Kematangan Psikologis Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma
Ditinjau Dari Pemenuhan Tugas-Tugas Perkembangan
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program
Studi Psikologi
Oleh:
Nama : Stephanus Rokhadi Ariawan
NIM : 019114094
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
SKRIPSI
Kematangan Psikologis Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Ditinjau Dari Pemenuhan Tugas- Tugas Perkembangan
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Yogyakarta, 31 Juli 2009 Fakultas Psikologi Universitas Sanata
MOTTO
´ D u m Sp i r o Sp er oµ
PERSEMBAHAN
-
Kepada merek a y ang mau membuang wak tu membaca tulisanPERNYATAAN KEASLIAN DATA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang sudah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagai mana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 26 Juli 2009
Penulis,
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBILKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Stephanus Rokhadi Ariawan
Nomor Mahasiswa : 019114094
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
“Kematangan Psikologis Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma
Ditinjau Dari Pemenuhan Tugas-Tugas Perkembangan”
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan alam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk penskalaan data, menditribusikan secara terbatas, dan mempubilkasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan ro yalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 26 Juli 2009 Yang menyatakan,
ABSTRAK
Stephanus Rokhadi Ariawan (2009). Kematangan Psikologis Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Ditinjau Dari Pemenuhan Tugas-Tugas Perkembangan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi ; Jurusan Psikologi ; Universitas Sanata Dharma.
Mahasiswa adalah individu yang meneruskan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi setelah menyelesaikan sekolah tingkat atas. Secara psikologis mereka berada dalam rentang usia remaja akhir menuju dewasa dini. Sementara itu, kematangan psikologis adalah terpenuhinya tugas-tugas perkembangan yang akan membimbing individu ke tingkat usia psikologis berikutnya.
Penelitian ini bertujuan mengukur dan mengkaji lebih lanjut kematangan psikologis mahasiswa psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Penelitia dilakuka dengan menggunakan dua metode penelitian. Yang pertama adalah metode kuantitatif. Metode ini diterapkan dengan cara menyebarkan skala kematangan psikologis kepada 53 mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Skala tersebut terdiri dari 80itemvalid dengan r = 0.951.
Data skala dianalisis menggunakan frequencies dengan bantuan SPSS versi 15.0 for windows. Hasil analisa menunjukkan hanya satu mahasiswa (1, 98%) memiliki tingkat kematangan yang rendah. Sisanya 52 mahasiswa (98, 11%) dikategorikan tinggi.
Yang kedua adalah metode kualitatif. Metode ini digunakan untuk mengkaji lebih lanjut hasil analisa penelitian kuantitatif dengan mengambil sampel mahasiswa yang memiliki skor skala paling rendah dan yang paling tinggi, masing-masing satu orang.
Hasil penelitian kualitatif mengindikasikan bahwa kondisi lingkungan sosial berpengaruh terhadap proses pendewasaan individu. CBL tidak mengalami kesulitan yang berarti dibandingkan dengan ND dalam mencapai perkembangan kematangan psikologis. Ia amat terbantu dengan keharmonisan keluarga dan besarnya support yang ia terima dari kedua orang tuanya. Sedangkan ND sangat sulit mencapai kematangan psikologisnya karena tinggal dan hidup di tengah keluarga yang tidak harmonis.
Kata kunci:
1.
Kematangan psikologis: terpenuhinya tugas-tugas perkembangan sesuai dengan usia perkembangan individu.ABSTRACT
Stephanus Rokhadi Ariawan (2009). Psychological Maturity of Student of Psychology of Sanata Dharma University Observed From Fulfillment of Developmental Tasks. Yogyakarta: Psychology’s Faculty; Psychology’s Majors; Sanata Dharma University.
University students are individuals who are continuing their education to university after they finished their senior high school. Psychologically, their ages are between late adolescent and early adulthood. This research tries to observe their psychological maturity. Psychological maturity means developmental tasks which are fulfilled so these can lead an individual to the next psychological age.
This research aims to measure and to observe psychological maturity student of Faculty of Psychology of Sanata Dharma University. This research is done by two methods of research. First, it is quantitative method. It did by giving psychological maturity scale to 53 students of Faculty of Psychology of Sanata Dharma University. The psychological maturity scale is contained 80 validit y items with r=0.951. The data of psychological maturity scale is analyzed by SPSS
15.0 version for windows. The result of analysis of psychological maturity shows only one students (1, 98%) are low, and the others, 52 student (98, 11%) are high. The second method is qualitative method. This method is to observe the result of analysis of quantitative method. It is done by sampling for the lowest and the highest psychological maturity.
The result of qualitative method indicates that the condition of social environment affects to the individual’s process to be adult. For example, ND gets more difficulties than CBL to achieve psychological maturity. ND gets difficulties to achieve psychological maturity because he lives in the inharmonic family. It is different with CBL. Two elements that help CBL to achieve psychological maturity are harmonic family and supports which he receive from his parent.
Key words:
1. Psychological maturity: developmental tasks which are fulfilled so these can lead an individual to the next psychological age.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesainya penulisan
Tugas Akhir Sarjana Strata Satu dengan judul “Kematangan Psikologis
Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Ditinjau Dari Pemenuhan
Tugas-Tugas Perkembangan”. Tugas akhir ini merupakan salah satu prasyarat
dalam mencapai tingkat Sarjana Satu (S1), pada Program Studi Psikologi Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Banyak sekali bantuan dan dukungan yang diperoleh penulis selama
mengerjakan tugas akhir ini, maka dengan segala kerendahan hati perkenankanlah
penulis menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak-ibu dan kakak-kakak terkasih atas dukungan dan doanya.
2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku dekan fakulatas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Slyvia CMYM. M.Si., selaku pembimbing utama dan teman diskusi.
4. Bapak V. Didik Suryo H. M.Si dan Bapak Y. Heri Widodo. M.Si selaku
penguji yang telah memberikan saran maupun kritikan.
5. Karyawan fakultas Psikologi di Sekertariat Psikologi (Bu Nanik, Mas
Gandung, Pak Gik) dan di Lab Fakultas Psikologi (Mas Muji ‘n Mas
Doni) serta karyawan perpustakaan. Terima kasih atas segala bantuan dan
kerjasamanya selama ini.
6. Kepada segenap mahasiswa Fakultas Psikologi yang menjadi sub yek
7. Rekan-rekan Kleri 09 dan Laici atas doa dan dorongan morilnya.
8. Bernada Southelia Gupita, Yohana Tri Wida, Vampera Budi Purwanti dan
Redempta Tri Laksmini, atas doa, masukan dan kritiknya.
