• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Analisa Data Penelitian

2. Hasil Penelitian Subyek II

Ketertarikan subyek mendalami ilmu psikologi diawali dari kesenangan subyek membaca buku psikologi. Baginya membaca buku psikologi mengasyikan dan dan dapat membaca pikiran orang serta menebak kepribadiannya (ND, 18-28). Dari sinilah, subyek memutuskan untuk secara serius mendalami ilmu psikologi. Bahkan, saat mendaftar di USD, tiga pilihan bidang studi yang ada di lembar pendaftaran, ia isi semuanya dengan prodi psikologi. Dalam perkembangannya, ia menyadari bahwa ilmu psikologi lebih dari sekedar menebak atau membaca pikiran saja. Ia menyadari kekompleksan psikologi sebagai sebuah pengetahuan. Ia pun menemukan bahwa dari ilmu itulah ia dapat mengenal dirinya sendiri (ND, 46-53).

Pilihan masuk ke Fakultas Psikologi USD, ia sadari penuh sebagai pilihan pertama. Baginya, Sistem pendidikan USD dipandang lebih unggul daripada negeri karena dapat menghasilkan lulusan yang tidak kalah dari universitas negeri walaupun input mahasiswanya tidak

sebaik universitas negeri (ND, 60-73). Namun, penilaian positif ini tidak diiringi dengan pemahaman visi dan misi USD yang komprohensif. Subyek memang mengetahui USD sebagai kampus humanis tapi secara faktual, hal itu tidak nampak (ND, 89-105). Ia hanya sekedar kuliah. Relasi dengan teman-teman kuliah hanya sebatas pada kepentingan perkuliahan. Begitu juga relasi dengan dosen. Ia merasa tidak ada relasi konstruktif yang mendukung penginternalisasian kampus humanis di kampus (ND, 120-128).

b. Definisi Diri

Menurut subyek, dewasa adalah adanya peningkatan ke arah yang lebih baik dari masa sebelumnya dan proses ini tidak akan berhenti (life-span development). Dan dia merasa sedang dalam proses tersebut. Namun dia belum mampu berdisposisi apakah sudah dewasa atau belum (ND, 145-172).

Dalam proses menuju ke kedewasaan atau kepenuhan diri, subyek sangat terbantu dengan ilmu psikologi yang ia pelajari (ND, 268). Kata kunci yang ia pakai untuk dewasa adalah proses mengenali perasaan. Kunci ini merupakan simpul ilmu psikologi yang ia peroleh di bangku kuliah selama ini. Proses mengenali perasaan diawali dengan menyadari perasaan yang muncul. Dicari sumber penyebab dan kemudian menentukan sikap (ND, 187-219).

Subyek mencontohkan proses pendewasaannya dengan memahami kondisi keluarganya yang tidak ideal. Di tengah situasi yang

tidak mengenakan itu, muncul rasa iri jika melihat keharmonisan keluarga lain di sekitarnya (ND, 236-263). Selain itu ia juga menyadari kurangnya dukungan psikologis dari keluarganya. Hal ini menyebabkan ia merasa tidak ada yang peduli denganya (ND, 273-298).

Namun realitas di atas, disadarinya dan dijadikan pemicu untuk lebih dewasa walau tak jarang hal itu justru menjadi beban karena subyek adalah harapan satu-satunya bagi keluarganya yang dapat memberikan kebanggaan (ND, 307-331). Polarisasi paradoksal inilah yang mendorong dia berproses menjadi manusia dewasa. Dia menyadari adanya kelemahan dalam dirinya namun kelemahan itu tidak dibiarkan menguasainya dan mematikan proses tumbuh-kembang. Bagaimanapun juga, ia tetap berusaha menjadi orang yang dewasa dan dapat memberikan kebanggaan bagi keluarganya. Dia sadar bahwa dirinya adalah harapan satu-satunya bagi keluarganya. Namun dorongan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik lebih besar daripada beban yang harus ia pikul (ND, 353-365).

c. Hubungan Baru

Dalam konteks relasi interpersonal, subyek menyadari bahwa tidak mudah baginya untuk bergaul dengan siapa saja. Ia merasa ada hambatan atau batasan yang bersifat psikologis (ND, 372-386) . Maka tidak mengherankan bila ia hanya memiliki sedikit teman. Namun walaupun sedikit, kehadiran mereka sangat berarti untuk menjadi tempat berbagi pengalaman atau curhat (ND, 396-410).

