• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh basisitas dan % batu bara terhadap perolehan Fe hasil peleburan besi spons bijih besi Kabupaten Merangin Jamb

Soesaptri Oediyani

1

, Iing Sakti

2

, Agis Priyatna

3

, Djoko HP

4 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jurusan Teknik Metalurgi, Cilegon Indonesia1,2,3

BATAN, Bandung Indonesia3 Soesaptri_o@ft-untirta.ac.id

Abstract

Merangin district of Jambi Province is one area of potential iron ore resources that can be used as the main raw material manufacture of iron and steel in Indonesia. To increase the added value of the iron ore, the iron ore is reduced to iron sponge first and then merged into the EAF to produce pig iron. The main problem of the melting process of sponge iron is basicity which can affect the yield (recovery) of pig iron. Therefore, the purpose of this research is to learn how the influence of basicity and added the coal to the yield. The stages of the process of research is sponge iron, limestone and coal with specific composition is melted in the EAF at a temperature of 1800oC. Pig iron produced from the smelting process is then tested with SEM-EDS technique to determine the yield of Fe in the pig iron . The results showed that the highest percent recovery was 99.06% Fe at 0.36 basisitas and the addition of coal 1.6%.

Keywords: iron ore, sponge iron, pig iron, basicity, coal 1. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang mempunyai sumber daya mineral yang melimpah antara lain bijih nikel, galena, batu bara dan bijih besi akan tetapi pemanfaatan sumber daya mineral tersebut belum optimal. Adanya Undang-undang Minerba No. 4 tahun 2009 mengakibatkan sumber daya alam tidak dapat dieksport langsung ke luar negeri, sebaliknya harus diberikan nilai tambah terlebih dahulu terhadap sumber daya alam tersebut. Artinya, sumber daya alam itu harus diproses terlebih dahulu menjadi konsentrat, logam setengah jadi ataupun logam jadi barulah dapat dieksport ke luar negeri.

Salah satu sumber daya alam yang cadangannya melimpah di Indonesia adalah bijih besi yang merupakan bahan baku pembuatan besi dan baja. Sumber bijih besi utama ada 2 jenis yaitu bijih besi yang disebut lump ores atau bijih primer

dan pasir besi. Data cadangan bijih besi dapat dilihat pada Tabel I.

Tabel I Sumber Daya dan Cadangan Bijih Besi Indonesia (2008)

Jenis Cebakan Sumber Daya (juta ton)

Cadangan (juta ton)

Bijih Besi Primer 198,6 1,4 Laterit Besi 631,6 18,1

Pasir Besi 132,9 15,1

Besi Sedimen 15,5 -

* Sumber : Neraca Sumber Daya Mineral Logam dan Non Logam, Pusat Sumber Daya Geologi 2008

Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan nilai tambah terhadap bijih besi yaitu mempersiapkan bijih besi Merangin Jambi sebagai bahan baku proses pembuatan besi baja melalui tiga tahapan yaitu pelletizing, reduksi

bijih besi menghasilkan besi spons dan melebur besi spons menjadi pig iron. Berdasarkan Permen

ESDM Nomor 1 Tahun 2014 pengolahan bijih besi dengan produk pig iron harus memiliki batasan

minimum % Fe yaitu ≥ 90% Fe dan diharapkan pig iron yang dihasilkan dari penelitian ini dapat memenuhi ketentuan tersebut sehingga bijih besi Merangin Jambi dapat ditingkatkan nilai tambahnya secara signifikan mengingat harga pig iron sekitar dua kali harga besi spons. Potensi bijih

besi Merangin Jambi ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Potensi Bijih Besi Indonesia [1]

Proses peleburan besi spons dilakukan di dalam Electric Arc Furnace (EAF). Bahan bakunya berupa besi spons hasil proses reduksi langsung dari pellet bijih besi dicampur dengan batu bara dan batu kapur. Fungsi batu bara sebagai reduktor dan batu kapur sebagai fluks yaitu bahan pengikat

Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015

Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9

logam-logam pengotor yang terdapat pada besi spons sehingga menghasilkan fasa tersendiri yang terpisah dari fasa logamnya yang disebut sebagai terak. Adapun fungsi-fungsi terak antara lain [2]:

a. Sebagai isolator, melindungi energi panas sehingga mengurangi kehilangan temperatur pada saat proses peleburan.

b. Sebagai media oksida-oksida unsur pengotor yang membentuk sistem oksida stabil sebagai fasa terak yang dapat dipisahkan dari fasa logam.

c. Melindungi bata tahan api dari abrasi busur listrik.

