• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Analisa Data Penelitian

1. Hasil Penelitian Subyek I

Latar belakang menjadi mahasiswa merupakan pintu masuk pertama untuk mengetahui sejauh mana subyek mengembangkan diri dan berkembang menuju kematangan psikologis. Sebagai pintu pertama,

latar belakang menjadi mahasiswa merupakan penunjuk arah bagi subyek dalam menatap masa depan dan menjadi pondasi dalam perkembangan kematangan psikologis. Subyek harus mampu menentukan arah dan memikirkan tentang masa depannya berkaitan dengan pilihan hidup yang hendak dipilih.

Selain itu, di sini dapat dilihat sejauh mana subyek mengintegralkan diri dalam pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Juga dapat diketahui pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai yang ditanamkan oleh Universitas Sanata Dharma.

Motivasi sub yek belajar psikologi adalah agar lebih dapat mengenal diri dan dapat membantu orang lain yang didasarkan pada kompetensi sebagai profesional helper (CBL, 6-11; 13-16). Motivasi tersebut muncul karena ketertarikan subyek pada ilmu psikologi dimana ilmu psikologi dapat menjadi sumber inspirasi dan bahan pembelajaran untuk mengolah diri (CBL, 22-25).

Pemilihan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, umur subyek sudah melebihi syarat maksimal untuk memasuki universitas negeri. Kedua, subyek memandang bahwa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dipandang lebih unggul dari universitas lain (CBL, 31-36).

Selama ini, sub yek memahami visi dan misi Universitas Sanata Dharma tidak hanya semata belajar untuk mengolah pikir namun juga mengolah diri sepenuhnya (CBL, 40-47). Pemahaman ini

diinternalisasikan secara konkret dengan cara menganalisa diri untuk menemukan kelemahan diri, yakni sub yek kesulitan dalam proses adaptasi sosial karena faktor perbedaan umur dengan teman seangkatan (CBL, 52-61). Kesulitan tersebut diatasi dengan cara membuang sekat-sekat dalam diri dan memperluas relasi dengan cara lebih akrab dengan teman seangkatan (CBL, 64-75). Hal ini sangat penting bagi sub yek karena terpecahnya hambatan tersebut dapat membantu subyek membangun kenyamanan belajar dalam lingkungan kampus (CBL,

78-81).

Penginternalisasian lainnya adalah subyek mengolah diri secara integral dengan cara merefleksikan pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh di Fakultas Psikologi (CBL, 90-98). Proses perefleksian tersebut dilakukan tidak hanya dengan menerima teori psikologi yang ada namun juga diterapkan secara konkret. Ia mencontohkan tentang menganalisa teori kepribadian dan kesehatan mental tidak sebatas pada pemahaman teoritis namun juga digunakan untuk melihat diri sendiri

(CBL,101-110). b. Definisi Diri

Definisi diri merupakan wujud pengejawantahan persepsi dan pandangan tentang kedewasaan menurut subyek sendiri. Dengan kata lain, bagaimana sub yek memandang kedewasaan dan sejauh mana ia berkembang menuju ke kedewasaan diri sebagai bentuk pematangan

seluruh aspek psikologisnya secara progresif evolutif dan bernilai kualitatif.

Secara umum, subyek memandang dirinya telah dewasa. Ia merasa sebagaian besar aspek-aspek psikologis dalam dirinya sebagai indikator kedewasaan telah berkembang (CBL, 116-117). Subyek memandang bahwa aspek sosial memiliki peran penting dalam proses pendewasaannya. Baginya, seseorang dikatakan sudah dewasa apabila ia mampu menempatkan dirinya dalam lingkungan, artinya bagaimana ia dapat menyesuaikan diri dan membangun harmoni (CBL, 122-128).

