• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebangkitan Cerpen di Yogyakarta

Dalam dokumen Sastra Yogya PERIODE (Halaman 127-175)

LINGKUNGAN PENDUKUNG TAHUN 1945

GENDING KUTUT MANGGUNG

3.2 Cerita Pendek

3.2.1 Kebangkitan Cerpen di Yogyakarta

Cerita pendek jenis sastra berupa fiksi pendek ini adalah jenis sastra tervaforit kedua di Yogyakarta, setelah puisi. Seperti halnya puisi, kehadiran cerpen di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari aspek kepengarangan dan media massa. Di depan sudah dibicarakan bahwa aspek pengarang tidak dapat dibebankan kepada pengarang kelahiran Yogyakarta saja karena sejak kemerdekaan, secara perbandingan, jumlah pengarang pendatang jauh lebih banyak jumlahnya daripada pengarang domestik, atau pengarang asli kelahiran Yogyakarta.

Di bagian pengantar sudah dibicarakan bahwa ketertarikan pengarang dari luar Yogyakarta disebabkan oleh beberapa elemen penting yang dimiliki Yogyakarta. Elemen-elemen pendukung ter-sebut, terutama, (pengarang) atau penulis cerpen, penerbit (berbagai media massa cetak) dan media massa harian, serta pembaca (Ackoff dalam Tanaka, 1976:6).

Bagi pengarang, ketertarikan sekaligus kedatangan mereka ke Yogyakarta bukan hanya di dukung oleh mobilitas sosial-ekonomi, tetapi juga oleh faktor lain. Faktor inilah yang menjadi faktor ketertarikan utama bagi mereka yaitu faktor keinginan

mengem-bangkan kreativitas, pengembangan profesi dan faktor pendidikan tinggi. Para seniman tersebut bukanlah seniman-seniman yang pernah berjaya pada dekade sebelumnya (Angkatan 1945), tetapi seniman yang benar-benar baru, nama-nama mereka belum pernah muncul (bdk. Teeuw, 1989:2).

Seniman dan budayawan dari luar yang hijrah ke kota Yogyakarta pada tahun 1950-an adalah Nasjah Djamin, Boet Moechtar, Lian Sahar, Motinggo Moesje, hingga W.S. Rendra, Toto Sudarto Bachtiar, dan Ashadi Siregar. Sebagian dari mereka ada yang hanya sekedar ”singgah”, ada pula yang menetap karena belajar dan bekerja di Yogyakarta. Seperti Nasjah Djamin, Mangunwijaya, Umar Kayam, Rachmat Djoko Pradopo, Kuntowijoyo, Bakdi Sumanto, serta Ashadi Siregar.

Sistem pengarang merupakan elemen pokok bagi kehadiran cerpen Yogyakarta. Dalam subbab 3.1 yang membahas puisi di Yogyakarta juga sudah disebutkan bahwa sistem kepengarangan menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang seorang pengarang serta komunitasnya. Pengarang cerpen di Yogyakarta ternyata tidak semuanya lahir di Yogyakarta, tetapi banyak juga cerpenis pendatang dari luar Sumatera, seperti Bastari Asnin, Hadjid Hamzah, Adjib Hamzah, serta dari pulau Jawa sendiri, seperti Yogyakarta, seperti Satyagraha Hoerip, Umar Kayam, Budi Darma, Arwan Tuti Artha, Ragil Suwarno Pragolapati, W.S. Rendra, Subagio Sastrowardojo, Wiratmo Sukito, Budi Darma, dan Subakdi Sumanto, hingga cerpenis masa kini, seperti Ahmad Munif, Joni Aryadinata, Abidah El Khalieqy, Evi Idawati, dan sebagainya.

Sebagian dari para cerpenis pendatang (dari luar Yogyakarta) tersebut melanjutkan pekerjaannya di luar Yogyakarta, tetapi ada pula yang terus menetap karena bekerja. Setiap cerpenis memiliki latar belakang etnis, pendidikan, dan pekerjaan, bahkan banyak dari mereka bergabung dalam komunitas sastra tertentu yang hidup di wilayah mereka. Situasi tersebut menyebabkan karya-karya setiap pengarang dimungkinkan berbeda-beda coraknya sehingga meng-gerakkan pembaca untuk menanggapi melalui kritik dalam diskusi-diskusi. Kehadiran kelompok pembaca yang kritis tersebut,

sebe-narnya, dapat menjadi sistem kontrol bagi perkembangan sastra Jawa di Yogyakarta.

