• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTRUMEN MONETER SYARI’AH DI INDONESIA

ANALISIS PENGARUH DPK SYARIAH, OPERASI MONETER DAN ZIS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOM

INSTRUMEN MONETER SYARI’AH DI INDONESIA

Fitri Kurniawati

PPs UIN Sumatera Utara Medan

pi2t_ajah22@yahoo.com

Abstrak: Sistem ekonomi yang ada saat ini dikontrol oleh kaum kapitalis dan liberal. Isu masalah ekonomi belum mampu mengatasi sampai akar. Banyak masalah ekonomi yang tampaknya 'klasik' tapi jika dibiarkan sangat mengganggu siklus ekonomi yang akibatnya juga mempengaruhi tatanan kehidupan bernegara. Krisis keuangan negara, akan berdampak pada inflasi, yang merupakan masalah klasik yang mengontrol dapat dikatakan dibutuhkan bukan hanya solusi sudah ada. Di Indonesia, misalnya nilai tukar (kurs), pada tahun 1998 rupiah mencapai puncak kejatuhannya dengan melebihi USD. 16.800 per 1 dolar AS, dan inflasi, tingkat inflasi mencapai 77,60% dan pertumbuhan ekonomi -13,20%. Dilihat dari laporan keuangan Bank Indonesia pada tahun 2014, beban operasi moneter pada tahun 2014 terdiri dari biaya operasi moneter konvensional sebesar Rp 21.691.645 juta dan biaya operasional Islam moneter Rp 1.054.449 juta. Beban usaha adalah beban yang moneter bunga berbasis konvensional, sementara operasi beban pembayaran manfaat moneter Islam SBIS. Kedua pembayaran ini akan menyebabkan inflasi jika sumber dana untuk pembayaran tidak datang dari sektor riil.

Kata kunci: Inflasi, Moneter Islam, Ekonomi Islam, Instrumen Moneter

A. Pendahuluan

Inflasi dan kebijakan moneter merupakan kegiatan yang terkait satu sama lain. Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Bank Indonesia selaku otoritas moneter merumuskan suatu kebijakan moneter dengan maksud memengaruhi sasaran-sasaran makro ekonomi seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter tersebut dapat dikatakan efektif jika berhasil atau mencapai sasaran yang dikehendaki. Namun yang terjadi saat ini, instrumen yang ada bukannya membuat inflasi terkendali, namun menjadi semakin sulit dikendalikan karena sumber dana yang digunakan bukan dari dan untuk sektor riil.

B. Latar Belakang

Inflasi yang dikendalikan dengan menggunakan instrumen konvensional dirasa belum berhasil. Hal ini bisa dilihat dari data inflasi di Indonesia dari

187

tahun 2008-2015 di mana inflation targeting framework (ITF) selalu tidak sesuai dengan yang terjadi.

Tabel 1. Data Inflasi dan ITF BI

Dapat dilihat bahwa dari tahun 2008 hingga 2015, inflasi yang terjadi terkadang jauh dari target bank Indonesia (ITF). Tentu saja hal ini terjadi karena sebab yang bisa dan tidak diprediksikan oleh otoritas moneter. Hampir semua instrumen moneter pelaksanaan kebijakan moneter konvensional maupun surat

berharga yang menjadi underlying-nya mengandung unsur bunga. Oleh karena itu

instrumen-instrumen konvensional yang mengandung unsur bunga (bank rates,

discount rate, open market operation dengan sekuritas bunga yang ditetapkan di depan) dirasakan tidak maksimal dalam mengendalikan inflasi.

Dalam sistem perekonomian modern peranan suatu lembaga pemegang otoritas meneter sangat vital karena memiliki nilai penting dalam mengendalikan nilai tukar uang, mengendalikan arah trend/tingkat harga dan jumlah output dalam perekonomian bangsa. Al-Ghazali memandang perlu adanya instrument lembaga tersebut hal ini disebabkan untuk memaksimalkan sumber daya yang ada agar dapat dialokasikan pada kegiatan ekonomi produktif. Karena itu instrumen kebijakan moneter dalam Islam ditujukan terutama untuk mempengaruhi besar kecilnya permintaan uang agar dapat dialokasikan pada peningkatan produktifitas perekonomian secara keseluruhan. Untuk itu pemerintah perlu menerapkan strategi dues idle fund (pajak terhadap dana menganggur).(Dimyati, 2008)

