• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rusaknya Pemahaman Mereka Akibat Program Penjauhan dr Manhaj yg Bena

Dalam dokumen Ada Pemurtadan di IAIN (Halaman 90-93)

Kenapa semua itu bisa terjadi? Kenapa pemahaman mereka jauh dari Islam? Kenapa sampai menghalalkan yang haram, dan berani membuat ajaran baru, misalnya tentang pernikahan antara wanita Muslimah dengan lelaki Nasrani?

Aneka pertanyaan bisa disembulkan. Jawaban yang singkat dan padat adalah: karena memang diprogramkan seperti itu pengajarannya. Dan itu adalah jalan yang dianggap efektif oleh Barat dalam menghadapi Islam dan umatnya. Apalagi sekarang sudah banyak agen-agennya di sini.

Adapun secara tinjauan metodologi, maka dari satu segi saja, yaitu dalam hal menafsiri Al-Qur’an, metode yang mereka gunakan untuk menafsiri Al-Qur’an bukan metode/ manhaj yang benar. Tidak sesuai dengan yang ditempuh oleh para ulama salafus shalih. Bahkan bukan sekadar itu, kini mulai digalakkan untuk meniru-niru metode penafsiran Bible dengan cara mengajarkan hermeneutika di beberapa UIN/ IAIN. Padahal, metode untuk menafsiri Al-Qur’an sudah jelas manhajnya. Sebagaimana dituturkan oleh Imam Ibnu Taimiyyah dalam fatwanya tentang Tafsir, dan Imam Ibnu Katsir dalam muqoddimah kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur’anul Adhiem. Di antaranya sebagai berikut.

Imam Ibnu Katsir berkata: Kalau ada orang bertanya, manakah jalan terbaik dalam ilmu Tafsir? Jawabnya adalah: Sesungguhnya jalan terbaik dalam ilmu tafsir adalah Al-Quran ditafsirkan dengan ayat. Yang mujmal (global) dalam satu ayat maka akan diperinci dalam ayat lain. Apabila belum cukup jelas, maka dengan As-Sunnah atau Hadits, karena As-Sunnah adalah penjelas dari Al-Quran, seperti firman Allah dalam An-Nahl 64:

“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (al-Quran), melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”

Dan sabda Rasulullah SAW:

“Ketahuilah aku diberi Al-Quran dan semisalnya bersamanya,” yakni As-Sunnah Al-Muthohharoh.

Kesimpulannya, kau cari tafsir Al-Quran dari Al-Quran. Jika kau tak jumpainya maka dari As-Sunnah. Apabila tidak kita jumpai pula maka kita kembalikan kepada perkataan sahabat-sahabat Nabi Saw, karena mereka itulah yang lebih tahu tentang ayat-ayat itu. Dan karena mereka menyaksikan hubungan-hubungan ayat itu dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masanya. Dan juga karena mereka punya pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Terlebih-lebih ulama-ulama mereka serta tokoh-tokoh mereka seperti Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin di antaranya Abdullah bin Mas’ud, Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali bin Abi Thalib ra.

Abdullah bin Mas’ud berkata: Demi Dzat yang tiada sembahan kecuali Dia, tidak ada satu ayat dari Kitab Allah yang turun kecuali aku tahu tentang siapa dia turun, dan di mana dia diturunkan. Andaikan aku tahu ada seseorang yang lebih alim tentang kitab Allah daripada aku, di manapun akan saya datangi dia, selagi onta bisa berjalan ke sana.

Abdurrahman As-Sulami (seorang tabi’in) berkata, “Orang-orang yang membacakan Al-Quran kepada kami, mereka belajar bacaan dari Nabi SAW dan setiap kali mereka mempelajari 10 ayat, mereka belum ganti kepada ayat yang lain, sehingga mereka tahu apa yang harus diamalkan dari ayat itu. Kemudian mereka berkata: Kami mempelajari Al-Quran dan beramal bersama-sama.”

Dan di antara sahabat yang ahli tafsir (Al-Quran) ialah Abdullah bin Abbas, yang diberi gelar Al-Habru Al-Bahru (seorang pendeta yang sangat luas pengetahuannya). Dia adalah putera paman Rasulullah SAW dan penerjemah Al- Quran, berkat do’a Rasulullah Saw untuknya:

Ya Allah, fahamkanlah dia dalam agama, dan ajarkanlah padanya tafsir. (HR Ahmad).

Ibnu Mas’ud berkata tentang Ibnu Abbas, Ni’ma tarjumaanul Quraani Ibnu Abbas.

Sebaik-baik penerjemah Al-Quran itu Ibnu Abbas.

