• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sri Harjanto* 1 , Heri Hidayat 1 , Adji Kawigraha 2 1 Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Kampus UI, Depok , Jawa Barat Indonesia 16424

2Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pengembangan Sumber Daya Mineral, BPPT Kompleks PUSPIPTEK, Serpong, Banten

* harjanto@metal.ui.ac.id

Abstrak

Metode Perbaikan Rietveld (Metode Rietveld) telah banyak digunakan dalam analisis kuantitatif senyawa melalui perhitungan pola difraksi sinar X. Penelitian ini mengevaluasi metode rietveld dalam analisis komposisi konsentrat bijih besi hasil separasi fisik meja getar. Perbandingan antara analisis kimia berbasis titrimetri dengan metode Rietveld menunjukkan adanya perbedaan yang nyata kadar senyawa Fe2O3 dan Fe3O4 antara konsentrat-konsentrat

yang diuji. Penelitian ini memperlihatkan bahwa metode Rietveld memiliki tingkat akurasi yang belum setinggi metode analisis kimia berbasis titrimetri.

Keywords bijih besi lateritik, meja getar, hematit, magnetit

1. Pendahuluan

Hilirisasi pengolahan mineral mendorong pada upaya pemanfaatan mineral di Indonesia yang lebih intensif, termasuk bijih besi. Mineral bijih besi Indonesia umumnya tergolong pada jenis bijih besi lateritik dengan kadar besi (Fe) tidak lebih dari 60%. Meskipun berkadar rendah, keberadaan bijih ini cukup melimpah dan tersebar. Jenis senyawa besi dalam bijih besi laterit dapat berupa hematite

(Fe2O3), goethite (Fe2O3.H2O), magnetite (Fe3O4), pyrite (FeS2), dan siderite (FeCO3) dengan

komposisi yang beragam [1].

Kebutuhan akan bijih besi dalam skala besar mendorong pada kebutuhan analisis komposisi besi yang akurat, handal dengan preparasi sederhana. Mengingat, komposisi kimia, struktur dan fasa besi menjadi penting diketahui, untuk menentukan jenis dan bentuk konsentrat dalam pembuatan besi. Sejauh ini, analisis kimia titrimetri lazim digunakan dalam menentukan kadar Fe total, Fe2+ dan/atau Fe3+ yang juga dapat dikonversi lebih

lanjut menjadi kadar oksida-oksida besi tersebut. Selain untuk menentukan senyawa dalam mineral dari analisis pola difraksi sinar X dapat digunakan untuk menentukan kadar senyawa secara kuantitatif. Metode ini dikembangkan oleh Rietveld, selanjutnya dikenal dengan metode Rietveld. Prinsip analisis kuantitatif metode ini berbasisikan pada perbandingan luas daerah di bawah pola difraksi antara sampel yang diukur dengan sampel standar yang diketahui kadarnya dengan bantuan perangkat lunak. Adanya perbedaan intensitas peak dari

difraktofgram memungkinkan kadar suatu fasa dalam senyawa dapat diketahui [2].

Penggunaan metode ini dalam menentukan kadar karbida pada baja paduan 2.25Cr-1Mo-0.25V telah dilakukan dengan hasil yang sangat baik

dengan bantuan perangkat lunak TOPAS dalam proses perhitungannya [3]. Perbandingan metode rietvield, XRF (X Ray Fluorescence) dan SXRD (In Situ X Ray Diffraction) dilakukan untuk menentukan komposisi kimia senyawa Calcium Aluminate Cements (CAC). Hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa ketiga metode tidak berbeda nyata dan hal ini dibuktikan dengan tidak ada penyimpangan yang signifikan pada garis permodelan [4]. Kajian sejenis dengan menggunakan FT-IR (Fourier Transformation-Infra Red Analysis) telah dilakukan untuk menentukan kadar oksida besi FeO, Fe2O3 dan Fe logam besi.

