• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Dinamika Psikologis

2. Dinamika Psikologis ND

Subyek merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Lahir dan besar di Yogyakarta sehingga masa pendidikannya dari TK sampai bangku kuliah selalu di Yogyakarta. Faktor kedua orang tua subyek sebagai guru nampak jelas mempengaruhi subyek untuk tetap meneruskan pendidikannya sampai jenjang tertinggi. Selain itu, dinamika pendidikan membentuk subyek menjadi pribadi yang memiliki minat membaca. Ia

gemar membaca buku-buku psikologi. Baginya membaca buku psikologi mengasyikan. Apalagi bagi orang awam, ilmu psikologi dapat digunakan untuk membaca pikiran seseorang serta menebak kepribadiannya. Dari sinilah muncul dorongan dari diri subyek untuk memilih mendalami ilmu psikologi di perguruan tinggi. Bahkan saat mendaftar di USD, tiga pilihan bidang studi yang ada di lembar pendaftaran, ia isi semua dengan prodi psikologi.

Pengalaman dan realitas hidup yang tidak mengenakkan bagi subyek adalah keadaan keluarganya. Ia berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Hal ini dilatarbelakangi oleh status orang tuanya. Ibunya merupakan istri kedua bapaknya. Pernikahan mereka dilakukan secara siri dan tidak mendapat persetujuan dari istri pertama. Status perkawinan tersebut menjadi rumit karena ibu subyek beragama Katolik yang memiliki azas pernikahan tunggal.

Karena itu, sebagai single parent, ibunya merasa berat dalam mendidik. Keadaan ini semakin berat mengingat kakak sub yek juga menikah karena hamil di luar pernikahan sehingga menambah beban keluarga. Kakak sub yek juga nampak tidak siap dengan pernikahannya karena masih didominasi oleh dorongan egoisme yang kuat.

Secara jujur subyek tidak bangga dengan keluarganya karena kondisi keluarga yang tidak memiliki komunikasi yang yang baik antara bapak dan ibunya sehingga ia tidak dapat belajar tentang manajemen konflik. Subyek juga kehilangan kesempatan untuk belajar mandiri,

mengambil keputusan, mengembangkan kemampuan kognitif yang selama ini menjadi citra peran ayah dalam pendidikan anak. Hasil studi subyek selama ini memang cukup memuaskan. Ia dapat menyelesaikan masa sekolah menengah tingkat atas di sebuah sekolah favorit di Yogyakarta. Namun kemampuan kognitif yang cukup itu kurang mampu diberdayakan sehingga sub yek kurang memiliki kemampuan manajemen konflik yang baik dan kurang bijak dalam mengambil keputusan.

Memang secara rutin, ayahnya datang berkunjung seminggu atau dua minggu sekali. Namun suasana yang tercipta kurang kondusif karena tak jarang keluarganya diintimidasi oleh keluarga istri pertama bapaknya. Selain itu, karakter bapaknya yang cenderung keras dan reaktif membuat relasi subyek dengan bapaknya justru memburuk.

Keadaan ini mengakibatkan Subyek jarang meluangkan waktu dengan keluarganya. Ia merasa tidak nyaman di rumah sehingga memilih menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Namun di sisi lain, ia tetap merindukan keluarganya. Rasa rindu tersebut timbul bukan karena rasa sepi melainkan bagaimanapun juga mereka adalah keluarga subyek.

Situasi yang tidak ideal ini mendorong subyek untuk memiliki niat memperbaiki keadaan. Namun hal ini hanya terjadi dalam taraf berpikir saja. Ia terbentur oleh status sebagai anak paling kecil sehingga merasa tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk terlibat dalam mengatasi problematika keluarganya.

Dari kompleksitas permasalahan keluarganya, sub yek memandang bahwa memang banyak kekurangan dalam keluarganya. Ia merasa keluarganya tidak memiliki keutuhan sebagai satu keluarga. Keluarganya juga tidak memiliki relasi yang baik antar anggota keluarga, terutama dengan bapaknya. Namun dibalik itu semua, subyek menemukan figur ibu yang masih semangat dan tetap setia mengayomi dan menghidupi keluarganya walau sebagai orang tua tunggal.

