Penanganan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di Kota Jayapura Dengan Melibatkan Masyarakat
Adanya 2 (dua) kelompok dukungan penyintas, yaitu d
Kampung Kayu Batu dan Nafri
Kegiatan ketrampilan yang dilakukan di dua kelompok penyintas tersebut berpotensi untuk meningkatkan kemandirian perempuan penyintas3.
Berikut adalah kisah-kisah perubahan dari para pemangku kepentingan di tingkat masyarakat:
Mama Yanti, anggota MSF Abepantai: “...begini kita bisa bantu ekonomi to... ” Dari keaktifannya terlibat dalam kegiatan-kegiatan kampung, Mama Yanti menemukan bahwa kekerasan dapat terjadi karena adanya keterbatasan ekonomi. “...anak ke sekolah, dia butuh biaya lalu orang tua tidak ada, kita bisa ribut.” Untuk itulah ia menganggap kegiatan pelatihan abon ikan dan pentolan bakso yang dilakukan oleh LSPPA sangat bermanfaat. Selain bahwa para penyintas mendapatkan ketrampilan baru, ia juga melihat bahwa hasilnya bisa dipasarkan sehingga hal tersebut berpotensi menambah pemasukan.
Ia berharap dengan adanya peningkatan pendapatan dalam keluarga, angka KDRT dapat turun. Menurutnya, kesehatan masyarakat tidak dapat tercapai bila masih terjadi KDRT. “Percuma kalau kita mau layani kesehatan, kalau yang ada kekerasan dalam rumah tangga. Kalau orang mau sehat, kalau itu [kekerasan] masih ada, bagaimana orang mau sehat to. Percuma kita survey-survey jalan, kalau tiap hari pak pak [terjadi pemukulan]. Bagaimana mau sehat?”
Mama Yanti yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sapu di Dinas Kebersihan kota Jayapura ini menuturkan bahwa, “Untuk transportasi ke sekolah kan, kita butuh 20 ribu.
3 Pada pelaksanaan program, usaha abon ikan dikelola secara kelompok.
Halaman 186
Itu dari Nafri sampai SMA 1. Itu kan butuh biaya... dengan adanya jual-jualan begitu, bermanfaat. Trus kita beli sayur, beli minyak. Dengan begini kita bisa bantu ekonomi to, karena kekerasan bisa terjadi karena kekurangan ekonomi.”
Mama Mien, anggota MSF Abepantai: “Perempuan yang ada masalah, bisa bantu dirinya sendiri.”
Mama Mien yang bernama lengkap Mien Fingkreuw mengakui bahwa dulu ia tidak mengenal adanya layanan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Setelah adanya kegiatan-kegiatan yang diorganisasi oleh LSPPA, ia baru mengetahui segala macam hal tentang penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebagai seorang pendeta yang posisinya sangat strategis di masyarakat, ia mengakui bahwa pengetahuan baru tentang penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak ini sangatlah bermanfaat. “Ketika kita sudah terlibat langsung itu oh ternyata begini. Juga kita bisa paham [soal hukum] walaupun kita bukan orang hukum atau pemerintahan.” Ia pun mengapresiasi kemitraan yang telah dibangun bersama sejak program berjalan. Kita bisa membangun hubungan kemitraan. Itu sebuah hal yang luar biasa bagi saya,” demikian tuturnya.
Selain itu, ia menganggap kegiatan-kegiatan ketrampilan seperti pelatihan pembuatan abon dan pentolan ikan bagi para penyintas dapat berdampak pada pengembangan diri para penyintas yang selama ini masih bergantung pada suami. Ia menuturkan, “... perempuan-perempuan diajar supaya mereka dapat mengembangkan diri. Selama ini mereka tergantung pada suami. Bila mereka ditinggalkan, mereka bingung apa yang dilakukan.”
Menurut Mama Mien, LSPPA mampu menggali potensi-potensi yang ada dalam penyintas. Ia mengungkapkan, “Mereka yang tadinya tidak berani untuk bicara, mereka dikasih lihat, kalau begini Ibu dorang ada yang melindungi.” Lalu, meskipun dalam pandangannya program yang ada berjalan relatif baru, tetapi sudah banyak hal yang dilakukan sehingga para perempuan, terutama penyintas mendapatkan manfaat dari program. “Perempuan yang ada masalah, bisa bantu dirinya sendiri,” begitu tuturnya.
Mama Grace, anggota MSF Tanjung Ria: “... saya bisa jadi tempat aman.”