Sebagai mahasiswa psikologi, subyek sangat terbantu dan dimudahkan dalam mengembangkan diri dan berproses menuju ke kedewasaan diri (CBL, 162). Teori-teori psikkologi yang ada, seperti tokoh Hurlock dan Santrock memberi acuan kedewasaan (CBL, 139-146). Teori-teori tersebut, ia cocokkan dengan realitas dirinya. Ia mengukur dirinya apakah sudah ada kesesuaian atau sudah terpenuhi atau belum realitas dirinya dengan teori-teori tersebut (CBL, 150-159).

Dalam proses pencocokkan tersebut dia menemukan hambatan dasar dalam prosespendewasaannya. Ia mengalami kesulitan beradaptasi dalam lingkungan masif, ramai dan bersifat komunal. Hal ini disebabkan subyek dibesarkan dalam lingkungan keluarga kecil dan tinggal di pedesaan yang jauh dari keramaian (CBL, 167-178). Bagi subyek, hambatan tersebut bukanlah batu sandungan dalam berkembang. Hambatan tersebut justru memicu dorongan yang besar

untuk lebih berusaha mengakrabkan diri dengan lingkungan dan tidak menarik diri dalam relasi sosial (CBL, 222-232). Hambatan relasi dijadikan sebagai motivasi untuk semakin dewasa dan pengalaman-pengalaman masa lalu dijadikan sebagai acuan untuk membangun relasi sehngga tercipta sebuah keharmonisan dengan lingkungan (CBL, 190-213). Dorongan lain yang muncul adalah dorongan ke arah kepenuhan hidup yang dijadikan sebagai sumber motivasi untuk lebih dewasa. Bagi subyek, kepenuhan hidup bukan soal lebih baik atau lebih buruk namun bagaimana individu menyikapi segala sesuatu sehingga merasa nyaman

(CBL, 239-251). c. Relasi Sosial

Peran sosial merupakan salah satu kunci dalam proses kedewasaan atau kematangan diri. Melalui peran sosial, individu dapat belajar dan mengembangkan kemampuan problem solving, mengembangkan sikap altruistik dan memahami tuntutan sosial. Peran sosial dibangun melalui terlibat aktif dalam interaksi sosial dengan lingkungan, seperti keluarga dan masyarakat.

c.1. Relasi Dengan Masyarakat

Selama ini sub yek merasa dekat dengan masyarakat sekitar karena telah lama tinggal di lingkungan tersebut (CBL, 258-262). Secara konkret ia berusaha terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan dengan cara hadir saat ada orang punya anak, sunatan, perkawinan, atau ada yang

meninggal. Juga terlibat dalam acara luthungan dan kerja bakti. (CBL, 258-262; 292-311).

Menurut subyek, masyarakat tempat tinggalnya kebanyakan petani dengan tingkat pendidikan maksimal SMU dan masih dalam kultur pedesaan (CBL, 315-324). Interaksi sosial yang terjadi adalah komunikasi berdasar kelompok usia, anak muda berkumpul dengan teman seusianya, orang tua berkumpul dengan sesama orang tua, dan seterusnya. Perkumpulan warga terpusat di tempat ibadah dan tidak ada organisasi pemerintahan seperti rukun tetangga (CBL, 329-347). Dalam perkembangannya, telah terjadi perubahan dalam lingkungannya karena faktor teknologi seperti TV dan listrik sehingga kecenderungan untuk berkumpul menjadi berkurang. Selain itu, masyarakat cenderung berkumpul di tempat ibadah (masjid) sehingga mempersulit subyek untuk masuk karena ia non muslim (CBL, 270-291).

Karakteristik masyarakat di atas menimbulkan hambatan besar bagi subyek untuk berinteraksi namun ia tetap berusaha terlibat dalam lingkungan tempat tinggal dan mengambil peran sebagai follower, mengingat ada perbedaan sistem religi yang dianut subyek (CBL, 266-270; 350-356). Selain itu, subyek sendiri menyadari kurangnya dorongan inisiatif untuk membangun relasi menjadi faktor lain penyebab sulitnya subyek dalam beradaptasi dan terlibat aktif dalam masyarakat

