• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan Pembahasan

Best Practices Kiai dalam Mengubah Perilaku Komunitas Bekas

C. Hasil dan Pembahasan

Yang dimaksud konseling pesantren dalam tulisan ini, yaitu Konseling

At-Tawazun yang peneliti gagas. Istilah at-tawazun tersebut berasal dari

konstruk—label keilmuan yang lebih abstrak atau luas cakupannya dari konsep

atau menaungi beberapa konsep (Mappiare, 2009: 36-37)—―at-tawazun‖

(keseimbangan). Fokus konseling at-tawazun adalah pribadi dan masyarakat

bukan masalah konseli. Yang dibenahi adalah hati manusianya (pribadi dan masyarakat), bukan masalahnya sehingga hati mereka akan lapang, tenang, damai, dan tentram.

Karena konseling ini berkeyakinan, bila manusia menjadi pribadi

berkarakter ―Pelopor‖ maka masalah tersebut dengan sendirinya mampu

teratasi. Misalnya, kalau orang tersebut sudah baik, maka dia akan berhenti dengan sendirinya berjudi. Para kiai Pesantren Sukorejo, tidak pernah langsung

menyuruh para bajingan berhenti dari ―pekerjaan‖-nya, karena yang menjadi

sasaran konseling adalah karakter kepribadian bajingan, bukan ―pekerjaan‖-nya. Titik tolaknya masa sekarang untuk meraih kehidupan di masa depan yang lebih baik, bukan masa lalu konseli. Konselor tidak akan memandang dan mempermasalahkan masa lalu konseli. Masa lalu dalam konseling ini sebagai

wahana muhasabah, merenungi diri untuk melakukan pertobatan dan sebagai

pijakan bagi konseli.

Yang dipentingkan dalam konseling ini adalah niat dan prosesnya bukan sekadar hasil. Sebab konseling ini berkeyakinan tugas konselor dan konseli adalah berusaha sedang yang menentukan hasilnya adalah Tuhan. Hidup merupakan suatu proses, proses perubahan, dan selalu berproses untuk berubah menjadi lebih baik.

―Kita harus berfokus kepada mujahadah, yaitu keseriusan kita dalam berusaha

bukan kepada solusi dan hasil. Apabila kita sudah bermujahadah dengan sungguh- sungguh maka dengan sendirinya terbukalah solusi itu. Inilah yang dinamakan

fadhal Allah, karunia Tuhan. Karena itu, diakhir setiap kita mengambil keputusan kita serahkan kepada Allah, tawakkalna ‗alallaah laa hawla walaa quwwata illa billaahil ‗aliyyil adzim...‖ (Wawancara KHR. Ach. Azaim Ibrahimy, 25 Juni 2015)

Peran konseling adalah upaya memperbaiki nafsu amarah, yang selalu

mengajak kepada keburukan (dengan mujahadah, riyadhah, sikap takwa, dan

mengacu kepada kemashlahatan) menjadi pribadi berkarakter ―Pelopor‖. Jika

tasawuf lebih bersifat pembersihan jiwa, konseling lebih bersifat lahiriyah dan menggunakan pikiran sehat.

Secara khusus, Al-Ghazali mengemukakan metode perbaikan akhlak dengan mujahadah (pelatihan yang berorientasi lahiriyah) dan riyadhah (pelatihan

42

lahiriyah dan batiniyah. Akhlak adalah ungkapan jiwa yang menimbulkan perbuatan dengan mudah tanpa direncanakan dan dipaksakan.

Namun pemaksaan diri melalui pelatihan merupakan metode untuk

menghasilkan akhlak. Pada tahapan awalnya memang terasa ―pemaksaan‖ tapi

akhirnya menjadi tabiat dan kebiasaan (Al-Ghazali, 2000: 288-239). Dari uraian Al-Ghazali tersebut, penulis melihat terdapat ―celah‖ bagi konseling untuk

masuk ke dalam pintu mujahadah pada proses memperbaiki konseli sehingga

menjadi pribadi khairah ummah.

Tujuan konseling at-tawazun adalah membantu individu memperbaiki

nafsu amarah, yang selalu mengajak kepada keburukan menjadi pribadi khaira ummah yaitu pribadi yang selalu mengajak kepada kebaikan, mencegah kepada kemungkaran, dan beriman kepada Allah untuk mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.

