• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Ideologi dalam Kajian Pendidikan

KONTESTASI IDEOLOGI ANTARA PENDIDIKAN NASIONAL DAN PENDIDIKAN ISLAM TRANSNASIONAL

B. Perspektif Ideologi dalam Kajian Pendidikan

Tulisan ini dengan menggunakan metode analisis isi terhadap sumber- sumber dokumen yang berbicara mengenai pendidikan Islam transnsional, bermaksud melihat ideologi pendidikan Islam transnasional ketika berkontestasi dengan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila. Ideologi secara umum dapat dikatakan sebagai seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang terorganisir menjadi suatu sistem yang teratur (M. Sastrapratedja, 1991: 142), atau Richard Pratte (1977: 26-37) menyebutnya

sebagai ―a belief system‖ yang berhubungan dengan ―action‖. Dengan

pengertian ini, ideologi menurut M. Sastrapratedja (1991: 143-144) memiliki tiga

unsur. Pertama, adanya suatu penafsiran atau pemahaman terhadap kenyataan

masa lalu yang diimajinasikan ke masa depan. Kedua, setiap ideologi memuat seperangkat nilai-nilai atau suatu preskripsi moral yang menolak sistem lainnya.

Ketiga, ideologi memuat suatu orientasi pada tindakan, yaitu sebagai suatu pedoman untuk mewujudkan nilai-nilai yang termuat di dalamnya. Melalui ketiga unsur ini ideologi berfungsi sebagai pemersatu di antara in group (kita) dan

pembeda dengan out group (mereka), karenanya ideologi dapat membentuk

25

karena memberikan gambaran masa depan yang utopis, di samping juga berfungsi sebagai orientasi pada tindakan.

Begitu pentingnya ideologi, maka perspektif ideologis dalam mengkaji pendidikan juga menjadi sesuatu yang penting dilakukan. Michael W. Apple (2004: vii-viii) pernah menegaskan bahwa studi kritis tentang pendidikan bukan hanya berkaitan dengan isu-isu teknis tentang bagaimana mengajar secara efektif dan efisien. Lebih dari itu, studi kritis tentang pendidikan harus juga menggunakan critical theoretical tools dan cultural and political analysis dalam memahami fungsi-fungsi pendidikan, yang salah satu pisau analisisnya adalah penggunaan analisis ideologi, yang untuk beberapa lama telah diabaikan dalam studi kependidikan di dunia Barat.

Senada dengan Apple yang memandang pentingnya analisis ideologi dalam pendidikan, Terence J. Lovat dan David R. Smith (2006: 34) juga berpendapat bahwa kurikulum pendidikan sejatinya dirancang oleh suatu agen yang melayani kepentingan suatu kekuasaan di dalam masyarakat atau negara tertentu. Melalui kurikulum, mereka memasukkan suatu ideologi kepada peserta didik tentang apa yang harus dimiliki, dan apa yang tidak harus dimiliki. Oleh karena itu, lembaga pendidikan semacam sekolah dan kurikulumnya merupakan agen-agen ideologi (ideological agents). Kondisi ini sama dengan media dan gereja, yang merepresentasikan struktur sosial tertentu dalam suatu masyarakat yang berkuasa. Lebih jauh, H.A.R Tilaar (2009: 175-176) menyatakan bahwa pengaruh ideologi dalam pendidikan, misalnya kurikulum, tidak dapat diremehkan begitu saja. Kurikulum bukan hanya sekadar dimaknai secara teknis, yang tidak ada hubungannya dengan masalah politik. Lebih dari itu, di dalam kurikulum pendidikan sesungguhnya tersembunyi ide serta nilai-nilai yang sebenarnya dipaksakan oleh masyarakat dalam sistem pendidikan. Artinya, di dalam sistem pendidikan sesungguhnya terdapat kepentingan penguasa, yang mana kepentingan berupa ideologi dan nilai-nilai itu diinstalkan secara samar ke dalam sistem pendidikan tersebut. Untuk itu, agar dapat melihat suatu kepentingan dalam sebuah pendidikan, ideologi dapat dijadikan sebagai pisau analisis.

