dan marah, jelas akan ditinggal masyarakatnya. Sedangkan seorang kiai adalah
khadim al-ummah, pelayan masyarakat. Karena itu segala ujian dan tantangan harus dihadapi dengan sabar dan tabah. Dan yang terpenting, adalah cara menghadapi masyarakat bukan asal memberi keputusan kepada masyarakat.
‗Kalau ingin punya pengikut, bantulah masyarakat walaupun pahit,‘ imbuhnya.‖
(Hasan, 2003: 66-67).
Pada konteks konseling, konselor hendaknya memiliki sifat sabar. Karena hakikat kesabaran adalah sikap lapang dada dan berani menghadapi kesulitan- kesulitan. Dengan sabar, kita akan mencapai kematangan. Dengan sabar, kita mempunyai daya tahan terhadap penderitaan tanpa berkeluh kesah. Dengan sabar, kita mencapai esensi dari keimanan. Dengan sabar, kita menunjukkan kualitas kemanusian yang mampu menjinakkan kemarahan dan nafsu (An- Najar, 2001: 241).
4) Wara‘ dan Zuhud
Wara‘ berarti suatu sikap pengendalian diri dan berhati-hati dengan
meninggalkan sesuatu yang meragukan (syubhat) dan yang kurang bermanfaat
serta berbaik sangka kepada orang lain. Zuhud berarti suatu sikap sederhana dan
lebih mementingkan kepentingan orang lain (altruistik). Esensi zuhud adalah menghilangkan nilai-nilai keduniaan, rasa terpesona terhadapnya, dan membebaskan jiwa dari pemuasan keinginan dan keangkuhan diri. Dengan kata
lain, zuhud akan melahirkan sifat kejujuran yaitu perbuatannya tanpa pamrih dan
perkataannya tanpa keinginan hawa nafsu.
Menurut pensyarah kitab Hikam, wara‘ merupakan salah satu sifat mulia untuk tidak terlalu terikat dengan keperluan dunia, menerima dengan ikhlas apa yang berada di tangannya, merasa bersyukur atas semua yang dimilikinya, dan
tidak iri terhadap orang lain. Wara‘ sanggup menghancurkan keinginan yang
berlebih-lebihan. Wara‘ akan menimbulkan sifat sederhana dan qana‘ah (merasa
cukup). Wara‘ akan menimbulkan ketenangan dalam menghadapi problematika
kehidupan (Ar-Rindy, 2010).
Wara‘ merupakan permulaan zuhud. Orang yang zuhud tidak akan merasa bangga dengan kenikmatan dunia dan tidak akan pernah mengeluh karena
kehilangan dunia. Menurut Yahya bin Mu‘adz, hakikat zuhud adalah pertama, orang yang perbuatannya tanpa pamrih. Kedua, ucapannya yang terlontar tanpa keinginan hawa nafsu. Ketiga, ia memiliki kemuliaan tanpa kekuasaan. Menurut Al-Muhasibi kehidupan orang yang zuhud adalah orang yang meninggalkan syahwat, membersihkan diri dari bahaya syahwat, mengajak jiwa untuk melakukan yang dianjurkan ilmu, tidak suka bersantai-santai, dan meningkatkan etos dalam beramal baik (Al-Muhasibi, 2001: 237-238; Al-Qusyairi, 1998: 156).
Pensyarah kitab Al-Hikam mengatakan demikian:
―.... dalam zuhud manusia akan lebih mampu bercermin tentang dirinya, dan
kenikmatan Allah yang ia terima. Orang zuhud adalah orang yang mampu mengendalikan sifat kemanusiaannya dalam pergaulan hidup dan dalam mengatur hidup dunianya. Dalam diri orang zuhud terpaten rasa aman, karena tidak perlu ia
46
mengejar atau dikejar oleh kerepotan hidup dunia ... ia hidup qana‘ah, karena hidup seperti itu adalah bagian dari hidup orang-orang zahid.‖ (Ar-Rindy, 2010: 120)
Wara‘ dan zuhud termasuk maqam atau tahapan jalan yang harus dilalui oleh seorang sufi. Nabi berpesan, agar kita mendekati orang zuhud dan berbicara. Karena dia akan mengajarkan ilmu hikmah (Al-Qusyairi, 1998: 146-
155). Kiai Hasyim Asy‘ari (tt: 29-31) menempatkan sikap wara‘ dan zuhud
sebagai salah satu tatakrama orang alim. 5) Ikhlas dan Tawadhu‘
Ikhlas berarti tidak akan merasakan perbedaan ketika menerima pujian dan cacian, tidak memandang amal perbuatannya, dan tidak menuntut pahala. Ikhlas suatu sikap tulus, membersihkan diri, dan memurnikan hati dari selain
Tuhan. Tawadhu‘, suatu sikap yang tidak menganggap orang lain jelek dan
menganggap dirinya lebih unggul. Orang yang tawadhu‘ adalah orang yang
selalu respek dan menerima kebenaran dari orang lain.