Sekat pembatas atau hambatan yang sering mengganggu adalah munculnya rasa minder karena kondisi keluarganya (ND, 420-431). Tiap kali bila bertemu seseorang dan ditanya tentang keluarganya, secara otomatis ia akan menarik diri. Apalagi jika ia berhubungan dengan lawan jenis. Ia merasa takut dan cemas karena biasanya pasti ditanya tentang latar belakang keluarganya (ND, 441-469). ia berusaha mengatasi kesulitan tersebut. Namun hal ini nampaknya belum berhasil (ND,

441-442).

d. Relasi Sosial

d.1. Relasi dengan Masyarakat

Relasi sosial yang dibangun subyek dengan masyarakat sekitarnya, nampaknya hanya sekedar kenal (ND, 476-486). Hal ini dikarenakan ia tidak nyaman dengan masyarkat sekitarnya. Ia merasa adanya penolakan dari masyarakat dalam bentuk cibiran terhadap keluarganya (ND, 490-502). Penolakan ini tidaklah mengherankan karena sebagian besar keluarga di masyarakat tempat tinggal sub yek merupakan keluarga yang utuh (ND, 516-523).

Realitas di atas walaupun terasa tidak mengenakan, tidak menghambat subyek untuk terlibat dalam kehidupan sosial. Ia tetap terlibat namun hanya sebatas sebagai follower, dan tidak aktif dalam organisasi kepemudaan di kampungnya (ND, 505-512). Salah wujud keterlibatan yang dilakukan sub yek adalah menjadi relawan saat terjadi gempa beberapa waktu lalu. Ia bersama beberapa temannya

mengorganisir bantuan dari beberapa LSM bagi kampungnya. Hal ini mengindikasikan bahwa walaupun merasa ditolak oleh masyarakat, subyek tetap memiliki rasa kepedulian sosial (ND, 536-550).

d.2. Relasi dengan Keluarga

Keluarga subyek merupakan keluarga tidak utuh karena ibunya merupakan istri kedua sehingga ia jarang bertemu dan tidak dekat dengan bapaknya. Ibunya terpaksa menikah siri karena sudah terlanjur hamil diluar nikah (ND, 743-748). Karena itu, sebagai single parent, ibunya merasa berat dalam mendidik. Keadaan ini semakin berat mengingat kakak subyek juga menikah karena MBA sehingga menambah beban keluarga. Kakak subyek juga nampak tidak siap dengan pernikahannya karena masih didominasi oleh dorongan egoisme yang kuat. Karena itu subyek cenderung mengalah dan meluangkan banyak waktu bagi keponakannya (ND, 563-614).

Secara jujur subyek tidak bangga dengan keluarganya karena kondisi keluarga yang tidak memiliki komunikasi yang yang baik antara bapak dan ibunya sehingga ia tidak dapat belajar tentang manajemen konflik (ND, 623-634). Keadaan ini mengakibatkan Subyek jarang meluangkan waktu dengan keluarganya (ND, 639-644). Ia merasa tidak nyaman di rumah sehingga memilih menghabiskan waktu dengan teman-temannya (ND, 647-655). Namun di sisi lain, ia tetap merindukan keluarganya (ND, 676-683). Rasa rindu tersebut timbul bukan karena rasa sepi melainkan bagaimanapun juga mereka adalah keluarga subyek

(ND, 686-689). Saat bersama dengan keluarganya, subyek lebih mendekatkan diri dengan kakak iparnya karena sesama laki-laki. Biasanya mereka menghabiskan waktu dengan nongkrong di angkringan. Di situ subyek dan kakaknya saling men-share-kan pengalaman hidup mereka dan saling memberi masukan (ND, 694-705).