Menurut Toto Suharto (2012a), setiap sistem pendidikan sesungguhnya menyembunyikan ideologi tertentu dalam rangka reproduksi budaya. Oleh karena itu, untuk mengetahui landasan ideologis sebuah kurikulum pendidikan, maka analisis ideologi pendidikan merupakan sesuatu yang penting. Di dalam bidang pendidikan, ideologi merupakan sumber kekuasaan dalam mengarahkan pendidikan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terkait dengan aktivitas pendidikan, mulai dari perencanaan hingga penilaian, pada dasarnya bersumber dari ideologi pendidikan yang dianutnya.

Dalam kaitan itu, menarik pernyataan Gerald L. Gutek dalam Philosophical

and Ideological Perspectives on Education (1988: 160-162) yang menyebutkan bahwa suatu ideologi pendidikan, apapun bentuknya, dapat diwujudkan dalam tiga hal, yaitu: (1) di dalam menentukan kebijakan dan tujuan pendidikan, (2) di dalam penyampaian nilai-nilai yang tersembunyi dalam hidden curriculum, (3) dan di dalam formulasi kurikulum itu sendiri. Ketiga aspek ini senantiasa dipengaruhi

26

dan ditentukan bentuk dan formatnya oleh ideologi pendidikan yang dianut oleh suatu lembaga pendidikan.

Dari paparan teoritis tentang analisis ideologi dalam pendidikan di atas, penulis setuju untuk melihat pendidikan dari sudut ideologi. Kerangka Gutek tentang analisis ideologi pendidikan ini oleh karenanya dapat digunakan untuk mengungkap kepentingan ideologis dari sebuah lembaga pendidikan. Sebab, ideologi pendidikan, bagaimanapun juga merupakan sistem kepercayaan, nilai, atau pandangan serta pemikiran yang menjadi landasan atau orientasi bagi sebuah lembaga pendidikan untuk menentukan langkah-langkah ke mana pendidikan itu mengarah. Ideologi pendidikan ini akan tercermin secara samar dan sembunyi dalam bentuk tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan dan kurikulum tersembunyi dari suatu lembaga pendidikan tertentu.

Ideologi dalam Tujuan Pendidikan

Salah satu kunci untuk memahami tujuan pendidikan adalah bahwa tujuan itu harus baik, yang dapat memberikan perkembangan atau kepentingan

bagi peserta didik. Menurut Noeng Muhadjir (2003: 1-2), makna ―baik‖ secara

filosofis mencakup etiket, conduct (prilaku terpuji), virtues (watak terpuji), practical values, dan living values. Agar peserta didik menjadi pandai, ahli, bertambah cerdas, berkepribadian luhur, toleran, pandai membaca dan banyak lagi, merupakan contoh tujuan baik dalam pendidikan. Sementara itu, menurut John Dewey (1964: 100-105), tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu means dan ends. Means merupakan tujuan yang berfungsi sebagai alat yang dapat mencapai ends. Means adalah tujuan ―antara‖, sedangkan ends adalah tujuan ―akhir‖. Dengan kedua kategori ini, tujuan pendidikan harus

memiliki tiga kriteria, yaitu: (1) tujuan harus dapat menciptakan perkembangan yang lebih baik daripada kondisi yang sudah ada; (2) tujuan itu harus fleksibel, yang dapat disesuaikan dengan keadaan; dan (3) tujuan itu harus mewakili kebebasan aktivitas. Bagi Dewey (1964: 107), setiap tujuan harus mengandung nilai, yang dirumuskan melalui observasi, pilihan dan perencanaan, yang dilaksanakan dari waktu ke waktu. Apabila tujuan itu tidak mengandung nilai, bahkan dapat menghambat pikiran sehat peserta didik, maka itu dilarang.

Dari pandangan Muhadjir dan Dewey di atas, dapat diketahui bahwa kata kunci yang terpenting dalam merumuskan tujuan pendidikan adalah adanya

konsep ―baik‖ dan konsep ―nilai‖ yang hendak diinstalkan kepada peserta didik.

Kedua konsep ini tentu saja sangat ideologis, tergantung filsafat dan ideologi yang dianut oleh sebuah lembaga pendidikan. Filsafat dan ideologi tentang konsep nilai dan konsep baik inilah yang untuk kemudian diterjemahkan dalam merumuskan sebuah tujuan pendidikan.

