik, seperti Lesbumi (Lembaga Studi Budaya Muslim Indonesia), Strarka (Studi Teater Katholik), dan Stemka (Studi Teater Mahasiswa Kristen). Beberapa partai politik juga memiliki kelompok budayawan, seperti LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), dan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat, milik PKI). Namun, pada umumnya, dalam berdiskusi dan berkarya, para penyair di Yogyakarta selalu berkomunikasi antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Penyair Djadjak M.D., Taufik Abdullah, dan Kuntowijoyo juga, misalnya, adalah anggota Lesbumi, tetapi juga bergabung dalam kelompok PSK (bdk. Farida-Sumargono, 2004:252). Demikian juga halnya dengan Adi Wicaksono (mahasiswa UII Yogyakarta) yang juga menjadi anggota SAS di IAIN (UIN) Sunan Kalijaga.

Perginya Umbu Landu Paranggi (1978) ke Bali, yang disusul dengan hijrahnya Mingguan Pelopor Yogya ke Semarang, kemudian hijrahnya sejumlah pengarang ke luar Yogyakarta setiap tahun, berdampak kuat kepada PSK. Ditambah dengan perkembangan situasi sosial-budaya di Yogyakarta pada waktu itu. Hal itu dapat diamati dengan semakin sepinya kegiatan komunitas tersebut karena menurunnya minat para anggota PSK dalam menyambung komunikasi sastra. Dalam hal tempat mangkal rutin persadawan, kepindahan Pelopor Yogya dan perkembangan Malioboro--yang bergerak ke arah penataan bisnis--telah membuat tempat tersebut tidak senyaman di awal tahun 1970-an lagi. Dengan demikian, tempat serta waktu pertemuan antaranggota tidak dapat ditetapkan lagi jadwal dan tempatnyanya. Kelompok PSK harus mencari tempat pertemuan lain untuk bertemu, misalnya di kampung Bintaran (tahun 1979), atau kampung Minggiran (tahun1985), atau pula di komunitas Perwathin (1988 dan 1989). Sebenarnya, masih cukup banyak nama yang tercantum dalam daftar keanggotaan PSK karena setiap tahun selalu datang pemuda di Yogyakarta untuk belajar, misalnya Emha Ainun Najib, Parijo Adi, Muhammad Surachmat, Djihad Hisyam, Jabrohim, Suminto A. Sayuti, Sujarwanto, Fauzi Abdul Salam, Budi Ismanto SA, Sri Retya Rahayu, Suryanto Sastroatmojo, Anastasia Luh Sukesi, Khamdi Raharja, Teguh R.S. Asmara, dan banyak lagi nama yang lain. Karena sebagian besar dari mereka itu mahasiswa, maka pusat-pusat komunikasi mereka beralih ke kampus-kampus, terutama, seperti sudah disebutkan di depan, ialah di kampus yang memiliki bidang studi bahasa dan atau sastra Indonesia.

Pada saat itu, tahun 1980-an, di lingkungan akademisi sastra Indonesia sedang ramai dengan perdebatan sastra yang memper-bincangkan “Poetika Indonesia”, yang dipicu oleh maraknya penerbitan karya-karya sastra Indonesia bernuansa budaya daerah. Situasi tersebut, sebenarnya, sejak akhir dekade 1970-an, sastra Indonesia kontemporer sudah menunjukkan gejala pembaruan, seperti pada puisi-puisi Hamid Jabbar, Sutardji Calzoum Bachri dengan puisi-puisi mantra mereka, dan Linus Suryadi dengan prosa lirik Pengakuan Pariyem, Y.B. Mangunwijaya dengan novelnya

panjangnya Sri Sumarah dan Bawuk, dan Korrie Layun Rampan dengan novelnya Upacara.

