• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asep Ridwan Setiawan, Gunawan Wibisono Institut Teknologi Bandung, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Program

3. Hasil dan Diskus

3.1Pengukuran Laju Korosi Spesimen di ITB

Pengukuran laju korosi aktual pada spesimen dilakukan pada bulan Januari 2015 – Mei 2015 dengan menggunakan persamaan (1):

r’corr = ∆m/(A.ρ) (1)

r’corr adalah laju korosi dalam µm/y. ∆m menyatakan massa hilang spesimen setelah proses

pickling (gram). A adalah luas permukaan spesimen

yang terpapar ke lingkungan (m2) dan ρ merupakan

massa jenis spesimen (gr/cm3). Hasil perhitungan

laju korosi berdasarkan perhitungan massa hilang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengukuran laju korosi aktual di ITB t (bulan) ∆m (gr) r’corr (µm/y)

1 0,030 7,500 2 0,049 6,125 3 0,064 5,333 4 0,114 7,125 5 0,153 7,670

Permukaan spesimen baja karbon setelah pengujian selama lima bulan dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa semakin lama durasi pengujian maka produk korosi yang terbentuk di permukaan spesimen semakin banyak. Namun pada bulan ke-5, permukaan produk korosi terlihat sama dengan bulan ke-4. Hal ini mungkin disebabkan karena produk korosi pada bulan ke-5 sudah tersapu oleh air hujan, fenomena ini dibuktikan dengan nilai massa hilang yang lebih besar pada spesimen ke-5 saat dibandingkan dengan spesimen ke-4 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Gambar 2.Permukaan spesimen setelah pengujian.

3.2Korelasi antara Laju Korosi Sensor dengan Faktor Lingkungan

Pengukuran laju korosi dengan menggunakan sensor korosi AirCorr dilakukan pada Februari 2014 – Desember 2014. Gambar 3 sampai 6 menunjukkan kaitan antara laju korosi rata-rata dari sensor terhadap faktor lingkungan (T, RH, Pd, dan Sd) setiap bulan.

Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII)

Yogyakarta, 5 November 2015

Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9

Gambar 3. Korelasi antara laju korosi sensor terhadap temperatur (T).

Gambar 4. Korelasi antara laju korosi sensor terhadap kelembaban relatif (RH).

Gambar 5. Perbandingan antara laju korosi dan deposisi SO2 (mdd).

Gambar 6. Perbandingan antara laju korosi dan deposisi garam Cl (mdd).

Pada gambar 3, enam bulan pertama menunjukkan bahwa kenaikan temperatur akan meningkatkan nilai laju korosi, sedangkan penurunan temperatur mengakibatkan penurunan laju korosi sensor. Hal ini disebabkan karena kenaikan temperatur akan meningkatkan laju reaksi polutan di udara dengan air untuk membentuk senyawa asam yang berperan sebagai elektrolit untuk media transfer ion dalam proses korosi. Selain itu senyawa asam yang terlarut dalam air akan menurunkan nilai pH permukaan air dan meningkatkan konsentrasi ion H+ yang terkandung

dalam air. Ion hidrogen akan direduksi di katoda menjadi has hidrogen dalam proses evolusi hidrogen. Proses evolusi hidrogen membutuhkan elektron yang disuplai dari reaksi oksidasi logam di anoda. Akibatnya semakin banyak ion hidrogen secara tidak langsung akan semakin mempercepat reaksi oksidasi logam [5].

Pada tiga bulan selanjutnya (Juli –

September) dapat diamati bahwa kenaikan temperatur diiringi dengan penurunan nilai laju korosi. Hal ini disebabkan karena dalam tiga bulan ini terjadi penurunan kelembaban relatif yang cukup signifikan seperti yang terlihat pada gambar 4. Nilai kelembaban relatif yang rendah akan menurunkan ketebalan lapisan air di permukaan spesimen sehingga nilai laju korosi pada spesimen akan berkurang seiring dengan penurunan nilai kelembaban relatif. Penurunan laju korosi pada bulan Juli – September juga mungkin disebabkan karena adanya penurunan jumlah SO2 yang

terdeposit di permukaan spesimen seperti yang ditunjukkan pada gambar 5 [6].

3.3Koreksi Persamaan Dose-Response Function (DRF) ISO 9223

Model persamaan DRF pada ISO 9223 memprediksi laju korosi atmosfer (Rcorr) sebagai

fungsi dari temperatur (T), kelembaban relatif (RH), deposit garam (Sd), dan deposit SO2 (Pd).

Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII)

Yogyakarta, 5 November 2015

Departermen Teknik Mesin dan Industri

Model DRF dapat dilihat pada persamaan (2) berikut [2]:

Rcorr = 1,77.Pd0,52.exp(0,020.RH+fst) +

0,102.Sd0,62.exp(0,033.RH+0,04.T) (2)

Untuk mengetahui apakah persamaan diatas bisa digunakan untuk memprediksi laju korosi aktual yang terjadi pada spesimen, maka hasil perhitungan laju korosi berdasarkan persamaan tersebut di bandingkan dengan laju korosi aktual pada spesimen. Hasilnya di tunjukkan pada tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan laju korosi ISO 9223 dengan aktual.