Ideologi dalam Kurikulum Pendidikan

Kemudian kurikulum pendidikan juga bersifat sangat ideologis. Dalam bidang pendidikan, kurikulum merupakan unsur penting dalam setiap bentuk dan model pendidikan manapun. Tanpa adanya kurikulum, sulit rasanya bagi para perencana pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya. Mengingat pentingnya kurikulum, maka kurikulum perlu

27

dipahami dengan baik oleh semua pelaksana pendidikan. Paradigma baru pendidikan mengartikan kurikulum secara luas, yaitu sebagai semua yang menyangkut aktivitas yang dilakukan dan dialami pendidik dan peserta didik, baik dalam bentuk formal maupun nonformal, guna mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum dalam paradigma baru bukan hanya sebagai program pendidikan, tapi juga sebagai produk pendidikan, sebagai hasil belajar yang diinginkan dan sebagai pengalaman belajar peserta didik (Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000: 59-60).

Menurut S. Nasution (1982: 21-24), di dalam menyusun atau merevisi sebuah kurikulum pendidikan, ada empat asas yang perlu diperhatikan, yaitu asas filosofis yang berkaitan dengan filsafat dan tujuan pendidikan, asas psikologis menyangkut psikologi belajar dan psikologi anak, asas sosiologi menyangkut perubahan dalam masyarakat, dan asas organisatoris berkaitan dengan bentuk dan organisasi kurikulum. Asas filosofis kurikulum inilah kiranya yang merupakan ajang penyemaian suatu ideologi pendidikan, karena asas ini menyangkut juga tujuan pendidikan yang hendak dirumuskan.

Ideologi dalam Kurikulum Tersembunyi

Hal yang sama yang sangat ideologis adalah upaya merancang kurikulum tersembunyi. Menurut Michael W. Apple (2004: 78-79), hidden curriculum dapat diartikan sebagai norma-norma dan nilai-nilai yang secara implisit, tapi efektif, diajarkan sekolah kepada siswa yang biasanya tidak dicantumkan di dalam tujuan guru mengajar secara formal. Kurikulum semacam ini justru yang sebenarnya memiliki kontribusi yang signifikan bagi upaya melestarikan ideologi secara hegemonik. Oleh karena itu, analisis ideologi dapat menelanjangi fungsi- fungsi kurikulum, di mana melalui hidden curriculum, setiap sistem pendidikan sesungguhnnya menyembunyikan ideologi tertentu dalam rangka reproduksi budaya.

Kerangka dan analisis ideologi untuk melihat pendidikan sebagaimana Gutek tawarkan, telah penulis lakukan untuk melihat nuansa-nuansa ideologis dalam sebuah lembaga pendidikan. Beberapa kajian penulis terkait dengan analisis ideologi ini tampak dalam lembaga-lembaga pendidikan yang pernah penulis teliti. Untuk kasus Pesantren Persatuan Islam, misalnya mengapa lembaga ini pada masa Orde Baru bersikukuh mempertahankan model pesantren dan membuat kurikulum tersendiri yang berbeda dengan kurikulum pemerintah saat itu (Toto Suharto, 2013a: 184-195).

Demikian juga misalnya mengapa SMA MTA Surakarta menjadi agen

penyemai ideologi bagi ideologi MTA (Majelis Tafsir Al-Qur‘an), yang tidak lain

karena sekolah ini adalah sekolah kader bagi Yayasan MTA, di mana paham- paham dan ideologi MTA disemaikan secara kuat melalui kegiatan pembelajaran, baik intrakurikuler agama Islam maupun ekstrakurikulernya. Hal ini misalnya terlihat dari adanya penggunaan terbitan-terbitan MTA yang menjadi rujukan utama bagi materi pembelajaran agama Islam di SMA MTA. Penggunaan paham dan ideologi MTA oleh SMA MTA Surakarta tidak lain

28

sebagai bentuk soliditas ideologis antara sekolah dengan yayasannya (Toto Suharto, 2013b: 241-261).