Pada sekitar tahun 1980-an itu juga, Perguruan Tinggi di Yogyakarta, terutama Fakultas Ilmu Budaya UGM (dahulu Fakultas Sastra dan Kebudayaan) sedang mendorong peningkatan SDM para pengajarnya, terutama tentang teori sastra, baik sastra lama mapun sastra modern. Kegiatan tersebut dilakukan dengan bekerja sama dengan universitas-universitas di luar negeri, utamanya dengan Inggris (di London), Belanda (di Leiden dan Amsterdam), Jerman (di Hamburg), dan Prancis (di Paris). Khusus tentang pengembangan bahasa (linguistik) dan sastra, dilakukan verja sama dengan Belanda, yang sejak awal tahun 1980 dirintis dengan penataran di Indonesia dan pendalaman ilmu dilaksanakan di Leiden (Balanda). Lembaga verja sama Indonesia-Belanda tentang ilmu kesastraan dan keba-hasaan tersebut bernama ILDEP (Indonesian Linguistic Develompent

Project). Dalam rangka itulah, pada waktu hingga tahun 1992,

beberapa ahli bahasa dan sastra dari Rijk Universiteit van Leiden, seperti A. Teeuw, Stockhoff, P. Robson, Hain Steinhouer, dan Ughlenbeg datang di Indonesia dalam rangka membimbing atau mengajar. Kedatangan A. Teeuw, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari pengembangan teori sastra Barat di UGM, khususnya Fakultas Ilmu Budaya (waktu itu Fakultas Sastra dan Kebudayaan). Diawali dengan memperkenalkan strukturalisme, A. Teeuw mengajak para sastrawan akademisi memahami sastra Indonesia dengan teori Barat yang sangat objektif. Ia tidak saja memperkenalkan strukturalisme, tetapi juga teori resepsi, teori sastra lisan, dan filologi modern. Secara tidak disadari, dalam melakukan pendekatan ilmiah dengan teori Barat itu ditemukan aspek kesastraan yang tidak dapat dijelaskan, termasuk halnya pada karya-karya yang menegaskan estetika lokal. Hal tersebut disampaikan dalam kritik-kritik dari beberapa tokoh akademis, seperti Soebagio Sastrowardojo, Subakdi Sumanto, Umar Kayam, dan ilmuwan lainnya. Estetika lokal dalam sastra Indonesia modern memang khas dan seharusnya mempunyai alat bedah sendiri. Hal itulah yang ramai diperbincangkan, terutama di berbagai diskusi akademisi di Indonesia. Pertanyaan lanjutannya di dalam diskusi-diskusi tersebut tersebut ialah apakah puisi

Indonesia seperti Pengakuan Pariyem itu dapat dimasukkan dalam kelompok sastra Indonesia? Yang sangat jelas menonjol dalam diskusi-dikusi tentang sastra local seperti karya Linus Suryadi dan Korrie Layun Rampan dalam Upacara-nya ialah timbulnya semangat masyarakat sastra Indonesia untuk mencari poetika Indonesia dan menjadikannya teori sastra Nusantara. Selanjutnya, para intelektual Indonesia membuka “ruang” kepada pembaca sastranya untuk memberi makna lebih proporsional terhadap sastra Indonesia, sesuai dengan lingkungan sastra yang amat kompleks, dan dimungkinkan mempengaruhi kedarian sastra (puisi) (Tanaka, 1976:6).

Pemahaman terhadap fenomena sosial terhadap sastra, seperti disebut di depan, dapat menjadi faktor penggerak bagi kepenyairan di kota Yogyakarta menuju tataran puisi nasional. Prosa-liris

Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag., misalnya, tidak terbit

di Yogyakarta, tetapi di Jakarta, oleh Gramedia. Gaya penulisan prosa-liris Pengakuan Pariyem itu panjang seperti novel itu disusun dengan irama lokalitas yang kuat, seperti pada gaya penulisan dua cerpen panjang Umar Kayam: Sri Sumarah dan Bawuk. Prosa liris tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Belanda dan Inggris. Polemik mengenai gaya penulisan sastra yang mendukung identitas lokal semacam itu terus berlanjut pada dekade berikutnya. Pada intinya, komunitas sastra Indonesia yang banyak itu memperde-batkan kembali “Poetika sastra Indonesia”.

