Penanganan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di Kota Jayapura Dengan Melibatkan Masyarakat
5 PKM Abe pantai 7 kasus KDRT (Desember – Maret
2015)
Perempuan dewasa
Berikut adalah kisah-kisah perubahan dari para pemangku kepentingan di tingkat pemerintah:
Ibu Yokbeth Hamadi dari tim P2TP2A Kota Jayapura: “Dengan adanya KINERJA- LSPPA, pekerjaan sekarang jadi lebih jelas.”
P2TP2A yang terletak di gedung serba guna, lantai 2 sayap kanan kantor pemerintah kota Jayapura ini sehari-hari dikelola oleh enam orang staf dari BPPKB, yaitu: a) Ibu Bertha Mansawan; b) Ibu Yakomina Krey; c) Ibu Maria Nere; d) Ibu Yokbeth Hamadi; e) Ibu Rabiah Naumarury; f) Ibu Welmince Ramela. Dalam struktur P2TP2A, keenam orang yang disebut sebagai tim harian ini berada di bawah bidang layanan dan pengaduan. P2TP2A Kota Jayapura sendiri telah berdiri sejak 4 November 2008. Akan tetapi, sejak berdiri hingga sebelum intervensi program dari KINERJA-LSPPA, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dilakukan tanpa panduan tertulis. Tim mengakui bahwa selama itu mereka hanya bekerja saja. Mereka mengetahui harus merujuk ke mana, tetapi tidak ada panduan tertulis. Selain itu, dulu mereka hanya merujuk ke kepolisian saja, tidak pernah ke layanan kesehatan seperti Puskesmas. SK Walikota tentang tim P2TP2A juga hanya didasarkan pada instansi, bukan langsung pada individu; sehingga ketika terjadi mutasi, maka tim kesulitan untuk merujuk.
Sekarang, segala sesuatunya sudah berubah menjadi lebih baik dan jelas. SK Walikota sudah mencantumkan nama individu, laporan kekerasan bisa didapat dari Puskesmas, dan yang terpenting adalah adanya SOP yang di dalamnya memuat tentang alur layanan. Dalam hal penyusunan SOP, referensi dari wilayah lain sangat membantu saat proses penyusunan. Dokumen SOP inilah yang membuat kerja-kerja penanganan
kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi lebih jelas dan rujukan menjadi lebih luas.
Ibu Bertha menuturkan, “Karena sudah ada SK dan sudah ada alurnya, sekarang kerjasamanya sudah baik. Dulu hanya dengan kepolisian saja. Sekarang [juga] dengan Puskesmas.” Respon positif juga diungkapkan oleh Ibu Yokbeth. Ia mengatakan, “[Adanya KINERJA-LSPPA] Mempermudah kita. Ada referensi untuk kita bagaimana cara untuk penanganan kekerasan. Jadi ada tulisan begitu, ada uraian. Dengan adanya Kinerja-LSPPA, sekarang jadi lebih jelas.”
Ibu Betty Anthoneta Puy, Kepala BPPKB kota Jayapura: “Dengan SOP semakin mudah kita kerja.”
Ibu Betty Anthoneta Puy, Kepala BPPKB Kota Jayapura menuturkan, dulu penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak hampir sebagian besar dilakukan oleh BPPKB meskipun ada SK Walikota untuk tim P2TP2A. Akan tetapi, SK Walikota yang dahulu masih mencantumkan nama instansi; sehingga ketika terjadi mutasi, maka tim dari BPPKB harus melakukan penguatan kembali pada petugas yang baru. Akibatnya, penguatan-penguatan yang sudah dilakukan menjadi terputus dan hal ini mempengaruhi pendanaan bagi korban kekerasan. Selain itu, sebelum adanya intervensi dari KINERJA-LSPPA, tidak ada SOP untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak karena penyusunannya terkendala oleh waktu.