(CBL, 367-373). Namun, subyek tetap berusaha membangun relasi walau membutuhkan waktu yang lama (CBL, 376-380) dan bersama

keluarganya, berusaha membagi waktu bermasyarakat dan kepentingan keluarga sehingga tidak ada yang terabaikan (CBL, 526-538).

c.2. Relasi dengan Keluarga

Keluarga subyek adalah keluarga yang hangat, komunikasi yang demokratis, ada kesetaraan disana (CBL, 386-389). Interaksi antar

anggota keluarga cukup intens, saling berbagi pengalaman dan cerita (CBL, 390-394). Subyek juga merasa selalu dilibatkan dalam keluarga terutama dalam setiap pengambilan keputusan (CBL, 446-448). Di kehidupan sehari-hari, subyek berusaha terlibat dan membangun komunikasi dengan keluarga dengan cara-cara sederhana, seperti: menyapa, menanyakan kabar atau saling ngaruhke (CBL, 417-421). Subyek juga berusaha terlibat aktif dalam kegiatan rumah, bersih-bersih, mencuci sendiri dan masak (CBL, 481-487; 489;491).

Suasana keluarga yang hangat dan nyaman menjadikan sub yek merasa aman, hangat dan nyaman di rumah (CBL, 494; 495) dan bangga dengan keluarganya. Karena itu, subyek senantiasa meluangkan waktu bersama keluarga terutama saat sore dan malam hari (CBL, 451-455). Keharmonisan ini semakin nampak dengan adanya ritualisasi dalam keluarga yakni, saling memberi berkah antar anggota keluarga (CBL, 613-614; 616-617). Selain itu, situasi yang kondusif tersebut, membantu subyek dalam membangun penerimaan realitas sosial terhadap kakaknya yang mengalami keterbelakangan mental (CBL, 399-413). Subyek telah menerima kondisi kakaknya walaupun membutuhkan proses yang cukup

lama dan tidak malu untuk mengakui kondisi kakaknya sehingga tidak canggung bila bersama kakaknya (CBL, 429-442).

Subyek juga merasa dalam keluarganya tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan keluarganya adalah semangat untuk terlibat dalam hidup rohani, membangun sikap harmoni terhadap lingkungan, dan dibimbing dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat sekitar. Kekurangan keluarganya adalah perlu diolah kembali berkaitan keterlibatan di masyarakat (CBL, 498-518). Untuk itu, ia dan keluarganya berusaha mengatasi keterbatasan interaksi sosial dengan cara membagi waktu bermasyarakat dan kepentingan keluarga sehingga tidak ada yang terabaikan (CBL, 526-538).

Catatan penting lain, dalam keluarga subyek juga tetap muncul konflik atau ketidaksepahaman. Konflik yang sering muncul adalah perselisihan antara orang tuanya (CBL, 547-551). Dalam kondisi seperti ini, biasanya subyek berusaha ikut ambil bagian dalam menyelesaikan konflik dalam keluarga (CBL, 541-544) dengan cara subyek mengajak orang tuanya untuk duduk bersama dan mencari titik temu sehingga dapat diperbaiki dan tidak terjadi lagi di masa yang akan datang (CBL,

556-566).

Subyek juga pernah mengalami konflik dengan orang tuanya,

terutama dengan ibunya yang mudah mengubah keputusan tanpa mempertimbangkan pengaruh keputusan tersebut bagi orang lain. Namun intensitas konfliknya sangat jarang (CBL, 571; 574-588; 592).

Perselisihan ini disikapi subyek dengan berusaha memahami dan menerima karakter atau sifat ibunya dan dicari bersama bagaimana memperbaiki sifat dan karakter tersebut walaupun tidak mudah (CBL,

598-607).

d. Perilaku Sosial yang Beranggung Jawab

Perilaku sosial yang bertanggung jawab merupakan aksi proaktif dalam relasi sosial di mana individu secara sadar dan bebas, berperilaku

sesuai dengan norma sosial. Sikap ini ditandai oleh munculnya kesadaran individu memahami harapan dan realitas sosial serta idealisme dan paradigma yang ia bangun, sehingga ia dapat memberikan

respon positif berupa perilaku sosial yang bertanggung jawab dan tidak menjadi pribadi anti sosial dan begitu mudah mengkritik orang tua dan masyarakat.