Menurut Al-Ghazali (2000: 297-312) ikhlas mempunyai tiga pilar. Pilar pertama sebagai pondasi ikhlas yaitu niat. Niat merupakan motivasi yang mendorong kemampuan yang timbul dari pengetahuan. Pengetahuan membangkitkan motivasi, motivasi membangkitkan kemampuan, kemudian kemampuan membantu motivasi menggerakkan anggota tubuh untuk mengerjakan sesuatu. Pilar kedua, keikhlasan niat, yaitu satu atau murninya motivasi. Pilar ketiga, kejujuran yang merupakan kesempurnaan ikhlas.
Menurut Atha‘illah, amal manusia tergantung dari situasi dan kondisi yang masuk ke dalam hati manusia. Kerangka amal tersebut adalah perbuatan yang jelas, sedang ruhnya adalah ikhlas. Suatu amal ditentukan oleh bagaimana seseorang menempatkan niat ketika beramal ibadah. Ikhlas merupakan ruhnya amal dan amal menunjukkan tegaknya iman (Ar-Rindy, 2010: 33).
Kiai Hasyim Asy‘ari (tt: 29) menempatkan sikap senantiasa tawadhu‘
sebagai salah satu tatakrama orang alim. Beliau juga menjelaskan, guru
hendaknya juga tawadhu‘ kepada muridnya. Adapun menurut Kiai As‘ad, ikhlas
termasuk kunci sukses dan tawadhu‘ termasuk jalan yang harus dilewati bagi pendidik (Hasan, 2003: 166-167).
Adapun orang yang tawadhu‘, menurut Abu Yazid, adalah orang yang
tidak memandang diri sendiri mempunyai kedudukan dan tidak memandang orang lain buruk. Menurut Ibnu Atha‘, tawadhu‘ adalah orang yang menerima kebenaran dari orang lain (Al-Qusyairi, 1998: 202-203). Tawadhu‘ bagi orang awam berarti merasa cukup berpakaian, berkediaman, dan berkendaraan yang sederhana. Adapun tawadhu‘ bagi orang khas, berarti membiasakan diri untuk menerima kebenaran dari siapa saja (Al-Ghazali, 2006: 98-99).
6) Pandai berkomunikasi
Konselor harus mempunyai basis massa yang kuat di bawah sekaligus
mempunyai jaringan yang kuat (networking). Sehingga beberapa program
47
dalam Al-Qur‘an Surat Ibrahim ayat 24-25 yaitu tentang kreteria pohon yang baik.
Pada konteks membangun networking ―tafsiran‖ ayat tersebut, demikian:
Pertama, mempunyai akar yang teguh yaitu mempunyai basis massa yang mengakar kuat. Kedua, mempunyai cabang yang menjulang ke langit; maksudnya mempunyai jaringan yang luas dan pengaruh yang besar di tingkat atas (misalnya kepala sekolah dan organisasi). Ketiga, mempunyai buah yang bisa dipetik setiap musim; maksudnya memberikan manfaat bagi organisasi dan masyarakat (Hasan, 2003: 6).
Salah satu pesan Kiai As‘ad kepada santri Sukorejo yang akan berhenti
mondok adalah agar ia mengamalkan ilmunya di mushalla sekitar rumahnya. Salah satu makna di balik pesan itu, santri Sukorejo supaya mengusai pusat jaringan dan interaksi kepada masyarakat komunitasnya. Sebab masjid atau mushalla di pedesaan merupakan salah satu pusat komunikasi dan tempat berkumpulnya masyarakat. Masjid atau mushalla termasuk medan budaya
(cultural sphere) yang mempertemukan berbagai segmen masyarakat, yang dapat menghasilkan budaya yang khas (Nursyam, 2006: 291).