Perkembangan dunia sastra di Yogyakarta tidak lahir begitu saja. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi/mendukung perkem-bangan sastra tersebut, diantaranya lingkungan dan pengarang seperti yang telah disinggung sebelumnya. Semboyan yang mengangkat Yogyakarta sebagai kota seni merupakan faktor pendukung ling-kungan. Ada pun faktor pengarang adalah dengan melihat kembali ke belakang, keberadaan pengarang-pengarang yang pernah mengisi Yogyakarta. Baik pengarang yang pernah lahir di Yogyakarta, menetap, maupun hanya sekedar singgah yang secara langsung maupun tidak langsung turut mengambangkan dunia sastra termasuk cerpen di Yogyakarta.

Pengarang-pengarang yang pernah terlibat secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan sastra di Yogyakarta diantaranya merupakan pengarang-pengarang yang sudah mempu-nyai nama di dunia sastra, sebut saja Umar Kayam, dan Kunto-wijoyo. Bentuk keterlibatan Umar Kayam terhadap perkembangan sastra dapat dilihat dari pengabdian beliau di Yogyakarta sebagai Direktur Pusat Studi Kebudayaan yang sekarang dikenal sebagai Pusat Studi Kebudayaan dan Perkembangan Sosial UGM sejak tahun 90-an sampai akhir hayatnya.

Perhatian Umar Kayam terhadap budaya Jawa terlihat juga dari beberapa karyanya yang mengangkat tentang masalah budaya Jawa, seperti ”Pengakuan Pariyem” (sebuah novel), ”Para Priyayi”, dan keterlibatan langsung Umar Kayam dalam polemik pengakuan prosa lirik Linus Suryadi AG dalam ”Pengakuan Pariyem”. Karya lainnya yang berbicara tentang budaya Jawa adalah Long Short

Story-nya yang berjudul ”Bawuk” dan ”Sri Sumarah” (Hoerip,

1979:79).

Peranan Umar Kayam yang lebih menonjol bagi perkem-bangan sastra, khususnya cerpen di Yogyakarta adalah kumpulan cerpennya yang diterbitkan di Yogyakarta pada tahun 1997 oleh Yayasan Untuk Indonesia. Kumpulan cerpen tersebut berjudul ”Parta Krama”. ”Parta Krama” ini, merupakan kumpulan cerpen yang memiliki kecenderungan menyampaikan kisah-kisah yang

meng-gambarkan budaya Jawa secara umum (bukan hanya Yogya) yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Semua kisah ini disampaikan dalam bentuk cerpen yang diramu dalam bahasa yang ringan dan begitu halus, sehingga Kuntowijoyo sebagai pengantar dalam cerpen ini berkomentar bahwa ”Parta Krama” ini tidak mau menggurui, tetapi menghibur, sekedar bercerita, dan karena itu kumpulan cerpen tersebut dapat dibaca santai. Tetapi yang mau menyikapi secara serius ya, silahkan. Pernyataan ini bertolak dari kenyataan yang terdapat dalam ”Parta Krama” yang meskipun disampaikan secara ringan, tetapi banyak hal yang dapat dipelajari melalui kumpulan cerpen tersebut yang mengangkat masalah yang sangat erat dengan kehidupan kita sehari-hari atau dapat kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari.

Tengok saja cerpen ”Mbok Jah” yang mengangkat kisah pembantu yang dapat ditemukan dalam kehidupan di sekeliling kita. Cerpen tersebut mengangkat bagaimana sisi lain kehidupan seorang pembantu (rakyat kecil) terhadap yang namanya ”Tuan” atau majikan yang berstatus sosial lebih tinggi dalam lingkungan budaya Yogyakarta. Dalam cerpen tersebut dapat dilihat bagaimana posisi Mbok Jah meskipun kebetulan majikan dan keluarganya meng-anggap Mbok Jah adalah bagian dari keluarga mereka dan bukan sekedar pembantu. Pembagian posisi ini dapat dilihat dari tatakrama Mbok Jah terhadap keluarga majikannya. Misalnya, majikannya yang dipanggil ndoro, dan anak majikannya yang di sapa dengan

Den Rara, dan Gus. Cerminan dalam cerpen tersebut tampak

hubungan harmonis antara pembantu (rakyat kecil) dengan sang majikan (kelas sosial atas).