Untuk mendapatkan terak dengan fungsi yang baik sehingga tujuannya dapat tercapai serta mendapatkan kualitas logam cair yang memenuhi persyaratan maka ada beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain [2] :

a. Terak harus memiliki berat jenis lebih rendah daripada logam cair sehingga terbentuk fasa yang terpisah.

b. Proses foamy slag berjalan baik.

Masalah utama pada proses peleburan besi spons diantaranya adalah basisitas. Dalam terak yang unsur utamanya adalah oksida, suatu senyawa asam dapat menerima satu atau beberapa anion O2- untuk

membentuk ion kompleks, sedangkan senyawa basa sebagai sumber ion O2- [3] :

Basa Asam + O2-

Contoh senyawa asam adalah P2O5, SiO2, Al2O3.

Persamaan reaksinya :

(SiO2) + 2(O2-) (SiO4-) (1)

Contoh senyawa basa adalah CaO, MgO, MnO,FeO. Persamaan reaksinya :

(CaO) (Ca2+) + (O2-) (2)

Indeks basisitas didefinisikan sebagai nisbah (rasio) dari jumlah persen berat oksida basa terhadap oksida asam. Di dalam peleburan besi rasio tersebut dapat dituliskan sebagai berikut [3] :

% 2 % 2 3

% % O Al SiO MgO CaO Basisitas    (3)

Konsentrasi MgO dan CaO dijadikan sebagai equivalen dalam molar basis. Viskositas terak dipengaruhi oleh basisitas. Jika rasio basisitas tinggi maka viskositasnya akan turun [3], seperti digambarkan pada Gambar 2.

Dalam proses peleburan kondisi basa kandungan silika yang tinggi tidak dikehendaki karena akan menyebabkan terak yang kental serta merusak refraktori karena kondisi SiO2 yang asam.

Untuk mengurangi kandungan dari SiO2 maka pada

proses peleburan harus menaikan dari basisitasnya dengan menambahkan kapur bakar untuk mengikat SiO2 menjadi terak berdasarkan reaksi berikut :

SiO2 + 2CaO Ca2SiO4ΔG0 1923 K = - 117,15 kJ (4)

Basisitas

Gambar 2 Pengaruh basisitas terak terhadap viskositas terak [3]

Apabila tidak memberikan tambahan CaO, maka pada kandungan FeO yang berasal dari besi spons akan berikatan dengan SiO2 sehingga dapat

memecahkan ikatan verteks SiO2 membentuk

2FeO.SiO2 (fayalite), berdasarkan reaksi berikut :

SiO2 + 2FeO 2FeO.SiO2 ΔG01673 = - 84 kkal (5)

Akan tetapi keberadaan FeO dalam struktur fayalite

tidak dikehendaki karena akan menurunkan nilai perolehan dari logamnya.

Keberadaan kandungan FeO dalam struktur

fayalite dapat digantikan oleh CaO membentuk

2CaO.SiO2, hal tersebut disebabkan karena

perubahan energi bebas pembentukan 2CaO.SiO2

lebih negatif dari pada 2FeO.SiO2, dengan

demikian semakin banyak kandungan CaO dalam terak maka akan semakin sedikit kandungan FeO- nya begitupun sebaliknya, sehingga apabila ditambahkan CaO maka FeO dalam terak yang asal mulanya bentuk fayalite akan terdesak

menghasilkan FeO bebas. Pertukaran senyawa FeO dengan CaO di dalam terak dapat dituliskan sebagai berikut :

Fe2SiO4 SiO2 + 2FeO ΔG0 1923 K = + 3,9 kJ. (6)

SiO2 +2CaO Ca2SiO4 ΔG0 1923 K = - 117,15 kJ.(7)

2FeO.SiO2 + CaO 2CaO.SiO2 + 2FeO

ΔG01673 = - 113,25 KJ. (8)

Setelah FeO terbebas dari fayalite karena terdesak

oleh CaO menjadi FeO bebas dalam terak maka FeO tersebut akan direduksi oleh karbon menjadi Fe dan masuk ke dalam logam.