2. Prosedur dan Teknik Penyampaian Pesan dalam Konseling
―Melatih hati merupakan proses menjernihkan akhlak, menghinakan nafsu dan menyematkan pada sifat penghambaan diri. Membiasakan hati merasa rendah dan hina di hadapan Pencipta akan membakar penyakit-penyakit yang selalu menggerogotinya .... untuk membentuk hati yang bersih dan jernih diperlukan usaha serius dengan menggosok kotoran-kotoran berupa sifat tercela. Apabila tidak bisa dihabisi sekaligus, perlu dilakukan secara bertahap. Mulai dengan membersihkan sifat tercela yang paling ringan dan secara konsisten dilanjutkan dengan yang lebih berat sampai habis seluruhnya. Di samping itu, hati perlu dilatih dengan membiasakan menata akhlak yang mulia. Namun jika dengan berbagai upaya yang ditawarkan di atas masih belum mampu memperbaiki hati, misalnya dengan membaca Al-Qur‘an dan memperbanyak zikir masih belum berhasil menyembuhkan hati, maka sangat mungkin kesalahan bukan pada konsep yang ditawarkan, melainkan usaha yang kita coba belum dilakukan secara maksimal
(Yasid, 2007: 9-10). a. Targhib: rekes sehidup semati
Rekes (jaminan) sehidup-semati, termasuk salah satu teknik
membangkitkan minat dan semangat (targhib), yang kerap dilakukan kalangan
pesantren Sukorejo untuk mengubah perilaku seseorang. Dalam
membangkitkan semangat, kalangan pesantren memadukan unsur optimis dan pesimis, antara kecemasan dan pengharapan (khauf dan raja‘), antara targhib (reinforcement) dan tarhib (punishment).
Menurut Imam Al-Ghazali, targhib ini amat penting untuk
membangkitkan keinginan dalam ketaatan. Imam Al-Ghazali menggambarkan demikian:
―Dalam urusan ibadah secara umum berkisar dalam dua hal: pertama,
48
selama nafsu yang mendorong kejahatan masih melekat. Dan pemecahannya adalah dengan jalan targhib dan tarhib, yakni penuh harapan dan takut ... bila nafsu dibawa kepada ibadah dan takwa, ia harus diberi harapan surga dan pahala dan takut terhadap neraka dan siksa. Untuk itu wahai penempuh jalan ibadah, hendaknya engkau membiasakan diri untuk mengingat nafsunya dengan dua hal tersebut, jika tidak, maka nafsunya tidak akan berkemauan untuk beribadah. Inilah yang menyebabkan mengapa Al-Qur‘an demikian banyak menyebut ayat tentang janji dan ancaman. Janji tentang keindahan yang akan diperoleh bagi mereka yang taat dan ancaman mengenai siksa pedih bagi mereka yang durhaka. Jika perasaan khauf dan raja‘ ini telah dimiliki maka lancarlah mengerjakan
ibadah, jauh dari perasaan payah dan menderita dalam menjemput rahmat Ilahi‖
(Al-Ghazali, 2006: 172-173).
Kiai As‘ad juga sering menggunakan teknik targhib ini untuk
menundukkan hati para bajingan. Kiai As‘ad selalu membangkitkan semangat
mereka sekaligus menjamin akan sehidup-semati, asal mereka mengikuti dawuh
Kiai As‘ad.
―Sapa bei bajingan se ngelakone dusa se paling hebat tape norok tang perintah,
bung tabung sabbu‘ pagik neng akhirat, montada‘ e suarge engkok senyareah (Siapa saja bajingan yang berbuat dosa paling hebat pun, tapi ikut perintah saya, kelak di akhirat akan bergabung dengan saya, kalau tidak ada di surga,
saya yang akan mencari!)‖
b. Pesan sesuai dengan bahasa mereka
Teknik menyampaikan pesan sesuai dengan bahasa mereka, maksudnya dalam menyampaikan pesan, konselor harus menyampaikan pesan sesuai
dengan kadar pemahaman mereka (worldview) dan bersikap empatik sehingga
pesan-pesannya dapat menyentuh lubuk hati mereka. Konselor menyampaikan pesan-pesan verbal dan nonverbal harus disertai dengan niat yang tulus.
