• Tidak ada hasil yang ditemukan

untuk menentukan skenario pengelolaan

2.3. Sistem Sosial Ekologi dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut

Sistem sosial ekologis menurut Berkes dan Folke (1998) dalam Suryawati (2012) diartikan sebagai suatu sistem yang terpadu antara alam dan manusia dengan segala hubungan timbal baliknya. Pengertian lain mengenai sistem sosial ekologis yang dikemukakan oleh Anderies in Suryawati (2012) adalah sebagai sistem dari unit biologi/ekosistem yang dihubungkan dengan dan dipengaruhi satu atau lebih sistem sosial.. Pemahaman SES (Social Ecological System) yang dikemukakan oleh Gunderson and Hollini (2002), Berkes dan Folke (1998) dan ditegaskan kembali dengan Berkes dan Folke (2002) in Suryawati (2012) menerangkan bahwa dinamika manusia, masyarakat dan alam sebagai bagian dari sistem terintegrasi dimana interkoneksi sosial ekologis adalah terkemuka dan penggambaran antara sistem alam dan sosial adalah sewenang-wenang dan tiruan. Dimensi sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial ekologis. Sehingga dalam pengelolaan wilayah pesisir, konsep tersebut sangat penting mengingat adanya keterkaitan antara ekosistem perairan, sumberdaya dan pelaku perikanan yang memiliki karakteristik dan dinamika. Menurut Adrianto and Aziz (2006) in Suryawati (2012) terdapat paradigma

Social-Ecological System dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang

merupakan intergrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan wilayah pesisir. Indonesia memiliki dan garis pantai sepanjang 81.000 Km. Dengan kondisi ini Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang besar

(mega-biodiversity) dan kawasan pesisir yang potensial dalam pengembangannya.

Namun seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya pembangunan di wilayah ini untuk berbagai peruntukan menyebabkan tekanan secara ekologis yang diterima sangat besar. Besarnya tekanan yang dialami dapat mengancam kelangsungan ekosistem beserta sumberdaya pesisir, laut maupun pulau kecil yang ada disekitarnya. Besarnya kerusakan yang dialami kawasan pesisir umumnya disebabkan karena pembangunan yang dilakukan tidak berprinsip pada

17

pembangunan yang berkelanjutan. Aktifitas yang terjadi hanya satu pihak, yaitu lebih besar dalam mengembangkan ekonomi pusat daripada pertumbuhan ekonomi masyarakat, tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, dan ada kalanya tidak sesuai dengan hukum yang mengatur. Sehingga perlu adanya sistem pengelolaan.

Pemerintah memegang peran yang sangat penting dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Menurut Kay dan Alder (1999) bahwa bahwa suatu sistem pengelolaan tidak mungkin dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama apabila tidak ada administrasi yang bagus di dalamnya, hal ini juga berlaku untuk wilayah pesisir dimana lingkup dan kompleksitas issue melibatkan banyak pelaku. Kepentingan semua pihak yang terlibat dengan wilayah pesisir (stakeholder) perlu diatur melalui peraturan yang bertanggung jawab sehingga keberlanjutan wilayah pesisir untuk masa mendatang dapat dijaga. Sorensen et al. (1990) menyebutkan faktor-faktor yang harus diperhatikan berkenaan dengan program-program pengelolaan dan administrasi untuk wilayah pesisir yaitu :

a. Pemerintah harus memiliki insiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan degradasi sumberdaya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan.

b. Penanganan wilayah pesisir berbeda dengan penanganan proyek (harus dilakukan terus menerus dan biasanya bertanggung jawab kepada pihak legislatif)

c. Batas wilayah hukum secara geografis harus ditetapkan (meliputi wilayah perairan dan wilayah daratan)

d. Menetapkan tujuan khusus atau issue permasalahan yang harus dipecahkan melaui program-program.

e. Memiliki identitas institusional (dapat diidentifikasi apakah sebagai organisasi independen atau jaringan koordinasi dari organisasi-organisasi yang memiliki kaitan dalam fungsi dan strategi pengelolaan)

f. Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan pada pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan.

Untuk mendukung pernyataan mengenai faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan dan administrasi wilayah pesisir yang komplek, berikut disajikan gambar pendekatan berdasarkan kompleksitas dari pengelolaan pesisir seperti Gambar 2.