Dalam sistem CaO-FeO-SiO2 pada diagram

terner (Gambar 3) dapat dilihat bahwa semakin tinggi basisitas atau kapur bakar maka titik kesetimbangannya akan cenderung bergerak ke arah kiri yang artinya apabila penambahan batu kapur semakin banyak maka pada FeO pada terak akan semakin sedikit.

Selain masalah basisitas, di dalam proses peleburan juga harus diperhatikan penambahan batu bara sebagai sumber karbon atau C. Salah satu pengaruh karbon adalah mereduksi FeO dalam terak. Distribusi perpindahan kandungan FeO

viskositas (poise)

Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015

Departermen Teknik Mesin dan Industri

dalam fasa terak dan fasa logam dapat dituliskan sebagai berikut [4]

(FeO) [FeO] ∆G1873 K = - 1,6 KJ (9)

Oksida besi ketika berada dalam fasa logam dapat mengoksidasi karbon yang terlarut dalam logam sesuai persamaan berikut :

[FeO] + [C] [Fe] + CO ∆G1873 K = - 177,5 KJ (10)

Dengan menggabungkan persamaan reaksi (9) dan (10) didapatkan persamaan reaksi:

(FeO)+[C] [Fe]+CO ∆G1873 K = - 176,5 KJ (11)

Dengan demikian bahwa kandungan karbon dapat mempengaruhi besar kecilnya kandungan FeO baik dalam fasa terak maupun dalam fasa logam. Oleh karena itu semakin tinggi kandungan karbon dalam baja cair maka akan diperoleh kandungan FeO dalam terak semakin rendah (Gambar 3).

Gambar 3 Diagram terner sistem CaO-FeO-SiO2[3] 2. Metode

Metodologi penelitian ini dilatarbelakangi bahwa bijih besi di Indonesia terbukti dapat diolah melalui jalur pirometalurgi untuk menghasilkan besi spons dan kemudian dilebur menghasilkan pig iron. Bijih besi hematit Kabupaten Merangin Jambi

telah dilakukan penelitian sebelumnya dengan mereduksi pellet bijih besi menghasilkan besi spons. Secara ekonomis harga pig iron jauh lebih

mahal dari pada besi spons sehingga perlu diteliti

lebih lanjut pembuatan bijih besi menjadi pig iron

yang dapat memberikan nilai tambah pada potensi bijih besi Jambi.

Masalah utama dalam peleburan besi spons

adalah basisitas. Di dalam penelitian ini dilakukan variasi basisitas dengan penambahan batu kapur. Selain itu, dilakukan juga variasi batu bara yang dimaksudkan untuk mereduksi Fe yang masih dalam bentuk oksida sehingga nantinya bisa meningkatkan nilai Fe. Pengujian dilakukan dengan menggunakan SEM-EDS yang menghasilkan komposisi kimia dan juga struktur mikronya.

Prosedur penelitiannya meliputi tiga tahapan yaitu tahap preparasi, tahap peleburan dan tahap

pengujian. Pada tahap preparasi dilakukan proses pembuatan besi spons dari bijih besi Merangin Jambi dengan komposisi 70% bijih besi dan 30% batu bara. Temperatur reduksinya sebesar 950oC

selama 75 menit menggunakan muffle furnace.

Setelah dihasilkan besi spons, kemudian dilakukan tahap kedua yaitu tahap peleburan. Besi spons dilebur di dalam EAF skala lab pada temperatur 1800oC dengan variasi basisitas dan penambahan

batu bara. Thapan kedua ini dilakukan di BATAN, Bandung. Hasil peleburan berupa pig iron

kemudian dianalisa menggunakan SEM-EDS sehingga dapat diketahui yield-nya.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Pengaruh basisitas terhadap persen perolehan Fe dalam pig iron

Bahan baku yang digunakan pada proses peleburan ini adalah besi spons yang masih

mengandung Fe oksida dalam bentuk FeO. Untuk meningkatkan persen perolehan Fe maka besi spons

tersebut dilebur dalam EAF. Di dalam proses peleburan, masalah basisitas memegang peranan penting karena dapat mempengaruhi persen perolehan (yield). Diharapkan FeO dalam besi spons tidak hilang (masuk ke dalam terak)sehingga

persen perolehan Fe meningkat. Variasi basisitas dalam penelitian ini adalah 0,24; 0,3; dan 0,36. Selain itu ke dalam EAF juga ditambahkan batu bara sebagai pereduksi atau reduktor.