Abdullah bin Mas’ud wafat tahun 32H, sedang Abdullah bin Abbas meninggal 36 tahun berikutnya (68H). Coba bayangkan apa yang dilakukannya tentang ilmu sesudah Ibnu Mas’ud. Karena itu kebanyakan yang diriwayatkan As- Suddi (penafsir dari Tabi’in) dalam kitabnya adalah dari kedua sahabat itu (Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas). Tetapi kadang-kadang dia (As-Suddi) menceritakan perkataan-perkataan yang diambil dari Ahli Kitab yang diperbolehkan oleh Rasulullah SAW, di mana beliau berkata:

Ballighuu ‘annii walau aayah. Fahadditsuu ‘an Banii Israail walaa haroja. Waman kaddzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwa’ maq’adahu minan naar. (Al-Bukhari).

Sampaikan apa yang datang daripadaku walau satu ayat. Dan ceritakan apa-apa yang dari Bani Israil, dan itu tidak dosa. Dan barangsiapa yang bohong atas namaku dengan sengaja, hendaklah menempati tempat duduknya di neraka.

Tetapi cerita-cerita Israiliyat ini dijadikan sebagai saksi, bukan untuk membantah. Dan cerita Israiliyat itu terbagi menjadi tiga bagian:

1. Yang kita ketahui keshahihannya, sesuai dengan yang ada di tangan kita, yang menyaksikan kebenaran. Dan itulah yang shahih.

2. Yang kita ketahui kebohongannya jika dibanding apa yang di tangan kita. Atau yang berlawanan dengannya. Dan itulah yang harus ditolak,

3. Yang harus didiamkan. Bukan bagian pertama dan bukan yang kedua. Maka kita tidak boleh membenarkannya dan tidak boleh mendustakannya. Kita boleh saja menceritakannya namun pada umumnya tidak ada faedahnya dalam urusan agama.

Apabila tidak kita jumpai tafsir-tafsir dalam Al-Quran, dan tidak dijumpai di Hadits, juga tak ada di sahabat-sahabat Nabi SAW, maka pada umumnya para mufassir mengembalikan kepada ucapan para tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr. Sesungguhnya dia adalah lambang dalam ilmu tafsir. Dia pernah berkata: “Aku baca mushaf pada Ibnu Abbas tiga kali, dari Fatihahnya sampai akhirnya. Aku hentikan pada setiap ayat, dan aku tanyakan tafsirnya kepadanya (Ibnu Abbas).” Karena itu Sufyan Ats-Tsauri berkata, apabila datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukuplah itu bagimu.

Dan di antara tabi’in ada lagi nama-nama Sa’id bin Jubair, Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atho bin Abi Robah, Hasan Al- Bashri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’id bin Al-Musayyab, Qotadah, dan Ad-Dhohhak, dan lain-lainnya di antara golongan Tabi’in.

Perkataan mereka diambil dalam ayat-ayat, dan perbedaan lafadh-lafadh.

Adapun menafsirkan Al-Quran dengan pendapat murni (tanpa seperti yang tersebut) maka hukumnya haram. Karena telah diriwayatkan dari Nabi SAW:

Barangsiapa yang berkata mengenai kitab Allah Azza wa Jalla dengan pendapatnya (walaupun) benar (namun) salah. (HR Abu Daud).

“Barangsiapa berkata mengenai Al-Quran dengan tanpa ilmu maka hendaknya ia menduduki tempat duduknya di neraka.”

Karena dia telah memaksakan diri mengenai apa yang dia tidak tahu. Dan dia telah menempuh jalan yang tidak diperintahkan. Karena dia tidak mendatangkan perkara lewat pintunya. Seperti orang yang menghukumi antara manusia dengan kebodohan, maka dia dalam neraka.

Karena itu, pada umumnya orang-orang salaf merasa dosa menafsirkan apa yang tidak mereka ketahui ilmunya. Sehingga diriwayatkan dari Abu Bakar As-Shiddiq RA, dia berkata:

Ayyu samaa’in tudhillunii, wa ayyu ardhin taqillunii, idz ana qultu fii kitaabillaahi maa laa a’lamu.

Langit mana yang akan menaungi aku, dan bumi mana yang mau menyanggaku, apabila aku berkata dalam kitab Allah, apa yang aku tidak tahu.

Imam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, Syu’bah bin Hajjaj dan lainnya berkata, pendapat-pendapat para Tabi’in mengenai furu’ (cabang-cabang) bukanlah hujjah/ argumen. Bagaimana dia jadi hujjah dalam tafsir padahal dia sendiri tidak jadi hujjah terhadap orang lain yang menyeleisihinya. Dan ini benar. Adapun jika mereka (Tabi’in) itu sepakat atas sesuatu maka tidak diragukan keadaannya jadi hujjah. Tetapi kalau mereka berselisih maka pendapat sebagian mereka tidak jadi hujjah atas lainnya, dan tidak pula terhadap orang sesudahnya. Dan hal itu dikembalikan kepada bahasa Al-Qur’an atau As-Sunnah, atau umumnya bahasa Arab, atau perkataan-perkataan sahabat dalam hal itu.

