GENALOGI FIQH PROGRESIF DI LINGKUNGAN PESANTREN SALAF
C. Diskursus tentang Fiqh Progresif
Istilah progresif dalam hukum sebenarnya adalah istilah hukum nasional yang dipopulerkan seorang ahli hukum pidana di Universitas Undip Semarang, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo. Konsep hukum progresif yang diperkenalkan oleh Satjipto menjadi tren. Latar belakang lahirnya hukum progresif ini adalah semakin mengguritanya tradisi dan kecenderungan global kebanyakan pelaku
hukum yang ―memberhalakan‖ pemikiran legal-positivism, elitis, yang pada gilirannya menyebabkan kesenjangan serta ketidakadilan sosial dan ekonomi yang diakibatkan kemacetan demokrasi yang terjadi di bawah tekanan neoliberalisme. Kondisi ini menyebabkan hukum yang dihasilkan dari proses legislasi cenderung berpihak pada kepentingan elit, dan tidak jarang abai terhadap suatu keadilan material hakiki serta kesejahteraan rakyat banyak. Karena itulah hukum progresif oleh beberapa tokoh hukum nasional diangkat ke permukaan sebagai daya pendobrak atas kecenderungan elitisme dan
formalisme hukum yang timpang itu.45
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Inilah hukum progresif, yang menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum, perlu memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagian), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum. Proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum dalam mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Peraturan yang buruk, tidak boleh menjadi penghalang bagi para pelaku hukum untuk menghadirkan keadilan bagi rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru terhadap suatu peraturan.46
Dalam konsep hukum yang progresif, hukum diabdikan pada nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat, dan kesejahteraannya. Hukum tidak dipersembahkan pada dirinya sendiri. Dengan demikian, hukum harus bersifat responsif. Regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan. Hukum progresif, memiliki logika yang mirip
44 Ibid., 7. Penjelasan ini Yudi Latif nukil dari Foucault, Genealogy and Social Criticism in The
Postmodern Turn: New Perspectives on Social Theory, ed S. Seidman (Cambridge: Cambridge University
Press, 1994), 39-45.
45 Yanto Sufriadi, ―Penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum di Tengah Krisis
Demokrasi‖, dalam Jurnal Hukum No. 2 Vol. 17 April 2010: 233-248.
46 Ibid. Lihat juga A. Sukris Sarmadi, ―Membebaskan Positivisme Hukum ke Ranah Hukum Progresif (Studi Pembacaan Teks Hukum Bagi Penegak Hukum)‖, dalam Jurnal DinamikaHukum,
101
dengan legal reason (illat hukum), melihat dan menilai hukum dari tujuan-tujuan sosial yang ingin dicapainya (dalam hukum Islam disebut maqâshid al-syariah), serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum tersebut.47
D.Ma’had Aly Sukorejo
Ma‘had Aly Sukorejo merupakan salah satu lembaga yang ada di lingkungan Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi‘iyyah Sukorejo Situbondo yang
didirikan dalam kerangka untuk menghasilkan para fuqaha bagi zamannya.
Yakni, fuqaha yang mampu mendialogkan antara teks-teks keagamaan dengan
konteks di mana dan kapan dia hidup sehingga menghasilkan fiqh atau hukum
Islam yang berbasiskan mashlahah bagi umat Islam kontemporer. Ma‘had Aly
merupakan lembaga pendidikan pesantren tinggi. Lembaga ini mulai marak dibicarakan seiring dengan keprihatinan dan kesadaran mengenai urgensi pendirian lembaga pendidikan tinggi pesantren yang bisa menjawab
permasalahan umat Islam kontemporer.48
Ma‘had Aly Sukorejo berdasarkan Islam dan Pancasila. Dengan dasar
Islam dimaksudkan bahwa Ma‘had Aly didirikan, diselenggrakan dan
dikembangkan berangkat dari ajaran Islam, proses pengelolaannya secara islami dan menuju apa yang diidealkan oleh pendidikan yang islami. Dengan dasar
Pancasila dimaksudkan bahwa Ma‘had Aly diselenggarakan, dikembangkan dan diamalkan dalam wacana Pancasila sebagai landasan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara bagi seluruh warga Indonesia.49
E. Konstruksi Epistemologi Pemikiran Fiqh Progresif Santri Ma’had Aly
Sukorejo
Aktualisasi fiqh progresif yang dilakukan oleh komunitas santri Ma‘had
Aly dapat dilihat dari produk-produk pemikirannya dan respons-responsnya terhadap pelbagai macam persoalan yang membutuhkan jawaban yang
47 Satjipto Rahardjo, ―Konsep dan Karakter Hukum Progresif ‖, Makalah Seminar Nasional
Hukum Progresif, Kerjasama Fakultas Hukum Undip, Program Doktor Ilmu Hukum Undip dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Semarang, Desember, 2007.