Kiai As‘ad merumuskan pribadi khaira ummah dalam istilah ―Pelopor‖ yaitu ―fa‖ berarti pemimpin, ―lam‖ berarti lillah, ―fa‖ berarti pemimpin, ―ra‖

berarti rakyat; yaitu pribadi yang mampu menjadi pemimpin di jalan Allah (berdakwah) dan pemimpin yang berjuang demi rakyat untuk kemakmuran dan kebahagian dunia akhirat (Hasan, 2003: 84). Dengan demikian tujuan konseling

at-tawazun ini terkandung keseimbangan (at-tawazun) antara mengajak kebaikan

dan mencegah keburukan serta keseimbangan kebaikan kehidupan sekarang (ad-

dunya hasanah) dan kebaikan kehidupan kelak (al-akhirah hasanah). 1. Kualitas kepribadian konselor

Dalam pengubahan perilaku, kalangan pesantren sangat menekankan kepada kualitas dan integritas keteladanan konselor. Kalangan pesantren menekankan, sebelum mengubah orang lain, pribadi orang yang mengubah itu harus berubah dulu menjadi baik. Apalalagi tanggung jawab konselor termasuk berat tapi mulia.

Tanggung jawab konselor, yaitu: pertama, mas‘uliyatul ilmi wal ma‘rifah,

yaitu tanggung jawab keilmuan dan pengetahuan. Kedua, mas‘uliyatus suluk, yaitu

tanggung jawab mengawal tingkah laku, tingkah laku yang dhahir. Ketiga,

mas‘uliyatul khuluq, yaitu tanggung jawab mengawal budi pekerti, yang mengarah kepada tingkah laku yang bathin. (Wawancara KH. Afifuddin Muhajir, 10 Juli 2015). Adapun kualitas kepribadian konselor, antara lain:

1) Alim

―Kedudukan orang berilmu terutama ulama di tengah masyarakat, ibarat lampu yang menerangi alam sekitarnya. Atau ibarat pohon rindang yang lebat, dengan kembang dan buahnya dalam sebuah kebun. Manusia yang mendatangi pohon itu dapat berlindung di bawahnya, menikmati bunga yang semerbak baunya, dan

merasakan pula buah pohon yang telah masak lezat rasanya‖ (Ar-Rindy, 2010: 535)

Konselor harus mengusai keilmuan dan mengamalkannya serta mengharap keridhaan Tuhan. Kealiman merupakan syarat mutlak untuk melakukan suatu pekerjaan. Az-Zarnuji (tt, 5), berpendapat setiap muslim diwajibkan mempelajari ilmu sosial-kemasyarakatan (mu‘amalah) dan teori-teori

43

dalam melakukan pekerjaan. Kita juga diharuskan mengetahui beberapa kelemahan dan keburukan pekerjaan tersebut; sebab barangsiapa yang tidak mengetahui kepada kejelekan suatu pekerjaan, pada suatu saat ia akan tergelincir kepada kejelekan tersebut (Alawy, tt: 13).

Dalam kitab Risalah Tauhid (tt: 34), Kiai As‘ad menulis demikian:

Ngamallagi ilmone klaben tekkun ben istiqamah netteppe sadeje hakkah ben sedeje

larangane Allah ta‘ala ejehuwi ben ma‘ashi si raje ben si kene‘ (mengamalkan ilmu dengan tekun dan terus-menerus melaksanakan seluruh kewajiban dan menjauhi seluruh larangan Allah serta beberapa maksiat baik yang besar maupun yang

kecil)‖

Bagi kalangan pesantren, mengamalkan ilmu ini menjadi suatu keharusan agar ilmu tersebut bermanfaat sebab ilmu untuk diamalkan. Sehingga kalau hanya mencari ilmu tapi tidak dilaksanakan maka akan sia-sia. Sebaliknya, mengerjakan sesuatu tanpa ilmu maka akan sia-sia. Karena ilmu itu ibarat pohon dan amal seumpama buahnya (Al-Jawi, 2010; Al-Ghazali, 2006). Idealnya, antara ilmu dan amal harus seimbang; sebagaimana yang diisyaratkan

oleh Al-Mawardi (tt, 38): ―Ilmu lebih utama dari amal bagi orang bodoh dan

amal lebih utama daripada ilmu bagi orang yang alim‖.

Alhasil, konselor harus alim. Alim yang dimaksud di sini konselor harus mengusai keilmuan dan mengamalkannya serta mengharap keridhaan Tuhan. Kalau ilmu tersebut diamalkan maka akan selalu berkembang dan berguna bagi umat sekitarnya sehingga memperoleh kebahagian hidup di dunia dan akhirat.

2) Kasih sayang (Rahmah)

Konselor harus menunjukkan kasih sayang kepada murid dalam kehidupan sehari-hari, baik ketika para murid dalam layanannya di pondok pesantren maupun ketika mereka lulus. Kasih sayang tersebut meliputi aspek

lahiriyah dan batiniyah. Sehingga hubungan itu akan ―asambung‖, hatinya menyatu dengan murid.