Contoh lain adalah kajian penulis tentang gagasan pendidikan Islam moderat yang diusung Muhammadiyah dan NU. Kedua ormas Islam terbesar di Indonesia ini secara ideologis memiliki kebijakan-kebijakan pendidikan terkait penguatan dan penyemaian Islam moderat bagi lembaga pendidikan keduanya. Muhammadiyah misalnya merupakan organisasi yang berwatak ideologi Islam moderat, maka semua kebijakan dan ide-ide kependidikan Muhammadiyah senantiasa diarahkan pada penguatan ideologi Islam moderat ini. Di sini, ideologi perjuangan Muhammadiyah yang moderat disemaikan melalui kebijakan-kebijakan bagi lembaga pendidikannya, dengan harapan peserta didiknya memiliki karakter Islam moderat, sebagaimana ideologi perjuangan Muhammdiyah itu sendiri. Demikian juga dengan ideologi Aswaja NU yang moderat. Ideologi ini disebarkan melalui pendidikannya, sehingga semua kebijakan kependidikan NU diarahkan untuk memperkuat ideologi NU ini (Toto Suharto, 2014: 81-109).

Pendidikan Islam Transnasional sebagai Pendidikan Berbasis Masyarakat Organik

Pada tahun 2011 penulis telah melakukan penelitian disertasi tentang pendidikan berbasis masyarakat dengan kasus Pesantren Persatuan Islam di masa Orde Baru, khususnya di masa kepemimpinan KH. A. Latief Muchtar, M.A (Toto Suharto, 2011). Kajian teoritis dan survei literatur untuk penelitian disertasi ini telah diterbitkan oleh LKiS (Toto Suharto, 2012b), sementara hasil penelitian seluruhnya telah diterbitkan dalam dua bahasa; Indonesia (Toto Suharto, 2013a) dan Inggris (Toto Suharto, 2015). Salah satu temuan penelitian ini adalah adanya kategorisasi pendidikan berbasis masyarakat dalam dua kategori, yaitu pendidikan berbasis masyarakat organik dan pendidikan berbasis masyarakat tradisional.

Pendidikan berbasis masyarakat organik adalah pendidikan yang betul- betul segala kebijakannya dibuat dari, oleh, dan bersama-sama untuk memihak

masyarakat, sebagaimana keberpihakan intelektual organik terhadap

pemberdayaan civil society. Pendidikan berbasis masyarakat organik ini menjadi berbeda dengan pendidikan berbasis masyarakat tradisional yang menjadi

―deputi‖ atau penyambung ideologi hegemoni negara. Ketika Kelompok Kerja

Pendidikan Berbasis Masyarakat yang diketuai Hafid Abbas dalam rangka reformasi pendidikan nasional mengemukakan laporannya di hadapan Bappenas pada 2 Pebruari 2000, Pokja ini di dalam laporannya menyebutkan empat bentuk lembaga pendidikan yang dapat dikategorikan sebagai pendidikan berbasis masyarakat yang menjadi garapan utamanya, yaitu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Kelompok Kerja Sekolah/Madrasah (KKS/M), pesantren untuk pendidikan dasar (Wajar Dikdas), dan sekolah-masjid, maka menurut penulis, lembaga-lembaga ini, kecuali sekolah-masjid, cenderung untuk disebut sebagai pendidikan berbasis masyarakat tradisional. Ketiga lembaga ini pada hakikatnya berdiri dan melaksanakan pendidikannya bukan atas prakarsa

29

masyarakat, tetapi sebagai sebuah bentuk intervensi pemerintah agar masyarakat melaksanakan pendidikannya. Karena bukan atas prakarsa masyarakat, maka segala biaya operasional pendidikannya tak jarang didukung dari bantuan pemerintah.

Menarik melihat ketiga lembaga itu adalah dengan mengemukakan pandangan Paulo Freire yang menyebutkan bahwa apa yang dilakukan pemerintah ini merupakan salah satu bentuk invasi kultural yang disebut dengan

assistantialism. Bagi Freire, asistensialisme merupakan kebijakan bantuan finansial atau sosial yang hanya dapat memberantas gejala, bukan sebab-musabab dari penyakit-penyakit masyarakat. Lebih jauh, kebijakan ini justru dapat mengakibatkan ketergantungan masyarakat, dan bahkan menumbuhkan sikap

―mengemis‖. Karena itu, menurut Freire, sebaiknya pemerintah melaksanakan

kebijakan promotionalism, yaitu kebijakan yang berupaya mempromosikan agar

masyarakat mencapai kemandiriannya, guna memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sendiri, bukan dengan asistensialisme. Oleh karena lembaga- lembaga itu dilaksanakan sebagai sebuah proyek asistensialisme, bukan atas inisiatif masyarakat, maka pendidikan yang dilaksanakannya disebut pendidikan berbasis masyarakat tradisional.