Polemik panjang tentang “mempertanyakan urgensi teori-teori Barat” dalam pemahaman sastra Indonesia pemahaman sastra di suatu negara tidak dapat hanya ditinjau dari satu jenis teori umum karena kekhususan dalam pluralitas etnik perlu dipertimbangkan. Poetika sastra di setiap daerah dibangun melalui proses yang lama sehingga menghasilkan suatu kesepakatan bersama. Kebaruan poetika dalam puisi-puisi Indonesia sejak tahun 1980-an yang telah menggoyahkan poetika sebelumnya menyadarkan masyarakat sastra Indonesia akan hakikat atau poetika spesifik di Indonesia yang majemuk itu. Lokalitas itu, selanjutnya, juga menjadi penanda bagi pengarang-pengarang di Yogyakarta lainnya (baik penyair kelahiran Yogyakarta maupun penyair pendatang), seperti Umar Kayam, Kuntowijoyo, Satyagraha Hoerip, Arswendo Atmowiloto,

Mangun-wijaya, Darmanto Jatman, Iman Budhi Santosa, Suminto A. Sayuti, Djoko Pinurbo, Landung Simatupang, Bambang Widiatmoko, Amien Wangsitoloyo, Dhorotea Rosa Herliani, Abidah El Khalieqy, Abdul Wachid BS, Ikun Sri Kuntoro, dan Sunardian Wirodono. Mereka tidak hanya menyadari dirinya sebagai pengarang atau penyair Indonesia, tetapi juga menyadari tanah kelahirannya yang telah membesarkannya. Ada juga yang amat lekat dengan pandangan hidup serta agama mereka. Keakraban dan intensitas kepada sesuatu yang diyakini itu menjadi label mereka dan sebagian besar terefleksi dalam karya mereka.

Demikianlah, masalah poetika Indonesia yang majemuk itu--sepanjang tahun 1980-an--1990-an-- dibawa dalam berbagai perdebatan, berbagai pertemuan, seperti pada pertemuan sastrawan Jakarta, di Padang, dan di Yogyakarta, atau pula di kelompok-kelompok diskusi sastra kelompok-kelompok akademis. Beberapa tempat atau comunitas sastra yang pernah digunakan untuk berdiskusi mengenai poetika Indonesia tersebut, antara lain, rumah Sunarto P.R. (di Sanggar Bambu, Ngasem), rumah Subakdi Sumanto (Jalan Podhang 2), Pasturan IKIP Sanata Dharma, Jalan Kaliurang, atau di rumah Umar Kayam (Bulaksumur B-12), juga rumah tinggal Muhammad Diponegoro, Darmanto Jatman (di Pengok), dan rumah Rachmat Djoko Pradopo (di Notoyudan). Tempat-tempat tersebut menjadi tempat singgah untuk berdiskusi sejumlah pengarang Yogyakarta tentang puisi, cerpen, dan drama. Kelompok-kelompok studi itulah yang menggantikan dan mengembangkan kelompok-kelompok studi sebelumnya, termasuk kerlompok studi PSK.

Perlu dicatat bahwa sejak kehadiran para penyair pendatang pada pascatahun 1980-an, khususnya di awal tahun 1990-an, sejumlah mahasiswa perempuan muncul di kancah perpuisian Yogyakarta. Mereka adalah para mahasiswa dari akademisi, yang sedang mengikuti kuliah di peerguruan tinggi di Yogyakarta. Nama-nama mereka, antara lain, Endang Susanti Rustamaji (lahir di Yogyakarta), Rina Ratih (lahir di Tasikmalaya), Abidah El Khalieqy dan Ulfatin Ch. (lahir di Jombang), Omi Intan Naomi (lahir di Denpasar), Dorothea Rosa Herliani (lahir di Magelang), dan Evi Idawati (lahir di Demak). Mereka bukan hanya mahasiswa dari satu

Perguruan Tinggi, tetapi dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogya-karta, seperti Sanata Dharma (Dorothea Rosa Herliani); dari UAD (Universitas Achmad Dahlan) (Jabrohim, Rina Ratih); dari UIN (IAIN Sunan Kalijaga) (Abidah El Khalieqy dan Ulfatin Ch.).

Pertumbuhan dan perkembangan sastra di Yogyakarta juga tidak dapat dipisahkan dari media massa dan penerbitan. Terutama hingga tahun 1990-an media massa bukan hanya menjadi sarana utama untuk publikasi, tetapi juga menjadi media komuniakasi antarpengarang dari dalam dan luar Yogyakarta. Dalam hal penye-baran atau media sastra, pertumbuhan puisi Yogyakarta mudah diamati asal penyair, apakah mereka dari kelompok (1) media massa umum (bacaan umum), seperti Pelopor Yogya, Suara Marhaen,

Masa Kini, Mercu Suar, dan sebuah tabloid (Minggu Pagi), Basis, Suara Muhammadiyah, atau kelompok (2), yaitu kelompok media

kampus, seperti Arena, Pusara, Gadjah Mada (selanjutnya berganti nama Balairung), Gema (berakhir pada tahun 1970). Dengan perbedaan pengelola media itu, tentu saja rubrik-rubrik di dalamnya juga berubah, termasuk pengelolaan rubrik sastra.

