DAMPAK DINAMIKA BANJIR PASANG (ROB)
TERHADAP SISTEM SOSIAL EKOLOGIS KOTA SEMARANG
(Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas)
MARGA RETHA IKA PRATIWI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) Terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas) adalah karya saya dengan arahan dari komisis pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
ABSTRACT
MARGA RETHA IKA PRATIWI. Impact of The Tidal Floods Dynamics To Social Ecological System of Semarang City (Case Study in Tanjung Mas District). Under direction of LUKY ADRIANTO and NIKEN T.M. PRATIWI
Region of coastal area of Semarang represents the region with the solid activity complexity. The complexity activities caused the level of pressure at the region. Environmental damage have been seen. Phenomenon that happened until now is tidal floods called rob. If tidal floods handling install is not systematic, estimated Semarang will sink. The aims of this study was to identife social ecological system dynamics, to estimate ecological impact and economic social, to compile indication strategy of management of coastal area base on the adaptation to tidal floods.The result showed that pursuant to historical analysis shows that tidal floods increased in the case of height irrigate and also spread area affected, pond tidal flood resulted the change of structure of social condition and space of area economics affected, analyse the scenario that the development embank the sea (seawall) with the environmental management with of cultivation mangrove alongside embank and drainage basin in physical represent the effective solution in area management. Tidal floods gived magnitude effects not for human and all activities but for the region and ecological system.
RINGKASAN
MARGA RETHA IKA PRATIWI. Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) Terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan NIKEN T.M. PRATIWI.
Daerah pesisir pantai Semarang merupakan daerah dengan kompleksitas aktivitas yang padat. Kompleksitas aktivitas menyebabkan tekanan di daerah tersebut. Kerusakan lingkungan telah terlihat. Peristiwa yang terjadi hingga sekarang adalah banjir pasang surut yang disebut rob. Jika penanganan banjir pasang surut tidak sistematis, diperkirakan Semarang akan hilang. Tujuan dari studi ini adalah mengidentifikasi dinamika sistem sosial ekologis, mengidentifikasi dampak ekologis dan sosial ekonomi, menyusun strategi pengelolaan kawasan pantai berdasar pada adaptasi.
Metode untuk mengetahui kondisi pesisir Semarang pada masa lalu menggunakan analisis histori. Metode untuk mengnalisis kondisi aset yang ada pada wilayah penelitian menggunakan metode pendekatan keberlanjutan mata pencaharian pesisir (Coastal Livelihood System Analysis – CLSA). Pengambilan keputusan terhadap kebijakan pengelolaan menggunakan metode Trade - Off Analysis (TOA).
Analisis histori kondisi pesisir menunjukkan bahwa terjadi penambahan daratan pada wilayah pantai Semarang karena adanya sedimentasi dari sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa. Penambahan aktifitas dan beban tanah membuat kondisi pesisir semakin rusak. Penurunan tanah juga semakin nampak. Akibatnya rob yang sering terjadi pada wilayah pesisir Semarang semakin luas dampaknya. Masyarakat pun semakin merasakan besarnya dampak yang terjadi.
Berdasarkan analisis CLSA nampak bahwa aset manusia menempati prioritas utama untuk mendapatkan perhatian. Hal ini dikarenakan pada lokasi penelitian terdapat aktifitas yang banyak melibatkan peran aktif masyarakat. Sehingga berbagai alternatif insentif secara langsung maupun tidak langsung yang kemungkinan bisa diambil untuk keberlanjutan kehidupan masyarakat penting untuk dianalisis. Insentif yang terlihat lebih kepada perbaikan akan kondisi yang sudah ada tanpa harus memindah apa yang telah ada.
Hasil penilaian beberapa alternatif pengelolaan menunjukkan bahwa pembangunan talud atau tanggul laut (seawall) yang disertai dengan pengelolaan lingkungan berupa penanaman mangrove di sepanjang tanggul dan daerah aliran sungai secara fisik merupakan solusi yang efektif dalam pengelolaan kawasan tergenang. Sehingga menjadi pilihan yang baik untuk mengurangi dampak rob yang terjadi.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DAMPAK DINAMIKA BANJIR PASANG (ROB)
TERHADAP SISTEM SOSIAL EKOLOGIS KOTA SEMARANG
(Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas)
MARGA RETHA IKA PRATIWI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas)
Nama : Marga Retha Ika Pratiwi
NRP : C252080061
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT penguasa semesta alam dan pemilik ilmu pengetahuan, karena berkat penyertaan-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah berjudul Kajian Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas), dibuat sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program pendidikan Magister Sains (S2) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulisan karya ilmiah ini tidak akan dapat terselesaikan apabila tidak ada dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak DR. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. selaku Ketua Komisi dan Ibu DR. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. selaku Anggota Komisi yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. DR. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) atas motivasi yang diberikan kepada penulis, serta semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, suami, anak-anakku serta adik-adikku, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Namun karena keterbatasan sebagai manusia, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan pada penulisan ini. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua. Amiin.
Sesungguhnya kebenaran datangnya hanyalah dari Allah SWT dan, kesalahan datangnya dari penulis sendiri.
Bogor, Agustus 2012
RIWAYAT HIDUP
DAMPAK DINAMIKA BANJIR PASANG (ROB)
TERHADAP SISTEM SOSIAL EKOLOGIS KOTA SEMARANG
(Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas)
MARGA RETHA IKA PRATIWI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) Terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas) adalah karya saya dengan arahan dari komisis pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
ABSTRACT
MARGA RETHA IKA PRATIWI. Impact of The Tidal Floods Dynamics To Social Ecological System of Semarang City (Case Study in Tanjung Mas District). Under direction of LUKY ADRIANTO and NIKEN T.M. PRATIWI
Region of coastal area of Semarang represents the region with the solid activity complexity. The complexity activities caused the level of pressure at the region. Environmental damage have been seen. Phenomenon that happened until now is tidal floods called rob. If tidal floods handling install is not systematic, estimated Semarang will sink. The aims of this study was to identife social ecological system dynamics, to estimate ecological impact and economic social, to compile indication strategy of management of coastal area base on the adaptation to tidal floods.The result showed that pursuant to historical analysis shows that tidal floods increased in the case of height irrigate and also spread area affected, pond tidal flood resulted the change of structure of social condition and space of area economics affected, analyse the scenario that the development embank the sea (seawall) with the environmental management with of cultivation mangrove alongside embank and drainage basin in physical represent the effective solution in area management. Tidal floods gived magnitude effects not for human and all activities but for the region and ecological system.
RINGKASAN
MARGA RETHA IKA PRATIWI. Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) Terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan NIKEN T.M. PRATIWI.
Daerah pesisir pantai Semarang merupakan daerah dengan kompleksitas aktivitas yang padat. Kompleksitas aktivitas menyebabkan tekanan di daerah tersebut. Kerusakan lingkungan telah terlihat. Peristiwa yang terjadi hingga sekarang adalah banjir pasang surut yang disebut rob. Jika penanganan banjir pasang surut tidak sistematis, diperkirakan Semarang akan hilang. Tujuan dari studi ini adalah mengidentifikasi dinamika sistem sosial ekologis, mengidentifikasi dampak ekologis dan sosial ekonomi, menyusun strategi pengelolaan kawasan pantai berdasar pada adaptasi.
Metode untuk mengetahui kondisi pesisir Semarang pada masa lalu menggunakan analisis histori. Metode untuk mengnalisis kondisi aset yang ada pada wilayah penelitian menggunakan metode pendekatan keberlanjutan mata pencaharian pesisir (Coastal Livelihood System Analysis – CLSA). Pengambilan keputusan terhadap kebijakan pengelolaan menggunakan metode Trade - Off Analysis (TOA).
Analisis histori kondisi pesisir menunjukkan bahwa terjadi penambahan daratan pada wilayah pantai Semarang karena adanya sedimentasi dari sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa. Penambahan aktifitas dan beban tanah membuat kondisi pesisir semakin rusak. Penurunan tanah juga semakin nampak. Akibatnya rob yang sering terjadi pada wilayah pesisir Semarang semakin luas dampaknya. Masyarakat pun semakin merasakan besarnya dampak yang terjadi.