Penulis buku Kharisma Kiai As‘ad di Mata Umat memaparkan bahwa salah
satu resep keberhasilan Kiai As‘ad dalam mengelola Pelopor adalah
kepiawaiannya dalam berkomunikasi dengan para bajingan.
―Memang, kalau kita ingin menarik simpati para bajingan harus abejing juga. Artinya, kita harus memahami dan menggunakan bahasa mereka juga. Kalau kita berhadapan dengan bajingan, kita harus memahami bahasa bajingan (abejing)
juga. Pengertian bahasa di sini, yaitu pengoperan lambang-lambang baik melalui ungkapan lisan maupun tindakan (isyarat). Misalnya bahasa orang Madura-Jawa, bahasa cendikiawan-awam, bahasa santri-abangan, bahasa orang kuat-lemah, dan bahasa orang gelisah-gembira.
Karena itu, amat menarik kalau kita telaah firman Allah, dalam Surat Ibrahim
ayat 4, ―Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberikan penjelasan dengan terang kepada mereka‖.
Begitu pula pesan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, ―Kami, para nabi, diperintah
menempatkan manusia sesuai dengan kedudukannya dan berbicara dengan mereka
49
3. Perilaku Bekas Bajingan Berkarakter Pelopor
Saya setuju dengan orang yang mengatakan bahwa orang yang shalih secara ritual pasti shalih secara sosial. Ini berangkat dari doktrin bahwa ibadah shalat dan ibadah-ibadah ritual yang lain bila dilakukan dengan ikhlas, khusyu‘, dan khudhu‘ di hadapan al-Ma‘bud pasti melahirkan kepekaan sosial, kerendahan hati, dan kasih sayang terhadap sesama serta menghilangkan sifat-sifat tercela seperti kikir, egoisme, sombong, dan sebagainya. (Wawancara KH. Afifuddin Muhajir, 10 Juli 2015).
Beberapa kualitas kepribadian konselor tersebut, dapat ditarik ke dalam
konstruk at-tawazun (keseimbangan) antara―shalahiyyah‖ dengan ―shalih‖.
Shalahiyyah ini merujuk kepada kecakapan keilmuan dan keterampilan konselor;
misalnya alim dan pandai komunikasi. Shalih merujuk kepada kekuatan integritas
akhlak kepribadian konselor; misalnya zuhud dan ikhlas.
Bagi kalangan pesantren, kemampuan dalam shalahiyyah dan perilaku
shalih bukan sekadar untuk meraih kesuksesan hidup di dunia tapi juga untuk mencapai kebahagian di akhirat kelak. Karena itu, shalahiyyah dan shalih tersebut diniatkan untuk mencapai keridhaan Tuhan. Ar-Rindy (2010: 433) mengemukakan, perpaduan antara shalahiyyah dan shalih serta hidayah dan inayah
Allah akan mempermudah masuknya cahaya Allah ke dalam jiwa dan hati sanubari umat.
Konstruk at-tawazun pada teknik dalam menyampaikan pesan, adanya
keseimbangan antara targhib dan tarhib, antara reinforcement dan punishment, antara rasa optimis dan pesimis. Tujuannya, agar para bajingan memiliki semangat yang berimbang antara pengharapan dan rasa kekhawatiran. Konselor menyampaikan pesan sesuai dengan bahasa kaummnya, harus seimbang antara pesan verbal maupun nonverbal dengan sepenuh hati; adanya keseimbangan sikap lahiriyah dan batiniyah. Sedangkan konstruk at-tawazun pada perubahan perilaku bekas bajingan, adanya keseimbangan antara shalih ritual dan shalih
sosial, adanya keseimbangan hubungan vertikal dengan Tuhan dan menjalin interaksi horizontal dengan sesama makhluk Tuhan.
Beberapa riset dalam bidang konseling juga mendukung konstruk at-
tawazun. Penelitian Yuen (1993: 36) salah satu simpulannya menjelaskan bahwa perubahan positif terjadi pada konseli bila saling berkaitan antara unsur lahiriyah
dan bathiniyah yaitu: spritualitas, identitas, kepercayaan, potensi, tingkah laku, dan lingkungan.