Sekarang, setelah adanya pendampingan dari LSPPA, SOP sudah berbentuk dokumen; sehingga jadi semakin lebih jelas siapa-kerja-apa. “Yang lalu lalu kan terpaksa kami dari P2TP2A bawa [korban untuk] akses ke rumah sakit. Sekarang malah mereka yang bantu kami,” demikian ungkap Ibu Betty. Pendampingan dari LSPPA yang menuntut adanya pertemuan-pertemuan koordinasi lintas sektoral juga telah memungkinkan BPPKB meminta instansi-instansi yang terlibat dalam P2TP2A untuk menunjuk stafnya agar namanya dapat dicantumkan dalam tim P2TP2A; sehingga akhirnya SK Walikota tentang tim P2TP2A saat ini langsung mencantumkan nama individu, tidak lagi nama instansi. Pencantuman nama individu dalam SK Walikota
tentang tim P2TP2A ini mempermudah kerja-kerja penanganan kasus kekerasan. “Supaya lebih tanggung jawab. Nama dalam SK ini kan kami minta pada pimpinan- pimpinan. Dan itu diutus dari instansi atas dasar permintaan kami. Misalnya di kejaksaan; siapa sih yang menangani perempuan dan anak, orang itu nanti yang diutus. Kontaknya langsung ke person tersebut dan kalau ada pelatihan dan sebagainya, dia itu yang diberi penguatan untuk mengerti tugas dan fungsi ketika ada korban,” ucap Ibu Betty.
Di sisi lain, dengan adanya pertemuan-pertemuan lintas sektoral, pembiayaan untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak pun tidak hanya dibebankan pada P2TP2A. Lalu, kegiatan penyusunan RAD Perlindungan Bagi Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak kota Jayapura, membuka peluang dalam bentuk kerja yang terpadu bagi perlindungan terhadap perempuan dan anak karena melibatkan berbagai instansi; sehingga terutama tidak terjadi tumpang tindih dari segi pendanaannya. “Dana yang keluar tidak kita biayai untuk hal yang sama. Nanti kesehatan kerja apa dengan pembiayaan mereka trus kita kerja apa. Jangan sampai ada pembiayaan yang sama. Ada di dinas kesehatan dan ada di kita,” ungkap Ibu Betty.
Pada akhirnya, pertemuan-pertemuan koordinasi lintas sektoral yang juga menghasilkan dokumen SOP untuk penanganan kekerasan perempuan dan anak ini membuat kerja-kerja penanganan menjadi lebih mudah. “Dengan SOP semakin mudah kita kerja. Kalau ada mutasi, tinggal dikasih, ini alur kerjanya seperti ini. Sudah mempermudah. Ini menunjang SPM yang ada,” demikian penuturan Ibu Betty.
Suster Alce dari Puskesmas Tanjung Ria: “...kita akhirnya punya pengetahuan bagaimana untuk konseling anak, bagaimana untuk set up lingkungannya...”
Suster Alce, salah seorang suster yang bertugas di Puskesmas Tanjung Ria yang menjadi salah satu Puskesmas percontohan untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menceritakan dulu sebenarnya banyak kasus yang ia tengarai sebagai kasus KDRT. Akan tetapi, ia saat itu tidak melakukan tindakan khusus untuk menangani pasien korban KDRT. Ia hanya melayaninya sebagai pasien umum saja. “Selesai obati, sudah pulang. Nggak ada lagi penanganan-penanganan lainnya.”
Suster Alce juga mengungkapkan dulu ia tidak mengetahui bahwa ada SOP dari Kementerian Kesehatan untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Setelah adanya pertemuan-pertemuan koordinasi untuk penyusunan SOP penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, barulah ia mengetahui informasi dari Dinkes tentang hal tersebut. Lalu, dengan adanya SOP, telah ada kasus yang diproses hingga ke kepolisian (Polsek). “Kita kan punya tim. Dari walikota itu kan ada SK. Jadi sama Polwan yang [ditunjuk di SK] itu langsung dihandle. Kita juga sudah kunjungan rumah dengan P2TP2A. Sebelum dengan Kinerja ini, kita belum kunjungan. Baru setelah ada Kinerja ini, kita dengan PP [melakukan kunjungan rumah].”
Gambar 2. Staff puskesmas mitra USAID Kinerja melakukan. SOP membantu penanganan kasus kekerasan yang lebih baik.