9. Bernadine atas bantuan dan apresiasinya.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tugas akhir ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan tugas akhir ini. Semoga tugas akhir ini dapat berguna dan dapat
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
A. Kematangan Psikologis... 9
1. Definisi Kematangan Psikologis ... 9
B. Tugas-tugas Perkembangan ... 10
1. Definisi Tugas-tugas Perkembangan ... 10
2. Indikator Kematangan Psikologis... 14
C. Mahasiswa ... 17
1. Definisi Mahasiswa sebagai Remaja ... 18
1.a. Definisi Remaja……… ... 18
1.b.2. Aspek Perkembangan Kognitif... 22
1.b.3. Aspek Perkembangan Sosio-emosional ... 24
1.b.3.a. Relasi dan Konflik dengan Orang tua………. 24
1.b.3.b. Relasi dengan Teman Sebaya ... 25
1.b.3.c. Identitas Remaja... 27
2. Definsi Mahasiswa sebagai Dewasa Awal ... 29
2.a. Definisi Dewasa Awal... 29
2.b. Aspek-Aspek Perkembangan Dewasa Awal ... 30
2.b.1. Aspek Perkembangan Fisik... 30
2.b.2. Aspek Perkembangan Kognitif...31
2.b.3. Aspek Perkembangan Sosio-emosional ... 33
2.b.3.a. Relasi dengan Orang tua dan Relasi Intim ... 33
2.b.3.b. Relasi Pertemanan ... 34
D. Kematangan Psikologis Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma ... 34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 37
A. Jenis Penelitian ... 37
B. Subyek Penelitian... 37
C. Definisi Operasional ...38
D. Metode Pengumpulan Data ... 40
1. Skala Kematangan Psikologis Mahasiswa Fakultas Psikologi Ditinjau dari Pemenuhan Tugas-Tugas Perkembangan ... 41
1.a. Definisi Skala ... 41
2. Wawancara... 45
E. Reliabilitas, Validitas dan Keabsahan Data ... 59
1. Reliabilitas dan Validitas Skala ... 59
1.a. Hasil Uji Coba Skala Penelitian ... 60
2. Keabsahan Data Wawancara... 64
1. Skala... 65
2. Wawancara ... 65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 67
I. HASIL PENELITIAN KUANTITATIF ... 67
A. Pelaksanaan Penelitian ... 67
B. Analisa Data Statistik ... 68
1. Uji Normalitas ... 68
2. Deskripsi Data Penelitian... 68
3. Data Deskripsi Skala Kematangan Psikologis ... 70
C. Pembahasan Hasil Penelitian Kuantitatif ... 71
II. HASIL PENELITIAN KUALITATIF ... 76
A. Pelaksanaan Penelitian ... 76
1. Persiapan Wawancara ... 76
2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 77
3. Pelaksanaan Penelitian... 78
4. Kancah Penelitian... 78
5. Subyek Penelitian ... 80
5.a. Data Demografi Subyek Penelitian... 80
5.b. Latar Belakang... 80
5.b.1. Latar Belakang Subyek I... 80
5.b.2. Latar Belakang Subyek II... 83
B. Analisa Data Penelitian ... 87
1. Hasil Penelitian Subyek I ... 87
1.a. Latar Belakang Menjadi Mahasiswa... 87
1.b. Definisi Diri ... 89
1.c. Relasi Sosial ... 91
1.c.1. Relasi dengan Masyarakat... 91
1.c.2. Relasi dengan Keluarga ... 92
1.e. Kemandirian Emosional ... 96
1.f. Perangkat Nilai... 98
2. Hasil Penelitian Subyek II ... 100
2.a. Latar Belakang Menjadi Mahasiswa... 100
2.b. Definisi Diri ... 101
2.c. Hubungan Baru... 102
2.d. Relasi Sosial ... 103
2.d.1. Relasi dengan Masyarakat ... 103
2.d.2. Relasi dengan Keluarga ... 103
2.e. Keadaan Fisik ... 106
2.f. Perilaku Sosial yang Bertanggung Jawab... 106
2.g. Kemandirian Emosional... 107
2.h. Perangkat Nilai ... 108
C. Dinamika Psikologis ...109
1. Dinamika Psikologi CBL ... 109
2. Dinamika Psikologis ND ... 114
D. Koding... 120
1. Koding Subyek CBL ... 120
2. Koding Subyek ND ... 124
E. Pembahasan Hasil Penelitian Kualitatif ... 130
III. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF ... 142
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 145
A. Kesimpulan ... 145
B. Saran ... 146
DAFTAR PUSTAKA ... 147
DAFTAR TABEL
Tabel 1 :Blue PrintPenelitian ... 41
Tabel 2 : ItemPenelitian ... 43
Tabel 3 :Interview Guide... 47
Tabel 4 : NomorItemyang Sahih... 61
Tabel 5 :Blue PrintPenelitian Baru ... 62
Tabel 6 :ItemPenelitian ... 63
Tabel 7 : Demografi Sampel Penelitian ... 67
Tabel 8 : Deskripsi data penelitian ... ... 69
Tabel 9 : Kategorisasi Kematangan Psikologis ... 70
Tabel 10: Demografi Subyek Penelitian ... 80
Tabel 11: Koding Hasil Wawancara CBL ... 120
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Skala Kematangan Psikologis ...149
Lampiran 3 : Uji validitas dan reliabilitas ... 163
Lampiran 4 : Kategorisasi Penelitian ... 169
Lampiran 5: Uji anova ... 171
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Universitas Sanata Dharma (USD) sebagai universitas yang berciri khas
pendidikan Yesuit ikut berpartisipasi mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini
dilaksanakan dengan menyelenggarakan pendidikan yang memungkinkan peserta
didik memadukan pengembangan dimensi kemanusiaan atau nilai-nilai
humanistik dengan penguasaan dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pemaduan tersebut akan membentuk peserta didik sebagai pribadi yang matang,
memiliki integritas moral yang tinggi, kemampuan berpikir yang kritis dan
wawasan kebangsaan yang luas (bdk. Statuta Universitas Sanata Dharma paragraf
3).
Idealisme diatas dijabarkan secara lebih tegas dalam nilai inti dan
keyakinan dasar visi Universitas Sanata Dharma no. 2 sub. 3 yang tertulis bahwa
Universitas memiliki ciri khas pendidikan Serikat Yesus yang memuat unsur
pengembangan bakat dan kepribadian manusia secara penuh dan utuh, sehingga
tercapai taraf kedewasaan intelektual, psikologis, moral, artistik demi pelayanan
kepada sesama manusia. Dengan demikian, pendidikan bagi Universitas Sanata
Dharma tidak dipahami sebagai knowledge transfer. Sebaliknya melalui
Aktualisasi visi dan misi USD di atas secara lebih konkret dirumuskan
dalam bentuk profil lulusan USD yang disesuaikan dengan masing-masing
fakultas yang ada, salah satunya adalah Fakultas Psikologi. Fakultas psikologi
merumuskan profil sarjana psikologi sebagai individu yang memiliki kompentensi
atau keunggulan dalam arti:
a. memiliki kompetensi akademis dan kepribadian yang matang serta
menjunjung tinggi kode etik.
b. Menjunjung tinggi harkat martabat manusia dan humanis.
c. Memiliki semangat dialogis dan terampil berkomunikasi
(disarikan dari misi Fakultas Psikologi USD, dalam Buku Pedoman
Pembinaan Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma)
Dari rumusan di atas, muncul pertanyaan mendasar, pertama bagaimana
kita mengaktualisasikan profil tersebut dalam kegiatan belajar mengajar dan
kurikulum. Kurikulum yang telah disusun sedemikian rupa dan kegiatan belajar
mengajar yang terjadi baik di dalam maupun di luar kelas diyakini mampu
membantu mahasiswa tidak hanya mengembangkan kompetensi akademisnya
namun juga harus dapat memadukannya dengan nilai-nilai humanistik. Kedua,
bagaimana kita mengukur dan menentukan sejauh mana mahasiswa memenuhi
profil kelulusan tersebut.
Secara akademis, fakultas relatif lebih mudah mengukur tingkat
kompetensi akademis mahasiswa. Indeks prestasi sementara dan kumulatif dapat
kita mengukur tingkat kematangan psikologis seperti yang dirumuskan dalam
statuta, visi USD dan misi Fakultas Psikologi? Dalam praktiknya, syarat kelulusan
mahasiswa USD yang dipakai Fakultas Psikologi lebih cenderung ke keunggulan
akademis. Syarat kelulusan adalah minimal lulus 144 SKS, termasuk
menyelesaikan skripsi. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada alat ukur yang
jelas untuk melihat apakah mahasiswa memiliki kematangan psikologis dan
bagaimana memadukannya dengan keunggulan akademis.
Alat ukur yang jelas belum ada karena terkait dengan rumusan
kematangan psikologis. Menurut peneliti, rumusan kematangan psikologis masih
bersifat abstraks dan secara eksak tidak dapat dilihat sehingga fakultas tidak
mudah untuk melihat dan menentukan kematangan psikologis mahasiswa. Karena
itu, peneliti tertarik untuk melihat sejauh mana tingkat kematangan psikologis
mahasiswa terutama mahasiswa Fakultas Psikologi.
Selain itu, tinjauan kematangan psikologis tersebut mutlak diperlukan
karena adanya arus budaya pop yang beriringan dengan kapitalisme global telah
melahirkan generasi muda yang hedonis dan konsumtif. Akibatnya, hal tersebut
membuat semakin terkikisnya kehidupan religius dan memudarnyasense of crisis
(Sindhunata, 1998). Idealnya, mahasiswa saat ini tidak hanya disiapkan menjadi
manusia industri namun mereka harus menjadi pengawal perdamaian dan
moralitas yang saat ini mulai kehilangan daya imperatifnya (Magnis Suseno,
1998).
Salah satu tolok ukur kedewasaan atau kematangan psikologis adalah
memenuhi tugas-tugas perkembangan sesuai dengan usia psikologis mereka.