Hasil riset tersebut memperlihatkan perbedaan penyerapan panjang gelombang yang sama sehingga dapat dijadikan dasar untuk mengkuantifikasi kadar senyawa-senyawa tersebut di atas [5]. Aplikasi metode perhitungan Rietvield untuk analisis kuantitatif konsentrasi mineral residu bauksit telah dilakukan [6]. Penelitian tersebut menyoroti beberapa permasalahan yang muncul dalam analisis kuantitatif tersebut, seperti ukuran partikel, penyerapan mikro dan komposisi mineral tak ideal sebagai akibat pemrosesan mineral hasil pelapukan.

Dengan memperhatikan beberapa kajian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan metode Rietveld dalam penentuan kadar senyawa besi oksida dalam konsentrat bahan baku. Sebagai pembanding dan kontrol dilakukan analisis kimia berbasis titrimetri.

2. Metode 2.1 Bahan

Bijih besi lateritik berkadar awal besi (Fe) kurang dari 50% yang berasal dari Indonesia

Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015

digunakan sebagai bahan utama penelitian ini. K2Cr2O7 0.1N digunakan dalam titrimetri berfungsi

sebagai oksidator. SnCl2 10% berfungsi sebagai

pereduksi ion Fe dalam analisis ion Fe total (Fe larut dalam asam). Sedangkan HgCl2 ditambahkan dalam

titrimetri sebagai oksidator kelebihan SnCl2. Dalam

analisis kadar Fe, FeCl3 15% digunakan sebagai

oksidator sampel. NH4Cl 1% ditambahkan sebagai

pelarut dan berfungsi pula sebagai pencegah oksidasi yang tidak diinginkan.

2.2 Persiapan sampel bijih mineral

Bijih besi lateritik berupa batuan berdiameter lebih dari 50 mm diremukkan dan digiling menggunakan peremuk rahang (jaw crusher) dan peremuk rol (roll crusher) berturut- turut sehingga berukuran sekitar 1 mm. Selanjutnya sampel dihaluskan lagi menggunakan penggiling martil (hammer mill) dan penggiling bola (ball mill) serta diayak untuk mendapatkan sampel berukuran 106 m.

Sampel bijih yang telah halus ini kemudian dipisahkan menggunakan meja getar dengan mengatur sudut kemiringan antara 0,5o, 1,5o dan 2,5o

sehingga diperoleh tiga jenis sampel A, B dan C, berturut-turut.

2.3 Analisis Kimia

Metode Rietveld diterapkan terhadap pola difraksi XRD (X-Ray Diffractometer) untuk perhitungan kuantitas komposisi kimia besi dalam oksida. Perhitungan dan perbandingan luasan daerah di bawah pola difraksi sampel dan sampel standar dilakukan dengan bantuan perangkat lunak GSAS®

(General Structure Analysis System) [2].

Titrimetri dilakukan terhadap sampel yang diukur sebagai kontrol pembanding. Pengukuran kadar Fe2+ dilakukan dengan metode sesuai dengan

ASTM D 3872-86. Sedangkan untuk pengukuran Fe metode yang digunakan diadopsi sesuai dengan ASTM E 1028. Pengujian dilakukan berulang untuk menjamin reproduksibilitas data yang dihasilkan.

3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Senyawa mineral konsentrat

Karakterisasi pola difraksi sinar X (Gbr. 1) memperlihatkan bahwa sampel bijih oksida besi pada konsentrat [A], [B] dan [C] terdiri dari senyawa utama hematit (Fe2O3, JSCPDS 72-0469) dan

magnetit (Fe3O4, JSCPDS 79-0418). Meskipun pola

difraksi tidak memperlihatkan munculnya puncak- puncak senyawa pengotor lain, karakterisasi kuantitatif menunjukkan kemurnian total oksida besi masih kurang dari 99%. Hal ini menandakan keberadaan pengotor senyawa pengotor pada senyawa bijih oksida besi.

Tabel 1 Komposisi kimia konsentrat Sampel Fe** Total (%) Simpa- ngan baku Fe2+ (%) Simpa- ngan baku A 46,5 0,07 11,4 0,06 B 46,3 0,05 11,4 0,07 C 51,8 0,09 12,8 0,06

** Fe total ini berarti Fe yang larut dalam asam.

Gbr. 1 Pola difraksi sinar X beberapa sampel konsentrat [A], [B] dan [C].