Kehidupan lain yang tergambar/dapat ditemukan dalam cerpen yang menggunakan latar Yogyakarta ini adalah penggambaran bahwa ada suatu daerah di Yogyakarta yang identik dengan kemis-kinan. Hal ini di sampaikan melalui tanah leluhur Mbok Jah sebagai pembantu, makanan serta kehidupan sehari-hari Mbok Jah setelah keluar sebagai pembantu dan hidup di daerah kelahirannya tersebut, yaitu daerah Gunung Kidul. Penggambaran latar tempat ini dapat ditemukan secara jelas atau transparan dalam cerpen ”Mbok Jah”. Adapun cerpen lainnya yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini

adalah ”Ke Solo, Ke Njati ...”, ”Ziarah Lebaran”, ”Spinx”, Raja Midas” dan ”Citraksi, Citrakso”. ”Citraksi dan Citrakso” sendiri bercerita bagaimana hubungan kekeluargaan yang berpengaruh bahkan berhubungan erat dengan birokrasi (pemerintahan) terutama dalam mencari pekerjaan. Mungkin pak Kayam ingin menggam-barkan bagaimana bentuk nepotisme bisa terjalin di Indonesia?.

Semua cerpen tersebut meskipun tidak menggambarkan atau bercerita tentang keadaan Yogyakarta, tetapi umumnya mengangkat kisah dengan latar budaya Jawa. Penggambaran secara transparan dapat ditelusuri melalui penggunaan nama tokoh-tokohnya maupun latar budaya yang digunakan.

Sastrawan Kuntowijoyo merupakan sastrawan yang lahir di Yogyakarta tepatnya di desa Sorobayan Bantul yang terkenal dengan cerpennya ”Di Larang Mencintai Bunga-Bunga”. Selain menulis cerpen, Kuntowijoyo dan kawan-kawan sesama sastrawan di Yogyakarta seperti Bakdi sumanto, Rachmat Joko Pradopo, Ragil Suwarno Pragolapati, Ahmadun Yosi Herfanda, Ida Ayu Galuh Pethak, dan Mathori A. Elwa pada tahun 1988 membuat antologi Tujuh Penyair Yogya Baca Puisi yang diterbitkan oleh Keluarga Mahasiswa sastra Indonesia UGM. Meskipun karya-karyanya umumnya dipublikasikan di luar Yogyakarta, beberapa karyanya masih berbicara atau mengangkat budaya Jawa. Misalnya saja cerpen Kuntowijoyo yang berjudul ”Anjing-Anjing Penjaga Kuburan” (Hoerip, 1979:137).

Pengarang lainnya yang pernah terlibat dalam perkembangan dunia sastra di Yogyakarta selain yang telah dijelaskan sebelumnya adalah Soekarno Hadian, Motinggo Busye, Budi Darma, Djamil Suherman, Nasjah Jamin, dan P. Sengodjo, Emha Ainun Nadjib, dan Indra Trenggono. Pengarang-pengarang tersebut umumnya berasal dari luar Yogyakarta tetapi pernah mengisi perkembangan dunia sastra Yogyakarta dengan hasil karyanya. Untuk melihat secara spesifik bentuk keterlibatan mereka, maka para sastrawan tersebut akan di uraikan satu persatu secara singkat disertai karya-karyanya yang pernah terbit di media massa Yogyakarta.

Pengarang pertama yang akan kita telusuri perjalanan karya-nya di Yogyakarta adalah Soekarno Hadian. Pengarang kelahiran

Wates Yogyakarta lulusan UGM Yogyakarta ini, pernah bekerja sebagai pegawai di bidang Kesenian Jawatan Kebudayaan, Depar-temen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta. Selain menulis cerpen, juga gemar menulis sajak dan melukis. Karya cerpen Hadian pernah memenangkan hadiah dalam penulisan cerpen di Minggu

Pagi Yogyakarta pada tahun 1955 (Hoerip, 1979:29).