Subyek juga memahami bagaimanapun juga ia masih tergantung pada orang tua terutama ibunya. Ketergantungan ini semakin nyata dalam hal finansial. Karena itu, ia sebisa mungkin dapat segera lulus dan membangun kemapanan hidup agar tidak membebani ibunya.

Kondisi tersebut sering menimbulkan dilema bagi setiap individu dalam mengaktualisasikan dirinya secara bebas dan utuh. Subyek juga menyadari hal tersebut. Namun bila berada dalam kondisi pertentangan dengan orang tuanya, suybek akan mendahulukan cita-cita, keinginan dan harapannya dibandingkan harapan orang tua. Bagaimanapun juga ia merasa dialah yang menjalani kehidupannya. Namun ia tetap akan berusaha meyakinkan orang tuanya bahwa apapun yang ia pilih dan jalani adalah yang terbaik bagi dirinya.

Cara pandang ini mempengaruhi subyek dalam memandang realitas ketergantungan terhadap orang tua. Baginya kemandirian adalah wujud ketidaktergantungan terhadap orang lain. Memang saat ini, ia

tergantung secara finansial pada orang tuanya, tapi secara objektif, hal itu sucah kewajiban orang tuanya.

Pengalaman hidup seperti ini menjadikan sub yek menjadi pribadi yang cenderung tertutup. Tidak mudah baginya untuk menceritakan pengalaman dan keadaan dirinya. Ia cenderung bersikap pasif bila berhadapan dengan orang lain. Apalagi jika bertemu dengan orang yang baru ia kenal.

Subyek menyadari hambatan sosial di atas. Ia beralasan, sangat tidak mudah membangun relasi sosial dengan orang lain karena pasti akan selalu ditanya tentang keluarganya. Secara otomatis ia akan menarik dan menutup diri bila ditanya tentang keluarga. Situasi ini menjadi semakin tidak mudah saat ia ingin membangun relasi dengan lawan jenis. Ia merasa takut dan cemas karena biasanya pasti ditanya tentang latar belakang keluarganya atau orang jawa menyebutnya bobot, bibit, bebet. Karena itu, ia dikenal sebagai pribadi yang begitu selektif dalam membangun relasi interpersonal.

Subyek juga menjadi pribadi yang kurang percaya diri. Hal ini Nampak pada sikapnya yang kurang mampu menerima kondisi tubuhnya. Ia menilai tubuhnya lebih pendek dibanding teman-temannya.

Dalam skala lebih luas, yakni relasi dengan masyarakat juga tidak jauh beda. Pandangan miring masyarakat terhadap keadaan keluarganya masih sering ia dengar. Karena itu, subyek membatasi diri dalam keterlibatan dengan masyarakat. Namun, bagaimanapun juga secara sosial,

mau tidak mau subyek harus menggantikan peran sosial bapaknya karena ia laki-laki satu-satunya dalam keluarganya. Hal ini mendorong sub yek harus berani memikul tanggung jawab sosial, seperti hadir saat kenduri warga, rapat warga dan sebagainya. Peran ini membentuk subyek menjadi pribadi yang keras. Di sisi lain, subyek memaknai peran tersebut sebagai beban yang harus dia pikul sehingga ia menjadi pribadi yang mudah marah dan terpancing emosinya.

Namun dibalik rasa kecewa dan merasa dinilai negatif oleh masyarakat, muncul ketertarikan dalam diri sub yek terhadap isu-isu sosial terutama masalah ketidakadilan. Hal ini disebabkan karena adanya perasaan senasib dan sepenanggungan terhadap para korban ketidakadilan. Ia mencontohkan keterlibatannya dalam ikut sebagai relawan gempa jogja beberapa waktu lalu.

Pergulatan hidup yang berliku yang harus dilalui subyek, menggiring subyek pada satu simpul hidup. Pengalaman hidup yang tidak selalu mengenakkan dan terasa berat, menyadarkan subyek bahwa seberat apapun hidup, manusia harus terus melangkah maju dan menghadapi itu semua.

Subyek menyadari hal tersebut setelah ia merasa diteguhkan oleh teman sharingnya yang menceritakan tetang kisah hidup Yesus Kristus. Karena itu, ia meyakini kebenaran pandangannya itu dan memaknainya sebagai perangkat nilai yang ia hayati. Secara konkret ia,

mengimplementasikan perangkat nilai tersebut dengan berusaha menerima keadaan keluarganya apa adanya.

Dokumen terkait