Berdasarkan analisis CLSA nampak bahwa aset manusia menempati prioritas utama untuk mendapatkan perhatian. Hal ini dikarenakan pada lokasi penelitian terdapat aktifitas yang banyak melibatkan peran aktif masyarakat. Sehingga berbagai alternatif insentif secara langsung maupun tidak langsung yang kemungkinan bisa diambil untuk keberlanjutan kehidupan masyarakat penting untuk dianalisis. Insentif yang terlihat lebih kepada perbaikan akan kondisi yang sudah ada tanpa harus memindah apa yang telah ada.
Hasil penilaian beberapa alternatif pengelolaan menunjukkan bahwa pembangunan talud atau tanggul laut (seawall) yang disertai dengan pengelolaan lingkungan berupa penanaman mangrove di sepanjang tanggul dan daerah aliran sungai secara fisik merupakan solusi yang efektif dalam pengelolaan kawasan tergenang. Sehingga menjadi pilihan yang baik untuk mengurangi dampak rob yang terjadi.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DAMPAK DINAMIKA BANJIR PASANG (ROB)
TERHADAP SISTEM SOSIAL EKOLOGIS KOTA SEMARANG
(Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas)
MARGA RETHA IKA PRATIWI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas)
Nama : Marga Retha Ika Pratiwi
NRP : C252080061
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT penguasa semesta alam dan pemilik ilmu pengetahuan, karena berkat penyertaan-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah berjudul Kajian Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas), dibuat sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program pendidikan Magister Sains (S2) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulisan karya ilmiah ini tidak akan dapat terselesaikan apabila tidak ada dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak DR. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. selaku Ketua Komisi dan Ibu DR. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. selaku Anggota Komisi yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. DR. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) atas motivasi yang diberikan kepada penulis, serta semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, suami, anak-anakku serta adik-adikku, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Namun karena keterbatasan sebagai manusia, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan pada penulisan ini. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua. Amiin.
Sesungguhnya kebenaran datangnya hanyalah dari Allah SWT dan, kesalahan datangnya dari penulis sendiri.
Bogor, Agustus 2012
RIWAYAT HIDUP
xix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xxi
DAFTAR GAMBAR ... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xxv
1. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Permasalahan ... 3 1.3. Tujuan ... 3 1.4. Manfaat ... 4 1.5. Kerangka Pemikiran ... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7 2.1. Banjir Pasang (Rob) ... 7 2.1.1. Dampak banjir pasang (Rob) ... 8 2.1.2. Mitigasi terhadap banjir pasang (Rob) ... 9 2.1.3. Dinamika sosial kawasan pesisir... 10 2.2. Sistem Pesisir ... 13 2.3. Sistem Sosial Ekologi dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut ... 16 2.4. Dinamika Pasang Surut ... 20 2.5. Penurunan Permukaan Tanah ... 21 2.6. Definisi dan Konsep Kota Pantai ... 22
3. METODE PENELITIAN ... 25 3.1. Ruang Lingkup ... 25 3.2. Batasan Spasial ... 27 3.3. Metode Pengumpulan Data ... 27 3.3.1. Teknik pengambilan data ... 27 3.4. Analisa Data ... 29 3.4.1. Analisis histori ... 29 3.4.2. Analisis sistem mata pencaharian pesisir ... 29 3.4.3. Analisis kebijakan ... 36
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 43 4.1.1. Kondisi geografis dan topografi ... 43 4.1.2. Penggunaan lahan ... 43 4.1.3. Kondisi sosial ekonomi masyarakat ... 44 4.1.4. Kondisi pasang surut ... 47 4.2. Analisis Histori ... 47 4.2.1. Periode pendudukan Kolonial Belanda ... 47 4.2.2. Periode Kemerdekaan ... 49 4.3. Analisis Sistem Mata Pencaharian Pesisir (Coastal
xx
C. Kawasan terbangun ... 52 D. Elevasi kawasan ... 53 E. Luasan genangan rob ... 53 4.3.2. Analisis kerentanan sosial ... 58 A. Kepadatan penduduk ... 58 B. Tingkat kemiskinan ... 59 C. Mata pencaharian... 59 D. Status kepemilikan lahan ... 60 E. Pemahaman masyarakat tentang bencana ... 60 F. Analisis sikap penduduk terhadap terjadinya bencana ... 61 4.3.3. Analisis kerentanan ekonomi ... 61 A. Keberadaan lokasi usaha/produksi ... 62 B. Keberadaan kawasan perdagangan dan jasa ... 62 C. Jalan tergenang ... 63 D. Kerusakan fisik bangunan ... 64 4.3.4. Matrik dampak pengelolaan ekologis dan sosial-ekonomi ... 65 4.3.5. Identifikasi aset mata pencaharian ... 67 A. Aset alam ... 67 B. Aset manusia ... 68 C. Aset sosial ... 69 D. Aset keuangan ... 70 E. Aset buatan ... 70 4.3.6. Identifikasi pemilihan insentif ... 71 4.4. Analisis Kebijakan ... 73 4.4.1. Trade-off Analysis ... 73 A. Analisis stakeholder ... 73 B. Analisis skenario ... 75 C. Kriteria dan dampak ... 76 D. Analisis skenario kebijakan ... 79 4.4.2. Strategi Pengelolaan Kawasan Terdampak ... 81
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 83 5.1. Kesimpulan ... 83 5.2. Saran ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 85
xxi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Identifikasi tingkat kerentanan ... 30
2. Penggunaan lahan Kelurahan Tanjung Mas ... 44
3. Jumlah penduduk Kelurahan Tanjung Mas berdasarkan
mata pencaharian tahun 2010 ... 45
4. Sarana perekonomian di Kelurahan Tanjung Mas tahun 2010 ... 46
5. Data pasang surut Tanjung Mas Semarang ... 58
6. Identifikasi kerentanan ekologi terhadap rob di Kawasan
Tanjung Mas ... 58
7. Identifikasi kerentanan sosial terhadap rob di Kawasan
Tanjung Mas ... 61
8. Identifikasi kerentanan ekonomi terhadap rob di Kawasan
Tanjung Mas ... 62
9. Matrik dampak kawasan Kelurahan Tanjung Mas terhadap rob ... 66 10. Kondisi aset alam ... 67
11. Kondisi aset manusia ... 68
12. Kondisi aset sosial ... 69
13. Kondisi aset keuangan ... 70
14. Kondisi aset buatan ... 71
15. Sistem insentif berbasis masyarakat yang terkena rob... 73
16. Skenario alternatif dalam pengelolaan kawasan terdampak rob ... 76 17. Matrik dampak setiap kriteria terhadap skenario yang ditentukan
saat ini dan 30 tahun mendatang ... 78
18. Matrik dampak dengan skor dan persamaan bobot ... 79
19. Besaran prioritas yang diberikan untuk masing-masing isu ... 79
20. Penggabungan kriteria-dampak dan indeks skor masing-masing
xxiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pikir penelitian ... 5
2. Pendekatan berdasar kompleksitas dalam pengelolaan pesisir berkaitan dengan ekosistem pesisir dan struktur penggunaan
yang mengarahkan rancangan organisasi pesisir ... 18
3. Konsep sederhana keseimbangan di dalam pengelolaan
wilayah pesisir ... 20
4. Diagram ruang lingkup penelitian ... 26
5. Lokasi penelitian ... 28
6. Langkah-langkah mendisain CLSA ... 32
7. Langkah lengkap dalam mendisain CLSA ... 33
8. Checklist tahap 1 CLSA ... 34
9. Checklist tahap 2 CLSA ... 35
10. Checklist tahap 3 CLSA ... 35
11. Checklist tahap 4 CLSA ... 36
12. Checklist tahap 5 CLSA ... 37
13. Tingkat kepentingan dan pengaruh pada berbagai
kelompok stakeholders yang berbeda ... 39 14. Peta penggunaan lahan di wilayah pesisir Kota Semarang ... 44
15. Perilaku fluktuasi pasang surut bulan Maret 2011 ... 48
16. Perilaku fluktuasi pasang surut bulan April 2011 ... 48
17. Dinamika ekologi pesisir di Semarang ... 50
18. Dinamika sosial pesisir di Semarang ... 50
19. Dinamika rob di Semarang ... 50
20. Persentase luasan tergenang terhadap luas kecamatan ... 55
21. Peta genangan banjir pasang surut tahun 2000 ... 55
22. Peta genangan banjir pasang surut tahun 2010 ... 56
23. Peta prediksi genangan banjir pasang surut tahun 2030 ... 56
24. Peta prediksi genangan banjir pasang surut tahun 2029 ... 57
25. Sebaran lokasi usaha/produksi ... 63
26. Grafik hasil CLSA di Tanjung Mas ... 72
27. Grafik stakeholder yang berkepentingan dan berpengaruh
terhadap pengelolaan rob di Kelurahan Tanjung Mas ... 74 28. Indeks keberlanjutan masing-masing kriteria oleh pemangku
xxv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Tabel Pasang Surut Rata-Rata Bulan Maret-April 2011 ... 89
2 Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholder) ... 90 3 Skoring Isu-isu dan Permasalahan oleh Stakeholder ... 91
4 Kawasan wilayah pesisir Semarang yang terdampak rob………. ... 92
5 Pilihan responden terhadap sistem insentif ... 93 6
Pilihan alternatif pengelolaan yang ditawarkan oleh stakeholder
1
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas
ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih
mendapat pengaruh sifat-sifat laut, sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut
mencakup bagian atau batas terluar dari pada daerah paparan benua (continental
shelf). Wilayah pesisir dapat diperuntukkan sebagai kawasan lindung, pemukiman
atau aktivitas lainnya (Bengen, 2002). Wilayah pesisir selalu mendapat tekanan yang
besar dari segala aktivitas yang berkembang diatasnya. Besarnya tekanan yang tidak
seimbang mampu mengakibatkan kerusakan ataupun bencana sehingga mampu
merubah ruang wilayah pesisir.