Indra Trenggono, merupakan sastrawan Yogyakarta yang lahir di Yogyakarta. Selain menulis cerpen, juga menulis puisi, naskah drama dan artikel seni budaya yang banyak dimuat di media lokal maupun nasional. Pernah bekerja di Lembaga Pendidikan Penelitian dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y), menjadi redaktur budaya koran Masa Kini, Bernas (Yogyakarta). Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Gunungan, Prasasti, Tugu dan Sembilu. Cerpennya dimuat dalam antologi Ambang. Indra Trenggono pernah meraih juara II Lomba Penulisan Puisi tahun 1989 yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta. Cerpennya yang berjudul ”Anoman Ringsek” memenangkan juara I dalam Lomba Penulisan Cerita Pendek yang diselenggarakan Dewan Kesenian DIY. Beberapa waktu terakhir, bersama Agus Noor, aktif dalam penulisan naskah monolog yang berhasil mengantarkan Butet Kertarejasa menjadi ”Raja Monolog” dengan karya antara lain ”Lidah Pingsan” dan ”Lidah (Masih) Pingsan”.

Kumpulan antologinya ”Sang Terdakwa” yang terbit tahun 2000, secara umum tampak mengusung dua tema besar yaitu pemihakan pengarang yang selalu memihak wong cilik, dan kedua, ketercengkraman dan kecemasan manusia di hadapan kekuatan (kekuatan politik) yang tak sepenuhnya bisa dipahami. Cerpen-cerpen ini diangkat oleh Indra Trenggono dalam bentuk tragisme, geram, tetapi juga getir untuk menjadi basis cerpen-cerpennya sekaligus menjadi gaya penulisnya.

Motinggo Busye, merupakan pengarang luar Yogyakarta yang tidak asing lagi bagi masyarakat Yogyakarta. Pengarang kelahiran Telukbetung ini awalnya datang ke Yogyakarta sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum. Kota Yogyakarta inilah yang kemudian mempo-pulerkan namanya di Indonesia sebagai seorang penulis cerpen dan drama. Melalui Yogyakarta, Motinggo Busye menya-lurkan jiwa

seninya dengan berkarya maupun melalui kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sastra bersama teman-teman sesama sastrawan. Cerpen dan dramanya diantaranya di muat dalam majalah Minggu

Pagi (media massa Yogyakarta), Budaya, Mimbar Indonesia, Kisah, Sastra dan Aneka. Salah satu karya cerpennya ”Nasehat Untuk

Anankku” mendapat penghargaan dari majalah Sastra pada tahun 1962 (Hoerip, 1979:135) .

Budi Darma termasuk salah satu sastrawan yang pernah menulis untuk media massa Yogyakarta, tepatnya di majalah kampus

Gadjah Mada yang umumnya beraudiance mahasiwa. Budi Darma

yang lahir di Rembang, menulis cerpennya dengan ciri khas yang umumnya, keras, dingin, dan seolah acuh tak acuh pada nilai moral kemasyarakatan (Hoerip, 1979:91). Pengarang lainnya adalah Djamil Suherman. Pria kelahiran Surabaya ini produktif menulis cerpen selain giat dalam teater. Cerpen-cerpennya muncul di berbagai majalah-majalah terkemuka, seperti Indonesia, Siasat, Kisah, Budaya, Mimbar Indonesia dan Minggu Pagi (majalah mingguan

Yogyakarta). Cerpen-cerpen Djamil Suherman umumnya berbau kehidupan pesantren yang amat dikenalnya sejak kecil (Hoerip, 1979:141).

