• Tidak ada hasil yang ditemukan

Duda Dikenai ‘Iddah

Dalam dokumen Ada Pemurtadan di IAIN (Halaman 54-56)

Isi Draft itu membabat hukum Islam secara terang-terangan, jadi bukan sekadar mengingkari, namun

melawan, di antaranya poligami dilarang, mahar bisa dari wanita, lelaki, atau dua-duanya; iddah (masa tunggu setelah cerai hidup atau cerai mati) dikenakan bagi perempuan dan laik-laki (3 bulan untuk cerai hidup). Bahkan ada pasal iddah untuk duda dalam pasal 88 ayat 9:

(9) Masa iddah bagi seorang duda ditentukan sebagai berikut:

a. apabila perkawinan putus karena kematian, maka masa transisi ditetapkan seratus tiga puluh hari;

b. apabila perkawinan putus karena perceraian, maka masa transisi ditetapkan mengikuti masa transisi mantan istrinya.

(Draft Kompilasi Hukum Islam, Pengarusutamaan Gender Depag RI, 2004).

Hak cerai dan rujuk bukan hanya pada suami tapi juga pada isteri. Nikah bukan ibadah. Poligami dilarang tapi kawin kontrak boleh. Hukum waris laki-laki dan perempuan 1:1 atau 2:2. Nikah beda agama boleh. Itu semua menurut Prof Ali Mustafa Ya’qub dari Komisi Fatwa MUI adalah hukum Iblis. Sedang menurut Prof Bustanul Arifin SH, tindakan membuat LSM di Departemen Agama oleh Siti Musdah Mulia itu adalah subversi khofi (terselubung). Seharusnya ditindak.

Berita tentang Draft kompilasi hukum Islam buatan kaum liberal (sebagian adalah tenaga-tenaga dari IAIN dan UIN) di Departemen Agama RI itu bisa disimak sebagai berikut:

Draft Kompilasi Hukum Islam Picu Kritik Laporan : fin

JAKARTA -- Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) baru menjalani sosialisasi pertama kemarin. Sejumlah pasal langsung memicu kontroversi. Titik kontroversi terutama ada pada Hukum Perkawinan dan Hukum Waris. Di antaranya adalah pelarangan poligami, pemungkinan perjanjian kawin dalam jangka waktu tertentu, serta penyamaan berbagai hak suami dan istri. Calon istri, misalnya, bisa melakukan ijab-kabul dan memberikan mahar. Pasal yang tidak kalah kontroversial adalah pembolehan perkawinan beda agama. Tim Pengarusutamaan Gender bentukan Depag, sebagai penyusun Draft, menilai pelarangan perkawinan beda agama melanggar prinsip pluralisme dalam Islam. Abdul Moqsith Ghazali, anggota tim penyusun, mengaku sejak semula sudah

memperkirakan akan mendapatkan kritikan tajam. Timnya pun secara internal menjalani perdebatan yang panjang dan alot untuk membuahkan Draft itu. Menurut dia, banyak sekali ketidakadilan dalam susunan KHI lama. ''Kami menyusun ini dengan mengacu pada dalil-dalil yang ada. Karena itu, jika memang tidak ada dalil yang melarang untuk mengubah sesuatu hal, berarti itu merupakan dalil untuk mengubah,'' kata Moqsith. Menteri Agama, Said Agil Husin Al-Munawar, juga memperkirakan substansi Draft KHI baru ini akan

mengundang perdebatan. Namun, dia berharap Draft ini tidak langsung ditolak, akan lebih baik jika dikritisi lebih dulu. ''Bagaimanapun juga, saya lebih senang dengan usaha pembaruan hukum Islam yang bernuansa Indonesia daripada formalisasi syariat Islam,'' ujarnya.

Guru besar hukum Islam Universitas Indonesia, Tahir Azhari, dengan terang-terangan menganggap beberapa poin Draft itu mengada-ada. Tentang perkawinan dengan perjanjian jangka waktu tertentu, misalnya, dia menyebut nikah adalah ibadah yang berdasarkan tradisi Rasulullah.