Begitu pula penelitian yang dilakukan Ibrahim (2011). Menurut Ibrahim (2011, 393) konselor yang melakukan konseling kepada konseli yang beragama Islam di Amerika Serikat, harus memperhatikan unsur lahiriyah dan batiniyah. Pertama, identitas budaya konseli (misalnya, jenis kelamin dan ras). Kedua,
worldview (kepercayaan, nilai-nilai, dan asumsi konseli). Ketiga, tahapan dan tipe akulturasi. Keempat, komitmennya terhadap Islam.
Corey berpendapat senada. Menurut Corey (2006: 117), konseling yang efektif melibatkan unsur tubuh, pikiran, dan jiwa. Pada proses konseling di lapangan, masalah spritualitas dan keagamaan tak boleh diabaikan. Karena,
50
menurut Corey, agama dan spritualitas sering menjadi problem konseli sekaligus sebagai solusi yang terbaik. Sebab nilai-nilai agama dan spritualitas memegang peranan penting dalam kehidupan. Spritualitas merupakan komponen penting bagi kesehatan mental dan termasuk dapat meningkatkan proses terapi dalam praktik konseling (Corey, 2009: 452).
Konsep at-tawazun mirip dengan konsep congruence dalam konseling person- centered. Congruence merupakan ciri yang paling mendasar dan terpenting dalam
konsep Rogers. Karena congruence sebagai pondasi konselor dalam bersikap
empati dan unconditional positive regard. Congruence termasuk salah satu kondisi yang diperlukan dan memadai bagi pengubahan kepribadian; yaitu konselor dalam keadaan selaras atau terintegrasi dalam hubungan konseling.
Congruence berarti konselor terampil nyata, yang berarti hakiki terintegrasi dan otentik selama proses konseling. Congruence berarti terdapat keselarasan antara pengalaman batin (feeling, emosi, dan impian) dengan ekspresi dalam
konseling. Congruence dapat membantu kepercayaan konseli dalam hubungan
konseling. Congruence dapat memfasilitasi aliran energi positif dalam hubungan konseling. Kalau indikasi bicara, intonasi, dan gerak tubuh selaras maka komunikasi akan lebih jelas dan dapat mudah dipahami (Corey, 2009: 100-101; McLeod, 2003: 188-201; Gillon, 2007: 52-55).
Implementasi nilai-nilai budaya pesantren (yang terkonstruk dalam at-
tawazun) ke dalam konseling, sarat dengan makna keagamaan. Hal ini sesuai
dengan konsep konseling indigeneous yang salah satu karakteristiknya
menekankan kepada fenomena psikologis dalam konteks agama dan budaya. Bahkan agama merupakan aspek dan obyek kajian yang esensial dalam konseling indigeneous (Kim, 2010).
Spiritualitas dan agama adalah inti aspek identitas orang dalam beberapa kebudayaan. Spiritualitas dan agama memainkan peran penting dalam membentuk keyakinan individu dan perilaku (Loewenthal, 2007: 59; Podikunju- Hussain, 2006). Karena bagaimana pun agama selama ribuan tahun telah mengikat orang dalam memelihara cara pandang budaya. Agama menyediakan penjelasan dan menunjukkan nilai-nilai dari fenomena yang tak dapat dijelaskan. Agama dan perilaku tak dapat dipisahkan (Samovar, L.A & Porter, R.E., 2010). Pentingnya masalah spritualitas dan religiusitas dalam konseling ini didukung oleh beberapa penelitian. Hasil riset Propst (1990) menyimpulkan bahwa mengabaikan keyakinan agama konseli dapat mengurangi efektivitas konseling dan meningkatkan terminasi dini. Ia juga memaparkan bahwa terapis non-religius akan mendapatkan hasil yang terbaik bila menggunakan pendekatan religius.
Beberapa survey terbaru di Amerika juga menunjukkan agar menggabungkan masalah spritualitas dengan agama dalam proses konseling individual maupun kelompok (Post, B & Wade N: 2014; Chou, W. & Bermender, P. A., 2011; Walker, 2012). Agama dan spritualitas juga berfungsi efektif sebagai banteng pertahanan sekaligus penyembuhan dari kejahatan dan narkotika (Giardano dkk, 2015). Apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia
51
yang agamis, tawaran konseling yang syarat nilai-nilai keagamaan sangat diperlukan (Yusuf, 2013; Naqiyah, 2011)
D.Simpulan
Kualitas kepribadian kiai, sebagai konselor, terdapat pada konstruk at- tawazun: adanya keselarasan antara kualitas shalahiyyah (kecakapan keilmuan dan ketrampilan) dengan integritas shalih (kekuatan budi pekerti). Bagi kalangan
pesantren, kemampuan shalahiyyah dan perilaku shalih bukan sekadar untuk
meraih kesuksesan hidup di dunia tapi juga untuk mencapai kebahagian di akhirat kelak.