Lain pula dengan Nasjah Djamin. Pengarang kelahiran Sumatera Utara ini awalnya tinggal di Jakarta kemudian memutuskan menetap di Yogyakarta hingga meninggal. Kecintaannya yang mendalam terhadap lukisan membuatnya lebih dikenal sebagai pelukis daripada sastrawan. Nasjah belajar melukis atas bimbingan Affandi dan S. Soedjono. Tulisan-tulisannya tersebar di Minggu

Pagi, Budaya, Berita Yudha dan lain-lain. Selain kecintaannya

kepada seni lukis Nasjah Djamin menulis cerpen dan novel. Kota dan suasana kehidupan Yogyakarta banyak mengilhami dan terabadikan dalam cerpen-cerpen Nasjah Djamin. Kumpulan cerpen dan novel Nasjah Djamin adalah ”Sekelumit Nyanyian Sunda” (1961) dan ”Sebuah Perkawinan” (1974). Cerpen ”Di Bawah Kaki Pak Dirman” (1967) merupakan cerpen yang umumnya mengambil latar Yogya-karta ke dalam cerita. Sedangkan karya Novel diantaranya adalah ”Hilanglah Si Anak Hilang” (1963), ”Gairah Untuk Hidup dan Untuk

Mati” (1968), dan ”Helai-Helai Sakura Gugur” (1966) (Hoerip, 1979:169).

Selain karya-karyanya di atas Nasjah Djamin bersama sastrawan lainnya seperti Rendra, dan Motinggo Busye pada pertengahan tahun 1960-an di Yogyakarta menulis cerpen dan cerita bersambung di majalah Minggu Pagi. Karya Nasjah Djamin berupa cerita bersambung berjudul ”Hilanglah Si Anak Hilang” yang diterbitkan Minggu Pagi malah mendapat sambutan luar biasa bagi pembaca Yogyakarta pada tahun 1959-1960. Karya ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku.

Pengarang yang tidak kalah peranannya dalam perkembangan sastra termasuk dalam bidang cerpen di Yogkarta adalah Jajak MD. Jajak MD yang meskipun lahir di Magelang tetapi memilih Yogyakarta menjadi tempat Jajak dalam mencari ilmu dan berkarya. Bahkan Jajak banyak mengabdikan diri di kota Yogyakarta ini. Jajak MD mulai menulis sejak tahun 1957 di beberapa majalah. Karya-karya yang dibuat oleh Jajak MD adalah berupa sajak-sajak, cerita pendek, artikel resensi, maupun cerita anak-anak yang diterbitkan oeleh beberapa majalah seni.

Pada tahun 1957 bersama Rendra, Jajak MD mendirikan Artis Teater. Tidak berhenti di situ saja, ia pernah menjadi ketua II Lembaga Seni Sastra Pusat Yogyakarta pada periode 1958-1960. Kegiatan lain Jajak MD yang turut mendukung perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta adalah akatifitas Jajak MD dalam beberapa organisasi yang berhubungan dengan perkembangan sastra di Yogyakarta, seperti ketua Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia cabang Yogyakarta pada tahun 1966-1969, dan menjadi anggota Dewan Kesenian Yogyakarta pada tahun 1972-1973.

Pengarang luar Yogyakarta lainnya yang pernah mengisi kehidupan sastra di Yogyakarta adalah P. Sengodjo. P. Sengodjo merupakan pengarang kelahiran Gatak, Ungaran, Semarang dengan nama asli Suripman. Meskipun pada waktu itu masih berstatus mahasiswa fakultas Tekni UGM, P. Sengodjo sudah mulai berkarya. P. Sengodjo bahkan pernah menjadi menjadi redaktur majalah

Gadjah Mada yang merupakan salah satu majalah penggerak sastra

menulis cerpen-cerpen dan sajak-sajak yang umumnya mengarah ke bentuk surrialisme atau mistik. Suripman kemudian memilih kehidupan sebagai petani dan hanya sekali-sekali karyanya muncul di majalah ibukota (Hoerip, 1979:223).