Wilayah pesisir Semarang merupakan wilayah dengan kompleksitas aktivitas
yang padat. Dalam perkembangan dan pertumbuhan Jawa Tengah, Semarang
sangat berperan, terutama dengan adanya pelabuhan, jaringan transport darat (jalur
kereta api dan jalan) serta transport udara yang merupakan potensi bagi simpul
transport Regional Jawa Tengah dan kota transit Regional Jawa Tengah. Posisi lain
yang tak kalah pentingnya adalah kekuatan hubungan dengan luar Jawa, secara
langsung sebagai pusat wilayah nasional bagian tengah. Marfai dan King (2008)
menyatakan Kota Semarang merupakan wilayah pesisir dengan penggunaan lahan
yang bervariasi dan aktivitas yang dinamis. Kompleksitas kota Semarang antara lain
aktivitas industri dan pelabuhan, aktivitas pertanian, pertumbuhan populasi penduduk,
penggunaan air tanah, perkembangan penduduk, aktivitas rekreasi, dan perikanan.
Suprijanto (2003) menunjukkan bahwa wilayah tepi air seperti Jakarta, Semarang,
Surabaya dan Makassar merupakan kawasan yang strategis. Identifikasi yang
dilakukan di Surabaya menunjukkan bahwa kawasan tepi air ini memiliki aktivitas
besar baik untuk perindustrian dan pemukiman.
Kompleksitas kegiatan dan aktivitas yang ada di wilayah Semarang
menyebabkan besarnya tekanan pada wilayah tersebut. Kerusakan lingkungan telah
terlihat. Fenomena yang terjadi hingga sekarang adalah banjir pasang (rob). Salah satu kawasan terdampak rob di Kota Semarang adalah Kelurahan Tanjung Mas. Kawasan ini merupakan salah satu wilayah yang sering dilanda banjir dan rob sejak beberapa tahun yang lalu. Jika penanganan banjir tidak sistematis, diperkirakan pada
2030 kawasan tersebut akan tenggelam. Prediksi ini didasarkan pada penurunan lahan
2
King (2008), luas lahan yang mengalami penurunan di kawasan pesisir
Semarang dapat mencapai 2.227 ha pada tahun 2020. Antisipasi banjir yang
selama ini mendera wilayah Semarang harus diperhatikan melalui tiga hal, yaitu
melalui pemanenan air hujan di daerah atas, pembuatan pompa untuk daerah bawah,
serta membendung air laut yang masuk ke daratan. Selain penurunan permukaan
tanah, banjir yang terjadi di kawasan Kelurahan Tanjug Mas juga disebabkan oleh
peningkatan muka air laut, luapan sungai karena hujan sebagai akibat kurangnya
pemeliharaan terhadap jaringan drainase kota, berkurangnya daerah tangkapan air,
dan timbulnya banjir kiriman sebagai dampak dari perubahan penggunaan lahan di
Semarang Atas.
Fenomena banjir pasang (rob) ini banyak menimbulkan kerugian pada aspek ekonomi, sosial, infrastruktur dan kesehatan. Suryanti dan Marfai (2008) menunjukkan
bahwa akibat banjir rob dan banjir kiriman hujan telah memberikan pengaruh negatif terhadap kawasan pantai Kota Semarang antara lain telah merubah fisik lingkungan,
kegiatan harian terganggu, penduduk tidak mempunyai aksesibilitas untuk pergi ke
tempat kerja dan melakukan aktivitas dengan normal karena fasilitas jalan di kawasan
pesisir tergenang air laut, pelayanan umum/publik penunjang kegiatan rumah tangga,
seperti ketersediaan air bersih dan listrik, tidak dapat berfungsi. Kobayashi (2003) juga
menyebutkan bahwa pekerja domestik wanita atau penjaga rumah mengalami
kesulitan yang lebih berat selama kejadian banjir rob. Mereka harus mengamankan peralatan rumah tangga selama muka air laut naik dan membersihkan lingkungan
serta rumah setelah banjir rob berlalu. Menurut Soedarsono (1996), anak-anak juga mudah terkena penyakit dan infeksi dari genangan banjir tersebut. Penyakit seperti
diare, demam, dan malaria menjadi lebih mudah menyerang selama banjir karena
kondisi sanitasi yang buruk. Banjir rob juga mempengaruhi kualitas bangunan atau kondisi bangunan. Akibat genangan pada bangunan secara kontinyu dengan frekuensi
yang tinggi, bangunan tempat tinggal mengalami kerusakan.
Isu-isu di atas memberikan gambaran tentang keberadaan banjir pasang dengan
segala dampak yang ditimbulkannya. Berdasarkan permasalahan yang ada, penelitian
yang mengkaji tentang banjir pasang dengan segala kemungkinan faktor penyebab,
dampak terhadap masyarakat, maupun upaya mitigasi yang dilakukan dan alasan
mengapa sebagian masyarakat masih enggan untuk berpindah sudah banyak
dilakukan. Penelitian ini lebih pada pemilihan insentif yang bisa ditawarkan pada
masyarakat ketika terjadi rob. Untuk itu, maka penelitian ini perlu dilakukan untuk
3
wilayah Semarang dengan akibat yang ditimbulkan terhadap masyarakat terutama
bidang sosial ekonomi sehingga diharapkan dapat memberikan masukan terhadap
pemangku kepentingan guna penyusunan arah kebijakan pengelolaan yang berbasis
pada adaptasi masyarakat terhadap banjir rob.
1.2. Permasalahan
Kejadian rob telah diteliti di kawasan pesisir, di mana secara keseluruhan berpendapat bahwa hal ini diakibatkan peningkatan muka air laut dan penurunan
tanah serta perubahan penggunaan lahan. Kejadian rob yang terjadi di Kelurahan Tanjung Mas Semarang begitu komplek. Penyebab karena faktor alami ataupun
pengaruh aktivitas manusia yang melatarbelakangi semakin meluasnya dampak yang
terjadi. Rob adalah sistem, dalam suatu kawasan menyangkut wilayah artinya bagaimana komposisi lahan dan laut serta posisinya dengan laut. Kejadian rob
merupakan rangkaian dari masa lalu suatu wilayah dimana menjadi awal sebab dan
berlangsung terus menerus. Rob juga menyangkut cuaca dan waktu. Kejadian rob di suatu kawasan juga bergantung penggunaan lahan dan kepadatan penghuni
(manusia, masyarakat) serta perilaku penghuni.