48 Tholhah Hasan mencatat beberapa latar belakang mulai munculnya Ma‘had Aly, yaitu
berkurangnya jumlah ulama yang mumpuni dalam masalah keilmuan-keilmuan agama Islam, seperti tafsir, hadits, fiqh, dan tasawuf; maraknya aktivitas dakwah yang dilakukan oleh sementara kelompok yang menamakan diri mereka sebagai kelompok pembaharu Islam yang hanya menyebabkan keresahan-keresahan dan keributan di tengah-tengah masyarakat; banyaknya sarjana-sarjana lulusan IAIN yang meskipun mereka kebanyakan mumpuni dalam ilmu keislaman, namun kebanyakan mereka lebih memilih bekerja sebagai pegawai di lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta yang formal, sehingga mereka lebih bersifat elitis dan tidak ada waktu melayanai masyarakat untuk membantu masyarakat menjawab persoalan-persoalan agama yang dihadapi oleh masyarakat; semakin banyaknya kiai muda yang lebih tertarik pada kegiatan politik praktis; dan proses globalisasi yang ditandai semakin tingginya intensitas penetrasi informasi dan paradigma dari pelbagai ideologi dunia memiliki pengaruh negative. Lihat Tholhah Hasan,
―Ma‘had Aly Situbondo: Berangkat dari Kesadaran dan Kebutuhan‖, dalam Kata Pengantar Buku
Abu Yazid, Membangun Islam Tengah; Refleksi Dua Dekade Ma‘had Aly Situbondo (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren LkiS, 2010), xix-xxxii.
49 Lihat dalam Tim Akademik, Statuta Ma‘had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi‘iyah, Sukorejo
102
berkembang di tengah-tengah masyarakat. Pemikiran-pemikiran itu dapat dengan mudah ditemukan dalam bentuk tulisan-tulisan pada buletin mingguan
yang diberi nama Tanwirul Afkar, di hasil-hasil keputusan bahtsul masa‘il, dan
juga di kolom-kolom media massa seperti di Jawa Pos, Kompas, Surya, Duta Masyarakat,50 serta makalah-makalah yang disampaikan dalam orasi ilmiah.51
Hasil dari upaya instinbath hukum itu beberapa kemudian dikompilasi menjadi beberapa buku, seperti buku Fiqh Rakyat (Pertautan Fiqh dengan kekuasaan);52 Fiqh
Realitas (Respons Ma‘had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer);53 dan
Fiqh Today(Respons Fiqh Tradisional Terhadap Persoalan Modern).54
Paradigma pemikiran hukum Islam komunitas santri Ma‘had Aly
Sukorejo tidak terpaku dan terbelenggu dalam kungkungan teks. Dalam
bermazhab, mereka menggunakan mazhab qauliy sekaligus manhajiy. Santri
Ma‘had Aly selalu optimis dengan perkembangan zaman serta selalu bijak dalam
menghadapi segala persoalan. Mereka sering terlihat sengaja memberikan
pemikiran yang berbeda bahwa di samping yang mainstream itu masih ada
alternatif, sehingga wacana fiqh tidak memandang apatis terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat, dan sebaliknya masyarakat tidak merasa masa bodoh
dengan fiqh.55Selain itu, santri Ma‘had Aly juga memiliki karakter yang lentur
dan fleksibel dalam menentukan status-status hukum suatu kasus hukum, sehingga tidak sinis dalam memandang setiap persoalan yang terjadi dalam
masyarakat Islam yang seakan-akan menyimpang dari ketentuan nash.56
50Wawancara dengan Imam Nakha‘I, santri Ma‘had Aly angkatan pertama, saat ini menjadi salah satu pengajar di Ma‘had Aly. Wawancara dilakukan di kediamannya di lingkungan Pesantren Salafiyah Syafi‘iyyah, Sukorejo, pada 28 Agustus 2015.
51Wawancara dengan Abd. Aziz, pengurus Litbang dan Penerbitan Ma‘had Aly, pada 28 Agustus
2013.