Sebagai remaja yang berkembang ke masa dewasa awal, para mahasiswa
memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Havighurst (1972)
menyatakan bahwa pemenuhan tugas-tugas perkembangan menjadi indikator
utama untuk melihat kematangan psikologis seseorang. Tugas-tugas
perkembangan ini disesuaikan dengan rentang hidup atau usia individu. Hasil
penelitian Agustiani (2002) menunjukkan bahwa tugas perkembangan dapat
menghasilkan profil pencapaian tugas perkembangan yang dapat menjadi acuan
untuk mengoptimalkan konsep diri dan penyesuaian diri individu. Havighurst
(1972) juga mencatat ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemenuhan
tugas perkembangan individu. Pertama, faktor internal, yakni: normal tidaknya
tingkat perkembangan seseorang, besar kecilnya dorongan atau motivasi untuk
matang, dan tingkat kecerdasan individu. Kedua, faktor eksternal, yakni: ada
tidaknya kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan yang
diberikan oleh lingkungan sosial. Susan Miller (1993) menambahkan ada
tidaknya bimbingan ikut mempengaruhi penguasaan individu dalam memenuhi
tugas-tugas perkembangannya. Penelitian Agustiani
(2002) menunjukkan orang tua amat berperan dalam pemenuhan tugas-tugas
perkembangan terutama berkaitan dengan faktor-faktor tugas perkembangan
yang erat dengan tuntutan dan harapan individu. Sedangkan dosen berperan
sebagai fasilitator pengajaran bagi mahasiswa.
Dengan demikian, para mahasiswa perlu mengolah dinamika
perkembangan. Namun dalam perkembangannya, pemenuhan tugas
perkembangan menghadapi hambatan yang cukup besar terutama dengan
pengembangan aspek psikologis para mahasiswa. Hal ini terindikasikan melalui
tidak sedikit mahasiswa mengalami kesulitan dalam studi dan adaptasi sosial serta
tidak sedikit yang terjebak pada perilaku anti sosial. Hal ini semakin nampak
dalam penelitian Ekowarni (1993) yang menunjukkan bahwa kenakalan remaja
erat kaitannya dengan gagalnya tugas-tugas perkembangan.
Ada dua faktor penyebab tidak mudahnya mahasiswa menuntaskan tugas
perkembangannya. Pertama, proses belajar mengajar cenderung dipahami dalam
konteks akademis sehingga aspek kemanusiaannya atau aspek psikologisnya
kurang tersentuh. Mangunwijaya (1998) mengkritik hal ini dengan mengatakan
bahwa manusia harus pertama-tama menjadi manusia yang wajar, utuh, baik,
seperti yang diharapkan dari manusia-manusia lain juga. Spiritualitas yang benar
adalah kemanusiaan dan pemanusiaan yang semakin meningkat. Secara eksplisit,
pendapat tersebut menekankan pada perlunya pematangan dan kedewasan
individu dalam proses pendidikan mahasiswa yang tidak melulu dimaknai secara
akademis namun juga perlu dimaknai secara psikologis. Artinya proses
pendidikan harus mampu membawa para mahasiswa kepada kematangan
psikologis, yakni suatu proses di mana individu mampu memenuhi tugas-tugas
perkembangannya sesuai dengan masa perkembangannya.
Kedua, sistem pendidikan masih bersifat klasikal. Pendidikan yang di
selenggarakan, hanya sebatas pengajaran di kelas. Pendampingan secara personal
terpantau dan kita tidak akan mengetahui dengan pasti dan tepat apa yang sedang
dialami dan yang mengganggu para mahasiswa dalam mencapai kematangan
psikologisnya. Sebenarnya, Fakultas Psikologi memiliki keunggulan, yakni
memiliki banyak dosen yang kompeten di bidang psikologi. Para dosen dapat
membantu para mahasiswa berkembang secara bertahap dan bertingkat di mana
perkembangan itu tidak dapat dilompati sehingga tidak bisa meneruskan
perkembangannya ke tingkat yang lebih tinggi. Ketika satu tahap
perkembangannya tidak dapat dilalui, ia akan tetap berada di tingkat itu hingga
masa remaja dan seluruh sisa hidupnya (Hurlock, 2000). Seseorang harus
menolongnya kembali ke tahap itu dan menguasainya. Ketika bantuan itu berhasil, ia
dapat melanjutkan tugas perkembangan ke tahap selanjutnya secara sehat.
Namun karena sistem pendidikan di USD masih bersifat klasikal,
keunggulan di atas kurang diberdayakan. Susan Miller (1993) mencatat bahwa
lembaga pendidikan yang kurang melakukan pendekatan personal dan psikologis
dipenuhi individu yang mempunyai harga diri rendah dan akan kesulitan untuk
berkembang. Misalnya, individu dari golongan minoritas akan dilingkupi
prasangka buruk; individu yang sering mendapatkan siksaan merasa merekalah
penyebab siksaan itu; individu yang mengalami pelecehan akan merasa diri tidak
berharga; indvidu yang terlalu dilindungi selalu tidak mempunyai peluang
mengembangkan rasa percaya dirinya; individu yang diabaikan akan merasa diri
bodoh, jelek dan tidak dicintai. Sekarang, seperti yang telah kita pahami, harga
merasa tidak mampu, ia menjadi tidak mampu dalam arti sebenarnya dan biasanya
dia tidak akan mampu selamanya.
Dari tulisan di atas, perlulah sebuah kajian tentang proses kematangan
psikologis mahasiswa sebagai pondasi dasar pembentukan manusia yang utuh,
baik, bertanggung jawab dan seimbang seperti yang tertuang dalam visi dan misi
Universitas Sanata Dharma. Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini, kita
dapat melihat sejauh mana para mahasiswa berkembang menjadi pribadi yang
matang secara psikologis. Selain itu, penelitian ini juga dapat ikut membantu
penyempurnaan pendidikan di Fakultas Psikologi sehingga kelak lahir figur-figur
sarjana psikologi yang memiliki kematangan psikologis dan menjadi pelayan bagi
sesama.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Apakah para
mahasiswa Fakultas Psikologi telah matang aspek psikologisnya berdasarkan
pemenuhan tugas-tugas perkembangannya?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana para mahasiswa
Fakultas Psikologi mencapai kematangan psikologis berdasarkan pemenuhan
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis:
Menambah pemahaman dan sumbangan bagi perkembangan ilmu
psikologi terutama kajian mengenai kematangan psikologis sebagai
salah satu basis pendidikan formal.
2. Manfaat Praktis:
Memberi bahan masukan para formator Fakultas Psikologi dalam
usaha membantu para mahasiswa mencapai taraf kematangan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Mahasiswa
Mahasiswa adalah anak muda yang meneruskan jenjang pendidikan ke
perguruan tinggi setelah menyelesaikan jenjang sekolah menengah. Secara
umum, mahasiswa yang masuk perguruan tinggi berada pada fase remaja akhir
dan dewasa awal. Karena itu, pemahaman tentang mahasiswa menurut kacamata
psikologi, menggunakan dua pendekatan, yakni mahasiswa ditinjau dari fase
remaja dan dewasa awal.
1. Definisi Mahasiswa Sebagai Remaja
1.a. Definisi Remaja
Piaget (dalam Hurlock, 2000) mengatakan remaja adalah usia dimana
individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Remaja akan meninggalkan
pola hidup anak-anak dan mulai membangun relasi dengan orang yang lebih tua
darinya sebagai bagian dari identifikasi dan pencarian jati diri. Integrasi ini
didorong oleh kesadaran bahwa dirinya sudah bukan lagi anak-anak dan
perubahan-perubahan yang ia alami mendorongnya untuk membangun relasi
Segaris dengan Piaget, Monk (dalam Hurlock, 2000) mengatakan
remaja adalah individu yang sedang dan atau telah menyelesaikan
pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama
dengan orang dewasa lainnya. Monk berpendapat bahwa interaksi dengan
orang dewasa lebih dimotivasi oleh pengakuan kedudukan sosial seorang
remaja.
Hurlock (2000) berpendapat bahwa remaja merupakan individu yang
dalam pencarian kemantapan dan masa reproduksi, yaitu suatu masa yang
penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial,
periode komitmen, dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas
dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Hurlock melihat bahwa realitas
yang dihadapi remaja lebih kompleks dari pada sekedar membangun relasi
dengan orang dewasa. Selain dalam kondisi pencarian kemantapan dan masa
reproduksi, remaja juga dalam situasi perubahan nilai, kreativitas dan
penyesuaian diri pada pola hidup baru.
Melanie Rapp (1998) membagi masa remaja menjadi tiga fase:
1. Remaja awal (12-14 th): ciri-ciri remaja pada fase ini adalah membangun
ikatan dengan teman sebaya, mengurangi ketergantungan emosional
dengan orang tua, pertumbuhan fisik yang pesat terutama anak perempuan
dan mulai tertarik dengan seks. Pada fase ini remaja begitu perhatian
terhadap pertumbuhannya, membangun independensi terutama dalam
penting relasi pertemanan dan fungsi ego begitu dominan dalam
memandang sesuatu.