Dalam teknik penyampaian pesan, adanya keseimbangan antara targhib
dan tarhib, sehingga bekas bajingan memiliki semangat dan optimis pertaubatannya akan diterima Tuhan sekaligus rasa khawatir tidak diterima sehingga semakin rajin berbuat baik. Begitu pula kiai menyampaikan pesan sesuai dengan bahasa mereka (the internal frame of reference), kadar pemahaman
mereka (worldview), dan bersikap empatik sehingga pesan-pesannya dapat
menyentuh lubuk hati mereka; adanya keselarasan antara sikap lahiriyah dan
batiniyah.
Sedangkan konstruk at-tawazun pada perubahan perilaku bekas bajingan,
adanya keseimbangan antara shalih ritual dan shalih sosial. Bekas bajingan tidak sekadar beribadah untuk pembersihan dirinya tapi juga mengajak komunitasnya untuk membangun peradaban bersama masyarakat sekitarnya.
Konseling at-tawazun termasuk konseling yang komprehensif; yang
bersumber kepada nilai-nilai keagamaan dan best practices kalangan pesantren. Konseling pesantren ini memadukan unsur lahiriyah dan batiniyah, duniawi dan
ukhrowi, jiwa dan raga. Konseling ini hendaknya dikembangkan di beberapa lembaga pendidikan atau lembaga sosial kemasyarakatan, terutama psikologi dan konseling.
Daftar Rujukan
Alawi, A.H. (tt). Sullam at-Taufiq. Surabaya: Maktabah al-Hidayah
Al-Ghazali, A.H. (2000). Prinsip Dasar Agama Terjemah Kitabul Al-Arba‘in fii Ushuliddin. Terjemah Zaid Husaein Alhamid. Jakarta: Pustaka Al-Amani
Al-Ghazali. (2006). Metode Menjernihkan Nurani Terjemah Minhajul ‗Abidin.
Terjemahan Taufik Rahman. Bandung: Hikmah.
Al-Haddad, A.A., (2005). Sucikan Hati Luruskan Amal: Nasihat-Nasihat Agama Menuju Kesempurnaan Iman (Terjemah an-Nashaih ad-Diniyyah wa al-Wasaya al- Iman). Terjemahan Ommi Amin Ababil. Yogyakarta: Mitrapustaka
Al-Jawi. (2010). Terjemah Maroqil ‗Ubudiyah Syarah Bidayah al-Hidayah.
Terjemahan Zaid Husein Al-Hamid. Surabaya: Mutiara Ilmu
Al-Mawardi, A.A. (tt). Adab ad-Dunya Wa ad-Din. Situbondo: Percetakan
52
Al-Muhasibi, H.A. (2001). Renungan Suci Bekal Menuju Takwa (Terjemah Al-
Washaya). Terjemahan Wawan Djunaedi Soffandi, Jakarta Pustaka Azzam
Al-Qusyairi.(1998). Qusyairiyah. Terjemahan Umar Faruq. Jakarta: Pustaka
Amani.
An-Najar. (2001). Ilmu Jiwa dalam Tasawwuf Studi Komparatif dengan Ilmu Jiwa Kontemporer. Terjemahan Hasan Abrori. Jakarta: Pustaka Azam
Arifin, A.S. (tt). Risalah at-Tauhid. Situbondo: Percetakan Assyarif.
Ar-Rindy, M.I.I. (2010). Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (Terjemah Syarah Al- Hikam Ataillah). Terjemahan Djamaluddin. Surabaya: Mutiara Ilmu
Arunachalam, M. (2006). A Philosophical Hermeneutics Approach for Understanding Community Dialogue on Environmental Problems: A Case Study of Lake Taupo. Makalah disampaikan pada acara The 5th European Conference on
Research Methodology tgl 17-18 Juli, (Online), (www.academic-
conferences.org), diakses 5 Juni 2015.