3.2 Komposisi Kimia hasil Titrimetri

Tabel 1 memperlihatkan hasil analisa komposisi kimia konsentrat bijih besi yang telah dilakukan separasi dengan meja getar pada berbagai variasi sudut kemiringan. Hasil pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa separasi dengan memvariasikan sudut kemiringan meja getar 1o (dari

Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015

Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9

kadar besi total pada konsentrat. Akan tetapi peningkatan kadar terlihat pada perubahan sudut kemiringan 2,5o, mencapai sekitar 10%.

Perhitungan lanjutan terhadap hasil titrimetri memperlihatkan komposisi kimia oksida besi pada konsentrat [A], [B] dan [C], seperti diperlihatkan pada Tabel 2. Dari hasil pengukuran titrimetri yang diperoleh data kadar Fe larut asam dan Fe2+, maka Fe

2O3 dan Fe3O4bisa dihitung

dengan memperhatikan masing-masing berat molekulnya. Hasil perhitungan total oksida besi yang merupakan penjumlahan kadar Fe2O3 dan

Fe3O4 diperlihatkan pada Tabel 2 di bawah ini.

Hasil di bawah ini juga memperlihatkan bahwa separasi dengan menggunakan meja getar baru akan memperbaiki kadar konsentrat dengan kemiringan lebih dari 2o, yaitu 2,5o. Total kadar

oksida besi pada konsentrat meningkat menjadi 72,1%.

Tabel 2 Komposisi oksida besi pada konsentrat hasil pengukuran metode titrimetri.

Sampel Fe2O3

(%)

Fe3O4

(%)

Total oksida besi (%) (1) (2) (3) (2) + (3) A 17,6 47,2 64,8 B 17,2 47,2 64,4 C 19,1 53,0 72,1 .

3.3 Refinement pada Metode Rietvield

Gbr. 1 memperlihatkan pola difraksi sinar x dari tiga jenis bijih dan konsentrat oksida besi, yaitu A, B dan CDari gambar tersebut juga m. enunjukkan keberadaan kurva observasi berupa titik-titik dan kurva kalkulasi berupa garis. Masing- masing kurva A, B dan C telah dilakukan refinenement sekitar 400 siklus.

Validitas hasil refinement diperiksa melalui kurva yang disajikan pada Gbr. 2. Kurva tersebut dinamakan sebagai normal probability plot.

Jika kurva tersbut linear dengan nilai kemiringan dan perpotongan dalam rentang -2 sampai 2, maka proses refinement dinyatakan valid. Gbr. 2 mengindikasikan bahwa langkah perhitungan dan perbaikan (refinement) telah dilakukan dengan baik meskipun pada bagian ujung tampak ada ketidaksempurnaan kemiringan.

Tabel 3 Komposisi oksida besi pada konsentrat dari perhitungan Metode Rietveld.

Sampel Fe2O3

(%) Fe(%) 3O4 Total oksida besi (%) (1) (2) (3) (2) + (3)

A 21,8 42,9 64,7 B 21,7 42,6 64,3 C 23,9 48,3 72,1

Hasil perhitungan dari pengukuran dengan metode Rietveld diperlihatkan pada Tabel 3 di atas. Hasil perhitungan kadar atau komposisi senyawa konsentrat memperlihatkan kecenderungan yang sama antara metode titrimetri dan Rietveld. Komposisi senyawa magnetit lebih besar dibanding hematit. Perbedaan antara kedua metode terletak pada nilainya.

Gbr. 2 Kurva perhitungan (refinement) pada sampel A, B dan C.

3.4 Perbandingan Komposisi Titrimetri dan Rietvield

Gbr. 3 memperlihatkan perbandingan kadar atau komposisi senyawa hematit (Fe2O3) dan

magnetit (Fe3O4) hasil metode titrimetri dan

metode Rietveld. Secara umum kedua hasil memperlihatkan bahwa kadar magnetit lebih besar dibanding hematit pada tiap-tiap sampel konsentrat. Dengan memperhatikan bahwa analisis kimia yang dilakukan sesuai standar ASTM memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi, maka hasil pengukuran dengan metode titrimetri diperlakukan sebagai acuan hasil metode Rietveld. Dari hasil perhitungan, jika dibandingkan tiap sampel A, B dan C dapat diamati bahwa untuk

Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015

hematit, kadar sampel yang diperoleh dari metode Rietveld memberikan hasil lebih tinggi dibanding metode titrimetri. Sedangkan untuk senyawa magnetit, pengukuran dengan metode rietvield memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan hasil pengukuran dengan metode titrimetri. Perbedaan pengukuran antara kedua metode (Rietveld terhadap titrimetri) pada tiap sampel untuk senyawa hematit sekitar rata-rata 25% lebih tinggi, sedangkan untuk senyawa magnetit di tiap sampel berbeda rata-rata 9.5% lebih rendah.