2. Remaja madya (14-17 th): remaja pada fase ini mulai mencari jati dirinya,
amat mengutamakan penampilan, dan menganggap hubungan atau relasi
sebagai sesuatu yang penting sehingga tidak begitu memusatkan diri pada
dirinya sendiri. Pada fase ini, remaja juga mulai mengambil keputusan
sendiri, mengembangkan nilai-nilai moral dan membangun kesadaran akan
seksualitas. Kemampuan-kemampuan yang dimiliki juga semakin matang.
Selain itu, mereka cenderung mencari tantangan dan membangun relasi
yang lebih intim dengan orang lain.
3. Remaja akhir (17-19 th): fase ini ditandai dengan mulai terfokusnya
remaja akan masa depan mereka terutama karir, menghilangkan
ketergantungan dengan orang tua, dan berusaha memenuhi kebutuhannya
sendiri. Mereka juga memiliki idealisme tertentu, mengembangkan diri
diluar sekolah dan rumah, membangun relasi yang relatif stabil, menjadi
pribadi yang independen dan sederajat dengan orang lain.
1.b. Aspek-aspek perkembangan remaja
Remaja memiliki tiga aspek perkembangan. Tiga aspek tersebut
adalah:
1.b.1 Aspek perkembangan fisik
Aspek perkembangan ini didasari oleh pandangan biologis
Biogenetik inilah yang memicu kematangan fisio-seksual yang terjadi
dalam tubuh remaja (Hall, dalam Fenwick, 1994).
Perkembangan fisio-seksual remaja biasa disebut sebagai
masa pubertas. Masa diawali dengan munculnya menarche atau haid
pertama pada anak perempuan. Perkembangan anak laki-laki biasanya
ditandai dengan mimpi basah dan tumbuhnya kumis. Walaupun
demikian hal tersebut bukanlah satu-satunya ciri yang muncul.
Pubertas adalah fase perkembangan yang ditandai dengan
matangnya kerangka fisiologis dan seksual yang terjadi secara pesat
terutama pada awal masa remaja dan terjadi secara gradual atau
berangsur-angsur. Karena terjadi secara gradual, kita tidak dapat
secara tepat menentukan kapan awal dan akhir pubertas (Santrock,
2002).
Santrock (2002) mencatat bahwa faktor dibalik pesatnya
perkembangan fisik dan seksual pada remaja adalah keluarnya
hormon-hormon seksual dalam jumlah besar. Pada anak laki-laki, hormon-hormon
seksual yang amat berperan adalahtestosteron. Hormon ini ini memicu
pertumbuhan dan perkembangan alat kelamin, pertambahan tinggi dan
perubahan suara. Sedangkan pada anak perempuan, hormon yang
berperan adalah hormon estrodiol. Hormon ini memicu
berkembangnya buah dada, rahim dan kerangka pada anak-anak
menyatakan pada masa pubertas, kedua hormon tersebut berkembang
pada anak laki-laki dan perempuan, namun intensitas dan kuantitasnya
berbeda. Hormon testosteron meningkat delapan kali lipat pada anak
laki-laki dan hanya dua kali lipat pada anak perempuan. Demikian juga
hormon estrodiol. Hormon ini berkembang delapan kali lipat pada
anak perempuan sedangkan pada anak laki-laki perkembangannya
hanya dua kali lipat.
Hurlock (2000) juga berpendapat bahwa masa pubertas terjadi
karena terjadi persenyawaan kimiawi pada diri remaja. Menurut
Hurlock tubuh mengeluarkan kelenjar pituitary, yakni kelenjar yang
mengeluarkan dua hormon: growth hormon yang memacu
pertumbuhan individu dan hormon gonadotrofik yang merangsang
gonad - bibit atau sperma pada laki-laki dan sel telur pada perempuan
– tumbuh berkembang. Dengan berkembangnya gonad, alat seks
primer bertambah besar dan mencapai kematangannya. Demikian
juga alat seks sekunder seperti, tumbuhnya rambut kemaluan,
menonjolnya jakun pada laki-laki, membesarnya pinggul pada
perempuan mulai berkembang. Hurlock juga mencatat, interaksi
antara hormon gonadotrofik dan gonad berlangsung terus dan mulai
menurun ketika perempuan mendekati menopause dan laki-laki
1.b.2. Aspek perkembangan kognitif
Setelah memasuki usia remaja, anak memiliki kemampuan
mengembangkan cakrawala kognitif yang baru dan lebih luas. Mereka
secara berlahan-lahan mengembangkan pola berpikir abstrak, logis dan
idealis. Mereka mulai memahami pemikiran orang lain dan menyadari
bahwa tidak semua orang memiliki pemikiran yang sama dengannya;
mulai mengintepretasikan dan memantau lingkungan sosial.
Ada beberapa beberapa teori tentang perkembangan kognitif
remaja. Pertama, teori operasional formal Piaget. Piaget (dalam
Santrock, 2002) mengatakan bahwa remaja mulai mengembangkan
penalaran-penalaran abstrak juga diikuti pola pikir remaja yang mulai
logis. Remaja mulai berpikir tentang perencanaan, pemecahan masalah,
mulai menguji perencanaan dan pemecahan masalah yang ia ambil
secara sistematis dan mulai mengambil kesimpulan dan keputusan
berdasarkan suatu pertimbangan tertentu. Piaget (ibid.) menamakan
pola pikir tersebut sebagai penalaran deduktif hipotesis, yakni suatu
penalaran kognitif yang mengembangkan hipotesis untuk mencari cara
pemecahan masalah.
Pemikiran remaja juga memiliki pemikiran yang idealis.
Mereka mulai mengembangkan gambaran ideal tentang dirinya dan
orang lain. Juga mulai membandingkan dirinya dengan orang lain.
Gambaran ideal itu sering berupa fantasi atau kayalan tentang masa
Kedua, Vigotsky (Ratner, 1991) berpendapat bahwa remaja
mulai berkembang dari proses psikobiologis menuju pemenuhan
fungsi-fungsi psikologis. Proses psikobiologis mulai berkembang saat
anak- anak dan ditandai gerakan refleks dan spontan, temperamental
traits, dan proses kesadaran yang belum sempurna. Setelah
menginjak masa remaja, individu mulai mengambangkan
fungsi-fungsi psikologisnya, yakni membentuk kesadaran, mengembangkan
fungsi mental dan mulai menemukan karakteristik personal dengan
cara membangun interaksi sosial atau belajar sosial.
Ketiga, Robert Selvan berpendapat bahwa perkembangan
kognitif bertitik pada pengambilan peran sosial atau kognisi sosial,
yakni kemampuan untuk memahami diri sendiri dan orang lain sebagai
subjek, untuk bereaksi terhadap orang lain sebagamana terhadap diri
sendiri dan untuk bereaksi terhadap perilaku diri sendiri dari sudut
pandang orang lain. Dalam tahap perkembangan kognitifnya, Selvan
mencatat bahwa remaja mulai memahami perspektif orang ketiga dan
mampu memahami suatu pandangan secara lebih mendalam dan dalam
1.b.3. Aspek Perkembangan Sosio-emosional
1.b.3.a. Relasi dan konflik dengan orang tua
Perkembangan sosio-emosional remaja diawali dengan adanya
perubahan pola relasi remaja dengan orang tuanya. Pada masa remaja,
individu mulai mencoba melepaskan keterikatan emosional dengan
orang tua. Ia ingin menjadi pribadi yang otonom. Namun disisi lain,
orang tua tidak akan begitu saja melepaskan remaja. Hal inilah yang
sering kali menjadi sumber konflik antara orang tua dan remaja
(Santrock, 2002).
Walaupun ingin terlepas dengan orang tua, remaja tetap
membangun kelekatan atauattachmentdengan orang tua. Fromm
(2001) beropini bahwa kebebasan menuntut banyak tanggung jawab
dan resiko. Berdasarkan opini ini remaja tetap berusaha membangun
kelekatan dengan orang tua. Papini dkk. (dalam Santrock, 2002)
menemukan bahwa kelekatan yang kokoh dengan orang tua dapat
membantu remaja dalam menghadapi perasaan cemas dan depresi
akibat transisi masa anak-anak ke masa dewasa.
Selain masalah otonomi, konflik dengan orang tua juga
disebabkan karena perubahan fisiologis, perkembangan kognitif,
perubahan peran dan harapan sosial (Santrock, 2002). Walaupun
batin, konflik dengan orang tua sebenarnya dapat membantu remaja
dalam menjalani masa transisi dari ketergantungan pada masa
anak-anak menuju masa kedewasaan (ibid.). Secara konkret, konflik dengan
solving, menyadari peran dan harapan sosial, memahami perubahan
fisio-psikologisnya dan mulai mencari jati dirinya. Namun demikian,
konflik dengan orang tua tetap memiliki potensi menimbulkan
ketidaksehatan psikologis pada remaja apabila konflik tersebut
berlangsung lama dan berulang-ulang. Konflik yang berkepanjangan
ini sering memunculkan masalah pada remaja seperti lari dari rumah,
putus sekolah, perilaku seks pra nikah dan kenakalan remaja.