Dampak yang diakibatkan rob bisa terjadi pada bentang wilayah, sosial ekonomi masyarakat, maupun ekologi. Oleh karena itu, pengamatan secara mendalam perlu
dilakukan untuk lebih mendapatkan data terbaru yang bisa dijadikan masukan dalam
penyusunan kebijakan dalam pengelolaan maupun mitigasi agar dampak dapat
diminimalisir sekecil mungkin, maka pertanyaan penelitian yang dapat dikemukakan
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana dinamika dari rob yang terjadi di Kelurahan Tanjung Mas dan segala komponen yang mempengaruhinya?.
2. Bagaimana rob yang terjadi mempengaruhi dan memberikan dampak pada segala aktivitas sosial ekonomi masyarakatnya?.
3. Bagaimana memilih strategi pengelolaan di daerah pesisir Kelurahan Tanjung
Mas terkait rob yang sering terjadi di wilayah tersebut?.
1.3. Tujuan
Sesuai dengan pertanyaan penelitian tersebut di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi dinamika sistem sosial ekologis di lokasi penelitian.
4
1.4. Manfaat
Manfaat yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah pengetahuan
tentang suatu keterkaitan antara faktor sosial dan ekologis dalam sistem adaptasi
masyarakat terhadap rob.
1.5. Kerangka Pemikiran
Wilayah pesisir merupakan bagian dari wilayah perairan laut yang memiliki
potensi pemanfaatan yang cukup besar. Hal tersebut mengakibatkan tekanan yang
diterima wilayah pesisir sebanding bahkan bisa lebih tinggi dari potensi yang diberikan.
Pengelolaan terhadap wilayah tersebut sangat penting untuk dilakukan. Pengelolaan
harus menjaga keseimbangan antara kelestarian lingkungan dengan segala aktivitas
dari stakeholder sebagai pemangku kepentingan yang ada.
Kondisi pasang surut yang menjadi salah satu faktor dinamika di pesisir secara
tidak langsung berperan pada kondisi pesisir tersebut. Kondisi wilayah yang landai
menambah kompleksitas dinamika di pesisir. Kejadian banjir pasang (rob) yang
semakin luas menyebabkan masyarakat terkena dampaknya baik dalam kehidupan
sosial dan ekonomi. Melalui penelusuran sejarah maka bisa diketahui kondisi
terbentuknya wilayah beserta dinamika yang terjadi dan terus berkembang.
Dinamika kondisi wilayah sebagai akibat dari adanya banjir pasang baik di masa
lalu maupun sekarang perlu untuk diidentifikasi dan diketahui sebagai masukan untuk
proses analisis selanjutnya. Resiko atau dampak yang timbul sebagai akibat dari
eksploitaasi yang berlebih akan mendorong dalam penganekaragaman adaptasi.
Rumah tangga atau individu yang tidak mampu menghadapi tekanan yang terjadi dari
gangguan tersebut akan bersifat rentan (Ellis 1999 in Suriana 2009). Oleh karena itu mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat resiko dari besarnya tekanan terhadap
suatu wilayah pesisir perlu dilakukan sebagai salah satu upaya mitigasi dalam
pengelolaan kawasan pesisir agar berkelanjutan. Namun, dengan banyaknya
stakeholder yang berkepentingan terhadap wilayah pesisir maka perlu dilakukan
pelibatan para stakeholder tersebut dalam penentuan kriteria dampak yang memiliki
nilai dominan terhadap kehidupan dan peyusunan skenario pengelolaan untuk masa
depan. Penggunaan analisis pada penentuan kebijakan yang berbasis stakeholders
diharapkan dapat mencapai pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan, karena
analisis ini didasarkan atas beberapa kajian aspek ekonomi, ekologi dan sosial serta
dalam pengumpulan informasi/data dilakukan sesuai dengan keinginan dan
5
penggunaan sumberdaya di wilayah yang akan dilakukan pemanfaatan. Keluaran yang
diharapkan nantinya adalah rekomendasi pengelolaan yang berbasis pada pola
adaptasi masyarakat sehingga mampu meminimalisir dampak banjir pasang yang
[image:48.595.67.512.35.827.2]sering terjadi. Secara umum kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada
Gambar 1.
Pasang Surut
Kawasan Pesisir Semarang
Landai
Rob
Sosial
Historikal Rob
Ekonomi
Adaptasi Analisis
Histori
Skenario Adaptasi
Coastal Livelihood System Analysis
(CLSA)
Trade Off Analysis (TOA)
Umpan balik Sistem Sosial Ekologis
7
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Banjir Pasang (Rob)
Banjir pasang atau dalam bahasa jawa yang lebih dikenal dengan istilah rob
merupakan banjir yang diakibatkan proses pasang surut air laut sehingga
menggenangi lahan ataupun kawasan pesisir yang lebih rendah dari permukaan laut
rata-rata dan pantai yang memiliki morfologi landai (Suryanti 2008). Rob akan semakin parah apabila pada lahan ataupun kawasan telah ada genangan air yang diakubatkan
banjir lokal maupun luapan air dari drainase yang tidak berfungsi dengan baik. Pada
daerah pesisir Semarang kejadian rob ini hampir tiap tahun terjadi, umumnya di wilayah Semarang Utara dan Semarang Tengah kejadian rob akan nampak sekali, mengingat di kawasan ini merupakan kawasan industri, padat pemukiman dan aktivitas
pelabuhan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suryanti (2008) bahwa kejadian
banjir pasang ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : pertama, terjadinya perubahan pada penggunaan lahan pada wilayah pantai. Contohnya, lahan tambak,
rawa dan sawah yang dulu secara alami fungsinya mampu menahan dan menampung
laju masuknya air pada saat pasang kini telah berubah peruntukaannya sebagai lahan
permukiman, kawasan industri dan pemanfaatan lainnya. Perubahan ini dilakukan
dengan cara menimbun atau meninggikan daerah-daerah tersebut sehingga apabila
terjadi pasang air laut maka akan menggenangi daerah yang lebih rendah. Kedua, Terjadinya penurunan tanah pada kawasan pantai. Menurut Marfai dan King (2008),
bahwa terjadinya penurunan tanah ini diakibatkan penggunaan air tanah yang
berlebihan dan keberadaan recharge air tanah pada kawasan konservasi yang buruk.
Ketiga, adanya kenaikan muka air laut sebagai akibat pemanasan global.
Ditinjau dari keadaan topografinya, wilayah Semarang pada bagian utara hingga
pantai merupakan dataran rendah, sedangkan di bagian selatan merupakan
perbukitan. Secara umum, topografi wilayah Semarang memiliki kemiringan antara 0
sampai 2% dan ketinggian ruang antara 0-3,5 mdpl. Wilayah Semarang bagian atas
memiliki ketingggian antara 90-200 meter dari permukaan laut.
Penelitian yang dilakukan oleh Wirasatriya (2005) memperlihatkan hasil bahwa
elevasi BM 1 SPP II-1 pada bulan November 2004 menunjukkan nilai MSL + 3,165 m.
Setelah dilakukan pengukuran beda tinggi antara BM 1 SPP II-1 dengan BM stasiun
pasut pada bulan Mei 2005 didapatkan hasil elevasi BM stasiun pasut sebesar MSL
8
+ 2,199 m. Pengamatan tersebut menyimpulkan bahwa sejak tahun 1985-2005 BM
stasiun pasut telah mengalami penurunan sebesar 1,033 m. Pelindo III cabang
Tanjung Emas (2000) menyebutkan bahwa peristiwa penurunan tanah umumnya
mengikuti fungsi hiperbola, akan tetapi berdasarkan laporan dari Sriboga Ratu Raya
(2004) yang telah melakukan pengukuran secara berkala (tiap bulan) sejak tahun 1998
terhadap penurunan di beberapa titik di area pabrik, didapatkan hasil bahwa
penurunan tanah yang terjadi mengikuti pola yang linier, meskipun terdapat variasi
mengenai besarnya penurunan di tiap titik, hal ini tergantung dari berat beban yang
berada di atasnya dan kedalaman pondasi bangunan. Namun hal ini hanya berlaku
pada lokasi Stasiun Pasut saja, sedangkan untuk lokasi-lokasi lain sangat tergantung
pada penurunan tanah yang terjadi di lokasi tersebut. Penelitian yang dilakukan
Wirasatriya menunjukkan hasil bahwa laju penurunan tanah yang terjadi di Stasiun
Pasut Semarang sebesar 5,165 cm/tahun.