52 Tim Penulis, Fiqh Rakyat; Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan (Yogyakarta: LkiS, 2000), xxvii.
53 Abu Yasid, LL.M (editor), Fiqh Realitas: Respons Ma‘had Aly terhadap Wacana Hukum Islam
Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
54 Abu Yazid (editor), Fiqh Today; Respons Fiqh Tradisional Terhadap Persoalan Modern (Jakarta:
Erlangga, 2007).
55Dalam menghadapi persoalan yang demikian, santri Ma‘had Aly memikirkan, apakah memang
haram hukumnya banci melihat atau menyentuh rambut perempuan. Untuk menetapkan haram-
tidaknya, santri Ma‘had Aly kemudian mencari definisi banci dalam terminologi fiqh pendapat-
pendapat ulama, dalam hadits-hadits Nabi, dan dalam al-Qur‘an. Kemudian ditemukanlah suatu
riwayat bahwa Rasulullah membiarkan orang yang tidak punya hasrat kepada perempuan untuk berkumpul bersama perempuan. Ini kemudian dijadikan celah. Kalau sudah ada celah seperti itu, maka itu harus dirunut ke akar-akarnya dan ditambah lagi dengan konsep-konsep yang lain. Misalnya, dalam konteks hubungan antara laki-laki dan perempuan, aturan yang sesungguhnya
membuat tidak boleh itu adalah khauf al-fitnah (khawatir ada hasrat). Ketika banci tidak berhasrat
lagi pada perempuan, maka gugurlah hukum atau peraturan yang berlaku itu, karena illat-nya
adalah adanya hasrat itu. Ketika illat-nya hilang, maka hilanglah pula ketentuan itu. Wawancara
dengan Abd. Aziz, Situbondo, 25 Agustus 2015.
56 Hal ini misalnya terjadi dalam tradisi akad mura‘at, di mana seseorang menyerahkan sapi atau
kambing untuk dibesarkan atau digemukkan itu kemudian akhirnya dibagi dengan kespekatan.
Yang demikian menurut kitab yang dianggap mu‘tabarah di kalangan orang pesantren tidak ada
yang mengesahkan. Tapi Ma‘had Aly memilih pandangan yang membolehkan, misalnya di kitab
I‘lam al-Muwaqi‘in-nya Ibn Qoyim al-Jauzi yang sering digunakan oleh kelompok-kelompok yang
103
Pendapat dan metodologi yang diambil pun tidak hanya terbatas pada
pendapat Imam yang empat. Jadi, kitab referensi (maraji‘) yang mereka gunakan
pun lebih variatif dari pelbagai mazhab. Mereka tidak mengklasifikasikan
mu‘tabarah berdasarkan kitab. Yang mereka klasifikasikan adalah pendapat atau
qaul mu‘tabarah dan qaul qhairu mu‘tabarah.57 Ushul fiqh yang digunakan santri
Ma‘had Aly pun adalah perpaduan antara hanafiyah dan mutakallimîn.58 Dalam
menggunakan ushul fiqh, santri Ma‘had Aly kemudian melihat illat dan asbabun nuzul suatu teks keagamaan. Dalam hal ini ada asbabun nuzul khas dan asbabun
nuzul ‗aam.59 Orientasi utamanya adalah mencapai kemasalahatan.60
‗Alâ kulli hal, metode dan upaya memproduksi fiqh yang bisa
mengantarkan pada kemaslahatan umat yang dijalankan santri Ma‘had Aly
sebagaimana yang dinyatakan dalam pengantar buku Fiqh Rakyat, dirumuskan
dengan tiga kata kunci, yaitu revitalisasi ushul fiqh, diversifikasi teks, dan
ekstensifikasi wilayah ta‘wil. Revitalisasi ushul fiqh yang dimaksudkan adalah
optimalisasi penggunaan kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh dalam merumuskan hukum-hukum fiqh yang sedang dihadapi. Lebih dari itu, revitalisasi ushul fiqh yang mereka maksud bukan hanya menggunakan bangunan ushul fiqh yang telah ada, melainkan juga menggunakan ushul fiqh yang telah diperbaharui. Maka, dapat diterka, selain mengoptimalkan penggunaan ushul fiqh, mereka juga berupaya melakukan pembaharuan-pembaharuan terhadap ushul fiqh yang ada.