18 Interaksi dengan lingkungan sosial ekonomi terluar Interaksi dengan lingkungan alam terluar Perubahan ekologis Interaksi kebijakan Input legal Perubahan sosial ekonomi Organisasi pesisir Penggunaan pesisir Sistem pesisir Ekosistem pesisir Pembangunan berkelanjutan

Gambar 2. Pendekatan berdasar kompleksitas dalam pengelolaan pesisir berkaitan dengan ekosistem pesisir dan struktur penggunaan yang mengarahkan rancangan organisasi pesisir (Vallega A, 2001a)

Dari suatu kesimpulan tidak ditemukan jalan terbaik untuk mengorganisasi pemerintah sehubungan dengan pengelolaan pesisir. Hal ini disebabkan dalam kenyataan didunia terdapat keanekaragaman sosial, budaya, politik dan faktor administratif yang menyebabkan tidak ada satu-satunya jalan terbaik. Dengan demikian para perancang administrasi, untuk menata program pengelolaan pesisir yang baru, harus menyesuaikan dengan struktur administratif untuk memperoleh manfaat dari faktor-faktor budaya, sosial dan politik didalam kewenangan secara hukum dimana mereka berinteraksi sesuai issue yang akan dipecahkan. Sorensen et al. (1990) menggambarkan susunan institusional untuk mengalokasi kelangkaan sumberdaya dan nilai kompetitif di wilayah pesisir adalah ; gabungan hukum/aturan, adat/kebiasaan, organisasi dan strategi pengelolaan.

Permasalahan wilayah pesisir yang dikemukakan oleh Dahuri (2001) merupakan permasalah umum wilayah pesisir yang banyak dijumpai di Indonesia. Dikemukakan bahwa permasalah wilayah pesisir meliputi: pencemaran, kerusakan habitat pantai, pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan, abrasi pantai, konversi kawasan lindung dan bencana alam. Permasalah-permasalahan tersebut sebagian besar diakibatkan

19

oleh aktifitas kegiatan manusia baik yang tinggal dalam kawasan maupun yang berada di luar kawasan.

Pengelolaan kawasan pesisir dan laut beserta sumberdayanya perlu dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan, dengan mengintegrasikan setiap kepentingan dalam keseimbangan antara aspek ekologis, aspek sosial, antar disiplin ilmu dan semua

stakeholder yang terlibat dan mengambil manfaat dari sumberdaya yang ada.

Rusaknya habitat ekosistem pesisir seperti deforestasi hutan mangrove telah mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Erosi ini juga diperburuk oleh perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah yang kurang tepat. Beberapa kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya erosi pantai, antara lain pengambilan pasir laut untuk reklamasi pantai, pembangunan hotel, dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk memanfaatkan pantai dan perairannya. Sementara itu, laju sedimentasi yang merusak perairan pesisir juga terus meningkat. Beberapa muara sungai mengalami pendangkalan yang cepat, akibat tingginya laju sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan di lahan atas yang tidak dilakukan dengan benar, bahkan mengabaikan asas konservasi tanah. Di samping itu, tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir dan laut terutama berasal dari darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian. Sumber pencemaran juga berasal dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari kegiatan perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak serta kegiatan pertambangan. Sementara praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak dan ilegal (illegal fishing) serta penambangan terumbu karang masih terjadi dimana-mana yang memperparah kondisi habitat ekosistem pesisir dan laut.

Menurut Kay dan Alder (1999), konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir yang mengelola semua orang dan segala sesuatu yang ada di wilayah pesisir. Contoh dari pengelolaan yang berbeda dengan pengelolaan wilayah pesisir adalah; pengelolaan perikanan, pengelolaan hutan pantai, pendidikan dan kesehatan dimana contoh-contoh tersebut tidak melihat wilayah pesisir sebagai target. Hal paling utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial. Konsep pengelolaan wilayah pesisir seperti terlihat pada Gambar 3.

20

Skala Keseimbangan

Kekuatan Pembangunan Kekuatan Konservasi

Gambar 3. Konsep sederhana keseimbangan di dalam pengelolaan wilayah pesisir (Kay dan Alder, 1999)

Gambar 3 tersebut menerangkan bahwa konsep pengelolaan wilayah pesisir didalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Pembangunan berkelanjutan yang didasarkan pada prinsip-prinsip lingkungan juga memasukkan konsep keseimbangan ketergantungan waktu dan keadilan sosial.