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Haryono dan Sri Narni (2004) dengan
mengambil daerah contoh di sepanjang kawasan pesisir Jakarta. Sama halnya dengan
wilayah pesisir di Semarang, kawasan pesisir di sepanjang Jakarta juga sering terjadi
banjir. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa keadaan permukaan air laut di
sepanjang pesisir Jakarta mengalami peningkatan yang diduga akibat pemanasan
global. Selain itu diketahui pula bahwa telah terjadi penurunan tanah di wilayah
Jakarta. Hal inilah yang menjadi sebab terjadinya banjir di wilayah pesisir Jakarta,
disamping adanya alih fungsi daerah yang menjadi resapan air untuk daerah industri
ataupun pemukiman, buruknya sistem drainase, sampah dan banjir kiriman.
2.1.1. Dampak banjir pasang (rob)
Banjir pasang (rob) yang setiap tahun terjadi baik di wilayah pesisir Semarang ataupun Jakarta, menimbulkan permasalahan dan pengaruh yang besar terhadap
kondisi sosial ekonomi masyarakat terutama mereka yang bertempat tinggal di wilayah
kawasan pesisir. Berdasarkan penelitian Suryanti dan Marfai (2008) bahwa terjadinya
rob pada batasan tertentu talah mengubah kondisi fisik lingkungan, sehingga berdampak negatif terhadap masyarakat, bangunan dan infrastruktur pemukiman di
kawasan tersebut. Kegiatan harian masyarakat nyaris tidak dapat berjalan dengan
normal. Masyarakat tidak memiliki aksesibilitas untuk pergi ketempat kerja akibat
tergenangnya fasilitas jalan akibat air laut. Selain itu, ketersediaan air bersih dan listrik
tidak dapat berfungsi secara normal untuk menunjang kegiatan rumah tangga.
9
untuk menghidupi keluarga. Terjadinya rob juga berdampak pada pekerja domestic wanita atau penjaga rumah yang mengalami kesulitan dalam mengamankan peralatan
rumah tangga selama banjir rob, membersihkan rumah dan lingkungan setelah banjir surut (Kobayashi 2003 diacu dalam Suryanti 2008).
Lebih lanjut penelitian Soedarsono (1996) yang diacu dalam Suryanti (2008)
menyebutkan bahwa dampak rob juga dirasakan oleh anak-anak, yaitu mudahnya terkena penyakit diare, demam dan malaria serta infeksi akibat sanitasi yang buruk
selama terjadi kenaikan air laut. Disamping itu kenaikan air laut juga memberikan
pengaruh terhadap kondisi bangunan. Akibat genangan yang kontinyu dengan
frekuensi yang tinggi, banyak bangunan tempat tinggal yang mengalami kerusakan.
Umumnya bagian bangunan yang mengalami kerusakan adalah pintu, jendela, lantai
dan tembok. Meskipun telah dilakukan perbaikan pada bangunan tersebut namun tidak
ada dampak kemajuan yang berarti. Sehingga setiap tahun bangunan rumah tersebut
akan selalu diganti (Kobayashi 2003 diacu dalam Suryanti 2008).
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Kusumawati (2004) akibat terjadinya rob
adalah gangguan aktivitas kerja yang berupa perubahan kebiasaan pelaksanaan
aktivitas interaksi dan adat istiadat. Dimana masyarakat masih dapat mentoleransi
genangan rob yang terjadi sebagai akibat dari tingkat kebutuhan, kekerabatan, dan tradisi yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.
2.1.2. Mitigasi terhadap banjir pasang (rob)
Banjir pasang (rob) yang terjadi hampir disetiap tahun memaksa masyarakat untuk melakukan adaptasi terus menerus. Adapatasi ini dilakukan sebagai bentuk
penyesuaian diri terhadap lingkungan yang baru. Proses adaptasi sangat dinamis
karena lingkungan dan manusia berkembang dan berubah secara terus menerus.
Umumnya masyarakat yang telah terbiasa daerahnya terkena dampak rob enggan untuk berpindah. Mereka tetap memilih tinggal di daerah asal meskipun tiap tahun
harus mengalami langganan rob. Faktor yang menyebabkan masyarakat enggan untuk berpindah adalah pertama, sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan
ataupun buruh industri sekitar daerah pelabuhan. Dengan bertempat tinggal di daerah
dekat dengan tempat mereka bekerja maka mereka mendapatkan kemudahan akses
untuk menjangkaunya. Kedua, Sebagian masyarakat berasal dari golongan ekonomi
menengah kebawah yang tidak memiliki modal untuk pindah ke tempat lain.
Berbagai adaptasi telah dilakukan oleh masyarakat. Menurut Kobayashi (2001)
10
membangun polder dan pompa, menambah tanah di tempat yang rendah, merubah
jenis bangunan (rumah panggung atau rumah susun). Sedangkan menurut Suryanti
dan Marfai (2008) adaptasi yang telah dilakukan masyarakat antara lain: pertama,
membuat tanggul kecil/urug di dalam rumah atau meninggikan pondasi rumah. Ini dilakukan untuk mencegah supaya air tidak menggenang di dalam rumah. Kedua,
membuat talud dan tanggul permanen dan non permanen di pantai. Ketiga,
meninggikan jalan sekitar 1 – 1,5 m untuk menghindari supaya jalan tidak tergenang
saat rob terjadi sehingga akses untuk transportasi tetap lancar. Keempat, sebagian warga telah membangun rumah panggung. Adaptasi lain yang dilakukan oleh
masyarakat yaitu dengan mengubah waktu aktivitas keseharian, aktifitas interaksi
maupun aktifitas adat (Kusumawati, 2004).
2.1.3. Dinamika sosial kawasan pesisir
Perubahan pembangunan yang disebabkan pertumbuhan populasi manusia,
meningkatnya kualitas hidup, dan restrukturisasi ekonomi nasional mendorong
Indonesia untuk mengintensifkan dan meragamkan pemanfaatan sumberdaya pesisir
dan perairan laut. Hal ini didasarkan pada peningkatan pemenuhan kebutuhan hidup
dan sumberdaya pesisir dan perairan laut akan menjadi tumpuan utama untuk
menopang pembanguna ekonomi negara dimasa depan. Dua puluh lima tahun ke
depan diharapkan pentingnya sumber daya pesisir laut bagi ekonomi Indonesia
meningkat, namun pola pemanfaatan tidak akan berubah secara dramatis. Kawasan
pesisir dan laut akan terus mengalami tekanan dari kegiatan pembangunan yang
membutuhkan sumber daya alam dan jasa lingkungan dari kawasan pesisir dan laut
(Hutabarat, 2009).
Dilihat dari aspek biofisik, wilayah pesisir dan laut serta sumber daya yang
terkandung di dalamnya bersifat khas. Adanya sifat yang khas ini mengakibatkan
perubahan yang signifikan apabila terdapat intervensi manusia di dalamnya, seperti
bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan laut yang
menghasilkan beberapa ekosistem khas dan lainnya. Aspek kepemilikan menunjukkan
bahwa wilayah pesisir dan laut serta sumber daya yang ada di dalamnya bersifat open
access, artinya tidak memliki status kepemilikan yang jelas. Namun di beberapa
11
wilayah yang khas dan open access itulah, maka menimbulkan konflik kepentingan pemanfaatan ruang daan sumber daya serta sangat mudah terjadi degradasi
lingkungan dan problem eksternalitas dengan adanya pembangunan di wilayah pesisir dan laut serta pemanfaatan sumber daya di dalamnya (Hutabarat, 2009).
Usman (2003) mengemukakan bahwa lingkungan alam sekitar akan membentuk
sifat dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi
sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi
yang melembaga dalam masyarakat. Dikatakan pula bahwa perubahan lingkungan
dapat merubah konsep keluarga. Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil
penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu perubahan sosial.
Menurut Suharti yang diacu dalam Manuwono (2008), masyarakat kawasan pesisir
cenderung agresif, hal ini dikarenakan kondisi lingkungan pesisir yang panas dan
terbuka, selain itu keluarga nelayan mudah diprovokasi, dan salah satu kebiasaan
yang jamak di kalangan nelayan (masyarakat pesisir) adalah karena kemudahan
mendapatkan uang menjadikan hidup mereka lebih konsumtif.