1.b.3.b. Relasi dengan teman sebaya
Remaja juga mulai membangun relasi sosio-emosional
dengan teman sebaya. Ada dua model besar relasi remaja. Pertama,
remaja akan mengembangkan relasi yang bersifat komunal, yakni
membangun kedekatan dengan beberapa teman sebayanya. Model ini
mewujud dalam dua bentuk, yaitu kelompok (crowd) dan Klik
(cliques). Kelompok adalah kumpulan remaja dengan teman-teman
sebayanya dalam jumlah yang besar dan tidak memiliki kedekatan
emosional antar anggotanya. Biasanya kelompok terbentuk karena ada
kesamaan hobi, minat atau kepentingan yang sama. Klik adalah
kelompok yang lebih kecil jumlahnya dibandingkan crowd namun
memiliki kedekatan emosional yang mendalam. Klik terbentuk lebih
disebabkan adanya kesamaan persepsi, pengalaman atau perasaan
(Santrock, 2002). Secara umum, relasi bersifat komunal ini membantu
remaja menumbuhkan harga dirinya dan mengembangkan
Kedua, relasi yang bersifat individual dan personal. Relasi
ini sering disebut sebagai pacaran atau kencan. Relasi ini tidak lepas
dari pengaruh berkembangnya fungsi seksual remaja. Hormon seksual
yang berkembang akan menimbulkan pengaruh psikologis berupa rasa
cinta dan tertarik dengan lawan jenis. Santrock (ibid.) mencatat
bahwa remaja meluangkan banyak waktu untuk berkencan dan mulai
menggeser fungsi kencan atau pacaran sebagai fase awal pertunangan
menjadi sebuah pola relasi yang bersifat rekreatif, sumber status dan
prestasi, serta tempat untuk belajar tentang relasi yang akrab.
Selain membantu remaja dalam membangun relasi yang
bersifat personal dan intim, pacaran juga bermanfaat
mengembangkan pengetahuan berkaitan dengan peran gender dan
harapan masyarakat berkaitan dengan gender. Selain itu, Susana
(2001) berpendapat bahwa masa pacaran membantu individu
mengelola perasaan-perasaan suka, cinta, cemburu dan lain
sebagainya. Masa remaja juga membantu remaja untuk tidak mudah
hanyut dalam perasaan tersebut pada lawan jenisnya yang tak jarang
sulit dibedakan dari dorongan seksual belaka.
1.b.3.c. Identitas Remaja
Erikson (dalam Hall, 1998) mengatakan bahwa masa remaja
adalah masa terjadinya kebingungan atau kekacauan identitas dan
perubahan persepsi lingkungan sosial terhadap remaja yang sudah
tidak lagi anak-anak namun belum pantas disebut orang remaja. Hal
ini menimbulkan rasa tidak aman dan menimbulkan krisis identitas.
James Marcia (dalam Santrock, 2002) berpendapat
terbentuknya identitas remaja ditentukan oleh dua hal yakni krisis dan
komitmen. Krisis adalah masa dimana remaja memilih pilihan-pilihan
yang bermakna, sedangkan komitmen adalah pengambilan tanggung
jawab terhadap apa yang mereka lakukan. Interaksi kedua inilah yang
nantinya membantu remaja dalam menemukan dan membentuk
identitas dirinya. Ada empat status atau fase perkembangan indentitas
remaja, yaitu:
1. Penyebaran identitas (identity diffusion), yaitu fase dimana
remaja belum mengalami krisis atau mengambil komitmen.
2. Pencabutan identitas (identity foreclosure), yaitu fase
dimana remaja sudah membuat komitmen namun belum
mengalami krisis.
3. Penundaan identitas (identity moratorium), yaitu fase
dimana remaja sedang mengalami krisis namun belum
membuat komitmen.
4. Pencapaian identitas (identity achievement), yaitu fase
dimana remaja sudah mengalami krisis dan sudah membuat
Marcia juga mengatakan ada tiga aspek yang penting dalam
pembentukan identitas diri, yaitu perlunya membangun kepercayaan
dan dukungan orang tua, mengembangkan ketekunan dan memiliki
perspektif tentang masa depan. Secara khusus, kepercayaan dan
dukungan orang tua memiliki peran yang amat vital. Hal ini nampak
dalam adanya pengaruh pola asuh orang tua terhadap pembentukan
identitas diri remaja. Pola asuh yang otokratik dimana remaja terlalu
dikendalikan oleh orang tua dan tidak memiliki peluang untuk memilih
justru akan menghambat pembentukan identitas diri. Begitu juga pola
asuh yang permisif justru akan menimbulkan kebingungan identitas.
Marcia berpendapat pola asuh demokratis dinilai paling sesuai bagi
pembentukan identitas diri karena mendorong remaja ikut terlibat aktif
dalam keluarga sehingga ia memiliki pengetahuan dan pengalaman
dalam memilih dan mengambil suatu keputusan yang amat bermanfaat
bagi pembentukan identitas dirinya.
2. Definisi Mahasiswa Sebagai Dewasa Awal
2.a. Definisi Dewasa Awal
Roditti (2001) menetapkan batasan dewasa awal pada rentang usia
antara 22 sampai 35 th. Pada usia, individu berusaha menemukan peran dan
tempat dalam kehidupan. Erikson (dalam Hall, 1998) mengistilahkan masa ini
mandiri tersebut ditandai dengan membangun relasi intim dengan orang lain
dan membentuk keluarga. Pekerjaan dan karier menjadi hal yang sangat vital
bagi mereka sebagai bentuk aktualisasi diri dan sarana mengembangkan diri
untuk mendapatkan peran dan tempat dalam kehidupan nyata.
Dobbs (2002) bependapat masa dewasa awal diawali pada usia 20
sampai 40an th. Masa ini ditandai dengan memuncaknya perkembangan
fisiologis dan seksual, semakin berkembangnya kemampuan kognitif, penuh
semangat dan energik. Sedangkan Kenniston (dalam Santrock, 2002) masa
dewasa awal merupakan masa bagi anak muda untuk keluar dari dirinya
sendiri. Dewasa awal adalah saat untuk berjuang membangun pribadi yang
mandiri dan mulai terlibat secara sosial. Segaris dengan Kenniston, Santrock
(2002) berpendapat masa dewasa awal menjadi moment penting bagi anak muda
karena mereka berusaha menjadi pribadi yang tidak tergantung lagi pada orang
tua, dan secara aktif mulai bertangung jawab atas dirinya sendiri dan membuat
keputusan sendiri. Kemandirian yang ingin dibangun pada masa ini difokuskan
pada kemandirian ekonomi dan kemandirian membuat keputusan.
2.b. Aspek-aspek perkembangan dewasa awal
Dewasa awal memiliki tiga aspek perkembangan:
2.b.1 Aspek perkembangan fisik
Masa dewasa awal merupakan masa puncak dan penurunan
kemampuan fisik. Santrock (2002) mencatat pada masa ini individu
muda sudah memiliki pengetahuan bagaimana mencegah penyakit
dan menjaga kesehatan dengan baik sehingga jarang terjadi anak
muda mengalami gangguan kesehatan kronis. Dobbs (2002)
menambahkan pada masa ini anak muda mencapai puncak
pertumbuhan tinggi dan berat badan serta semakin optimalnya
kemampuan sensoris. Volume dan berat otakpun terus bertambah
walaupun tidak ada neuron baru yang terbentuk.
Roditti (2001) memiliki pendapat yang berbeda. Pada masa ini,
bagi kebanyakan perempuan, perkembangan fisiologis mengalami
perlambatan secara dramatis bahkan terasa berhenti. Sedangkan pria
akan terus berkembang sampai usia 30 dan secara gradual mengalami
penurunan setelah usia 30. Masa ini merupakan puncak pertumbuhan
sistem otot dan kemampuan fisik.
Masa puncak kemampuan fisiologis dan kesehatan menyimpan
bahaya tersendiri. Santrock (2002) mengingatkan kondisi yang amat
sehat dapat mendorong anak muda memaksakan tubuh mereka secara
berlebihan sehingga dapat berakibat buruk pada diri mereka. Selain itu,
anak muda cenderung berpikir bahwa mereka
akan sehat-sehat saja walaupun memaksakan tubuh mereka. Dobbs
(2002) menyatakan sikap tersebut dapat memicu perilaku hidup tidak
sehat seperti mengkonsumsi minuman beralkohol, merokok dan
ketergantungan pada narkoba. Hal inilah yang menyebabkan akan
mereka rasakan pada akhir dewasa awal atau saat dewasa madya.