Situasi yang tidak ideal ini mendorong sub yek untuk memiliki niat memperbaiki keadaan. Namun hal ini hanya terjadi dalam taraf berpikir saja. Ia terbentur oleh status sebagai anak paling kecil sehingga merasa tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk terlibat dalam mengatasi problematika keluarganya (ND, 660-672).

Konflik yang sering muncul selalu berkaitan dengan masalah finansial (ND, 756-766). Sebagai orang tua tunggal dan masih harus menanggung dua anak yang belum mampu mandiri secara keuangan, ibu subyek memang mudah tersulut emosinya bila dimintai uang. Karena itu, subyek menyikapinya dengan berusaha hidup hemat (ND, 772-774) dengan cara mengatur keuangan sebaik mungkin. Memilah mana yang tidak perlu dibeli dan mana yang memang harus dibeli (ND, 805-810). Subyek juga melihat situasi emosional ibunya bila ingin meminta sesuatu

(ND, 780-796).

Dari kompleksitas permasalahan keluarganya, sub yek memandang bahwa memang banyak kekurangan dalam keluarganya. Ia merasa keluarganya tidak memiliki keutuhan sebagai satu keluarga. Keluarganya juga tidak memiliki relasi yang baik antar anggota keluarga,

terutama dengan bapaknya. Namun dibalik itu semua, sub yek menemukan figur ibu yang masih semangat dan tetap setia mengayomi dan menghidupi keluarganya walau sebagai orang tua tunggal (ND, 715-737). Selain itu, di dalam keluarganya masih memiliki ritualisasi yang dilakukan bersama-sama, berupa: bersama-sama mereka meluangkan waktu untuk beres-beres rumah (ND, 816-822).

e. Keadaan Fisik

Subyek merasa terganggu dan kurang percaya diri terhadap kondisi tubuhnya. Sikap negatif ini muncul karena ia merasa tubuhnya lebih pendek dibanding teman-temannya (ND, 838-845; 857-861). Ia sudah berusaha mengatasi permasalahan ini, misalnya dengan berolah raga renang. Namun ternyata usaha itu tidak berhasil. Akhirnya ia berusaha menerima keadaan tersebut apa adanya (ND, 868-873).

f. Perilaku Sosial yang Bertanggung Jawab

Sebagai bagian dari sistem sosial, subyek menyadari adanya tuntutan dan harapan yang dibebankan pada dirinya, terutama dari keluarga (ND, 880-883). Harapan tersebut adalah mampu menyelesaikan studi, membangun hidup yang mapan dan berkeluarga secara benar (ND, 895-903). Di satu sisi harapan dan tuntutan tersebut sesuai dengan cita-cita subyek (ND, 940-947). Di sisi lain, ia merasa terbebani dan merasa tidak adil. Namun bagaimanapun juga, ia tetap berusaha menerima dan meyakini bahwa ia mampu mewujudkannya (ND, 906-917; 920-921). Ia berusaha menyelesaikan studinya secepat mungkin dan segera

membangun hidup mandiri dan mapan dengan memperoleh pekerjaan (ND, 927-935).

Konsekuensi logis menjadi bagian dari sistem sosial adalah individu dituntut mampu beradaptasi sosial sebaik mungkin. Subyek menyadari ia tidak dapat beradaptasi dengan baik dalam membangun relasi sosial. Ini disebabkan karena kondisi keluarga yang tidak ideal di mata masyarakat sekitar (ND, 957-965) sehingga merasa ditolak secara sosial oleh lingkungan sekitarnya (ND, 990-996). Maka tidak mengherankan bila ia cenderung sangat selektif dalam berelasi (ND,

968-975), lebih memilih diam dan pasif saat diskusi (ND, 979-984).