Nikah harus berlandaskan hukum, bukan semata-mata atas kesepakatan layaknya kontrak. Draft baru menyebut, batas usia minimum calon istri maupun calon suami adalah 19 tahun. Pertimbangannya, untuk tidak lagi mendiskriminasi perempuan. KHI lama menyebut, calon suami 19 tahun dan calon istri 16 tahun. Tahir mengkritik, sejak akil baligh, perempuan dan laki-laki sudah layak menikah.

Soal perkawinan beda agama, Tahir menyitir beberapa ayat dalam surat Albaqarah yang menurutnya jelas melarang orang Islam kawin dengan non-Islam. ''Prinsip ini berasal dari wahyu, tidak boleh kita

mempertanyakannya lagi,'' tegas Tahir. Menurut dia, akal tidak bisa begitu saja membantah wahyu. Kritik tajam juga dikemukakan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN), Hasanuddin Af. Dia menganggap para penyusun Draft mengambil langkah yang secara langsung bertentangan dengan Alquran dan hadis. Padahal, Alquran adalah perintah Allah yang tidak dapat lagi diganggu-gugat.

Menurut Hasanuddin, keadilan bukan berarti semuanya harus sama persis. ''Seharusnya yang menjadi dasar adalah keseimbangan dan proporsionalitas. Bagaimanapun juga fisik laki-laki berbeda dengan perempuan, jadi harus ada pembagian tugas,'' katanya. Soal poligami, Hasanuddin menyebut pintu untuk mempunyai istri lebih dari satu sangat sempit. Harus memenuhi beberapa syarat yang tidak ringan. Dia menyebut, misalnya, kemampuan dan keadilan.

pembentukan hukum. Dan, realitas zaman klasik berbeda dengan saat ini. ''Dulu semua hal dilakukan atas dasar personal. Sekarang, semua hal penting harus dilakukan berdasarkan hukum,'' ujar pemimpin Ponpes Daarut Tauhid, Cirebon, itu.

Beberapa Pasal Kontroversial:

1. Asas perkawinan adalah monogami (pasal 3 ayat 1). Perkawinan di luar ayat 1 harus dinyatakan batal secara hukum (pasal 3 ayat 2).

2. Calon suami atau calon istri harus berusia minimal 19 tahun (pasal 7 ayat 1) 3. Calon istri dapat mengawinkan dirinya sendiri dengan syarat tertentu (pasal 7 ayat 2) 4. Perempuan bisa menjadi saksi (pasal 11)

5. Calon istri bisa memberikan mahar (pasal 16)

6. Calon suami dan calon istri bisa melakukan perjanjian perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28) 7. Perkawinan beda agama boleh (pasal 54)

Hukum Waris:

1. Anak yang berbeda agama tetap mendapatkan warisan (pasal 2 huruf e)

2. Bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama 1:1 (pasal 8 ayat 3)

3. Anak di luar nikah yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan hak warisan dari ayahnya (pasal 16 ayat 2).

Dalam pembahasan di kelompok Kajian Islam Cibubur di Pesantren Husnayain Jakarta, Februari 2005, Adian Husaini selaku pembicara menegaskan, Draft Counter Legal Kompilasi Hukum Islam susunan Siti Musdah Mulia dan kawan-kawannya di Departemen Agama RI itu adalah salah satu produk dari pemahaman yang menggunakan hermeneutika sebagai pendekatannya. Umat Islam bahkan MUI (Majelis Ulama Indonesia) menentang Draft KHI itu karena jelas-jelas bertentangan dengan Islam.

Maka seharusnya umat Islam dan MUI lebih manentang lagi kepada sumbernya yang mengakibatkan adanya produk itu, yaitu hermeneutika. Jadi umat Islam perlu menentang diajarkannya hermeneutika di UIN dan IAIN, apalagi di pesantren, karena jelas hasilnya mesti akan merusak hukum Islam, dan sudah terbukti adanya draft KHI yang sampai mengenakan ‘iddah bagi laki-laki, tandas Adian di depan para kiai, aktivis, dan wartawan serta penulis Muslim.

Dalam dokumen Ada Pemurtadan di IAIN (Halaman 54-56)