Penurunan kualitas fisik juga disebabkan berhentinya pertumbuhan
fisiologis setelah usia 30 th.
Selain aspek pertumbuhan fisik, pada masa ini individu
mencapai puncak kematangan seksualitas. Fungsi seks primer dan
sekunder telah mencapai pucak kematangan. Hal ini akan mendorong
perilaku seksual aktif pada anak muda. Roditti (2001) mengatakan
bahwa selain kematangan seksual, kondisi fisiologis dan dorongan
membangun relasi intim menjadi pemicu perilaku seksual anak muda.
2.b.1 Aspek perkembangan kognitif
Santrock (2002) mencatat ada beberapa pendekatan tentang
perkembangan kognitif. Pertama, pendekatan subjektivitas yang
dikembangkan oleh Giesela Labouvie. Labouvie berpendapat bahwa
dalam kehidupan nyata terdapat banyak sekali kemungkinan dan
paradoks sosial. Realitas ini mendorong anak muda untuk
memecahkan masalahnya tidak hanya bergantung pada pemikiran
logis (formal operasional) namun berdasarkan pada pengalaman dan
persepsi individu. Selain itu, tidak jarang mereka memecahkan
masalah yang dihadapi dengan membangun kembali konstruk
pemahaman subjektif mereka.
Kedua, pendekatan pragmatisme Warner Shaie. Pendekatan
telah mencapai tahap formal operasional (berpikir logis) yang ditandai
dengan berkembangnya pengetahuan dan keterampilan. Shaie
berpendapat bahwa kemampuan formal operasional secara pragmatis
digunakan untuk mencapai kebutuhan atau harapan individu seperti
karier, relasi atau tujuan pribadi. Selain itu, untuk mencapai tujuannya,
anak muda perlu berpikir konstektual dan sadar dalam mengambil
keputusan.
Ketiga, pendekatan relativitas Perry. Pendekatan ini
menekankan konteks dalam proses berpikir dan mengambil keputusan.
Konteks memiliki sifat relativitas sehingga sesuatu yang dikatakan
benar atau baik sangat bergantung pada konteksnya. Dengan demikian,
proses berpikir pada masa dewasa awal tidak lagi didasarkan pada
penilaian benar-salah atau baik-tidak baik seperti pada masa remaja
namun harus didasarkan pada pengalaman individu dan relativitas
kontekstual.
2.b.3. Aspek Perkembangan Sosio-emosional
2.b.3.a. Relasi dengan orang tua dan relasi intim
Perkembangan sosio-emosional masa dewasa awal merupakan
kelanjutan dari perkembangan sosio-emosional remaja. Roditti (2001)
mengatakan bahwa pada masa ini, individu meneruskan pencarian jati
diri mereka dan menemukan peran dan tempat mereka dalam
Santrock (2002) mencatat pada masa ini, anak muda benar-benar
ingin hidup mandiri dan terlepas dari orang tua. Mereka akan
membangun hidup mereka dan sepenuhnya mengambil keputusan
sendiri.
Selain itu, masa dewasa dini adalah masa bagi anak muda
membangun relasi intim dengan orang lain yang diikat oleh suatu
komitmen. Pada umumnya, relasi ini dibangun berdasarkan kedekatan
emosional, ketertarikan, visi akan masa depan dan keintiman secara
seksual (Roditti, 2001). Kebanyakan anak muda membawa relasi
diatas menuju pada pengambilan komitmen membangun hidup
berkeluarga namun tidak sedikit yang memilih hidup bersama tanpa
adanya ikatan pernikahan. Walaupun demikian, kebanyakan anak
muda mulai merencanakan memiliki anak.
Roditti (2001) menambahkan hadirnya keluarga baru, akan
mengubah pola relasi anak muda dengan orang tuanya. Hal ini
disebabkan berubahnya peran sosial mereka. Dengan hadirnya anak,
anak muda akan disebut orang tua dan orang tua mereka akan menjadi
kakek-nenek. Perubahan ini menuntut anak muda dan orang tuanya
mendefinisikan kembali peran sosial dan pola relasi mereka yang
2.b.3.b. Relasi pertemanan
Dobbs (2002) mencatat relasi pertemanan pada masa ini amat
dipengaruhi oleh identitas gender. Secara umum, perempuan
cenderung mengedepankan emosi dalam membangun relasi
pertemanan. Mereka lebih suka menunjukan ketergantungan dan
kerentanan. Sedangkan pria lebih suka berbagi pengalaman tentang
kegiatan, minat dan hobinya. Bagi pria, keberhasilan dan prestasi
menjadi kunci dalam membangun relasi pertemanan.
B. Kematangan Psikologi
1. Definisi Kematangan Psikologi
Dalam konteks perkembangan individu, kematangan psikologi adalah
berkembangnya individu berdasarkan prinsip Life-span perspective. Life-span
perspective merupakan prinsip di mana perkembangan adalah suatu proses yang
terus-menerus, tahap demi tahap seperti spiral atau mata rantai yang saling
mengait (Kail & Nelson, dalam Endang Ekowarni, 1993). Proses perubahan yang
terjadi dalam diri manusia sepanjang rentang waktu hidupnya dan perubahan
manusia tersebut terjadi dalam interaksinya dengan lingkungan. Perubahan ini
bertujuan untuk memungkinkan individu berinteraksi dan menyesuaikan diri
dengan lingkungannya (Hurlock, 2000).
individu-individu yang matang dan kompleks. Artinya, individu harus memiliki
kemandirian intelektual, toleran terhadap ambiguitas dan tidak dikendalikan oleh
rasa takut dan tidak kaku. Individu yang matang adalah pribadi yang memiliki
kemampuan problem solving, bersifat altruistik dan memahami tuntutan sosial
(Freudianslip, 2005).
C. Tugas-Tugas Perkembangan
1. Definisi Tugas-Tugas Perkembangan
Pembahasan tentang tugas-tugas perkembangan tidak dapat terlepas dari
konsep psikologi perkembangan karena tugas-tugas perkembangan merupakan
unsur penting dalam psikologi perkembangan. Setiap tahap perkembangan selalu
memiliki spesifikasi mengenai aspek-aspek perkembangan yang harus dicapai
oleh masing-masing individu. Di dalamnya termuat apa, bagaimana dan sejauh
mana aspek tersebut seharusnya dikuasai. Spesifikasi aspek pekembangan ini oleh
Havighurst dinamakan sebagai tugas perkembangan atau developmental task.
Dengan demikian, tugas perkembangan adalah aspek-aspek perkembangan yang
harus dicapai oleh individu di setiap tahap perkembangannya. Semakin tinggi
tahap perkembangannya, aspek perkembangan yang harus dikuasai semakin
banyak dan meningkat pula tuntutan lingkungan (Stroufe, dalam Ekowarni, 1993).
Lebih lanjut Havighurst (dalam Unhlendorff, 2004) menulis tugas
perkembangan adalah polarisasi antara perkembangan biologis,
kebutuhan-kebutuhan individu dan tuntutan sosial. Individu diharuskan mampu
menyelesaikan masalah-masalah yang ia hadapi selama proses perkembangannya.
Di sini nampak jelas terjadinya interaksi antara individu dengan lingkungan
memberi pengaruh yang cukup signifikan, namun faktor harga diri individu
merupakan kunci utama untuk mengindentifikasi tugas-tugas perkembangan yang
harus diselesaikan.
Van den Daele (dalam Hurlock, 2000) mengatakan bahwa tolok ukur
kesuksesan pemenuhan tugas perkembangan terletak pada terjadinya perubahan
dan perkembangan secara kualitatif. Pemahaman ini berarti bahwaa tercipta suatu
proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang sedemikian kompleks.
Dengan kata lain, individu yang matang selalu mengalami perubahan yang
progresif dan perubahan tersebut mengakibatkan jaringan interaksi yang
majemuk.
Hurlock (2000) berpendapat bahwa pemenuhan tugas-tugas
perkembangan individu bergantung pada kemampuan bawaan dan latihan yang
mereka peroleh dalam kehidupan mereka. Selain itu kematangan psikologis akan
mudah tercapai apabila individu memperoleh bantuan atau bimbingan dari orang
lain dan adanya motivasi yang kuat dari individu itu sendiri untuk mencapai
kematangan.