Dengan upaya ini, diharapkan dapat menyeimbangkan dan
mempertemukan antara kehendak Tuhan yang bersifat samawi atau ilahiyun dan
kehendak manusia yang bersifat ardhiy dan wadh‘i. Sebab itu, dalam kajian ushul
atau tenaga, sedangkan pemilik sapi itu dianggap sebaga pemodal harta. Dua macam modal ini
dijadikan satu sehingga kemudian disebut dengan musyarakah. Kalau menurut Mazhab Syafi‘i yang
sah hanya syirkah ‗inan. Tidak boleh ada syirkah yang lain-lain. Wawancara dengan Abd. Aziz, Ibid.
57Landasan sikap yang dipilih oleh santri Ma‘had Aly ini merupakan sebentuk kesadaran penuh
tentang kenyataan yang sulit dibantah bahwa tidak semua pendapat seorang ulama dalam satu
kitabnya bisa dianggap shalih li kulli zaman atau sebaliknya salah semuanya. Jadi, dalam satu kitab
perlu ada pengklasifikasian, mana pendapat yang bisa menjawab persoalan yang sedang dihadapi sekarang, dan mana pendapat yang tidak bisa dipaksakan pada saat ini. Misalnya, Ibnu Taimiyah dalam satu pendapat dia tidak bisa diikuti, tapi dalam pendapatnya yang lain bukan tidak mungkin dia bisa dirujuk karena pendapatnya dapat menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat
sekarang dan di sini. Jadi, santri Ma‘had Aly lebih terbuka, inklusif, dan eklektif. Wawancara
dengan Abd. Aziz, Ibid.
58 Corak pemikiran hukum hanafiyyah lebih menggunakan metode istiqra‘iy atau cara berpikir
induktif dalam menetapkan hukum. Sedangkan kelompok mutakallimin lebih menggunakan
metode deduktif atau istidlaliy.
59 Asbabun nuzul khas adalah sebab-sebab spesifik yang secara langsung menjadi penyebab
turunnya atau munculnya suatu sabda atau ayat. Sedangkan asbabun nuzul aam adalah konteks
setting sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya, yang turut menjadi semangat
dilahirkannya sebuah teks.
60 Metode dan konsep yang digunakan ialah metode paling tepat sebagai alat analisa dan
mendatangkan maslahah. Tentu saja, sebagaimana yang diakui oleh Imam Nakha‘i, subyektifitas
sulit sekali dihilangkan ketika menggunakan metodologi-metodologi itu. Namun demikian,
menurutnya, penggunaan ushul fiqh dirasa cukup mampu untuk menjawab segala persoalan yang
104
fiqh, santri Ma‘had Aly selalu memberikan perhatian yang besar terhadap kajian
teks dan maqashid al-syari‘ah. Analisis teks diarahkan untuk memahami Al- Qur`an dan juga al-Hadîts secara benar. Sedangkan analisis maqâshid al-syarî‘ah
diproyeksikan untuk mempersambungkan makna teks terhadap realitas empiris dan kebutuhan masyarakat. Kedua analisis ini harus dijalankan secara padu ketika seseorang hendak melakukan ijtihad mengenai problem kemanusiaan. Ijtihad yang hanya bertumpu pada teks akan melahirkan corak fiqh yang kering dari nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, ijtihad yang semata-mata bertumpu
pada maqâshid al-syarî‘ah akan mengakibatkan tampilan wajah fiqh yang liar dan
sulit diterima nalar logika masyarakat, khususnya masyarakat yang masih memercayai teks. Untuk memenuhi kebutuhan analisis teks, ushul fiqh menghadirkan kaidah-kaidah kebahasaan yang luar biasa detil sekaligus menarik.61
Teori-teori kebahasaan dapat digunakan untuk menelusuri sekian banyak
makna teks yang masih tersembunyi. Terkait dengan keyakinan makna nash itu
cukup banyak, Imam Nakha‘i mengutip Ali RA yang menyatakan bahwa Al-
Qur‘an mengandung makna yang sangat banyak. Makna-makna yang masih belum diketahui itu masih sangat dimungkinkan untuk diungkap lagi dengan
menggunakan teori-teori yang disediakan oleh ushul fiqh.62 Analisis teks
kemudian dilanjutkan dengan analisis maqâshid al-syarî‘ah sebagai sebuah cara
untuk bisa menggapai tujuan substantif kehadiran aturan hukum.63
Kendatipun santri Ma‘had Aly Sukorejo sangat menganjurkan
penggunaan metodologi ushul fiqh, namun mereka memberikan warning kepada
diri mereka sendiri agar tidak terperangkap dalam jebakan metodologis. Menurut mereka, eksklusifitas fiqh juga disebabkan oleh ketidakberanian para
juris hukum fiqh untuk keluar dan jebakan metodologis ushûliyah yang ada. Para
praktisi hukum fiqh banyak terjebak dengan konsep qath‘îy-zhannîy, muhkam- mutasyâbih, dan sebagainya, yang dirumuskan para pakar hukum fiqh terdahulu.64
61 Misalnya dimulai dari kategori lafazh (kata) al-‘amm, al-khash, al-muthlaq, al-muqayyad, al-amr, al-
nahy, al-musytarak, al-muawwal, al-h qîqah, al-majâz, al-kinâyah, al-zhâhir, al-nash, al-mufassar, al-muhkam, al-khafiy, al-musykil, al-mujmal, dan al-mutasyâbih, sampai pada teori kalimat yang terdiri dari al- manthûq, al-mafhûm, ibârah al-nash, isyârah al-nash, dalâlah al-nash daníqtudlâ‘ al-nash. LihatAsmuki,
Sistem Bermazhab Fiqh Perspektif Santri Ma‘had Aly, 143.