Asy‘ari, M.H.,(tt). Adab al-Alim wa al-Muta‘allim. Yogyakarta. Abdul Azhim Az-Zarnuji, S.B. (tt). Ta‘lim al-Muta‘allim. Surabaya: Al-Hidayah
Chou, W. –M., & Bermender, P. A. (2011). Spiritual Integration in Counseling
Training: A Study of Students‘ Perceptions and Experiences. Journal
Vistas. 2011. Vol 11. http://counselingoutfitters.com/ vistas/vistas11/Article_98.pdf. diakses 5 Juli 2015
Christian, J. (2009). Quadri-Hermeneutics Stories in Four Parth. Makalah disajikan pada the 12th Annual Doctoral Symposium, 25-26 Maret 2009, (Online), (http://www.ribm.mmu.ac.uk), diakses 5 Mei 2015
Corey, G. (2009). Theory and Practice of Counseling and Psychotheraphy, Eighth Edition, Belmont: Thomson Higher Education
Corey, G.(2006).Integrating Spirituality in Counseling Practice, Jurnal Vistas
Vol. 06. (Online), http://www.counseling.org/.diakses 01 September
2015
Fatchan. (2011). Metode Kualitatif Beserta Contoh Proposal Skripsi, Tesis, dan Desertasi. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama
Gillon, E. (2007). Person-Centred Counselling Psychology: An Introduction. London: Sage Publications
Hasan, S.A. (2003). Kharisma Kiai As‘ad di Mata Umat. Yogyakarta: LkiS
Hasan, S.A. (2003). Politik Kiai Pesantren: Intisari Pemikiran Politik KHR. As‘ad
Syamsul Arifin dan KHR. Ach. Fawaid As‘ad. Situbondo: Biro Penerbitan dan Informasi
Henriksen, CR. Etc Jr., (2015) Counseling Students‘ Perceptions of
Religious/Spiritual Counseling Training: A Qualitative Study, Journal of Counseling & Development. January 2015. Vol.93.P.59-69
Hudaeri dkk, (2002) Tasbih dan Golok: Studi tentang Kharisma Kyai dan Jawara di Banten, hasil penelitian kompetitif Diktis Depag RI tahun 2002.
Ibrahim, A.F & Dykeman, C.(2011). Counseling Muslim Americans: Cultural and Spriritual Assessments. Journal of Counseling & Development. Vol. 89. No. 4: 393
53
Kim, U dkk. (2010). Indigenous and Cultural Psyichology, Terjemahan Helly Prajitno Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kosim, M. (2007). Kyai dan Blater (Elite Lokal dalam Masyarakat Madura),
Jurnal Karsa, Vol. XII No. 2 Oktober 2007, p. 161-166
Loewenthal, K.M. (2007). Spirituality and Cultural Psychiatry. Dalam Bhugra, D & Bhui, K (ed). Textbook of Cultural Psychiatry. New York: Cambridge University Press 2007
Mappiare. (2009). Dasar-dasar Metodologi Riset Kualitatif untuk Ilmu Sosial dan Profesi.Malang: UM-Jenggala Pustaka Utama.
McLeod, J. (2003). An Introduction to Counselling Third Edition. New York: Open
University Press
Mudjiyanto, B. (2009). Metode Penelitian Etnografi dalam Komunikasi. Jurnal Komunikasi Massa, (5/I): 82
Naqiyah (2011), Pendidikan Konselor Religius, jurnal At-Tahrir, Vol II, No. 2.
Nopember 2011, p 371-388
Nursyam. (2005). Islam Pesisir. Yogyakarta: LkiS
Podikunju-Hussain (2006), Working With Muslims: Perspectives and
Suggestions for Counseling. Jurnal VISTAS Online. 2006. Vol 22.P 103-
105
Post, B & Wade N: (2014), Client Perspectives About Religion and Spirituality in Group Counseling. Journal The Counseling Psychologist July 2014 Vol. 42. p 601-627,
Pribadi, (2014). The Historical Roots and Identities of Local Strongmen Groups in Indonesia.: Journal of Local Culture Vol 1, No. 2 (July- December), p. 104
Propst, L. R. (1980). The Comparative Efficacy of Religious and Nonreligious