Dalam hal penerbitan, sampai dengan tahun 1980, pada umumnya, sastra belum mampu menjamah kota Yogyakarta karena kondisi sosial-ekonomi yang belum mantap. Pada umumnya, penerbitan dilakukan di pusat, atau ibu kota. Sejumlah karya sastra yang ditulis pengarang Yogyakarta pada periode 1945--1980 sebenarnya berkualitas, terutama bila dibandingkan dengan karya-karya sastra dari daerah lain. Hal itu terbukti dengan banyaknya tanggapan positif dari masyarakat terhadap sejumlah karya mereka dan menerbitkannya.23 Tanggapan tersebut, sebenarnya, adalah “pengakuan” terhadap dedikasi dan kualitas kerja sejumlah penyair Yogyakarta tersebut, meskipun banyak ilustrasi pada perwajahan sampul, kualitas kertas, kualitas penjilidan, dan sebagainya yang masih sederhana, karena murah, sehingga buku mudah rusak.

23

Kualitas Balada Orang-Orang Tercinta (karya W.S. Rendra),

Burung-Burung Manyar, Genduk Duku, Lusi Lindri (karya Y.B. Mangunwijaya), Khotbah di Atas Bukit, Pasar (karya Kuntowijoyo), Bekisar Merah (karya

Ahmad Tohari), dan Sri Sumarah dan Bawuk (karya Umar Kajam) tidak perlu diragukan

Selain penerbitan di daerah yang hingga tahun 1980-an masih amat terbatas, penerbitan yang ada di pusat (ibu kota) ternyata memiliki daya tarik bagi seniman (penyair) daerah karena predikat atau pengakuan dari masyarakat pusat (Jakarta) tetap dikejar sebagai legitimasi/pengakuan sebagai karya sastra Indonesia.24 Namun, sebaliknya, sejak tahun 1990-an, beberapa karya sastra dari luar Yogyakarta dicetak di daerah lain, misalnya di Yogyakarta. Namun, hal itu bukan dengan tujuan seperti penerbitan sastra daerah di Jakarta karena pasti dengan tujuan berbeda, apalagi bila melihat nama-nama mereka, seperti Afrizal Malna, Suparto Brata, Sapardi Djoko Damono, dan Zawawi Imron, pastilah penerbitan itu bukan karena mencari pengakuan. Diasumsikan, kehadiran karya-karya mereka itu di penerbitan daerah ialah karena demi penyebaran yang lebih luas, tetapi dengan biaya penerbitan yang relatif lebih murah.

Keistimewaan Yogyakarta menjadi pananda istimewa bagi kota itu, dan melekat di hati banyak pengarang, terutama para sejumlah karya penyair. Hal seperti itu terlihat pada dua puisi Kirdjomuljo yang berjudul “Di Batas Kota” dan “Di Bayang Mata Pak Dirman” (dalam Suryadi Ag., 1987:264 dan 265); puisi “Gondolayu” (Dalam Sambil Jalan…, 1980) karya Landung Rusyanto; puisi “Pantai Baron” (dalam Tonggak-Tonggak, 1980) karya Krisna Mihardja; puisi-puisi karya Lucianus Bambang Suryanto dengan puisi-puisinya “Lewat Yogya”, “Dataran Yogya”, “Kadisobo”, “Parangtritis”, dan “Yogyakarta”; puisi karya Munawar Syamsudin berjudul “Gerimis Sepanjang Malam Tua Sepanjang Jalan-jalan Yogya”, “Yogyakarta”, “Balada Fatima dari Pasar Kembang Yogya”, dan “Seruling Kalijaga”; karya “Gending Kutut

Manggung” (dalam antologi Malioboro, 2007) karya Edhy Lyrisacra,

dan banyak lagi lainnya, sebagai berikut.

24Sejak tahun 1970-an banyak pengarang asli Yogyakarta atau yang datang dari luar Yogyakarta yang pindah dan menetap di Jakarta untuk meraih prestasi bergengsi tersebut.

Dalam dokumen Sastra Yogya PERIODE (Halaman 110-119)

Dokumen terkait