62Wawancara dengan Imam Nakha‘i, Situbondo, 6 Juni 2016.
63 Ulama terkemuka seperti al-Ghazâlî (w. 504 H), al-Thûfîy (w. 716 H), dan juga al-Syâthibîy (w.
780 H) telah memulai untuk membangun landasan hukum yang bersinggungan dengan maqâshid
al-syarî‘ah. Meski konsep mashlahah mereka masih terkesan teosentris, namun hal itu merupakan
awal yang baik untuk dapat digunakan sebagai lentera dalam membangun mashlahah yang lebih manusiawi dan memberikan jaminan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
64 Konsep-konsep itu tidak jarang menjadi ―pagar‖ yang membatasi kemampuan akal budi
seorang juris untuk dapat menghasilkan hukum yang betul-betul mendatangkan kemaslahatan
bagi manusia. Konsep qath‘i-dhanniy misalnya, menurut mereka, telah banyak menjebak para juris
sehingga fiqh yang dihasilkannya menjadi kering dan eksklusif. Contohnya adalah sifat satu yang
dimiliki Allah dalam surat Al-Ikhlash. Ayat ini biasanya dinyatakan qath‘i, namun perselisihan
tetap saja terjadi, karena masih ada pertanyaan, apanya yang satu? Dan seterusnya. Lihat Tim
105
Mereka berprinsip bahwa jika memang suatu teks secara makna hakiki
(makna yang spontan terpahami) tidak berpihak pada mashlahah, maka teks
tersebut dapat dimaknai lain dengan menempuh jalan ta‘wîl, karena—pada
prinsipnya— ta‘wîl adalah mengambil makna yang lebih jauh, tetapi masih
dalam koridor kata itu, dengan menyisihkan makna yang dekat karena ada alasan yang mendukung. Menurut Asmuki, cara kerja ta‘wîl ini, hampir sama dengan yang dilakukan Imam Hanafi dengan teori istihsân-nya, sebab istihsân
adalah meninggalkan qiyâs jalîy (makna yang lebih dekat) dengan mengambil
qiyâs khafîy (makna yang lebih jauh) karena pertimbangan maslahat.65
Mengenai cara kerja nâsikh-mansûkh, pemaham santri Ma‘had Aly tidaklah
sama dengan pemahaman pada umumnya. Bagi mereka, manakala dua teks yang
paradoks tidak mungkin dikompromikan (al-jam‘u wa al-taufîq), maka kedua teks
tersebut harus dicarikan makna lain (di-ta‘wîl), sehingga makna kedua teks tersebut tidak lagi bertentangan. Kaitannya dengan hal ini, mereka mendasarkan pendapatnya pada kaidah: menggunakan dua dalil sekaligus lebih baik daripada
membuang salah satunya.66 Inilah kemudian yang disebut dengan metode
perluasan (ekstensifikasi) wilayah ta‘wil. Produk-produk wacana fiqh Ma‘had Aly
secara umum, baik di Buletin Tanwirul Afkar maupun hasil bahtsul masa‘il-nya, dapat ditemukan landasan metodologinya dalam salah satu, salah dua, atau keseluruhan dari tiga hal di atas: revitalisasi ushul fiqh, diversifikasi teks, dan
ekstensifikasi wilayah ta‘wil.