Emha Ainun Nadjib, merupakan sastrawan yang banyak berkarya dan beraktifitas di Yogyakarta. Meskipun Emha Ainun Nadjib kelahiran Jombang, tetapi aktifitasnya, termasuk dalam bidang sastra banyak berlangsung di Yogyakarta. Bahkan sampai saat ini Ainun Nadjib memilih menetap di Yogyakarta. Emha Ainun Nadjib sebagai sastrawan bukan hanya berfokus pada suatu bidang sastra. Selain menulis puisi, dia juga menulis esei yang cukup banyak dibukukan. Selain itu, Ainun Nadjib juga menulis naskah drama. Naskah drama ini banyak dipentaskan. Naskah drama yang sempat fenomenal adalah ”Lautan Jilbab”. Adapun karya puisi Emha yang diterbitkan dalam bentuk buku adalah ”M. Frustasi” (1975), ”Sajak Sepanjang Jalan” (1977), ”99 Untuk Tuhanku” (1980), ”Suluk Pesisiran” (1988), ”Lautan Jilbab” (1989, terbit ulang 1991) dan ”Cahaya Maha Cahaya” (1991). Lima kumpulan kolom dan esainya yang telah terbit di antaranya, ”Indonesia: Bagian dari Desa Saya” (1980, terbit ulang 1991). ”Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan” (1985, terbit ulang 1991). ”Sastra yang Membebaskan” (1984) dan ”Slilit Sang Kiai” (1991).

Selain hasil karya sastra di atas, Emha Ainun Nadjib juga bergabung dengan PSK (Persada Studi Klub) dibawah asuhan penyair Umbu Landu Paranggi. Kelompok ini merupakan kelompok yang turut membangun dan mewarnai upaya pengembangan kreatifitas para penulis di Yogyakarta pada masanya/zamannya. Kegiatan-kegiatan lain Emha Ainun Nadjib yang masih berhubungan dengan kegiatran seputar sastra adalah keikutsertaannya pada lokakarya tetaer di Philipina pada tahun 1980, International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS pada tahun 1984, Festival Penyair Internasional di Rotterdam (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Kumpulan cerpen Emha Ainun Nadjib yang diterbitkan adalah ”Yang Terhormat Nama Saya” diterbitkan oleh Sipress Yogyakarta pada tahun 1992. Pada kumpulan cerpen ini, dapat dilihat bagaimana

kedekatan dan perhatian Ainun Nadjib terhadap kehidupan rakat menengah ke bawah, khususnya terhadap kehidupan masya-rakat suku Jawa termasuk Yogyakarta. Kecintaan dan kepedulian Ainun terhadap kehidupan masyarakat menengah ke bawah tampak mendominasi kumpulan cerpennya. Apalagi jika fenomena yang terdapat dalam cerpen tersebut di hubungkan aktiftas Ainun yang ikut menangani Yayasan Pengembangan Masyarakat ”Al Muham-mady” di Jombang yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial ekonomi, sosial budaya dan aktifitasnya dalam Yayasan ”Ababil” yang berdiri di Yogyakarta yang berhubungan dengan sosial masyarakat yang bergerak dalam penyediaan tenaga advokasi pengembangan masyarakat dan fasilitas penciptaan lapangan kerja. Cerpen-cerpennya yang beragam seakan merekam perjalanan Ainun, potongan masa lalunya di Jombang maupun segudang pengalaman hidupnya termasuk di Yogyakarta.

Kedekatan Ainun yang mungkin akan lebih tepat dibahasakan kepedulian terhadap kehidupan masyarakat kecil terlihat pada beberapa judul cerpen dalam kumpulan cerpennya. Seperti pada cerpen ”Satu Truk Pasir” ”Kang Dasrip”, dan”Yang Terhormat Nama Saya”. Semua cerepen tersebut mengangkat gambaran kehidupan rakyat kecil. Bagaimana keinginan-keinginan mereka yang tidak terpenuhi akibat tidak adanya pekerjaan tetap pada sang tokoh (”Satu Truk Pasir” ”Kang Dasrip”), dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap seorang anak yang tak jelas siapa ayahnya (”Yang Terhormat Nama Saya”).

Budaya suatu masyarakat menjadi perhatian juga bagi seorang Ainun. Budaya, sekaligus persoalan-persoalan sosial dalam suatu masyarakat yang sangat sering terjadi dan dekat dengan kehidupan sehari-hari diangkat secara ringan oleh Ainun dalam kumpulan cerpennya ini. Persoalan yang tampak kecil tetapi sebenarnya sangat besar pengaruhnya bagi seseorang bagi kelanjutan kehidupannya dalam bermasyarakat. Cerpen-cerpen ini cenderung dapat dilihat sebagai kritikan dan sekaligus hanya untuk mengingatkan kembali pada pembaca efek yang timbul dari perilaku masyarakat tersebut. Persoalan ini diangkat oleh Ainun dalam cerpennya secara ringan.