Selanjutnya, dengan adanya ruang khusus untuk korban kekerasan yang terletak di lantai 2 Puskesmas ini, baik petugas maupun korban menjadi lebih nyaman karena lantai 2 relatif sepi dari kegiatan Puskesmas. “Korban merasa lebih nyaman. Ruangannya kan sendiri. Terus setting ruangannya juga bagus. Tidak terlalu tertutup. Kan ada jendela. Jadi kita berbicara, mereka tidak merasa takut untuk menceritakan. Tidak merasa takut untuk berbicara tentang persoalan yang terjadi,” ungkap Suster Alce. Sejak difungsikan pada bulan Juli 2014, telah terdapat enam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Salah satunya adalah kasus percobaan perkosaan terhadap anak perempuan yang telah ditangani. “[Awalnya] Dia tidak berani cerita. Ternyata setelah digali informasi, sudah sempat dilucuti pakaiannya untuk diajak bersetubuh. Tapi tidak jadi, terus dipukul,” Suster Alce mengisahkan.
Kemampuan tenaga kesehatan untuk menggali informasi meningkat setelah mengikuti penguatan kapasitas konseling dasar. Sebelum mendapatkan penguatan tersebut, Suster Alce mengatakan ia hanya melakukan wawancara biasa saja. Kini, ia mengakui telah memiliki ketrampilan untuk melakukan konseling baik terhadap perempuan dewasa maupun anak-anak. “Selama ini kita kalau wawancara, wawancara biasa saja. Tapi kita akhirnya punya pengetahuan bagaimana untuk konseling anak, bagaimana untuk set up lingkungannya supaya anak itu bisa terbuka. Lalu pendekatan secara individu untuk dia bisa merespon positif atas apa yang terjadi. Di situ kita diajarkan untuk itu, bagaimana untuk membangun trust. Kalau dia sudah percaya, otomatis komunikasi dengan kita bisa bagus.”
Bidan Syiska dari Puskesmas Koya Barat: “Konseling itu paling penting. Kalau kita obati saja, itu tidak berarti.”
Bidan Syiska dari Puskesmas Koya Barat mengakui bahwa sebelum mendapatkan pelatihan dari LSPPA, ia belum paham isu kekerasan. Saat itu ia hanya mengobati luka pasien saja, tanpa mengetahui konseling. “Kita sebagai petugas kesehatan, batasnya hanya mengobati saja, menterapi fisik. Merawat luka.” Ia menengarai sebenarnya kasus kekerasan itu banyak dan bahkan sudah terjadi berulang-ulang, tetapi tidak terdokumen dengan baik.
Namun, setelah adanya pelatihan dari LSPPA, ia menjadi tahu cara melakukan konseling yang menurutnya sangat penting karena ia langsung berhadapan dengan korban. Ia mengatakan, “...menangani kasus kekerasan... itu perlu ketrampilan khusus untuk menggali seperti apa dan cara mengkonseling mereka itu beda-beda.” Bermain peran (role play) yang menjadi bagian dari aktivitas dalam pelatihan, menurutnya, sangat membantunya dalam melakukan konseling. “Role play itu membantu sekali. Role play yang bikin semakin mantap. Mimik-mimiknya kita harus seperti ini.” Selain itu, intervensi yang telah dilakukan oleh KINERJA-LSPPA membuatnya mengetahui tentang adanya sistem rujukan; sehingga ia menjadi tahu batas-batas apa yang perlu dilakukan oleh petugas kesehatan dan apa yang bisa dirujuk. Dokumentasi kasus kekerasan pun sekarang menjadi lebih baik; dan hal ini memermudah koordinasi dengan Dinkes.
Dari segala upaya penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, baginya yang terpenting adalah pasien mengetahui bahwa para petugas kesehatan peduli dengan masalah yang mereka hadapi; sehingga mereka tidak merasa terkucil. Oleh karena itulah ia beranggapan bahwa, “Konseling itu paling penting. Kalau kita obati saja, itu tidak berarti.”
Ifanny Elizabeth Korwa, Kepala Puskesmas Abepantai: “Alur menjadi lebih jelas.” “Ibarat dua garis lurus yang jalan nggak pernah ketemu,” begitu Ibu Ifanny Elizabeth Korwa menggambarkan hubungan antara Puskesmas dan BPPKB sebelum adanya intervensi dari KINERJA-LSPPA. Dulu yang ada hanyalah sosialisasi, dan tidak ada alur rujukan sampai di Puskesmas. Kerjasama lintas sektor untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak berjalan. “Dulu dong bingung kalau saya dapa pukul dari laki, trus saya mau lari ke mana eh.” Setelah adanya pendampingan dari LSPPA, barulah ada kerjasama antar instansi terkait; sehingga tenaga kesehatan di tingkat Puskesmas dapat menginformasikannya pada pasien yang mengalami KDRT.