F. Genealogi Fiqh Progresif Di Ma’had Aly Sukorejo Dari Imam
Mazhab Fiqh ke Kiai As’ad
Kelenturan tradisi fiqh Sunni yang diwarisi dari para Imam Mazhab atau ulama Sunni awal67 serta pengaruh pemikiran pembaharuan yang rasional,68
65Ibid. Dalam hal ini Asmuki mengambil pendapat AI-Qâdî Abd aI-Jabbâr, Syarh Ushûl al-Khamsah
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1965), 600.
66 Lihat dalam Tim Redaksi TA, Fiqh Rakyat, xx. Bandingkan dengan Asmuki, Sistem Bermazhab,
158.
67 Imam mujtahid sangat menjunjung tinggi prinsip bahwa perbedaan adalah rahmat, sesuai
dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi ―Ikhtilâfi ummatiy rahmatun‖. Perbedaan pendapat menjadi stimulan keluarnya gagasan-gagasan brilian yang terpendam. Akibat dari perbedaan itu umat Islam saat ini mewarisi berbagai macam khazanah tradisi banyak disiplin ilmu, terutama fiqh yang sedemikian kaya dan lengkap berisi berbagai macam petunjuk sebagai jejak
perjalanan intelektual, moral, sekaligus spritual yang sangat berharga.67 Perbedaan pendapat
bukan menjadi alasan untuk pecah, melainkan menjadi ―api pijar‖ yang membakar semangat yang
mendorong kreatifitas. Dalam posisi yang berbeda pendapat, para intelektual Islam tetap menjunjung tinggi sikap saling menghormati. Ini dibuktikan dengan saling mengunjungi dan
menghadiri majelis ta‘lîm mereka satu sama lain. Mereka mungkin berbeda dalam suatu hal,
namun mereka tetap bersahabat dan saling hormat. Imam Abu Hanifah, misalnya, yang lebih tua 13 tahun dari Imam Malik, duduk dalam suatu forum intelektual yang pembicaranya adalah Imam Malik. Abu Hanifah mendengarkan dan menerima pernyataan-pernyataan Imam Malik dengan penuh hormat dan hidmat. Demikian juga sebaliknya. Muhammad bin al-Hasan, Murid Imam
Abu Hanifah yang terkenal itu, pergi ke Madinah dan mempelajari Al-Muwaththa‘ langsung ke
Imam Malik selama tiga tahun setelah Abu Hanifah, gurunya, wafat. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah, bersama-sama belajar hadis dari Imam Muhammad bin Syihab Al-Zuhri, dan Zuhri
106
serta dinamika politik Nusantara pada sekitar Abad ke-19 dan 2069 telah
memberikan paradigma yang kosmopolitan terhadap tradisi fiqh pesantren pada sejak masa itu. Kepada para ulama yang sudah memiliki paradigma kosmopolit
itulah Kiai As‘ad berguru, terutama kepada Kiai Khalil Bangkalan dan Kiai Hasyim Asy‘ari.
Dua ulama yang disebut terakhir ini adalah ulama pesantren yang membidani lahirnya organisasi kemasyarakatan (ormas) Nahdlatul Ulama sebagai respons terhadap kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat Nusantara awal abad ke-20, di mana dalam keputusan dan kebijakan dalam
terkenal cerdas juga belajar hadis di bawah bimbingan Imam Malik. Komentar Imam Syafi‘i tentang Imam Malik, ―Seandainya Imam Malik dan Sufyan Uyainah tidak ada di sana, maka tentu ilmu
hadis tidak akan berkembang di Hijaz!‖. Periksa dalam Abdur Rahman I. Doi, Shari‘a The Islamic Law,
132. Penghormatan yang tercermin dalam interaksi itu didasarkan pada jiwa yang tulus, tidak memandang perbedaan pendapat, bangsa, usia, dan lain sebagainya. Jika di antara mereka tidak menemukan titik temu dalam suatu persoalan, maka mereka bersepakat untuk tidak sepakat. Mereka tidak saling menafikan satu sama lain. Mereka sama-sama memegang teguh kaidah fiqh:
―Al-ijtihâdu lâ yunqadu bi al-Ijtihâd,‖ suatu ijtihad tidak bisa menafikan hasil ijtihad yang lain. Lihat
Sayyid Abi Bakar, Al-Farâid Al-Bahiyyah; Fi Qawâ‘idu al-Fiqhiyyah (Surabaya: Al-Hidayah, tt), 81-86.