Zamroni (1992) menyatakan bahwa perilaku sosial merupakan hubungan antara
tingkah laku masyarakat dengan tingkah laku lingkungan. Indikator-indikator
perubahan perilaku sosial berbeda-beda menurut pandangan setiap ahli. Jayasuriya
dan Wodon (2003) melakukan riset di sejumlah negara menggunakan 2 kategori utama
yaitu pendidikan dan kesehatan. Sedangkan Africa (2003) menggunakan indikator
kebutuhan dasar minimum - sistim informasi data masyarakat (MBN-CBIS) dengan 3
indikator utama yaitu survival, security dan enabling. Usman (2003) memberikan 3 komponen utama dalam mengupas permasalahan di masyarakat yang terkait dengan
kondisi lingkungan yaitu: demografi, ekonomi dan budaya.
Purba (2002) menyatakan berbagai persoalan sosial dalam pengelolaan
lingkungan sosial antara lain: berkembangnya konflik atau friksi sosial,
ketidakmerataan akses sosial ekonomi, meningkatnya jumlah pengangguran,
meningkatnya angka kemiskinan, meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi,
kesenjangan akses pengelolaan sumberdaya, meningkatnya gaya hidup (konsumtif),
kurangnya perlindungan pada hak masyarakat lokal/tradisional dan modal sosial,
perubahan nilai, memudarnya masyarakat adat, lemahnya kontrol sosial, perubahan
dinamika penduduk, masalah kesehatan dan kerusakan lingkungan. Melihat berbagai
pendapat dapat dilihat pula bahwa sebagian besar penduduk di wilayah pesisir
bermata pencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan, seperti nelayan ,
12
terjadi di masyarakat pesisir merupakan problem struktural yang hingga saat ini masih tetap ada. Penerimaan yang rendah setiap bulan dan atau kebutuhan yang meningkat,
bagi penduduk asli mendorong menjual tanah yang dimiliki atau lahan (tambak, rawa)
kepada pihak lain. Pengalihan hak kepemilikan mendorong munculnya kawasan baru
seperti industri atau real estate dan kawasan perdagangan.
Perubahan lahan di wilayah pesisir yang tidak sesuai dengan peruntukannya
telah berakibat terjadinya banjir pasang. Perunukan lahan yang telah mengubah
kondisi ekologis secara simultan akan berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi
secara menyeluruh. Perubahan ini akan memacu perubahan perilaku masyarakat. Hal
ini dikarenakan adanya perubahan dalam lingkungan masyarakatnya sebagai akibat
adanya peningkatan status maupun penurunan keadaan. Perubahan perilaku dapat
bersifat intern maupun ekstern dan dapat bersifat positif maupun negatif. Perubahan
intern ini dalam arti perilaku keseharian yang menyangkut diri sendiri seperti rasa
apatis, apriori, traumatik dan lain-lain, sedang ekstern adalah perilaku keseharian yang
menyangkut terhadap orang lain baik di dalam keluarga maupun luar keluarga seperti
kerjasama, paternalistis dan lain-lain (Manuwono, 2008).
Peruntukan wilayah pesisir sangat komplek dalam berbagai aktifitas kegiatan
manusia. Suprijanto (2003) menunjukkan contoh kawasan tepi air pada umumnya
digunakan untuk kawasan industri dan pemukiman. Kawasan ini cenderung memiliki
aktivitas yang tinggi. Haryono dan Narni (2004) memberi contoh kawasan pesisir
Jakarta bahwa penduduknya terlalu padat dan jaringan air minum dari Perusahaan Air
Minum Jaya masih dirasakan kurang. Oleh karena itu, banyak penduduk yang
menggali sumur sendiri untuk berbagai keperluan. Kalangan industri juga menggali
sumur dalam untuk memenuhi keperluannya. Sumaryo (1997) menambahkan
terjadinya proses akresi dapat menyebabkan terjadinya penurunan tanah. Kenaikan
permukaan air laut dan penurunan permukaan tanah dapat berpengaruh terhadap
terjadinya banjir di sepanjang pesisir Jakarta.
Suryanti dan Marfai (2008) menunjukkan tipologi penghuni kawasan pesisir
Semarang bahwa 66% penduduk berkelamin laki-laki dan sisanya perempuan dengan
usia produktif. Tingkat pendidikan 20% SD, 50% SMP, 30% SMA dan
PerguruanTinggi. Berdasarkan aktivitas/mata pencaharian 47,5% responden adalah
buruh industri, 25% responden petani dan nelayan, 20% responden PNS, dan 7,5%
bekerja di sektor lain. Fenomena tersebut mengindikasikan status sosial dari
menengah ke bawah. Tempat tinggi permanen sebanyak 84%,tetapi kondisi rumahnya
13
Kasus yang menunjukkan adanya perubahan perilaku masyarakat akibat adanya
perubahan di wilayah pesisir ditunjukkan Manuwono (2008) yang melakukan
pengamatan di wilayah pesisir Demak. Terjadinya banjir pasang sebagai akibat
perubahan lahan mangrove yang berubah fungsinya sebagai lahan tambak. Seiring
dengan kondisi pasar udang yang semakin menurun dan kebijakan pasar dunia yang
tidak menerima produk udang dari hasil pembukaan lahan dalam artian ‘merusak’
menyebabkan masyarakat merugi dan lahan yang ada terbengkelai. Lahan yang ada
tidak lagi terpakai dan kelamaan terkikis air laut dan berubah menjadi wilayah laut dan
mengakibatkan masuknya air laut saat pasang semakin jauh ke daratan. Kondisi ini
telah mengubah perilaku masyarakat akibat berkurangnya pendapatan. Masyarakat
yang dulunya menjadi ‘juragan’ berubah menjadi ‘bukan juragan’. Secara umum para
petani tambak dan nelayan yang mengalami penurunan pendapatan akibat abrasi
tambak dan rob, mengalami perubahan perilaku yang bersifat negatif yaitu apriori, apatis dan mengalami gangguan jiwa.
2.2. Sistem Pesisir
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas
ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih
mendapat pengaruh sifat-sifat laut, sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut
mencakup bagian atau batas terluar dari pada daerah paparan benua (continental shelf) (Bengen, 2002).
Konsep tentang pesisir, yaitu sebidang lahan yang membentang di pedalaman
dari garis pesisir (coastline) sejauh pengaruh laut dan dibuktikan pada bentuk lahannya. Garis pesisir (coastline) adalah garis yang membentuk batas antara pesisir dan pantai. Garis pesisir (coastline) berbeda dengan garis pantai (shoreline). Jika garis pesisir membatasi pesisir dan pantai yang kedudukannya relatif tetap, maka garis pantai
membatasi darat dan permukaan laut yang kedudukannya selalu berubah dan sangat
fluktuatif bergantung pada pasang surut dan besamya gelombang. Pada suatu saat,
garis pesisir dapat berimpit dengan garis pantai. Berimpitnya kedua garis tersebut
terjadi ketika laut mengalami pasang dengan gelombang yang relatif besar.
Ciri pokok sistem pesisir, yaitu: (1) daerah kepesisiran yang mencakup
komponen-komponen darat dan laut, (2) mempunyai batas darat dan laut yang ditentukan oleh
tingkat pengaruh darat pada laut dan pengaruh laut pada darat, serta (3) tidak memiliki
14
daya alam baik sumber daya alam dapat pulih (renewable resources) seperti ikan, terumbu karang, hutan mangrove, dan sumber daya tak dapat pulih (non-renewable
resources) seperti minyak dan gas bumi, bahan tambang dan mineral lainnya. Selain
itu, wilayah pesisir juga memiliki potensi energi kelautan yang cukup potensial seperti
gelombang, pasang surut, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion),
serta memiliki potensi jasa-jasa lingkungan (environmental services) seperti media transportasi, keindahan alam untuk kegiatan pariwisata, dan Iain-lain.