Pada penambahan 1,6 % batu bara diketahui bahwa kenaikan basisitas akan meningkatkan persen perolehan Fe seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Dari Gambar 4 terlihat bahwa persen perolehan Fe terkecil (94,92 %) dicapai pada basisitas 0,24 dan terbesar (99,06%) pada basisitas 0,36. Hal yang sama juga terjadi pada penambahan 2,4 % batu bara (Gambar 5) yaitu makin tinggi basisitas maka persen perolehan Fe meningkat dan % perolehan Fe tertinggi (97,59 %) dicapai pada basisitas 0,36 dan terkecil (54,77 %) pada basisitas 0,24.

Basisitas berhubungan dengan konsentrasi CaO di dalam tanur sesuai dengan rumus basisitas pada persamaan (3) yaitu semakin tinggi basisitas maka konsentrasi CaO meningkat sehingga banyaknya FeO dalam terak yang terbebas dari silikat akan semakin banyak. Jika ditinjau dari diagram CaO-FeO-SiO2 pada Gambar 6 basisitas

besi spons (titik A) dan basisitas 0,24 (titik B)

berada pada kesetimbangan olivines

Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015

Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9

Gambar 4Persen perolehan Fe dengan penambahan 1,6% batu bara

Gambar 5 Pengaruh basisitas terhadap % perolehan Fe pada penambahan 2,4% batu bara

Keterangan:

A: keadaan awal, B:basisitas 0,24; C: basisitas 0,3 dan D: basisitas 0,36

Gambar 6 Diagram terner sistem CaO-FeO-SiO2

Ini menunjukkan bahwa pada kondisi tersebut FeO dalam pig iron masih terikat dalam bentuk

silikat sesuai dengan persamaan reaksi:

SiO2 + 2FeO → 2FeO.SiO2 ∆G02073 = - 6 Kkal (12)

Di lain pihak, pada basisitas 0,3 dan 0,36 (titik C dan D) pada Gambar 6 pig iron berada pada

kesetimbangan CaO.SiO2 sehingga FeO dalam pig iron tidak lagi berikatan dengan SiO2 tetapi fluks

(batu kapur, CaO) yang ditambahkan ke dalam proses peleburan untuk meningkatkan basisitas akan berikatan dengan SiO2 seperti persamaan

reaksi sebagai berikut :

SiO2 + 2CaO → Ca2SiO4 ∆G02073 = - 34 Kkal (13)

2FeO.SiO2 + 2CaO → 2FeO + Ca2SiO4

∆G02073 = - 28 Kkal (14)

Jadi, hasil penelitian dengan variasi basisitas yang menunjukkan bahwa makin tinggi basisitas akan meningkatkan persen perolehan Fe ditunjang secara termodinamika sesuai sistem CaO-FeO- SiO2.

3.2 Pengaruh penambahan batu bara terhadap persen perolehan Fe dalam pig iron

Penambahan batu kapur tanpa diiringi dengan penambahan batu bara maka persen perolehan Fe dalam logam tidak akan naik. Batu bara merupakan sumber karbon yang digunakan sebagai reduktor untuk mereduksi Fe yang masih dalam bentuk oksida sehingga nantinya bisa meningkatkan persen perolehan Fe. Di dalam proses peleburan menggunakan EAF selain ditambahkan batu kapur sebagai fluks untuk mengikat pengotor pada besi spons (antara lain SiO2) juga ditambahkan batu bara

yang berfungsi sebagai reduktor. Apabila penambahan batu bara semakin banyak maka karbon yang diberikan sebagai reduktor akan semakin banyak. Jika semakin banyak karbon maka proses reduksi yang terjadi semakin baik, sehingga FeO akan semakin banyak tereduksi yang nantinya bisa meningkatkan persen perolehan Fe tetapi ada ketentuan dan maksimal batu bara yang ditambahkan karena penambahan batu bara yang berlebih dapat mempengaruhi viskositas. Persamaan reaksi reduksi FeO oleh batu bara yang terjadi pada proses peleburan sesuai persamaan [9, 10 dan 11].