Perilaku yang masih sering dijumpai tersebut adalah masalah dalam menentukan jodoh yang dianggap wajar, menyimpang, atau pandangan masyarakat tentang jodoh ideal bagi seseorang yang umum dikenal dengan bibit, bobot bebet. Persoalan tentang jodoh ini membahas tentang pandangan masyarakat melihat persoalan umur sebagai suatu kewajaran, penyimpangan, atau ideal dalam menjalin sebuah rumah tangga. Seperti cerpen ”Anak-anakku yang Tercinta”, dan ”Mario”. Pada cerpen ”Mario”, mengangkat polemik yang terjadi dalam keluarga Mario (kakeknya) ketika Mario memutuskan berumah tangga dengan perempuan yang uisanya lebih tua dari dirinya. Mario seorang pemuda yang bersahaja di kampungnya, ganteng, jago main bola, menurut kakek dan orang-orang kam-pungnya dianggap salah dalam mengambil keputusan/menyimpang. Sikap masyarakat yang tidak mendukung keputusan Mario dianggap sebagai pandangan masyarakat terhadap perkawinan yang ideal, wajar dalam suatu masyarakat.

Sisi lain yang dapat dicermati atau dapat dikatakan pesan yang ingin disampaikan pengarangnya dalam cerpen Mario yang memilih calon istri yang lebih tua, memilih untuk tidak terikat pada instansi tertentu meskipun bisa, memilih hidup dengan apa adanya, menolong seseorang tanpa pamrih yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar dalam cerpen tersebut dianggap suatu fenomena masyarakat dalam era ini.

”Anak-anakku yang Tercinta” mengangkat persoalan dalam keluarga dan masyarakat di sekitarnya, dengan mengangkat persoalan bila seorang janda yang mempunyai anak memutuskan menikah lagi. Cerpen yang mengangkat persoalan bibit bobo bebet dalam menentukan calon pacar dan suami sangat kental ditemukan dalam cerpen ”Yang Terhormat Nama Saya”. Judul cerpen yang sekaligus menjadi judul dalam Antologi ini.

Krtikan keras, dapat dilihat ketika Ainun berbicara tentang Negara, dan Bangsa dalam kumpulan cerpen tersebut. Kritikan keras tentang negara ini dapat dilihat pada cerpen yang berjudul ”Padang Kurusetra”. Cerpen dengan mengambil latar dan tokoh pewayangan; Prabu Kresna, Arjuna, Kurawa, Janardana, Ksatria Pandawa, ksatria Pandawa dll, sangat keras mengkritik para penjaga negara yang

disimbolkan arjuna dan ksatria yang tertidur nyenyak karena terlalu banyak memakan beratus ribu jengkal kebun, ladang, sawah, jogolo-joglo mewah, serta berjuta mata uang yang berlimpah dan minyak bumi, ketika rakyat menderita, kelaparan dsb. Sedangkan Suyudana disimbolkan sebagai tokoh jahat yang membuat para ksatria tertidur. Cerpen lain yang mengkritik pemerintahan setempat (lokal) adalah cerpen ”Kang Darsip”, meskipun kritikannya tidak sekeras pada cerpen ”Padang Kurusetra”. Cerpen ini mengkritik perilaku lurah pada daerah Kang Darsip yang bersekongkol dengan pabrik tebu merampas sawah rakyat sehingga mengakibatkan kemiskinan bagi masyarakat di daerah tersebut.

Adapun penggambaran dalam bidang pendidikan dan sosial budaya yang tercermin dalam kumpulan cerpen tersebut dapat disimak pada cerpen ”Jimat”, ”Stempel”, dan ”Yang Terhormat Nama Saya”. Cerpen tersebut (”Jimat” dan ”Stempel”) mengangkat

Dalam dokumen Sastra Yogya PERIODE (Halaman 127-175)

Dokumen terkait