Gambar 3. Melalui program penanganan terpadu perempuan dan anak kekerasan, para korban mendapat bantuan yang tepat.
Dengan adanya kejelasan alur ini, Ibu Fanny, panggilan akrab dari Kepala Puskesmas Abepantai ini, merencanakan akan mengintegrasikan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak di ibu hamil. Rencananya, dari delapan pertemyan kelas ibu hamil yang akan dibuka kembali tanggal 24 Oktober 2014 ini, akan ada satu pertemuan yang membahas tentang penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak; sehingga bila terjadi kasus kekerasan, pasien tidak menjadi bingung. Puskesmas memiliki tim yang dapat menanganinya. Selain itu, tahun 2015, rencananya akan dibuka kelas untuk remaja; dan di dalam kelas itu akan diintegrasikan materi-materi tentang penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal ini semua dapat dilakukan karena KINERJA-LSPPA telah melakukan pendampingan untuk SOP penanganan kekerasan perempuan dan anak. “Dong buatkan alur menjadi lebih jelas,” demikian tutur Ibu Fanny.
dr. Yuspita dari Dinkes Kota Jayapura: “Penanganan kekerasan menjadi lebih fokus.”
Dokter yang sehari-hari bekerja di Dinkes Kota Jayapura bagian pelayanan kesehatan ini mengungkapkan bahwa dulu ia tidak mengetahui bila Puskesmas perlu dilibatkan dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ia juga mengatakan bahwa dahulu sistem rujukan tidak dikenal. Setiap korban yang mendatangi layanan kesehatan, hanya sebatas dilayani untuk diobati lukanya saja. Tidak ada tindak lanjut setelahnya.
Setelah adanya intervensi dari KINERJA-LSPPA dalam bentuk-bentuk pertemuan koordinasi lintas sektoral, ia pun mengetahui mengenai sistem rujukan. “Dulu sistem rujukan tidak jalan, setiap yang masuk sebatas dilayani. Tidak ada tindak lanjut. Setidaknya dirujuk ke rumah sakit. Dulu alur koordinasi tidak ada. Kami tidak akan bisa
kerjasama, contohnya dengan pemberdayaan perempuan dalam hal ini P2TP2A seandainya tidak ada dari LSPPA.” Ia menemukan bahwa pertemuan-pertemuan koordinasi itu juga menjadi sarana bagi Puskesmas-puskesmas yang terlibat dapat saling bertukar informasi. Selain itu, koordinasi antara Dinkes dan Puskesmas pun menjadi lebih baik pula. Ia menuturkan bahwa Dinkes sudah menginformasikan pada 12 Puskesmas yang ada di kota Jayapura untuk mengkoordinasikan data kekerasan terhadap perempuan dan anak pada Dinkes. Lalu, untuk tahun 2015, akan direncanakan lima Puskesmas untuk dilatih penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
dr. Yuspita mengungkapkan pula bahwa pendampingan yang dilakukan LSPPA sangat bagus. Ia mengatakan bahwa setelah ada kegiatan pertemuan-pertemuan akhirnya koordinasi berjalan dengan baik. Ia pun mengatakan, “Penanganan kekerasan menjadi lebih fokus. Bila ada indikasi kekerasan, langsung ditangani secara khusus.”
Sementara itu, dari hasil wawancara dengan penerima manfaat yaitu para pemangku kepentingan di tingkat masyarakat (dalam hal ini adalah anggota multi-stakeholder forum (MSF), masyarakat merasakan adanya perubahan-perubahan signifikan sebagai berikut:
Output Dampak dari Output
- SOP Penanganan KtPA
- RAD bagi perlindungan korban KtPA kota Jayapura 2015-2016
- Karena masyarakat (dalam hal ini anggota MSF) dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan penyusunan SOP dan RAD, mereka pada kelanjutannya memiliki pengetahuan mengenai sistem rujukan, dalam artian mereka mengetahui ke mana harus merujuk atau siapa yang perlu dihubungi bila terjadi kasus kekerasan.
- Ada 1 (satu) kasus kekerasan pada masa pacaran (date violence) yang dilaporkan oleh teman korban pada Mama Grace.
Adanya 2 (dua) kelompok