Subyek sendiri menyadari pentingnya perilaku sosial yang dapat dipertanggungjawabkan. Ia memaknai perilaku sosial yang bertanggung jawab sebagai perilaku yang juga mempertimbangkan tidak hanya diri

kita sendiri, tapi juga orang-orang disekitar kita, lingkungan sosial kita, itu perilaku yang bertanggung jawab secara sosial.(CBL, 675-680; 683-689). Ia menyadari adanya tuntutan dan harapan sosial (CBL, 623).

Menurut dia, sangat wajar bila masyarakat dan keluarganya memiliki harapan dan tuntutan yang dibebankan pada dirinya. Karena itu, ia dapat menerima dan yakan dapat mewujudkannya (CBL, 643-644). Subyek

berusaha mematuhi harapan dan tuntutan tersebut (CBL, 639-640) dengan berusaha menyikapinya dengan sungguh-sungguh dan menjalani masa studinya dengan baik (CBL, 647-655).

Subyek mendeskripsikan dan memahami tuntutan dan harapan keluarga berupa harapan agar subyek dapat membangun hidup sendiri atau memiliki kemandirian sosial dan finansial. Sedangkan masyrakat menggantungkan harapan dan tuntutan berupa peran aktif subyek dalam berelasi dan terlibat di masyarakat (CBL, 627-636).

Subyek tidak merasa terbebani dengan harapan tersebut karena harapan dan tuntutan tersebut sesuai dengan cita-cita atau keyakinannya (CBL, 671). Untuk itu, ia berusaha mewujudkannya semaksimal

mungkin terlepas dari berhasil atau tidak (CBL, 660-667). Pendapat tersebut dilatarbelakangi kesadaran subyek akan kelemahan dirinya dalam relasi sosial. Ia menyadari kurangnya dorongan inisiatif untuk

membangun relasi menjadi faktor lain penyebab sulitnya subyek dalam beradaptasi dan terlibat aktif dalam masyarakat (CBL, 367-373).

e. Kemandirian Emosional

Kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya merupakan salah satu tugas terberat bagi individu untuk mencapai kematangan psikologis. Hal ini dikarenakan secara proaktif individu mulai bertanggung jawab atas segala tindakannya dan berani mengambil keputusan sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam fase ini individu akan mengalami kontraksi kepentingan, antara dirinya dengan orang tua

atau orang dewasa lainnya. Apalagi secara faktual, pada usia dewasa dini, individu kebanyakan masih belum mandiri secara finansial.

Kemandirian emosional akan tercipta apabila adanya relasi yang sehat antara anak dengan orang tuanya. Pada indikator relasi dengan keluarga, sudah nampak betapa dekatnya subyek dengan orang tuanya. Subyek sadar akan harapan orang tuanya dan berusaha memenuhinya. Pada diri orang tuanya, subyek telah menemukan figur ideal oran tua, yakni figur yang dapat menjadi teman ngobrol dan memberi kebebasan dalam mengambil keputusan (CBL, 882-889). Ia bangga terhadap bapaknya yang selalu membimbingnya sehingga merasakan kedekatan bersama orang tuanya. Subyek juga bangga terhadap ibunya karena beliau terlibat dalam kegiatan sosial (CBL, 460-477).

Secara konkret, kedekatan dengan orang tua nampak dalam pembicaraan yan berkisar tentang pengalaman yang dihadapi subyek dan suasana hati yang terjadi (CBL, 705-709). Orang tua juga memberi dukungan pada subyek dalam arti masukan-masukan yang bersifat korektif dan tetap mendukung walau tidak sesuai dengan kehendak orang tuanya (CBL, 715-719). Salah satu contohnya adalah saat orang tua tetap mendukung subyek bekerja walau sebenarnya tidak menyetujuinya, terutama ibunya (CBL, 732-742). Ibunya akhirnya tetap menerima walau membutuhkan waktu (CBL, 751; 754-759), yang ditandai dengan adanya komunikasi antara subyek dengan ibunya lewat telepon atau surat (CBL, 762).

