• Tidak ada hasil yang ditemukan

untuk menentukan skenario pengelolaan

2.1. Banjir Pasang ( Rob )

2.1.3. Dinamika sosial kawasan pesisir

Perubahan pembangunan yang disebabkan pertumbuhan populasi manusia, meningkatnya kualitas hidup, dan restrukturisasi ekonomi nasional mendorong Indonesia untuk mengintensifkan dan meragamkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan perairan laut. Hal ini didasarkan pada peningkatan pemenuhan kebutuhan hidup dan sumberdaya pesisir dan perairan laut akan menjadi tumpuan utama untuk menopang pembanguna ekonomi negara dimasa depan. Dua puluh lima tahun ke depan diharapkan pentingnya sumber daya pesisir laut bagi ekonomi Indonesia meningkat, namun pola pemanfaatan tidak akan berubah secara dramatis. Kawasan pesisir dan laut akan terus mengalami tekanan dari kegiatan pembangunan yang membutuhkan sumber daya alam dan jasa lingkungan dari kawasan pesisir dan laut (Hutabarat, 2009).

Dilihat dari aspek biofisik, wilayah pesisir dan laut serta sumber daya yang terkandung di dalamnya bersifat khas. Adanya sifat yang khas ini mengakibatkan perubahan yang signifikan apabila terdapat intervensi manusia di dalamnya, seperti bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan laut yang menghasilkan beberapa ekosistem khas dan lainnya. Aspek kepemilikan menunjukkan bahwa wilayah pesisir dan laut serta sumber daya yang ada di dalamnya bersifat open

access, artinya tidak memliki status kepemilikan yang jelas. Namun di beberapa

wilayah di Indonesia, seperti Ambon dengan kelembagaan sasi , Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan kelembagaan tradisional awig-awig , dan Sangihe Talaud dengan kelembagaan maneeh, memperlihatkan bahwa masyarakat memiliki kepedulian terhadap wilayah pesisir laut beserta sumberdaya yang di dalamnya. Karakteristik

11

wilayah yang khas dan open access itulah, maka menimbulkan konflik kepentingan pemanfaatan ruang daan sumber daya serta sangat mudah terjadi degradasi lingkungan dan problem eksternalitas dengan adanya pembangunan di wilayah pesisir dan laut serta pemanfaatan sumber daya di dalamnya (Hutabarat, 2009).

Usman (2003) mengemukakan bahwa lingkungan alam sekitar akan membentuk sifat dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi yang melembaga dalam masyarakat. Dikatakan pula bahwa perubahan lingkungan dapat merubah konsep keluarga. Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu perubahan sosial. Menurut Suharti yang diacu dalam Manuwono (2008), masyarakat kawasan pesisir cenderung agresif, hal ini dikarenakan kondisi lingkungan pesisir yang panas dan terbuka, selain itu keluarga nelayan mudah diprovokasi, dan salah satu kebiasaan yang jamak di kalangan nelayan (masyarakat pesisir) adalah karena kemudahan mendapatkan uang menjadikan hidup mereka lebih konsumtif.

Zamroni (1992) menyatakan bahwa perilaku sosial merupakan hubungan antara tingkah laku masyarakat dengan tingkah laku lingkungan. Indikator-indikator perubahan perilaku sosial berbeda-beda menurut pandangan setiap ahli. Jayasuriya dan Wodon (2003) melakukan riset di sejumlah negara menggunakan 2 kategori utama yaitu pendidikan dan kesehatan. Sedangkan Africa (2003) menggunakan indikator kebutuhan dasar minimum - sistim informasi data masyarakat (MBN-CBIS) dengan 3 indikator utama yaitu survival, security dan enabling. Usman (2003) memberikan 3 komponen utama dalam mengupas permasalahan di masyarakat yang terkait dengan kondisi lingkungan yaitu: demografi, ekonomi dan budaya.