Demikianlah metode menafsiri Al-Qur’an, berdasarkan Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi saw yang diuraikan oleh ulama yang memang ahli, diakui dunia. Dalam uraian itu, perkataan Tabi’in di dalam hal cabang-cabang agama yang ada perbedaan satu dengan lainnya, maka tidak bisa jadi hujjah/ argumen. Lalu harus dikembalikan kepada bahasa Al- Qur’an atau As-Sunnah, atau umumnya bahasa Arab, atau perkataan-perkataan sahabat dalam hal itu.

Padahal ditinjau dari segi baiknya generasi, para Tabi’in itu disebutkan oleh Nabi saw sebagai generasi terbaik sesudah Sahabat Nabi saw. Bahkan generasi sesudahnya lagi (Tabi’it tabi’in) pun masih termasuk generasi terbaik. Namun menurut Ibnu Taimiyyah, mengutip Syu’bah bin Hajjaj dan lainnya, perkataan para Tabi’in dalam hal furu’ (yang ada perbedaan satu sama lain) maka tak bisa jadi hujjah/ argumen atau dalil.

Sekarang ini aneh. Generasi yang sama sekali tidak disebut baik apalagi terbaik oleh Nabi saw, tetapi berani menabrak ayat-ayat Al-Qur’an dan ngotot melaksanakannya untuk dimasyarakatkan. Ada lagi yang ngotot untuk memasukkan bahkan telah mengajarkan metode tafsir Bible untuk menafsiri Al-Qur’an. Apakah mereka merasa lebih tinggi

keislamannya dan pengetahuan Islamnya dibanding para Tabi’in. Atau hermeneutika yang dari mitos musyrikin Yunani itu dianggap lebih hebat dibanding perkataan para Tabi’in yang telah disabdakan Nabi saw sebagai salah satu generasi terbaik?

Kalau mau rusak Islamnya tetapi untuk diri sendiri dan tidak menyiarkan kepada orang lain agar ikut rusak, maka cukup diucapi, kasihanilah dirimu, nanti di akherat akan merugi. Tetapi kalau sudah mengajarkan, membuat system pendidikan, bahkan mencari-cari jalan dan dana serta mempertahankan mati-matian pengajaran yang jelas-jelas merusak pemahaman Islam, maka tidak cukup hanya diucapi “kasihanilah dirimu di akherat kelak akan merugi”. Tidak cukup. Perlu dibendung dan dihancurkan system yang akan merusak Islam itu, karena itu adalah makar terhadap Islam.

Pengusung-pengusungnya itu adalah musuh-musuh Allah swt, alias wadyabala syetan, yang sejatinya adalah musuh manusia. Dan itulah yang disebut pemurtadan di sini. Semoga bisa difahami dan dicamkan oleh umat Islam secara tulus ikhlas, sehingga menyadari bahwa Islam telah terancam oleh orang-orang yang pada hakekatnya merusak namun mengaku sebagi membangun.

Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang- orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (QS Al-Baqarah: 11-12).

Mereka mengarahkan pendidikan dan pengajaran Islam ke apa yang mereka sebut sosio historis. Tetapi mereka sendiri tidak menyadari bahwa secara sosio historis, tidak pernah pemahaman Islam ini jadi benar apabila dicampur tangani oleh orang kafir. Tidak pernah Islam ini maju karena didukung oleh orang kafir. Tetapi sebaliknya, orang Islam ini hancur karena kekejaman orang kafir, contohnya di Andalus Spanyol. Orang Islam ini hancur karena kedhaliman orang kafir, tipuannya, dan aneka kelicikannya. Anehnya, justru yang telah menghancurkan umat Islam, dan secara sosio historis telah terbukti, itu kini justru dijadikan pemandu-pemandu dan pendana-pendana dalam menggarap pendidikan tinggi Islam. Sekarang justru sudah merambah ke pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah. Ini tidak mungkin terjadi apabila tidak ada pembuka-pembuka pintu dan jalan di negeri ini.

Anehnya lagi, orang-orang yang di negeri ini dan mengaku dirinya sebagai Muslim, tidak sayang-sayang kepada agamanya (Islam) dan umatnya; tetapi justru tidak sedikit yang lebih sayang kepada apa yang diperkirakan akan menyenangkan pihak-pihak kafirin. Sehingga begitu mulutnya menyuara, bukan ayat atau hadits yang jadi landasan, namun perkataan orang kafir ini, kafir itu, atau hasil otak-atiknya sendiri. Bahkan heremneutika dari mitos musyrikin Yunani Kuno pun kini dikais-kais untuk menginterupsi Al-Qur’an. Ke arah jalan maghdhub dan dhollin yang sudah mereka jalani itulah pendidikan Islam ini akan mereka arahkan. Apakah tidak berbahaya, wahai saudara-saudaraku Kaum Muslimin dan Muslimat?

Dalam dokumen Ada Pemurtadan di IAIN (Halaman 90-93)