Harapan dan tuntutan orang tua agar dapat membangun hidup sendiri (CBL, 627-636), disadari subyek sebagai bentuk tanggung jawab yang harus diwujudkan yang diawali dengan membangun kemandirian diri. Kemandirian tersebut juga sesuai dengan harapan subyek, yakni: setelah kuliah, dapat membangun karir dan membentuk keluarga sendiri, hidup dalam kehangatan di dalam keluarga (CBL, 796-803). Subyek meyakini harapan dia dan keluarga dapat terwujud karena tidak terjadi perbedaan yang cukup tajam antara harapan orang tua dan cita-cita subyek, kedua hal tersebut dapat berjalan selaras (CBL, 811-815).

Untuk itu, subyek tetap berusaha melibatkan orang tua dalam setiap pengambilan keputusan (CBL, 766-768). Sikap ini diambil karena orang tua adalah bagian terdekat dalam hidup subyek (CBl, 790-792). Subyek akan mengambil keputusan sendiri bila berhadapan dengan hal-hal yang tidak prinsipiil (CBL, 782-786). Namun bila pada satu titik harus memilih, ia cenderung mengutamakan cita-citanya (CBL,

820-827).

Dalam konteks kelekatan finansial dari orang tua, subyek memandang bahwa kemandirian emosional tetap dapat diwujudkan dalam arti sebagai bentuk tanggung jawab atas tugas yang diberikan orang tua yakni menyelesaikan studi dan dapat mengolah atau mengatur dirinya (CBL, 850-861). Dan pribadi yang mandiri adalah pribadi mengakomodasi tuntutan dan harapan sosial dan berani mengambil

keputusan serta dapat menjelaskan apa yang ada dalam dirinya (CBL, 864-875).

f. Perangkat Nilai

Perangkat nilai dan sistem etis merupakan pegangan atau acuan moral bagi individu untuk berperilaku dan mengembangkan

ideologinya. Perangkat nilai dan sistem etis tersebut diperoleh dengan cara mendialogkan pemahamannya dengan pandangan orang lain dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat

Subyek memiliki perangkat nilai, yakni menciptakan suatu harmoni (CBL, 895-899). Harmoni adalah bentuk interaksi penyesuaian diri dengan lingkungan untuk meminimalkan konflik dan dapat

berkembang bersama orang lain. Subyek memilih nilai ini karena merasa nyaman dengan nilai tersebut (CBL, 910-918; 920-921). Terciptanya sebuah keharmonisan menjadi sangat penting karena

konflik-konflik yang dialami sub yek perlu diolah menjadi sesuatu yang berguna dan secara faktual, manusia harus hidup bersama orang lain

(CBL, 926-934; 937-939).

Proses penemuan nilai harmoni dilatar belakangi konflik di masyarakat subyek yang menimbulkan perasaan tidak mengenakkan sehingga subyek merasa harmoni sebagai sesuatu yang harus diusahakan (CBL, 948-958). Namun tidak hanya berhenti di sini saja, sub yek berusaha mengembangkan pengetahuan dan norma yang dimilikinya dengan melihat relevansinya sesuai dengan pengalaman aktual yang

dialaminya, (CBL, 970-978). Subyek meyakini pandangan hidupnya ini dapat diterima masyarakat (CBL, 982-983) dan secara konkret sistem ini ini diwujudnyatakan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik yang dialaminya. Ia mencontohkan saat mengalami konflik dengan orang tuanya, sub yek berusaha mengakomodasi keinginan orang tuanya dan menyelaraskan dengan kehendak dirinya (CBL, 988-995).

2. Hasil Penelitian Subyek II (ND)

Dokumen terkait