Dari penelitian yang telah dilakukan terlihat bahwa pada kenaikan penambahan batu bara cenderung meningkatkan persen perolehan Fe sampai kondisi tertentu dan kemudian berkurang dengan penambahan batu bara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.

Dari Gambar 7 terlihat bahwa mula-mula persen perolehan Fe meningkat dengan penambahan batu bara dan akan mencapai titik maksimal (96,76 %) pada penambahan batu bara 1,6 % kemudian turun (71,38 %) pada penambahan batu bara 2,4 %. Hal yang sama juga terjadi pada basisitas 0,24 dapat lihat pada Gambar 8.

D C B

A

Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015

Departermen Teknik Mesin dan Industri

Gambar 7 Persen perolehan Fe dengan penambahan basisitas 0,3

Pada Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa pada penambahan batu bara 0,8 %, persen perolehan Fe meningkat dan akan mencapai titik maksimal (94,33 %) kemudian turun (54,77 %) pada penambahan batu bara 2,4 %.

Hal ini ditinjau dari teori Lankford yang menyatakan bahwa persen perolehan Fe naik dengan peningkatan penambahan batu bara. Adanya kenyataan bahwa penambahan batu bara selanjutnya menurunkan persen perolehan Fe. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kandungan SiO2 dalam abu batu

bara. Tabel 2 menunjukkan komposisi kimia abu batu bara.

Tabel 2 Komposisi Kimia Abu Batu bara [5] Oksida Kadar (%) SiO2 48,96 Al2O3 29,26 CaO 6,08 MgO 1,13 SO3 4,17 Na2O 0,25 Fe2O3 6,83 TiO2 2,27

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa kandungan SiO2 dari abu batu bara tinggi menyebabkan kontak

FeO dengan C semakin terhambat dan Fe kembali terikat dalam struktur ikatan silika.

Berdasarkan tinjauan kesetimbangan termodinamikanya kandungan karbon akan mempengaruhi distribusi Fe berdasarkan persamaan reaksi reduksi (11). Nilai konstanta kesetimbangan, K dari persamaan (11) dapat dituliskan sebagai berikut:

K= {(aFe)(pCO)}/{(aFeO)(aC)} (15)

Asumsi jika nilai K > 1 maka reaksi akan bergerak ke arah produk (kanan) sehingga logam Fe

akan masuk ke dalam logam cair. Sebaliknya jika K < 1, maka reaksi akan bergerak ke arah reaktan (kiri) sehingga logam Fe akan masuk ke dalam terak. Ini berarti yield atau perolehan menjadi berkurang. Jika

nilai K = 1 maka terjadi reaksi akan setimbang, laju reaksi ke kiri sama dengan laju reaksi ke kanan.

4. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Basisitas mempengaruhi persen perolehan Fe yaitu makin tinggi basisitas maka akan meningkatkan persen perolehan Fe. Persen perolehan Fe maksimal 99,06 % dicapai pada basisitas 0,36.

2. Batu bara mempengaruhi persen perolehan Fe yaitu penambahan batu bara cenderung meningkatkan persen perolehan Fe sampai kondisi tertentu (96,76 %, dicapai pada penambahan batu bara 1,6 %).

Daftar Pustaka

[1] Mineral Strategis di Kabupaten/Kota, at:

http://webmap.psdg.bgl.esdm.go.id/geosain/n eraca-mineral-

strategis.php?mode=administrasi, diakses 1 Juli 2015.

[2] Coudurier, dkk, 1985, Fundamentals of Metallurgical Processes Second Edition,

Pergamon Press, London.

[3] Biswas, K.Anil, 1981, Principles of Blast Furnace Ironmaking, University of

Queensland, Brisbane, Australia.

[4] Rosenqvist, Terkel, 1974, Principles of Extractive Metallurgy, Tokyo : McGraw Hill

Kogakusha Ltd.

[5] Amaliyah, Novriany., Muhammad Fachry. 2011, Analisis Komposisi Batu Bara Mutu Rendah Terhadap Pembentukan Slagging Fouling Pada Boiler, Universitas Hasanuddin, Tamalanrea-Makasar.

Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015

Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9

Analisis Pemesinan Pada Baja Perkakas SLD Dengan Pengaruh GAP

Terhadap Nilai MRR dan Surface Roughness

Pada Proses