No R’corr (µm/y) CR aktual (µm/y)

1 11,49 7,50 2 10,01 6,13 3 10,18 5,33 4 10,89 7,13 5 9,55 7,67 6 9,26 7 9,69 8 7,79 9 2,62 10 7,75 11 8,35 AVG 8,87 6,75

Berdasarkan tabel 3 diatas, terdapat perbedaan nilai laju korosi pada pengukuran aktual dengan model ISO 9223. Laju korosi yang dihitung berdasarkan ISO 9223 memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan laju korosi yang didapat dari pengukuran aktual. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan interval kondisi lingkungan pada pengujian dan pada ISO 9223. Agar model tersebut dapat digunakan untuk mendekati nilai laju korosi pada pengukuran aktual maka perlu dilakukan kalibrasi pada persamaan (2) dengan mengganti nilai koefisien 1,77 (A) dan 0,102 (B) menjadi A’ dan B’. Nilai A’ dan B’ didapatkan dengan

menggunakan persamaan (3 dan 4) berikut:

A’=1,770.(rata-rata aktual)/(rata-rata DRF) (3)

B’=0,102.(rata-rata aktual)/(rata-rata DRF) (4)

Selanjutnya nilai A’ dan B’ disubstitusikan

ke dalam persamaan (2) untuk menentukan model DRF baru yang sudah disesuaikan dengan kondisi lingkungan di lokasi pengujian. Model persamaan DRF laju korosi atmosfer yang baru dapat dilihat pada persamaan (5) berikut:

Rcorr = 1,35.Pd0,52.exp(0,020.RH+fst) +

0,08.Sd0,62.exp(0,033.RH+0,04.T) (5)

Pada tabel 4 nilai laju korosi berdasarkan model DRF yang baru akan dibandingkan kembali dengan laju korosi aktual.

Tabel 4.Perbandingan nilai laju korosi model baru dengan aktual.

No

R’

corr

(µm/y)

CR aktual (µm/y)

1 8,75 7,500 2 7,62 6,125 3 7,75 5,333 4 8,29 7,125 5 7,27 7,670 6 7,04 7 7,38 8 5,93 9 1,99 10 5,90 11 6.35

Bedasarkan tabel 4 nilai laju korosi yang dihitung dengan menggunakan model yang baru memiliki nilai yang lebih mendekati laju korosi aktual pada spesimen.

3.4Produk Korosi Atmosfer

Analisis produk korosi dilakukan pada spesimen bulan ke-5 dengan menggunakan XRD dan SEM. Gambar 7 menunjukkan kurva hasil XRD. Berdasarkan hasil karakterisasi produk korosi mengandung senyawa lepidocrocite (L) dan goethite (G). Senyawa lepidocrocite memiliki rumus kimia γ-FeOOH sedangkan goethite

Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII)

Yogyakarta, 5 November 2015

Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9

Mekanisme terbentuknya senyawa ini dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu : [1] Tahap inisiasi, [2] Tahap pembentukan Fe(OH)2, [3]

Tahap pembentukan FeOOH, dan [4] Tahap pembentukan α-FeOOH dan γ-FeOOH.

Gambar 7. Hasil XRD pada produk korosi yang menunjukkan senyawa lepidocrocite dan goethite.

Tahap pertama diawali dengan adanya butir air pada permukaan spesimen akibat kondensasi, air hujan, atau embun. Gas oksigen yang terdapat di lingkungan akan berdifusi masuk ke dalam lapisan air. Lalu gas oksigen ini akan bereaksi dengan air dan tereduksi menjadi ion hidroksida (OH-) seperti

pada persamaan (7). Ion hidroksida yang terbentuk akan bereaksi dengan ion besi (Fe2+) yang berasal

dari proses oksidasi spesimen baja (persamaan 6). Proses reduksi gas oksigen terjadi di katoda, sedangkan ionisasi besi terjadi di anoda [7]. Reaksi anoda: Fe(s) Fe2+(aq) + 2e- (6)

Reaksi katoda: O2(g) + H2O + 2e- 2OH-(aq) (7)

Tahap kedua diawali dengan kondisi saat kelembaban lingkungan mencapai suatu titik kelembaban kritis, butiran air akan membentuk lapisan tipis air yang berperan sebagai elektrolit. Lapisan air ini sangat aktif dalam menyerap gas oksigen di udara. Gas oksigen yang berada di dalam lapisan air akan bereaksi dengan ion besi (Fe2+) dan

air untuk membentuk senyawa Fe(OH)2. Reaksi ini

dapat dilihat pada persamaan ( 8) [6].