Purba (2002) menyatakan berbagai persoalan sosial dalam pengelolaan lingkungan sosial antara lain: berkembangnya konflik atau friksi sosial, ketidakmerataan akses sosial ekonomi, meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan akses pengelolaan sumberdaya, meningkatnya gaya hidup (konsumtif), kurangnya perlindungan pada hak masyarakat lokal/tradisional dan modal sosial, perubahan nilai, memudarnya masyarakat adat, lemahnya kontrol sosial, perubahan dinamika penduduk, masalah kesehatan dan kerusakan lingkungan. Melihat berbagai pendapat dapat dilihat pula bahwa sebagian besar penduduk di wilayah pesisir bermata pencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan, seperti nelayan , petani ikan, penambang pasir, pencari kayu mangrove dan lainnya. Kemiskinan yang

12

terjadi di masyarakat pesisir merupakan problem struktural yang hingga saat ini masih tetap ada. Penerimaan yang rendah setiap bulan dan atau kebutuhan yang meningkat, bagi penduduk asli mendorong menjual tanah yang dimiliki atau lahan (tambak, rawa) kepada pihak lain. Pengalihan hak kepemilikan mendorong munculnya kawasan baru seperti industri atau real estate dan kawasan perdagangan.

Perubahan lahan di wilayah pesisir yang tidak sesuai dengan peruntukannya telah berakibat terjadinya banjir pasang. Perunukan lahan yang telah mengubah kondisi ekologis secara simultan akan berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi secara menyeluruh. Perubahan ini akan memacu perubahan perilaku masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya perubahan dalam lingkungan masyarakatnya sebagai akibat adanya peningkatan status maupun penurunan keadaan. Perubahan perilaku dapat bersifat intern maupun ekstern dan dapat bersifat positif maupun negatif. Perubahan intern ini dalam arti perilaku keseharian yang menyangkut diri sendiri seperti rasa apatis, apriori, traumatik dan lain-lain, sedang ekstern adalah perilaku keseharian yang menyangkut terhadap orang lain baik di dalam keluarga maupun luar keluarga seperti kerjasama, paternalistis dan lain-lain (Manuwono, 2008).

Peruntukan wilayah pesisir sangat komplek dalam berbagai aktifitas kegiatan manusia. Suprijanto (2003) menunjukkan contoh kawasan tepi air pada umumnya digunakan untuk kawasan industri dan pemukiman. Kawasan ini cenderung memiliki aktivitas yang tinggi. Haryono dan Narni (2004) memberi contoh kawasan pesisir Jakarta bahwa penduduknya terlalu padat dan jaringan air minum dari Perusahaan Air Minum Jaya masih dirasakan kurang. Oleh karena itu, banyak penduduk yang menggali sumur sendiri untuk berbagai keperluan. Kalangan industri juga menggali sumur dalam untuk memenuhi keperluannya. Sumaryo (1997) menambahkan terjadinya proses akresi dapat menyebabkan terjadinya penurunan tanah. Kenaikan permukaan air laut dan penurunan permukaan tanah dapat berpengaruh terhadap terjadinya banjir di sepanjang pesisir Jakarta.

Suryanti dan Marfai (2008) menunjukkan tipologi penghuni kawasan pesisir Semarang bahwa 66% penduduk berkelamin laki-laki dan sisanya perempuan dengan usia produktif. Tingkat pendidikan 20% SD, 50% SMP, 30% SMA dan PerguruanTinggi. Berdasarkan aktivitas/mata pencaharian 47,5% responden adalah buruh industri, 25% responden petani dan nelayan, 20% responden PNS, dan 7,5% bekerja di sektor lain. Fenomena tersebut mengindikasikan status sosial dari menengah ke bawah. Tempat tinggi permanen sebanyak 84%,tetapi kondisi rumahnya sangat jauh dari standar rumah sehat dan baik.

13

Kasus yang menunjukkan adanya perubahan perilaku masyarakat akibat adanya perubahan di wilayah pesisir ditunjukkan Manuwono (2008) yang melakukan pengamatan di wilayah pesisir Demak. Terjadinya banjir pasang sebagai akibat perubahan lahan mangrove yang berubah fungsinya sebagai lahan tambak. Seiring dengan kondisi pasar udang yang semakin menurun dan kebijakan pasar dunia yang tidak menerima produk udang dari hasil pembukaan lahan dalam artian ‘merusak’ menyebabkan masyarakat merugi dan lahan yang ada terbengkelai. Lahan yang ada tidak lagi terpakai dan kelamaan terkikis air laut dan berubah menjadi wilayah laut dan mengakibatkan masuknya air laut saat pasang semakin jauh ke daratan. Kondisi ini telah mengubah perilaku masyarakat akibat berkurangnya pendapatan. Masyarakat yang dulunya menjadi ‘juragan’ berubah menjadi ‘bukan juragan’. Secara umum para petani tambak dan nelayan yang mengalami penurunan pendapatan akibat abrasi tambak dan rob, mengalami perubahan perilaku yang bersifat negatif yaitu apriori, apatis dan mengalami gangguan jiwa.