Dalam pemerintahan Islam, kebijakan mengatur keuangan telah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW hingga zaman pertengahan yaitu berdirinya Baitul Maal sebagai lembaga pengelolaan negara. Kebijakan memberikan dampak positif pada investasi, penawaran agregat, dan secara tidak langsung memberikan dampak pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi.(Karim, 2007) Jika tujuan normatif telah ditentukan, tidak bisa ada kebebasan tak terbatas untuk mendefinisikan rasionalitas sebagaimana dalam ekonomi konvensional. Dengan demikian, perilaku rasional secara otomatik akan teridentifikasi dengan perilaku yang kondusif bagi realiasasi tujuan normatif tersebut.(Chapra, 2000)

Menurut al-Maqrizi inflasi terjadi ketika harga-harga secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung terus-menerus.(Maqrizi, 1986) Dalam hal ini inflasi disebabkan oleh beberapa hal diantaranya natural inflation (inflasi yang diakibatkan oleh sebab-sebab alamiah, dimana orang tidak mempunyai kendali atasnya atau dalam hal mencegahnya, seperti paceklik, perang, dan bencana alam), human error inflation (inflasi yang disebabkan oleh kesalahan dari manusia itu sendiri, diantaranya korupsi dan administrasi yang buruk, pajak yang berlebihan, pencetakkan uang dengan maksud menarik keuntungan yang

188

berlebihan).(Amalia, 2005) Sehingga timbullah suatu permasalahan dimana barang dan jasa mengalami kelangkaan karena para produsen enggan untuk memproduksi barang yang disebabkan kenaikan harga-harga barang pendukung untuk menghasilkan barang dan jasa tersebut. Sementara konsumen atau masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk sejumlah barang dan jasa yang sama karena sangat membutuhkannya. Dengan kata lain uang yang beredar dimasyarakat meningkat, sedangkan kemampuan mata uang itu sendiri

untuk membeli barang-barang dan jasa-jasa mengalami penurunan atau decreasing

purchasing power of money.(Antonio, 2004) Berdasarkan problema tersebut, sistem ekonomi konvensional maupun Islam memberikan pengendalian yang berbeda.

Para ekonom Islam menyatakan adanya keterkaitan antara manusia, Allah dan tujuan utama. Jika ketiga unsur itu sudah ada maka yang akan didapatkan yaitu keberkahan. Dari situ maka kesejahteraan yang diidamkan masyarakat akan terwujud. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa inflasi merupakan kenaikan harga secara umum dari barang/ komoditas dan jasa selama periode waktu tertentu. Muncul sebagai akibat diberlakukannaya mata uang yang nilai intrinsiknya lebih rendah dari nilai nominalnya.

C. Permasalahan

Secara teori, kebijakan moneter ketat yang diambil seharusnya dapat mengurangi/menekan laju inflasi dengan cukup baik. Sebagaimana yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada tahun 2014. Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter ketat dengan mempertahankan BI Rate sebesar 7,5% sampai dengan November 2014 untuk membawa inflasi ke kisaran sasarannya dan menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Menyikapi kenaikan ekspektasi inflasi pascakebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi dan peningkatan tekanan rupiah, Bank Indonesia menaikkan BI Rate menjadi 7,75%. Bank Indonesia juga menempuh kebijakan nilai tukar yang sesuai dengan fundamentalnya, melanjutkan upaya pendalaman pasar keuangan, memperkuat operasi moneter, kebijakan lalu lintas devisa, dan jarring pengaman keuangan internasional. Namun hal ini dirasa tidak optimal karena laju inflasi dengan tingkat BI rate yang cukup tinggi tersebut belum juga bisa mengendalikan inflasi secara maksimal.

Terlihat bahwa ini sebenarnya bisa diatasi dengan instrument moneter yang ada dalam ekonomi Islam, yaitu dengan adanya zakat. ketika uang yang ada di masyarakat cukup banyak, pemerintah tinggal menghitung seberapa banyak yang dimiliki masyarakat yang tentunya akan menguranginya dengan memungut zakat. Dana zakat yang terkumpul akan mengurangi jub yang kemudian pemerintah dapat memberdayakannya menjadi sesuatu yang produktif untuk para mustahik zakat.

Sertifikat Bank Indonesia Syariah hadir sebagai instrumen kebijakan

alternatif dalam pengendalian moneter. Penggunaan akadJu‘alah dalam SBIS

telah memiliki dasar hukum yang jelas. Akan tetapi, sebetulnya bukan hanya kesesuaian akad saja yang dilihat, tetapi lebih harus diihat apakah instrumen SBIS ini telah benar-benar dapat mendatangkan manfaat atau malah berpotensi