Fe2+ + ½ O2 + H2O Fe(OH)2 (8)

Pada tahap ketiga lapisan tipis air masih aktif menyerap gas oksigen dari lingkungan, akibatnya Fe(OH)2 yang terbentuk akan bereaksi

dengan gas oksigen dan air untuk membentuk senyawa Fe(OH)3, selain itu Fe(OH)2 juga dapat

bereaksi dengan oksigen terlarut saja untuk membentuk senyawa FeOOH yang memiliki sifat tidak stabil dan air (persamaan 9 dan 10) [7].

2Fe(OH)2 +½ O2 + H2O  Fe(OH)3 (9)

Fe(OH)2 + ½ O2  FeOOH + H2O (10)

Di tahap yang terakhir senyawa FeOOH yang tidak stabil akan berubah menjadi senyawa anhidrat Fe2O3.H2O, senyawa ini memiliki berbagai

jenis bentuk dan yang paling umum adalah α- FeOOH (goethite) dan γ-FeOOH (lepidocrocite)

[6].

Selanjutnya permukaan spesimen yang telah mengalami korosi diamati dengan menggunakan SEM. Gambar 8 menunjukkan hasil pengamatan dengan menggunakan SEM.

Gambar 8.Permukaan produk korosi

Pada gambar 8 terlihat bahwa terdapat beberapa microcrack (retakan mikro)di permukaan

produk korosi. Microcrack ini disebabkan karena

siklus basah-kering yang terjadi secara terus menerus pada spesimen selama pengujian. Retakan ini dapat menyebabkan air masuk ke dalam lapisan oksida produk korosi. Hal ini dapat menyebabkan efek perlindungan korosi oleh lapisan oksida berkurang. Akibatnya terjadi peningkatan laju korosi pada spesimen. Fenomena ini dibuktikan oleh terjadinya kenaikan laju korosi spesimen pada bulan ke-4 dan ke-5 seperti yang ditunjukkan oleh tabel 2 [8].

4. Kesimpulan

1. Model korosi atmosfer sebagai fungsi dari faktor lingkungan di Bandung adalah sebagai berikut:

R’corr = 1,35.Pd0,52.exp(0,020.RH+fst) +

0,08.Sd0,62.exp(0,033.RH+0,04.T)

2. Kelembaban relatif, deposit garam, dan deposit SO2 berpengaruh dalam meningkatkan laju korosi

atmosfer pada baja karbon rendah. Sedangkan temperatur dapat meningkatkan atau menurunkan nilai laju korosi atmosfer.

Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII)

Yogyakarta, 5 November 2015

Departermen Teknik Mesin dan Industri

3. Produk korosi yang terbentuk pada permukaan spesimen adalah lepidocrocite dan goethite. Pada

permukaan produk korosi juga terdapat microcrack. Daftar Pustaka

[1] Schweitzer, P. A. (2006). Fundamentals of Metallic Corrosion: Atmospheric and Media

[2] ISO 9223: Corrosion of Metals and Alloys - Corrosivity of Atmospheres - Classification, determination and estimation. (n.d.).

[3] ISO 9226. (n.d.). Corrosion of Metals and Alloys - Corrosivity of Atmospheres - Determination of Corrosion Rate of Standard Specimen for the Evaluation of Corrosivity.

[4] Setiawan, A. R., Widyanto, B., Kajiyama, H., & Kimura, M. (2014). Corrosion Mapping in Indonesia. Indonesia.

[5] Fontana, M. G. (1987). Corrosion Engineering.

Singapore: McGraww - Hill.

[6] Roberge, P. R. (2008). Corrosion Engineering: Principles and Practice. USA: McGraww -

Hill.

[7] Kui, X., Chao-Fang, D., & L. Xiao-Gang, W. F. (2008). Corrosion Products and Formation Mechanism During Initial Stage of Atmospheric Corrosion of Carbon Steel.

International Journal of Iron and Steel Research, 42-48.

[8] Fuente, D. D., Diaz, I., Simancas, J., B.Chico, & Morcillo, M. (2010). Long-term Atmospheric Corrosion of Mild Steel. National Centre for Mettalurgical Research, Spain.

[9] Lien, l. T., & San, P. T. (2002). The Effect of Environmental Factors on Carbon Steel Atmospheric Corrosion: The Prediction of Corrosion. Outdoor Atmospheric Corrosion, ASTM STP 1421.

[10] Pongsaksawad, W., E.Viyanit, Sorachot, S., & Shinohara, T. (2010). Corrosion Assesment of Carbon Steel in Thailand by Atmospheric Corrosion Monitoring (ACM) Sensors.

Journal of Metals, Materials and Minerals, Vol.20 No.2, 23-27.

[11] Uhlig, H. H., & Revie, W. R. (2008).

Corrosion and Corrosion Control: An Introduction to Corrosion Science and Engineering. John Wiley & Sons.

Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII)

Yogyakarta, 5 November 2015

Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9