Sel sedimen adalah satuan panjang pantai yang mempunyai keseragaman
kondisi fisik dengan karakteristik dinamika sedimen dalam wilayah pergerakannya
yang tidak mengganggu keseimbangan kondisi pantai yang berdekatan
(http://www.iczmsabah. gov.sediment.html
a. Batas tetap yang dididentifikasikan berdasar pada stabilitas, seperti head land, inlet dan struktur bangunan sipil besar (jety) yang menjorok dari pantai;
). Menurut Bray et al. (1995), sel sedimen adalah suatu sistem transport sedimen yang secara relative self contained dimana sumber sedimen, deposit sedimen sementara, hilangnya sedimen, batas pergerakan
sedimen dan pola pergerakan sedimen teridentifikasi. Batas sedimen sendiri menurut
Bray et al. (1995) adalah sebagai berikut :
b. Batas dinamis yang sulit dikenali karena stabilitasnya terbatas, seperti pertemuan
littoral drift.
Sedangkan definisi lain menurut Carter (1988), bahwa sel sedimen adalah satu
panjang pantai dimana sirkulasi sedimen pada pantai tersebut dikontrol secara ruang
oleh distribusi energy gelombang sebagai penggerak sedimen. Carter menbedakakan
dua tipe batas pergerakan sedimen, antara lain :
a. Batas tetap yang dapat dikenali sebagai kenampakan morfologi, seperti: tanjung
(head land) dan mulut sungai (inlet);
b. Batas dinamis, sulit dikenali karena dikontrol oleh energi gelombang.
Dalam rencana pengelolaan garis pantai menurut MAFF (1995), sel sedimen ini
didefinisikan sebagai pantai yang berasosiasi dengan wilayah nearshore dimana pergerakan sedimen non suspended (kerakal dan pasir) relatif self contained; interupsi pergerakan dari sedimen dalam satu sel sedimen tidak mempengaruhi sel-sel lain di
sebelahnya. Pengelolaan kawasan pesisir dapat mengambil contoh Negara Inggris
dalam coastal defense sejak abad ke-19 (era Victorian) yaitu bahwa penanganan masalah erosi/abrasi menjadi keharusan. Pemahaman pergerakan sedimen dalam
15
wisely) dijadikan dasar kebijakan Pemerintah Australia dalam mengelola sumber daya laut dan pesisir tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan aspirasinya.
Pendekatan sel sedimen untuk model perencanaan tata ruang dapat dikaji melalui
citra satelit dan foto udara. Proses yang terjadi di wilayah pesisir sangat dinamis di mana
gelombang, arus, dan pasang surut merupakan tenaga yang selalu 'mencari' dan
mengangkut serta menempatkan sedimen dalam suatu wilayah. Dahuri (2003)
mengemukakan bahwa pengelolaan lingkungan dalam wilayah pesisir sesuai dengan
konsep yang ada harus dilaksanakan secara terencana, rasional, bertanggung jawab
sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan
keseimbangan lingkungan kawasan pesisir bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Konsep perencanaan tata ruang pesisir tidak dapat mengikuti sepenuhnya konsep
daratan, karena karakteristik eko-biologis dan prinsip dasar yang berbeda. Pada
kawasan pesisir, pola perencanaan sangat dipengaruhi oleh pembagian zona-zona
perlindungan yang sangat ketat. Hal ini disebabkan karakter pesisir yang sangat
dinamis tetapi rentan terhadap perubahan yang terjadi.
Perencanaan tata ruang kawasan pesisir mencakup penetapan peruntukan lahan
yang terbagi menjadi empat zone yaitu : (1) zona preservasi, (2) zona konservasi, (3)
zona penyangga, dan (4) zona budidaya (zona pemanfaatan) (Dahuri, dkk, 2004).
Dalam Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang tata ruang, zona (1) dan (2)
dinamakan kawasan lindung, sedangkan zona (4) dinamakan kawasan budidaya. Zona
preservasi adalah suatu daerah dengan ekosistem yang unik, biota endemik atau
langka, atau proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan (spawning ground),
daerah pembesaran (nursery ground) dan alur ruaya (migration rates) dari biota perairan. Dalam zona ini tidak diperbolehkan adanya kegiatan manusia, kecuali
kegiatan pendidikan dan penelitian. Sementara itu, beberapa kegiatan pembangunan
(pemanfaatan) dilakukan secara terbatas dan terkendali, misalnya kawasan hutan
mangrove atau terumbu karang untuk kegiatan wisata alam bahari (ecotourism) dapat berlangsung dalam zona konservasi. Keberadaan zona preservasi dan konservasi
dalam suatu wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses
penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah
secara alamiah, dan sumber keanekaragaman (biodiversity) bergantung pada kondisi alam. Luas zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu kawasan
16
Khakhim et al. (2005) menyimpulkan pendekatan pengelolaan wilayah pantai antara lain sebagai berikut : (1) Berdasarkan atas keseragaman fisik maka setiap
pantai mempunyai kondisi dan karakteristik sel sedimen yang berbeda, (2)
Pemanfaatan lahan untuk suatu penggunaan tertentu ditentukan oleh kondisi dan
keseragaman fisik lahan. Peruntukan dan penggunaan lahan suatu wilayah merupakan
dasar untuk penyusunan rencana tata ruang, dan (3) Kondisi dan karakteristik sel
sedimen dapat dimanfaatkan sebagai acuan di dalam penyusunan rencana tata ruang.
2.3. Sistem Sosial Ekologi dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut
Sistem sosial ekologis menurut Berkes dan Folke (1998) dalam Suryawati (2012)
diartikan sebagai suatu sistem yang terpadu antara alam dan manusia dengan segala
hubungan timbal baliknya. Pengertian lain mengenai sistem sosial ekologis yang
dikemukakan oleh Anderies in Suryawati (2012) adalah sebagai sistem dari unit biologi/ekosistem yang dihubungkan dengan dan dipengaruhi satu atau lebih sistem
sosial.. Pemahaman SES (Social Ecological System) yang dikemukakan oleh Gunderson and Hollini (2002), Berkes dan Folke (1998) dan ditegaskan kembali
dengan Berkes dan Folke (2002) in Suryawati (2012) menerangkan bahwa dinamika manusia, masyarakat dan alam sebagai bagian dari sistem terintegrasi dimana
interkoneksi sosial ekologis adalah terkemuka dan penggambaran antara sistem alam
dan sosial adalah sewenang-wenang dan tiruan. Dimensi sosial merupakan sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial ekologis. Sehingga dalam pengelolaan
wilayah pesisir, konsep tersebut sangat penting mengingat adanya keterkaitan antara
ekosistem perairan, sumberdaya dan pelaku perikanan yang memiliki karakteristik dan
dinamika. Menurut Adrianto and Aziz (2006) in Suryawati (2012) terdapat paradigma
Social-Ecological System dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang
merupakan intergrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan wilayah pesisir.
Indonesia memiliki dan garis pantai sepanjang 81.000 Km. Dengan kondisi ini
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang besar
(mega-biodiversity) dan kawasan pesisir yang potensial dalam pengembangannya.
Namun seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya
pembangunan di wilayah ini untuk berbagai peruntukan menyebabkan tekanan secara
ekologis yang diterima sangat besar. Besarnya tekanan yang dialami dapat
mengancam kelangsungan ekosistem beserta sumberdaya pesisir, laut maupun pulau
kecil yang ada disekitarnya. Besarnya kerusakan yang dialami kawasan pesisir
17
pembangunan yang berkelanjutan. Aktifitas yang terjadi hanya satu pihak, yaitu lebih
besar dalam mengembangkan ekonomi pusat daripada pertumbuhan ekonomi
masyarakat, tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, dan ada kalanya tidak
sesuai dengan hukum yang mengatur. Sehingga perlu adanya sistem pengelolaan.