Kondisi di atas berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan yang memang didirikan atas dasar prakarsa masyarakat, yang tidak ada intervensi pemerintah di dalamnya, yang karenanya disebut dengan pendidikan berbasis masyarakat organik. Salah satu contoh yang dikemukakan Pokja terkait

pendidikan berbasis masyarakat adalah apa yang disebut dengan ―sekolah-

masjid‖ yang menyelenggarakan TKA/TPA. TKA/TPA merupakan fenomena

yang muncul di Indonesia semenjak 1980-an, sebagai sebuah pendidikan berbasis masyarakat yang lahir dari kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya ia tak perlu dikekang oleh aturan-aturan formal dari pemerintah. Fenomena TKA/TPA kiranya dapat dijadikan model alternasi bagi pengembangan pendidikan berbasis masyarakat organik, terutama dari segi keterlepasannya dari birokrasi pemerintah. Ia senantiasa terwujud sebagai bukti dari akomodasi kehendak masyarakat untuk membelajarkan anak-anaknya.

Contoh lain bagi pendidikan berbasis masyarakat organik adalah lembaga pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dengan kurikulum tersendiri, tidak mengikuti kurikulum pendidikan nasional. Adapun pesantren yang menyelenggarakan pendidikan, baik berupa sekolah maupun madrasah, dengan

mengikuti kurikulum nasional pemerintah, maka pesantrentipe ini masuk dalam

kategori pendidikan berbasis masyarakat tradisional, karena menjadi deputi pemerintah. Jadi, jelas tidak semua pesantren menerapkan sepenuhnya konsep

pendidikan berbasis masyarakat organik. Pesantren-pesantren yang

kurikulumnya mengukuti pola kurikulum pemerintah secara nasional, masuk dalam kategori pendidikan berbasis masyarakat tradisional.

Ketika UU Sisdiknas 2003 pasal 55 menyebutkan adanya konsep pendidikan berbasis masyarakat, maka seluruh lembaga pendidikan berbasis masyarakat yang mengikuti aturan sebagaimana dalam UU ini, secara otomatis masuk dalam kategori pendidikan berbasis masyarakat tradisional, karena ia

30

menjadi ―deputi‖ bagi kepentingan pemerintah. Sebaliknya, ketika lembaga

pendidikan berbasis masyarakat itu tidak mengikuti standar nasional pendidikan sebagaimana diamanatkan UU Sisdiknas, maka lembaga pendidikan ini, masuk dalam kategori pendidikan berbasis masyarakat organik, karena betul-betul memiliki keberpihakan terhadap masyarakat pendukungnya.

Temuan disertasi penulis tentang pendidikan berbasis masyarakat organik di atas kiranya merupakan bentuk perwujudan dari konsepsi demokratisasi pendidikan, yang meniscayakan adanya segala kebijakan pendidikan ditentukan oleh masyarakat, bukan oleh pemerintah, karena memang masyarakat adalah

―tuan‖ dan ―empunya‖ bagi pendidikan yang diselenggarakannya. Dengan demikian, urgensi pendidikan berbasis masyarakat organik ini terletak pada keberadaan masyarakat agar menjadi pemilik bagi pendidikannya secara utuh, tanpa ada intervensi dan campur tangan pemerintah di dalamnya. Pemerintah cukup menjadi fasilitator, yaitu melaksanakan promosionalisme, bukan asistensialisme. Pendidikan Islam transnasional yang kini menjamur di Indonesia kiranya dapat dikategorikan sebagai pendidikan berbasis masyarakat organik, karena pendidikan model ini dilaksanakan dari, untuk dan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat pendukungnya.

C. Sekolah Islam Terpadu dan Lembaga Ilmu Pengatahuan Islam dan