Sebelum adanya intervensi dari KINERJA-LSPPA, Mama Grace mengakui ia tidak mengetahui mengenai layanan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ia bahkan juga tidak memahami mengenai adanya ketidakadilan yang menimpa perempuan. Ia baru memahami persoalan itu setelah LSPPA melakukan serangkaian kegiatan pemutaran film di Kampung Kayu Batu. Ia mengingat salah satu film yang menceritakan tentang seorang perempuan yang dari pagi hingga malam terus beraktivitas baik di rumah maupun di luar rumah; sementara suaminya dan anak laki-lakinya tidak banyak membantu pekerjaan rumah tangga. Di sisi lain perempuan itu juga mendapatkan upah yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang didapatkan suaminya4. Ia mengatakan, “Saya baru sadar kalo perempuan kerja banyak sekali. Jadi sadar saya pu kerja paling banyak eh.”
Mama Grace juga menuturkan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh LSPPA membuatnya menjadi mengetahui informasi mengenai P2TP2A. “Kalau macam ada kekerasan, bisa pi laporan ke sana. Baru tahu setelah ada sosialisasi. Ternyata ada dinas tertentu, ada lembaga tertentu di kota to yang dia dampingi orang-orang yang mengalami kekerasan.” Ia juga mengungkapkan bahwa sebagai anggota MSF ia kerap dihubungi untuk dimintai bantuan menangani kasus kekerasan. “Ada yang berulang- ulang to. Ada yang ibu rumah tangga. Ada yang masih pacar-pacar. Dia dipukul pacarnya. Pas saya sedang di Tanjung Ria, ada telpon. Temannya yang lapor. Kayaknya saya bisa jadi tempat aman juga.”
Monitoring dan evaluasi
Hingga saat ini, monitoring dan evaluasi masih dilakukan oleh LSPPA, organisasi mitra pelaksana mitra USAID Kinerja. Monitoring dilakukan dengan melakukan kunjungan ke puskesmas mitra dan ke kelompok penyintas dua kali dalam satu tahun. Selain itu, monitoring juga dilakukan setiap 3 bulan melalui pertemuan bersama, melibatkan BPPKB, P2TP2A, kelompok survivor, MSF dan puskesmas mitra.
4 Film yang dimaksud adalah The Impossible Dream.
Halaman 188
Sedangkan evaluasi dilakukan di akhir program melalui sebuah diskusi yang melibatkan seluruh pihak terkait. Kegiatan ini bertujuan mengumpulkan hasil pembelajaran pelaksanaan program, yang kemudian dibukukan oleh LSPPA.
Setelah program USAID Kinerja berakhir, monitoring dan evaluasi program pencegahan dan penanganan KtPA akan tetap dilakukan secara rutin oleh BPPKB dengan melibatkan SKPD/ terkait (dinas kesehatan, dinas sosial, kepolisian, dan P2TP2A).
Selain itu monitoring dan evaluasi dapat menjadi program pemerintah Kota Jayapura karena mereka telah membuat RAD untuk KtPA. Kegiatan monitoring dan evaluasi juga dapat digunakan untuk mengumpulkan data kasus memperkuat jejaring pelayanan KtPA.
Tantangan yang dihadapi
Dari hasil wawancara dengan para pemangku kepentingan di tingkat pemerintah maupun masyarakat, berikut adalah tantangan-tantangan dalam menjalankan program penanganan KtPA:
a. Ruang P2TP2A berada dalam aula yang terletak di lantai 2 kantor Walikota Jayapura. Letak ruang ini membuat korban tidak nyaman, terutama bila kondisi fisik mereka penuh lebam/luka. Jika pemerintah daerah belum dapat menyediakan ruangan di luar kantor, seharusnya dapat dicari ruangan yang terletak di luar, berada di lantai dasar yang menghadap langsung ke halaman sehingga memudahkan masayarakat dalam mengaksesnya dan tidak perlu melewati banyak ruangan dan orang.
b. Tingginya tingkat mutasi di SKPD mempersulit kerja tim P2TP2A karena pembekalan yang telah diberikan pada staf sebelumnya harus diulang kembali ketika terjadi pergantian staf. Akan tetapi hal ini coba diatasi dengan mencantumkan langsung nama individu pada SK Walikota tentang Tim P2TP2A. c. Hingga saat ini belum rumah aman belum tersedia karena masih terkendala oleh
persoalan pembebasan lahan.
d. Kekerasan dianggap hal biasa dan merupakan urusan internal keluarga yang bersangkutan.