Pemerintah memegang peran yang sangat penting dalam perencanaan dan
pengelolaan wilayah pesisir. Menurut Kay dan Alder (1999) bahwa bahwa suatu sistem
pengelolaan tidak mungkin dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama apabila
tidak ada administrasi yang bagus di dalamnya, hal ini juga berlaku untuk wilayah
pesisir dimana lingkup dan kompleksitas issue melibatkan banyak pelaku. Kepentingan
semua pihak yang terlibat dengan wilayah pesisir (stakeholder) perlu diatur melalui peraturan yang bertanggung jawab sehingga keberlanjutan wilayah pesisir untuk masa
mendatang dapat dijaga. Sorensen et al. (1990) menyebutkan faktor-faktor yang harus diperhatikan berkenaan dengan program-program pengelolaan dan administrasi untuk
wilayah pesisir yaitu :
a. Pemerintah harus memiliki insiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan
degradasi sumberdaya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak
kepentingan.
b. Penanganan wilayah pesisir berbeda dengan penanganan proyek (harus dilakukan
terus menerus dan biasanya bertanggung jawab kepada pihak legislatif)
c. Batas wilayah hukum secara geografis harus ditetapkan (meliputi wilayah perairan
dan wilayah daratan)
d. Menetapkan tujuan khusus atau issue permasalahan yang harus dipecahkan melaui
program-program.
e. Memiliki identitas institusional (dapat diidentifikasi apakah sebagai organisasi
independen atau jaringan koordinasi dari organisasi-organisasi yang memiliki kaitan
dalam fungsi dan strategi pengelolaan)
f. Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan pada pengakuan alam
dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir
dan lingkungan.
Untuk mendukung pernyataan mengenai faktor-faktor yang harus diperhatikan
dalam pengelolaan dan administrasi wilayah pesisir yang komplek, berikut disajikan
gambar pendekatan berdasarkan kompleksitas dari pengelolaan pesisir seperti
18
Interaksi dengan lingkungan sosial
ekonomi terluar
Interaksi dengan lingkungan alam
terluar Perubahan ekologis
Interaksi kebijakan
Input legal
Perubahan sosial ekonomi Organisasi pesisir
Penggunaan pesisir
Sistem pesisir Ekosistem
pesisir
Pembangunan berkelanjutan
Gambar 2. Pendekatan berdasar kompleksitas dalam pengelolaan pesisir berkaitan dengan ekosistem pesisir dan struktur penggunaan yang mengarahkan rancangan organisasi pesisir (Vallega A, 2001a)
Dari suatu kesimpulan tidak ditemukan jalan terbaik untuk mengorganisasi
pemerintah sehubungan dengan pengelolaan pesisir. Hal ini disebabkan dalam
kenyataan didunia terdapat keanekaragaman sosial, budaya, politik dan faktor
administratif yang menyebabkan tidak ada satu-satunya jalan terbaik. Dengan
demikian para perancang administrasi, untuk menata program pengelolaan pesisir
yang baru, harus menyesuaikan dengan struktur administratif untuk memperoleh
manfaat dari faktor-faktor budaya, sosial dan politik didalam kewenangan secara
hukum dimana mereka berinteraksi sesuai issue yang akan dipecahkan. Sorensen et al. (1990) menggambarkan susunan institusional untuk mengalokasi kelangkaan sumberdaya dan nilai kompetitif di wilayah pesisir adalah ; gabungan hukum/aturan,
adat/kebiasaan, organisasi dan strategi pengelolaan.
Permasalahan wilayah pesisir yang dikemukakan oleh Dahuri (2001) merupakan
permasalah umum wilayah pesisir yang banyak dijumpai di Indonesia. Dikemukakan
bahwa permasalah wilayah pesisir meliputi: pencemaran, kerusakan habitat pantai,
pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan, abrasi pantai, konversi kawasan lindung
[image:61.595.45.513.61.842.2]19
oleh aktifitas kegiatan manusia baik yang tinggal dalam kawasan maupun yang berada
di luar kawasan.
Pengelolaan kawasan pesisir dan laut beserta sumberdayanya perlu dilakukan
secara terpadu dan berkelanjutan, dengan mengintegrasikan setiap kepentingan dalam
keseimbangan antara aspek ekologis, aspek sosial, antar disiplin ilmu dan semua
stakeholder yang terlibat dan mengambil manfaat dari sumberdaya yang ada.
Rusaknya habitat ekosistem pesisir seperti deforestasi hutan mangrove telah
mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity).
Erosi ini juga diperburuk oleh perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah
yang kurang tepat. Beberapa kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya erosi
pantai, antara lain pengambilan pasir laut untuk reklamasi pantai, pembangunan hotel,
dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk memanfaatkan pantai dan
perairannya. Sementara itu, laju sedimentasi yang merusak perairan pesisir juga terus
meningkat. Beberapa muara sungai mengalami pendangkalan yang cepat, akibat
tingginya laju sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan di lahan atas yang tidak
dilakukan dengan benar, bahkan mengabaikan asas konservasi tanah. Di samping itu,
tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada kondisi
yang sangat memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir dan laut terutama
berasal dari darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian. Sumber
pencemaran juga berasal dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari kegiatan
perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak serta kegiatan pertambangan.
Sementara praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak dan ilegal (illegal fishing) serta penambangan terumbu karang masih terjadi dimana-mana yang memperparah
kondisi habitat ekosistem pesisir dan laut.
Menurut Kay dan Alder (1999), konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda
dengan konsep pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir yang mengelola semua
orang dan segala sesuatu yang ada di wilayah pesisir. Contoh dari pengelolaan yang
berbeda dengan pengelolaan wilayah pesisir adalah; pengelolaan perikanan,
pengelolaan hutan pantai, pendidikan dan kesehatan dimana contoh-contoh tersebut
tidak melihat wilayah pesisir sebagai target. Hal paling utama dari konsep pengelolaan
wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana
inti dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan
adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial. Konsep pengelolaan
20
Skala Keseimbangan
Kekuatan Pembangunan Kekuatan Konservasi
Gambar 3. Konsep sederhana keseimbangan di dalam pengelolaan wilayah pesisir (Kay dan Alder, 1999)
Gambar 3 tersebut menerangkan bahwa konsep pengelolaan wilayah pesisir
didalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan antara pembangunan dan
konservasi. Pembangunan berkelanjutan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
lingkungan juga memasukkan konsep keseimbangan ketergantungan waktu dan
keadilan sosial.
2.4. Dinamika Pasang Surut
Saidja (1988) menjelaskan bahwa air laut akan terjadi pasang naik dan pasang
surut secara harian dan bulanan. Pasang harian terjadi siang dan malam,
masing-masing dua kali pasang naik dan surut. Pasang bulanan akan terjadi dua kali pasang
naik yaitu: (i) pada bulan purnama (tanggal 14 atau 15 Komariah), dan (ii) pada bulan
baru dan bulan mati (tanggal 1 dan 30 Komariah), serta dua kali pasang surut yaitu: (i)
pada minggu pertama/kwarter pertama (tanggal 7 atau 8), dan (ii) pada pekan
terakhir/kwarter terakhir (tanggal 21 atau 22). Pada pasang harian akan terjadi dua kali
pasang naik dan dua kali pasang surut.
Kapan pasang naik dan pasang surut harian terjadi? Pengamatan Saidja (1988)
selama 24 jam sejak tanggal 1 sampai 30 Komariah di pantai Parangtritis, Samas,
Baron, dan Krakal mendapatkan rumus sebagai berikut :
(1)
Keterangan :
S : saat air laut pasang T : tanggal Komariah
[image:63.595.61.514.15.819.2]21
Simamora dalam Saidja (1988) menyatakan bahwa pasang naik dan pasang
surut harian akan terlambat kira-kira 50 menit untuk hari berikutnya. Pasang surut laut
terbentuk karena adanya gaya tarik dari semua planet terutama bulan dan matahari
terhadap bumi. Tarikan itu akan menyebabkan permukaan air laut bergerak vertikal
dan horisontal. Oleh karena itu, permukaan air laut tidaklah statis melainkan dinamis.
Untuk mengetahui keadaan permukaan air laut perlu dilakukan pengamatan di
lapangan. Disini perlu dilakukan pengamatan dengan menggunakan alat perekam
permukaan air otomatis ataupun rambu visual. Data ini kemudian dianalisis agar
permukaan air laut rerata dapat diketahui. Untuk melakukan analisis ini, dapat dipakai
rumus :
(2)
Keterangan :
MSL : permukaan air laut rerata A : amplitudo
N : banyaknya pengamatan
∑ : tanda jumlah
Jika ketinggian permukaan air laut tersebut diplotkan melawan perioda waktu,
maka akan diperoleh grafik. Sesudah itu, jika grafik ini diolah lebih lanjut, maka dapat
diperoleh garis kecenderungan. Berdasarkan garis kecenderungan ini, akan dapat
dilihat apakah permukaan air laut tersebut naik, tetap ataupun turun.