Perbedaan hasil antara metode Rietveld dan titrimetri ini tidak terlepas dari proses pengolahan data dan iterasi penentuan luas daerah di bawah kurva pola difraksi sinar X. Keberadaan pengotor yang ada bersama senyawa yang diukur juga berkontribusi terhadap perbedaan nilai antara kedua metode itu. Hal lain yang bisa memberikan pengaruh terhadap hasil perhitungan dengan metode rietvield adalah teknik pemindaian sinar X. Waktu pencacahan yang terlalu besar bisa memberikan hasil ketidakjelasan puncak-puncak difraksi yang berdekatan.

0 20 40 60 80 100 0 20 40 60 80 100 C Fe2O3

Kadar - Metode Titrimetri (%)

Kadar - Metode Ri et vie ld (%) Fe3O4 A B C A B

Gbr. 3 Perbandingan komposisi atau kadar senyawa pada tiap-tiap sampel A, B dan C antara metode rietvield dan metode titrimetri.

4. Kesimpulan

Perbandingan dan evaluasi metode rietvield dengan metode titrimetri yang telah distandarisasi terhadap kadar atau komposisi senyawa oksida besi beberapa jenis konsentrat bijih besi sebagai produk proses separasi menggunakan meja getar menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut.

1. Metode Rietveld dapat digunakan untuk menentukan kadar atau komposisi senyawa oksida besi dalam konsentrat bijih besi dengan tingkat akurasi relatif terbatas, karena dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti kemurnian sampel dan/atau teknik pemindaian difraksi sinar x.

2. Dibandingkan dengan analisis kimia dengan metode titrimetri, untuk senyawa hematit

(Fe2O3) metode Rietveld memberikan hasil

25% lebih tinggi, sedangkan untuk magnetit (Fe3O4) memberikan nilai 9,5% lebih rendah. Ucapan Terima kasih

Penulis menghaturkan terima kasih kepada Departemen Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia atas bantuan pendanaan untuk berpartisipasi dalam Seminar Nasional Metalurgi dan Material 2015.

Daftar Pustaka

[1]. A. Arifin, 2006, Keberadaan Sumber Bijih Besi dan Pengembangan Industri Besi Baja Indonesia, Jurnal Metalurgi, vol. 21 no.1 Juni,

pp 1-9.

[2]. A.F. Gualtieri. A guided Training Exercise of Quantitative Phase Analysis Using EPGUI, Italy, Universita di Modena,

http://www.ccp14.ac.uk/solution/gsas/files/exp gui_quant_gualtieri.pdf, diakses 1 Desember 2012

[3]. Z. Yongtao, H. Haibo, M. Lede, Z. Hanqian, dan Li Jinfu, 2009,Quantitative Carbide using the Rietveld Method for 2.25Cr-1Mo-0.25V steel. Materials Characterization vol 60, pp

953-956.

[4]. F. Guirado dan S Gali, 2006, Quantitative Rietveld Analysis of CAC Clinker Phases Using Synchrotron Radiation. Cement and Concrete Research vol. 36, pp 2021-2032.

[5]. N. Dilmac, S. Yoruk, dan S.M. Gulaboglu, 2012, Determination of reduction degree of direct reduced iron via FT-IR spectroscopy.

Vibrational Spectroscopy vol 61, pp 25-29.

[6]. T.C. Santini, 2015, Application of the Rietveld refinement method for quantification of concentration in bauxite residues (alumina refining tailings), Int. J. of Mineral Processing,

Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015

Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9

Pengaruh pH dan laju aliran fluida pada flow loop system