Secara faktual, mahasiswa psikologi memiliki dosen yang berkompeten
di bidangnya. Hal ini merupakan bank reinforcement yang sangat berguna.
Kehadiran para dosen ini dapat dijadikan sebagai sumber bantuan dan bimbingan
bagi para mahasiswa. Mereka dapat meminta bantuan kepada para dosen bila
mengalami kesulitan di luar studi, terutama berkaitan dengan pemenuhan tugas
perkembangan. Namun sayangnya, sampai saat ini, bank reinforcement ini kurang
diolah dengan baik. Relasi dosen dan mahasiswa hanya sebatas di ruang kelas atau
personal belumlah tampak. Para mahasiswapun juga kurang mampu
memanfaatkan kelebihan ini (Hasil wawancara dengan Kaprodi Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma).
Harlock juga menambahkan ada tiga tujuan kematangan psikologis.
Pertama, sebagai petunjuk bagi individu akan harapan masyarakat terhadap
mereka. Kedua, kematangan psikologis memampukan individu mengetahui
identitas diri, mengaktualisasikan diri dan memenuhi harapan pribadi. Yang
terakhir, memberi petunjuk bagaimana individu memecahkan masalah yang
mereka hadapi secara adekuat.
Dalam teori hukum rekapitulasi, Hackel berpendapat bahwa pemenuhan
tugas-tugas perkembangan baru akan tercapai apabila dua fungsi psikologis, yakni
fungsi phylogenetik dan fungsi ontogenetik dapat diwujudkan. Fungsi
phylogenetik adalah sifat bawaan sejak lahir yang melekat dalam diri individu
yang merupakan warisan dari generasi sebelumnya (Zulkifli, 2001). Dalam bahasa
Hurlock, fungsi phylogenetik adalah sifat bawaan yang secara naluriah akan
membimbing individu mengembangkan suatu kompetensi dasar yang penting bagi
hidupnya, seperti: merangkak, duduk dan berjalan. Sedangkan, fungsi ontogenetik
merupakan usaha individu menggunakan sifat-sifat bawaannya untuk menguasai
kompetensi-kompetensi yang lebih sulit dan kompleks melalui proses belajar.
Contoh kompetensi yang lebih sulit dan kompleks adalah kemampuan menulis,
mengemudi atau berenang (Hurlock, 2000).
Berkaitan dengan teori rekapitulasi, Stanley Hall mengatakan bahwa
kehidupan suatu bangsa yang berlangsung dengan lambat selama berabad-abad”
(Zhulkifli, 2001). Dalam teori ini fungsi ontogenetik merupakan rekapitulasi dari
fungsi phylogenetik. Dari sini dapat dilihat bahwa faktor budaya ikut menentukan
atau mempengaruhi proses kematangan psikologis seseorang. Hurlock (2000)
mengatakan bahwa “karena perkembangan individu dibentuk untuk menyesuaikan
diri dengan standar-standar budaya, maka perubahan-perubahan dalam standar
tersebut akan mempengaruhi pola perkembangan.”
Havighurst (1972) menyatakan seseorang dikatakan matang apabila ia
mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangan sesuai dengan usianya.
Keberhasilan ini akan menimbulkan perasaan bahagia dan individu akan
menyadari bahwa hidup yang ia jalani berarti bagi dirinya. Dengan perasaan
seperti itu, ia siap untuk melaksanakan tugas-tugas berikutnya.
Dari beberapa definisi tentang kematangan psikologis di atas dapat
disimpulkan bahwa kematangan psikologis adalah terpenuhinya tugas-tugas
perkembangan sesuai dengan masa perkembangannya dan tercipta suatu
proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang sedemikian kompleks.
Kematangan ini dipengaruhi oleh faktor sifat bawaan, pengalaman, proses
belajar dan faktor budaya. Dengan tercapainya fase kematangan psikologis,
seseorang dapat menyesuaikan dan memenuhi harapan sosial, mampu
mengenali diri, beraktualisasi diri dan mampu menghadapi masalah secara
2. Indikator Kematangan Psikologis
Konsep kematangan psikologis memuat tiga hal. Pertama,
kematangan psikologis selalu berkorelasi dengan pemenuhan tugas-tugas
perkembangan. Kedua, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kematangan
psikologis seseorang. Ketiga, kematangan psikologis memiliki beberapa tujuan.
Havighurst (dalam Perkins,2001) telah menyatakan bahwa
pemenuhan tugas-tugas perkembangan menjadi indikator utama untuk melihat
kematangan psikologis seseorang. Tugas-tugas perkembangan ini disesuaikan
dengan rentang hidup atau usia individu. Rentang hidup tersebut dibagi
menjadi: masa bayi dan awal masa kanak-kanak, akhir masa kanak-kanak, masa
remaja, awal masa dewasa, masa usia pertengahan, dan masa tua.
Havighurst (dalam Gary Ingersoll, 1997) mencatat ada beberapa tugas
perkembangan yang harus dipenuhi remaja agar dapat mencapai kematangan dan
berkembang menuju dewasa awal. Tugas-tugas perkembangan tersebut adalah:
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya
baik pria maupun wanita. Relasi yang lebih matang tampak dalam
terlibatnya individu dalam relasi yang bersifat komunal dan personal,
seperti terlibat dalam anggota kelompok, klik atau menjalin relasi
personal dengan lawan jenis. Hubungan ini bermanfaat untuk
meningkatkan harga diri, melatih keterampilan sosial dan membantu
b. Mencapai peran sosial. Peran sosial adalah harapan lingkungan terhadap
remaja dan diperoleh dengan cara membangun interaksi sosial dengan
lingkungan, seperti keluarga dan masyarakat.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya dengan efektif.
Perubahan fisiologis menyebabkan remaja mengalami kebingungan
identitas akibat perubahan dramatis dalam tubuhnya. Selain itu, sering
memunculkan perasaan tidak nyaman dan cemas, membuat remaja
menjadi lebih perhatian terhadap tubuhnya dibandingkan saat
anak-anak. Karena itu, ia harus mampu menerima perubahan tersebut dan
dapat menggunakan tubuhnya dengan efektif karena perubahan tersebut
menimbulkan dorongan energi yang besar, terutama berkaitan dengan
dorongan seksual akibat matangnya fungsi seksualitasnya.
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.
Tugas perkembangan ini berkaitan erat dengan pencapaian peran sosial.
Karena menjadi pribadi yang idealis dan memiliki pandangan tersendiri,
ada kecenderungan remaja untuk menjadi pribadi yang anti sosial dan
sering mengkritik orang tua dan masyarakat. Di sini remaja dituntut
mampu memahami harapan dan realitas sosial sehingga dapat
memberikan respon positif berupa perilaku sosial yang bertanggung
jawab.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa
lainnya. Pada masa anak-anak, individu memiliki ketergantungan yang
tergantung dengan orang tua. Disi lain ia juga belajar tentang
independensi, otonomi dan menjadi pribadi yang mandiri setelah masuk
masa remaja namun kadang ia tidak siap dengan resiko yang harus
ditanggung. Dengan demikian, remaja dapat mencapai kemandirian
emosional dengan cara membangun kelekatan yang positif dengan
orang tua.
f. Mulai memikirkan tentang masa depannya berkaitan dengan pilihan
hidup yang hendak dipilih. Masa depan tersebut dapat berupa gambaran
ideal tentang masa depan, seperti karir, cita-cita atau kehidupan di masa
dewasa. Remaja harus mengidentifikasi tujuan-tujuan hidupnya paling
tidak dalam level yang paling mendasar seperti apa yang ingin ia capai
saat ini dan bagaimana ia mencapai tujuan tersebut.
g. memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku dan mengembangkan ideologinya. Selama masa remaja,
individu mulai mengembangkan sistem pengetahuan yang relatif
kompleks dan mulai mengintegrasikan perangkat nilai dan moral. Selain
itu, dalam tahap perkembangan moralnya, remaja juga telah diajari
orang tuanya mana yang baik dan yang buruk, mana yang boleh dan
yang tidak boleh. Dengan demikian, remaja dituntut membangun
konstruk nilai dan sistem berdasarkan pengetahuan yang telah
dimilikinya dengan cara mendialekkan pemahamannya dengan
pandangan yang dimiliki orang tuanya dan pandangan atau sistem yang
Havighurst juga menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi terpenuhinya kematangan psikologis seseorang, yakni:
b. Normal tidaknya tingkat perkembangan seseorang. Apabila seseorang
dapat berkembang secara normal, akan lebih mudah baginya mencapai
tahap perkembangan selanjutnya.
c. Ada tidaknya kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan
atau ada tidaknya bimbingan untuk dapat menguasainya. Di sini
kesempatan dan kehadiran orang lain memegang peran kunci
kematangan psikologis seseorang.
d. Besar kecilnya dorongan atau motivasi untuk matang. Individu yang
memiliki motivasi yang lebih besar akan semakin mudah mencapai
kematangan psikologis.
e. Tingkat kecerdasan individu. Tingkat kecerdasan ikut mempengaruhi
karena di dalamnya termuat kreativitas yang dapat membantu individu
mencapai kematangan psikologis.