Namun dibalik rasa kecewa dan curiga, subyek tertarik dengan

isu-isu sosial terutama masalah ketidakadilan (ND, 999-1005). Ia tertarik karena dapat mengantisipasi hal-hal negatif bagi keluarganya (ND, 1008-1018). Dan dari dinamika paradoksal ini, subyek merumuskan perilaku

sosial yang bertanggung jawa adalah perilaku yang sesuai dengan aturan yang berlaku dalam masyarakat (ND, 1023-1037).

g. Kemandirian emosional

Relasi subyek dengan orang tuanya tidak terjalin dengan baik dan kurang akrab karena kurangnya intensitas pertemuan dan kurangnya interaksi personal dengan orang tua (ND, 1045-1058). Suasana rumah yang bagi subyek tidak kondusif dan tidak ada kebiasaan duduk bersama membuat subyek tidak mudah terbuka kepada orang tuanya. Ia jarang menceritakan pengalaman dan permasalahan yang dihadapi (ND,

1061-1062;1064-1080). Namun subyek mengakui bahwa orang tuanya tetap mendukung dia dan cita-citanya (ND, 1085-1086).

Saat ini sub yek sebisa mungkin dapat lulus secepatnya dan segera membangun kemapanan hidup agar tidak membebani orang tua, terutama ibunya (ND, 1093-1112). Sampai saat ini subyek belum mengalami benturan perbedaan persepsi masa depan dengan orang tuanya. Namun bila berada dalam situasi tersebut, ia akan mendahulukan cita-citanya dibandingkan harapan orang tua karena bagaimanapun juga dialah yang menjalani cita-cita itu, bukan orang tuanya (ND, 1118-1133). Sikap tersebut ia ambil berikut dengan risiko harus menentang orang tua

(ND, 1136-1141).

Cara pandang dia atas membentuk sikap subyek terhadap realitas ketergantungan dengan orang tua secara finansial. Subyek bersikap akan tetap menjalani apa yang ia pikir baik baginya. Dan dia

akan berusaha menunjukkan kepada orang tuanya bahwa pilihannya memang baik adanya (ND, 1148-1160). Menurutnya orang yang mandiri adalah orang yang tidak tergantung pada orang lain. Dapat memenuhi

kebutuhannya sendiri. Memang saat ini ia tergantung secara finansial pada orang tuanya tapi secara obyektif hal itu sudah kewajiban orang tuanya (ND, 1163-1187).

Dari pengalaman yang ia alami bersama orang tuanya, akhirnya subyek menyimpulkan bahwa Orang tua yang ideal adalah orang tua

yang mampu menjalin komunikasi dan relasi yang dekat dengan anak-anak mereka (ND, 1194-1198).

h. Perangkat Nilai

Perangkat nilai yang dihayati subyek adalah spiritualitas perjalanan memanggul salib (ND, 1211-1224). Perangkat nilai disadari

karena pengalaman hidup yang tidak selalu mengenakkan dan terasa berat bagi subyek. Dari situ subyek menyimpulkan seberat apapun hidup, manusia harus terus melangkah maju dan menghadapi semua itu (ND,

1234-1257).

Subyek menemukan spriritualitas ini setelah merasa diteguhkan oleh teman sharingnya yang menceritakan tentang kisah hidup Yesus Kristus (ND, 1261-1290). Secara konkret subyek menghayati sistem nilai tersebut dengan berusaha menerima keadaan keluarganya (ND,

1343-1365).

Sampai saat ini sistem nilai tersebut masih diyakini dan dihayati subyek. Subyek merasa sistem nilai itu sangat relevan dan kontekstual bagi hidupnya (ND, 1302-1320). Apalagi subyek juga merasa sistem nilai yang ia hayati tidak bertentangan dan dapat diterima oleh masyarakat

Dokumen terkait