Di dalam kitab-kitab akhlak yang diajarkan di pesantren selalu menekankan agar guru selalu mencintai dan menyayangi muridnya. Misalnya, di

dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta‘allim karya Kiai Hasyim Asyari dijelaskan,

salah satu tatakrama guru adalah mencintai muridnya sebagaimana ia mencintai dirinya. Menurut Kiai Hasyim, salah satu tatakrama orang alim terhadap hak- hak dirinya, di antaranya:

―Agar (orang alim) bergaul dengan manusia dengan akhlak yang mulia: wajahnya berseri-seri, memulai salam, memberi makanan, menahan marah, tidak menyakiti manusia, bertanggung jawab, menghormati dan tidak meminta penghormatan, respek dan tidak (meminta orang lain) respek kepadanya, berterima kasih kepada keutamaan, membuat senang ... menolong dan lemah lembut kepada orang yang membutuhkan, cinta kepada keluarga dan sanak famili, mencintai santri-santrinya,

membantu mereka, dan berbuat baik kepadanya‖. (Asy‘ari, tt: 33)

Sikap kasih sayang guru kepada santri ini, akan melahirkan sikap ta‘zhim

santri. Jadi, ada hubungan interpersonal antara guru-santri. Bahkan hubungan

44

batiniyah. Misalnya, setiap selesai shalat atau akan belajar santri mendoakan sang guru. Begitu pula, sang guru mendoakan sang murid, agar mendapat ilmu yang

barokah. Penulis Kharisma Kiai As‘ad menuturkan demikian:

―Menurut Kiai As‘ad; seorang Kiai harus asambung—hatinya harus menyatu— dengan para santri. Begitu pula, seorang santri harus asambung dengan kiainya. Dari sinilah nantinya, akan muncul barokah; sehingga pesan-pesan sang kiai akan

selalu diingat dan tetap melekat di hati para santri atau masyarakat‖. (Hasan, 2003: 46).

Menurut Kiai Azaim, salah satu indikasi kasih sayang adalah senyum yang tulus menawan. Kiai Azaim memaparkan tentang kekuatan senyum kasih sayang demikian:

―Senyum adalah ekspresi dari keceriaan batin seseorang. Dan batin setiap muslim

yang telah dialiri keimanan dari ladang amal kebaikannya, akan menumbuhkan kebahagiaan serta kedamaian yang hakiki, atau disebut juga hayâh thayyibah... Senyum tawa yang tampak pada permukaan wajah adalah aktivitas tubuh manusia sebagai wakil perasaan riang atau kasih sayang yang muncul dari

lapisan bawah batinnya... Karena itu senyum sebenarnya adalah ‗kekuatan terpendam‘ yang sangat hebat, dan aktivitasnya merupakan sedekah berharga yang

merawat tubuh agar tetap sehat. Benarlah sabda Baginda Nabi saw. ‗Senyumanmu pada wajah saudaramu adalah (bernilai) sedekah bagimu.‘...Kekuatan senyum tawa bila dikelola dengan baik akan mengalahkan ketajaman pedang sekalipun.‖

(Wawancara KH. A. Azaim Ibrahimy, 25 Juli 2015)

Sikap kasih sayang kiai Sukorejo kepada kalangan bajingan sebagai mitra dakwahnya, sama dengan hubungan kasih sayang antara guru-santri. Hubungan tersebut bersifat lahiriyah-batiniyah dan terjalin sepanjang masa; karena itu mereka dikumpulkan dalam wadah Pelopor.

3) Sabar

Sabar berarti suatu sikap lapang dada dan berani menghadapi kesulitan- kesulitan. Sehingga konselor mempunyai daya tahan terhadap penderitaan tanpa berkeluh kesah dan akan mencapai kematangan. Menurut Al-Haddad (2005: 564), iman sesungguhnya dapat diklasifikasikan menjadi dua; sabar dan syukur. Karena itu, orang mukmin harus sabar ketika tertimpa bencana dengan tetap tenang dan lapang dada. Mereka juga harus sabar dalam menjalani ketaatan dengan tidak malas dan berusaha menyempurnakan ketaatan tersebut. Mereka

harus sabar dalam mengendalikan hawa nafsunya. Ibnu Atha‘illah memberikan

penggambaran agar kita selalu sabar ketika dilanda kesukaran,

―Allah memberi kamu kelapangan, agar kamu tidak selalu berada dalam

kesempitan. Allah memberi kesempitan kepadamu, agar kamu tidak hanyut di waktu lapang. Allah melepaskan kamu dari kedua-duanya, agar kamu tidak

menggantungkan diri kecuali kepada Allah belaka‖. (Ar-Rindy, 2010: 191). Ketika berjuang di tengah-tengah masyarakat, salah satu kunci keberhasilannya

juga bersabar. Penulis biografi Kiai As‘ad menulis demikian:

―Dalam pandangan Kiai As‘ad, tantangan di masyarakat tersebut termasuk ujian tak tertulis yang harus dihadapi seorang kiai. Ujian terberat dan banyak yang tak

45