D. Kematangan Psikologis Mahasiswa Fakultas Psikologi Sanata Dharma
Mahasiswa dituntut menjadi pribadi yang sehat atau berfungsi penuh
seluruh aspek psikologisnya dalam pendidikannya di Fakultasi Psikologi Sanata
Dharma. Diharapkan, mahasiswa menjadi pribadi yang matang, memiliki
integritas moral yang tinggi, kemampuan berpikir yang kritis dan wawasan
paragraf 3). Kematangan ini menuntut pemenuhan tugas-tugas perkembangan
sebagai seorang dewasa awal yang baru saja melewati masa remajanya.
Sebagai pribadi yang baru memasuki fase dewasa dini, idealnya
mahasiswa telah menyelesaikan tugas-tugas perkembangan remaja sebagai
prasyarat untuk melanjutkan perkembangan usia psikologisnya. Hal ini mutlak
diperlukan mengingat tanpa menyelesaikan tugas tersebut, mahasiswa tidak akan
dapat berkembang menuju pribadi dewasa. Disinilah letak nilai penting
penelitian ini, yakni melihat sejauh mana kematangan atau kedewasaan
psikologis mahasiswa psikologi Sanata Dharma. Tugas-tugas tersebut adalah
mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik pria
maupun perempuan, mencapai peran sosial, mencapai perilaku sosial yang
bertanggung jawab, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya
secara efektif, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang
dewasa lainnya, mulai memikirkan tentang masa depannya berkaitan dengan
pilihan hidup yang hendak dipilih, memperoleh perangkat nilai dan sistem etis
sebagai pegangan dalam berperilaku dan mengembangkan ideologinya.
Ada tiga hal yang membantu mahasiswa Fakultas Psikologi Sanata
Dharma memenuhi tugas perkembangannya. Pertama, mereka memiliki
kesempatan dan pengetahuan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan.
Materi perkuliahan dapat membantu mereka membangun konstrak
pengetahuan tentang tugas-tugas perkembangan sehingga membuka peluang
atau kesempatan untuk menyelesaikannya. Kedua, adanya pembimbing yang
dosen, entah dosen pembimbing akademis atau dosen pengajar sangat berarti
bagi mahasiswa. Dosen dapat berperan sebagai helper saat mahasiswa
menghadapi hambatan dalam menuntaskan tugas-tugas perkembangannya.
Ketiga, mahasiswa memiliki tingkat kecerdasan yang cukup di mana dapat
mempengaruhi percepatan pemenuhan tugas perkembangan karena di
dalamnya termuat kreativitas yang dapat membantu individu mencapai
kematangan psikologis.
Dalam pendidikan di Fakultas Psikologi Sanata Dharma, pemenuhan
tugas-tugas perkembangan tersebut hendaknya sudah tercapai mengingat bahwa
mahasiswa baru saja menyelesaikan masa remaja dan masuk ke masa dewasa
dini. Diharapkan sistem dan model pendidikan Fakultas Psikologi Sanata
Dharma dapat menciptakan suatu kondisi yang sedemikian rupa sehingga secara
efektif mahasiswa dapat mengolah kepribadiannya dan mencapai kematangan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian deskriptif
dengan menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan kuantitatif dan
kualitatif. Pendekatan kuantitatif memungkinkan peneliti melakukan
pengukuran dengan angka-angka untuk melihat sejauh mana tingkat
kematangan psikologis mahasiswa ditinjau dari pemenuhan tugas-tugas
perkembangannya. Pendekatan kuantitatif juga digunakan untuk menentukan
subyek penelitian secara kualitatif.
Pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti mempelajari isu atau tema
tertentu secara mendalam dan komprehensif. Penelitian ini dapat melihat suatu
gejala sebagai sesuatu yang dinamis dan berkembang, dengan mendeskripsikan
dan memahami proses dinamis yang terjadi berkenaan dengan gejala yang
diteliti (Poerwandari, 2001). Melalui pendekatan ini,
dapat dilihat kedalaman proses kematangan psikologis mahasiswa ditinjau
dari pemenuhan tugas-tugas perkembangannya.
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi
1. Berusia lebih dari 19 tahun, dengan alasan bahwa secara psikologis pada
usia tersebut individu telah melewati masa remaja. Dengan demikian
dapat dilihat sejauh mana individu tersebut menyelesaikan tugas-tugas
perkembangannya.
2. Tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma minimal semester 4.
C. Definisi Operasional
Kematangan psikologis adalah tercapainya atau terpenuhinya
tugas-tugas perkembangan sesuai dengan masa perkembangan individu yang
bersangkutan. Pemenuhan tersebut dipengaruhi oleh sifat bawaan, proses
belajar dan faktor budaya.
Indikator-indikator kematangan psikologis adalah:
1. Memiliki relasi atau hubungan baru dan stabil dengan teman sebaya baik
pria maupun wanita.
2. Membangun interaksi sosial yang erat dengan lingkungan sekitar, seperti:
keluarga dan masyarakat.
3. Menerima keadaan fisiknyadan menggunakannya secara efektif.
4. Mampu memahami dan mengakomodasi harapan dan tuntutan sosial
dengan idealisme yang ia bangun sehingga tercipta perilaku sosial yang
bertanggung jawab.
5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dengan cara membangun
kehidupan di masa depan.
7. Mempunyai perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan berperilaku
dan mengembangkan hidupnya.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menggunakan 2 (dua) teknik, yaitu: skala
dan wawancara. Penggunaan 2 (dua) teknik pengumpulan data
dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa metode skala digunakan untuk
menyeleksi subjek penelitian yang akan diwawancara. Subjek dengan jumlah
skor total skala tertinggi dan terendah akan dijadikan subjek wawancara.
1. Skala kematangan psikologis mahasiswa Fakultas Psikologi ditinjau
dari pemenuhan tugas perkembangannya
1.a. Definisi Skala
Skala ini bertujuan mengukur sejauh mana tingkat kematangan
psikologis mahasiswa ditinjau dari pemenuhan tugas perkembangannya.
Skala ini disusun berdasarkan teori tugas perkembangan Havighurst, seperti
yang tertuang dalamblue print, yaitu:
Tabel 01
Tabel Blue Print Penelitian
No. Indikator Persentase
01 Membangun Hubungan baru 10 %
02 Mencapai Peran Sosial 10 %
03 Menerima Perubahan Fisiologis 10 %
05 Mencapai Kemandirian Emosional 20 %
06 Memiliki Gambaran Masa Depan 10 %
07 memiliki Perangkat Nilai 20 %
Total 100 %
Perilaku sosial yang bertanggung jawab, kemandirian emosional
dan perangkat nilai diberi prosentase lebih besar (20%). Prosentase 20%
didasarkan pada pertimbangan kompleksitas indikator tersebut. Perilaku
sosial yang bertanggung jawab tidak mudah dicapai karena idealisme dan
ideologi yang dikembangkan remaja tidak jarang berbenturan dengan
sistem nilai yang ada pada orang tua dan masyarakat. Dengan demikian,
ada kecenderungan remaja menjadi pribadi yang anti sosial dan sering
mengkritik orang tua dan masyarakat.
Secara faktual, ketergantungan emosional remaja masih sangat
kuat. Bahkan, ketergantungan tersebut masih terasa sampai usia dewasa
awal. Hal ini nampak dalam ketergantungan finansial individu terhadap
orang tua. Hal inilah yang dapat menghambat kemandirian emosional
individu.
Perangkat nilai dan sistem etis tidak mudah dicapai karena selama
masa remaja, individu dituntut mengembangkan sistem pengetahuan yang
relatif kompleks dan mengintegrasikan perangkat nilai dan moral. Selain
telah dibangun dengan perangkat nilai dan sistem etis yang ada dalam
masyarakat.
Berdasarkan pemetaan blue print di atas, peneliti merancang item
penelitian sebagai berikut:
Tabel 02
Tabel ItemPenelitian
Indikator Penelitian Item Favorable Item Unfavorable
Membangun
Memiliki Masa Depan 26,27,28,29,30,132,133, 134,154,155